Thursday, January 31, 2008

Bush 'Bonceng' Diplomasi Dolar di Forum G7

Abraham Runga Mali


Tulisan ini dimuat di Bisnis Indonesia edisi 6 Februari 2004



Adalah kebetulan pertemuan G7 hari ini digelar di Florida, kampung halaman Presiden AS George W. Bush. Tapi, adalah kepastian pertemuan di Boca Raton itu jadi ajang diplomasi mendukung Bush yang mengincar kursi presiden kedua kalinya dalam pemilu November.
Agenda negara industri maju anggota G7 (AS, Jerman, Jepang, Prancis, Kanada, Italia dan Inggris) dan interest Bush bersatu dalam urusan dolar yang nilainya terus melorot selama dua tahun terakhir.

Kemarin dolar diperdagangkan pada 1,2538 euro, sedikit melemah dari rekor tertinggi 12 Januari pada kisaran 1,2898. Yen yang mencapai titik terendah sejak September 2000 bertengger pada 105,52 per US$. Sementara yuan tetap aman melalui patokan 8,3 per US$.

Seperti diduga sebelumnya, para peserta G7 akan menekan Cina membuka patokan mata uangnya terhadap dolar. Pasalnya dengan posisi kini, terjadi ketimpangan transaksi perdagangan G-7 dengan Cina, lantaran ekspor mereka ke Cina menjadi tidak kompetitif. Defisit perdagangan AS terhadap Cina yang baru mencapai US$103 miliar pada September, menggelembung jadi US$120 miliar hingga posisi terakhir.

Kinerja dolar juga menohok kepentingan Jepang dan Eropa yang tergabung dalam zona mata uang euro.

Tahun lalu otoritas moneter Jepang diketahui melakukan intervensi ke pasar sekitar 20 triliun yen (US$187). Tahun ini, Tokyo mempersiapkan dana 21 triliun hingga 100 triliun yen untuk mengamankan pasarnya. Seakan belum yakin, Jepang juga akan memotong suku bunganya hingga 0% untuk menangkal serangan dolar.

Sementara para pejabat keuangan di Eropa masih hanya meratapi dan belum melakukan kebijakan konkrit. Bagi zona euro, posisi dolar yang sudah terjungkal sangat mendalam akan terus menekan tingkat kompetisi ekspor mereka kendati meraup currency's gain sekitar US$8 triliun.

Para eksportir Eropa beberapa pekan terakhir mengeluhkan sulitnya menembus pasar luar negeri. Di pihak lain, pasar Eropa dibanjiri barang-barang murah dari luar negeri.

Realitas tersebut bisa membahayakan perusahaan di sana yang pada gilirannya akan mendongkrak tingkat pengangguran hingga 8,8%. "Ketegangan antara kawasan antar-Atlantik itu demikian dramatis," ujar seorang pengusaha manufaktur yang dikutip Businessweek pekan lalu.

Yang untung & buntung

Kalau terus dirunut, dampak dolar juga merembes ke kawasan lainnya. Misalnya, Timur Tengah yang mengekspor minyak dan gas dalam dolar, tetapi mengimpor barang Eropa dalam euro. "Kami sudah menderita. Dan penderitaan ini akan semakin merana kalau kejatuhan dolar kian dalam," keluh Sultan Emirat Arab.

Yang paling banyak menangguk untung dari melemahnya dolar adalah Cina. Selain mengangkat daya saing ekspor, melemahnya dolar membuat Cina kebanjiran modal asing.

Victor L.L. Chu, Ketua dan CEO First Eastern Investment Group yang berbasis di Hong Kong, memperkirakan investasi langsung ke Cina akan meningkat dari US$52 miliar tahun lalu menjadi US$150 miliar pada 2004. Aliran dana itu, jelas Hu, akan tetap deras kalau Cina berhasil mempertahankan ikatan yuan dengan dolar.

Itulah sebabnya Beijing mulai cemas menghadapi tekanan G7 untuk membuka ikatan yuan dan mengaitkan mata uangnya dengan sejumlah mata uang asing, termasuk euro. Kalau itu yang terjadi, awalnya yuan mungkin akan menguat. Tapi pada akhirnya akan membuat euro menjadi satu-satunya mata uang yang terus menguat.

Padahal penguatan euro yang berlebihan juga bukan berita gembira bagi Eropa. Kinerja ekonomi Eropa yang kurang kuat akan memaksa otoritas keuangan dan moneter di Uni Eropa mencari solusi, agar depresiasi euro bisa segera terwujud. Pasalnya Bank Sentral Eropa (ECB) belum melakukan intervensi guna mengatur pasarnya seperti Jepang.

Memang sempat tersiar, berdasarkan usulan pejabat otoritas keuangan Italia, Gianluigi Magri, ECB berupaya mendepresiasi euro dengan memotong suku bunganya dari 2% menjadi 1,5%.

Namun hal itu tidak mudah dilakukan karena akan memacu inflasi. Karena itu Presiden ECB Jean-Claude Trichet dalam pertemuan World Economic Forum di Davos belum lama ini mengurungkan niatnya menerapkan kebijakan khusus menekan laju euro. Kalau begitu, delegasi Eropa di Boca Raton barangkali cuma bisa melobi AS untuk mengerem laju penurunan dolar.

Itu pun tidak mudah dilakukan karena Washington berkepentingan mempertahankan posisi dolar seperti sekarang guna mempertahankan kinerja ekspor AS. Karena itu banyak pengamat menduga pertemuan Florida akan menuai kegagalan.

Menghadapi tekanan Eropa, pejabat AS Bidang Perdagangan Grant Aldonas sebaliknya meminta Eropa memperbaiki fundamental ekonomi ketimbang mengurus dolar. Bagi AS melemahnya dolar lebih menguntungkan perekonomiannya.

Profesor ekonomi dari Princento University Alan S. Blinder bahkan menegaskan depresiasi dolar merupakan realitas yang tidak bisa dihindari lantaran defisit anggaran dan perdagangannya. Bukan tidak mungkin posisi dolar akan terus dibiarkan melemah dari posisi sekitar 1,27 hingga 1,28 Euro menjadi antara 1,40 hingga 1,50 euro pada awal 2005.

Karena itu, pertemuan Florida juga menjadi ajang bagi Bush untuk diplomasi ekonomi-politis. Targetnya jelas, mempertahankan kinerja ekonomi menjelang pemilu November.

Keberhasilan di Flrodia memungkinkan Bush menutup defisit, yang diproyeksikannya turun jadi US$264 miliar pada 2009, jauh di bawah tahun ini yang US$521 miliar.

Apalagi tim ekonomi Bush saat ini terus diserang lawan politiknya dari Kelompok Demokrat, untuk mengatasi persoalan pengangguran yang menjadi salah satu momok, yang bisa saja mematikan ambisinya menjadi presiden kedua kali.

Sinyal awal

Sebenarnya, tanda-tanda dolar akan dibiarkan melemah terlihat dari kebijakan Federal Reserve mempertahankan suku bunga bulan lalu pada tingkat 1%, level terendah sejak 45 tahun terakhir. Sebagian pengamat pasar uang memperkirakan bank sentral itu baru menaikkan suku bunganya Juni mendatang atau sekurang-kurangnya tahun ini.

Tapi sebagian lain memperkirakan Komite Pasar Terbuka Federal (Federal Open Market Committee) di bawah komando Alan Greenspan, yang berada di pihak Republik-partai pendukung Bush-tidak akan menaikkan suku bunga hingga 1,5% sampai dua tahun mendatang.

Tapi, juga bukan tidak mungkin, AS akan melakukan sebaliknya, yaitu menurunkan suku bunga dari 1% hingga 0,75% untuk menurunkan defisit perdagangan, selain defisit anggaran belanjanya.

Soal kebijakan The Fed ini sebaiknya kita belajar dari David Frost, salah satu staf bank sentral pada 1990, seperti dikutip Martin Meyer dalam bukunya The Fed: The Inside Story of How the World 's Most Powerful Financial Institution Drives the Markets. Frost mengatakan AS tetap merasa lebih nyaman dengan apa yang dianggap baik oleh Federal Reserve.

Apalagi seorang Greenspan tidak buta dengan perkembangan fundamental ekonomi AS yang kian membaik. Misalnya data manufaktur keluaran Institute of Supply Management yang memperlihatkan kenaikan indeks menjadi 64 dari 63,4 pada Desember tahun lalu.

Itu berarti kegiatan ekonomi riil mulai hidup dan bisa memberikan solusi bagi masalah pengangguran yang menjadi ancaman negara adikuasa tersebut.

Memang data tenaga kerja sampai Juli memperlihatkan hanya tersedia 278.000 lapangan kerja, dengan pertumbuhan lapangan kerja 150.000 sampai 200.000 per bulan.

Namun pertumbuhan ekonomi AS, yang digerakkan depresiasi dolar, meyakinkan sejumlah ekonom bahwa angka pengangguran akan menurun menjadi 5,5% hingga akhir 2004 dari 5,7% Desember lalu.

Perusahaan besar di Paman Sam yang mengeruk keuntungan dari penurunan dolar seakan memberi dukungan terhadap keyakinan tersebut. Misalnya Nike Inc., perusahaan sepatu terbesar, yang membukukan keuntungan 18% pada kuartal kedua. Untuk pasar Eropa, perusahaan itu hanya mencatat penjualan 9%.

Setali tiga uang, perusahaan raksasa General Motor merasa sangat nyaman dengan posisi dolar saat ini. Itulah sebabnya, bos General Motor Rick Wagoner terus mengulang keyakinan pendahulunya, Charles E. Wilson, yang pada 1953 membuat pernyataan: "Sekian lama saya yakin bahwa apa yang baik bagi negara kita juga baik bagi General Motors, dan sebaliknya."

Kalau demikian prinsip AS, maka Trichet dan kolega Eropa-nya bakal menemui kesulitan besar di Florida.

Andaikan diplomasi itu gagal, akankah mereka bergabung dengan George Soros dari Budapest yang berniat mematikan langkah Bush dan melakukan serangan terhadap pasar AS, Oktober mendatang?

Rencana yang tidak mudah, karena AS bukan Indonesia atau Thailand yang pernah diporak-porandakannya.

WEF, Korporasi dan Evolusi Bisnis

Abraham Runga Mali

Tulisan ini didasarkan pada inspirasi pertemuan WEF ketiga


World Economic Forum (WEF) yang berlangsung di Davos, Swiss dari 16 Januari berakhir kemarin. Suara protes antikapitalis dan gerakan antiglobalisasi yang dimulai di Mumbai, India, pekan lalu masih menggema di sana.
Euforia kelompok akar rumput ini kian memojokkan peran korporasi besar yang menjunjung tinggi moral kapitalis. Benarkah perusahaan multinasional akan mati kutu karena tak ikut bermimpi menciptakan dunia yang lebih baik?

Tentu tidak. Adanya forum yang berbasis di Jenewa sebenarnya sebuah ekpresi kemauan dari perusahaan multinasional untuk selalu memperbaiki diri dalam menciptakan dunia yang lebih baik.

Dengan dukungan dari 1.000 perusahaan terkemuka di dunia, pemain ekonomi global memperlihatkan komitmen mereka dalam menyelesaikan berbagai agenda global melalui forum yang dimulai sejak 1971.

Dengan mengambil tema Partenering for Prosperity and Security di Davos, ketua WEF Klaus Schwab mengatakan dunia kini labil dan tidak pasti. Menurut dia, pertumbuhan ekonomi tak terjadi jika dunia tak aman. Sebaliknya, dunia tak bakal aman, kalau tak ada prospek kemakmuran. Maka Schwab tak ragu-ragu memperkenalkan formula WEF: security plus prosperity equals peace.

Moral kapitalis

Harus diakui semangat WEF dibangun di atas basis moral kaum kapitalis yang yakin kapitalisme adalah satu-satunya sistem moral sosial yang bisa bertahan.

Soal langgengnya sistem ini, Robert W. Tracinski dalam artikelnya The Moral Basis of Capitalism, mengatakan sistem ini adalah satu-satunya yang menaruh hormat pada kebebasan para produsen untuk berpikir dan sekaligus menghargai kebebasan individu untuk berkereasi demi mencapai kebahagiaan pribadi. Pada tataran korporasi, prinsip itulah yang memotori pencapaian tujuan maksimalisasi keuntungan.

Terhadap para lawan yang mengutuknya, insan kapitalis mengatakan sistem yang mengorbankan pribadi untuk kepentingan masyarakat adalah sistem perhambaan.

Lagi pula, karena cenderung memaksa orang lain untuk mengabdi pada kebersamaan, kaum kapitalis meyakini sistem yang diperjuangkan lawan-lawannya berujung pada brutalitas.

Yang menarik disimak adalah atas kritik terhadap realitas global yang tak adil, kelompok multinasional terus membuka diri.

Dengan menerapkan prinsip kapitalismus semper reformandus (kapitalisme senantiasa mengubah diri), mereka berupaya agar sistem dan moral yang diperjuangkan itu tetap bertahan.

Bahkan, untuk menampung aspirasi ketidakpuasan dari gerakan antikapitalis dan antimultinasional, mereka mengundang seterunya menghadiri WEF agar lebih intens berdiskusi guna mencari solusi.

Tak heran jika dalam WEF di Davos yang dihadiri sedikitnya 2.100 orang dari 94 negara, mereka menjelaskan agendanya dalam melakukan reformasi. Hadir dalam pertemuan itu sedikitnya 30 kepala negara, 75 menteri kabinet, 28 pemimpin agama, 18 ketua asoasiasi, dan lebih dari 50 ketua LSM terkenal di dunia.

Seperti pada pertemuan WEF sebelumnya mereka meyakinkan dunia bahwa perusahaan multinasional telah dan terus berupaya mengubah wajah kapitalis menjadi lebih manusiawi.

Hasil survai WEF melalui lembaga Global Corporate Citizenship Initiative (GCCI) dan bekerja sama dengan Internasional Business Leaders Forum (IBLF), menceritakan hal itu.

Berdasarakan survai, 70% CEO yakin dan memihak pada isu yang dikeluhkan investornya, terutama dari investor institusional seperti dana pensiun dan asuransi. Mereka juga menerima jika investor berharap pengawasan yang lebih intens terhadap masa depan perusahaan.

Tekanan investor

Selain tekanan dari akar rumput, aspirasi dari dana pensiun dan asuransi sebagai shareholders diakui paling bepengaruh pada perubahan sikap para pemain bisnis kelas dunia.

Itu bisa dimalumi karena dua investor itu adalah institusi yang langsung mewakili kepentingan individu, para pekerja serta masyarakat (stakeholders), yang kepentingannya dianggap paling sering dikangkangi perusahaan multinasional.

Seperti yang diakui Richard Samans, direktur WEF, aspek lingkungan hidup dan sosial merupakan kepentingan yang harus diperhatikan perusahaan. Menurut dia, analis investasi dan manajer portofolio makin memperhatikan persoalan itu.

Pernyataan itu membenarkan David Bushnell, direktur manajer dan kepala bagian risiko dari Citigroup Global Corporate and Investment Bank saat dia mengatakan isu sosial dan lingkungan jadi bagian integral dalam analisa risiko dalam transaksi saat ini.

Dari laporan survai setebal 32 halaman yang dilakukan terhadap pemimpin mutlinasional dengan judul Values and Value: Comminicating the Strategic Importance of Corporate Citizenship to Investor dan didiskusikan dalam WEF di Davos, terungkap betapa tema tanggung jawab sosial perusahaan merupakan tema penting yang harus diperhatikan.

Laporan itu mencontohkan bagaimana sejumlah pengusaha treasuri dan trustee yang bertanggung pada sejumlah dana pensiun besar dan berpengaruh di AS tak hanya mendesak perubahan governance di NewYork Stock Exchange, tapi juga bekerja sama dengan kelompok pejuang lingkungan hidup dan fund manager yang melakukan investasi dengan tanggung jawab sosial (sosially responsible investement/SRI) mendorong investor memperhatikan risiko dan peluang berdasarkan perubahan cuaca global.

Pada pertemuan puncak di New York, November 2003, perusahaan treasuri Phil Angelides berkomentar "Dalam iklim global yang kian panas, kita menghadapi risiko yang besar terhadap investasi di perekonomian AS dan dana-dana besar lainnya karena infomasi tentang itu diabaikan Wall Street Berdasarkan beberapa contoh skandal perusahaan AS pada beberapa tahun lalu makin jelas investor harus memberi perhatian pada praktik perusahaan yang memiliki pengaruh jangka panjang."

Dalam kaitan dengan risiko itu, dia mengingatkan agar investor harus bisa mengidentifikasi perubahan iklim global, meminta informasi, dan mendesak aksi menghadapi perubahan tersebut.

Pada Februari 2003 Asosiasi Perusahaan Asuransi di Inggris yang beranggotakan 400 institusi dengan transaksi 95% pada transaksi asuransi di negara tersebut dan memiliki investasi lebih dari 20% di London Stock Exchange menelurkan petunjuk mengenai ketebukaan berkaitan dengan SRI.

Sementara federasi pekerja di AS dan konggres organisasi industri di negara itu yang mewakili kepentingan 13 juta pekerja yang tergabung dalam asosiasi dan berurusan dengan investasi senilai US$6 triliun di bidang kesehatan dan dana pensiun mengkampanyekan capital stewardship dengan sasaran agar pemegang saham tak hanya memperhatikan keuntungan jangka pendek, tapi juga harus menciptakan nilai keberlangsungan jangka panjang pada perusahaan.

Gerakan SRI pada 2003 terus meningkat. Menurut Forum Investasi Sosial, antara 2001 dan 2003, dana untuk perlindungan sosial naik 6,5%. Begitu juga dana untuk advokasi pemegang saham pada periode yang sama naik 15%.

Hal yang sama dilakukan pada urusan transaksi pasar modal dan pasar uang. Indeks untuk menakar komitmen sosial perusahaan go public seperti Dow Jones Sustainability Index dan FTSE4Good-indeks yang dikerjakan Financial times dan London Stock Exchange-terus dikembangkan untuk menghadapi kritik bahwa perusahaan besar tak punya etika sosial.

Dorongan terhadap perubahan korporasi terus bergerak seiring lahirnya aneka gerakan investor seperti International Corporate Governance Network (ICGN), The Carbon Diclosure Project, Pharmaproject.org, Just Pensions dan Investor's Statement on Transparancy in the Extractives Sector. Sasarab mereka jelas, yaitu tanggung jawab sosial yang harus dikerjakan perusahaan.

Sebagai misal Just Pensions. Gerakan itu inisiatif investor yang memberi perhatian pada dampak sosial dan lingkugan hidup dari perdagangan dan investasi internasional di negara-negara berkembang.

Bekerja sama dengan dengan Forum Investasi Sosial di Inggris yang memiliki lebih dari 250 anggota, Just Pensions melakukan riset pada produk industri khusus untuk 12 FTSE di sektor itu. Lembaga ini mengerluarkan juga indikator untuk mengukur apakah keputusan investasi dari dana pensiun memenuhi syarat sosial, lingkungan hidup, dan etika.

Reformasi hukum

Reformasi juga berlangsung di bidang hukum dan persyaratan pencatatan emisi di sejumlah bursa internasional yang memperhatikan kinerja nonfinansial.

Begitu juga dengan Sarbanes-Osley Act dan SEC Mandate on Proxy Voting Guidelines di AS memberi perhatian besar pada kepentingan warga perusahaan dan corporate governance.

Perubahan yang terjadi juga berlangsung pada norma dan konvensi internasional, termasuk yang dikembang sendiri oleh PBB.

Sejumlah aksi pada tingkat internasional pada tahun lalu seperti pendatanganan United Nation Convention against Corruption dan Norms on the Responsiliblities of Transnational Corporation and Other Business Enteprises with Regard to Human Rights patut diacungi jempol.

Belum lagi sejumlah inisiatif suka rela yang berkaitan dengan sektor finansial. Misalnya yang baru diluncurkan tahun lalu adalah Equator Principles, yaitu perjanjian antara 14 bank ternama pemberi finansial yang bekerja sama dengan International Financial Corporation.

Prinsip yang diperjuangkan adalah persyaratan tanggung jawab sosial dan perhatian pada lingkungan hidup yang harus dipenuhi sebelum memberi proyek pada pekerjaan yang akan didanai bank-bank tersebut.

Begitu juga dengan London Principles of Sustainable Finance yang diluncurkan oleh Corporation of London pada 2002.

Sejumlah prinsip yang mengikat 50 institusi finansial yang memberi perhatian pada prinsip pembangunan yang berkelanjutan sehingga tak hanya memberi fokus pada keuntungan material, tapi juga memperhatikan tanggung jawab sosial seperti lingkungan hidup dan hak-hak asasi. Hal yang sama juga diperjuangkan oleh berbagai forum lain seperti Global Reporting Initiative (GRI), UN's Global Compact.

Komitmen berbagai multinasional terhadap lingkungan dan persoalan sosial memang kian menguat.

Ketika Russel Reynolds Associates mewancarai 400 investor institusi di AS, Inggris, Jerman, Prancis, Jepang, Cina, terpetik hasil cukup menggembirakan.

Investor di Prancis dan Jerman mengatakan seharusnya CEO memiliki tanggung jawab sosial (89% dan 79%). Di AS, investor yang mengharapkan hal itu 53%, sisanya 47% masih berharap keuntungan besar.

Survai Deloitte bersama CSREurope dan EuroNext tahun lalu mengatakan IRO (investment relation officers) perusahaan multinasional yakin bahwa kinerja sosial dan lingkungan yang baik akan mempengaruhi reputasi perusahaan (69%), kinerja ekonomi (46%), dan nilai pasar sebuah perusahaan (36%).

Hasil itu sesuai dengan survai lain yang dikerjakan SAM Sustainable Asset Management pada 2003 terhadap 1.000 perusahaan mengenai opsi yang dilakukan perusahaan untuk memantapkan strategi keberlangsungan perusahaan dan tingkat kompetisinya.

Upaya meningkatkan reputasi dan kemampuan untuk menjaga lingkungan merupakan pilihan tertinggi dibandingkan akses pada modal dan kemampuan melakukan inovasi.

Dari berbagai rekaman penelitian itu terungkap kebenaran bahwa berbagai ketidakadilan, pengabaian hak asasi manusia, dan perusakan lingkungan hidup harus jadi perhatian perusahaan multinasional jika mau bertahan.

Bahkan, nilai etis itu yang menjadi penggerak evolusi bisnis masa kini. Evolusi yang menjadi keharusan seperti diungkapkan Robert Dunn, ketua Business for Social Responbility.

Bayang-bayang evolusi bisnis seperti itulah yang terus ditiup dalam setiap WEF, terutama di Davos. Evolusi yang terus menggerakkan perusahaan multinasional untuk mengubah wajah kapitalisme agar lebih sosial dan humanis seperti diimpikan kaum sosialis yang giat menyuarakan aspirasinya dari baik jalanan.

Hanya saja, perlu terus diingatkan bahwa niat baik perusahaan multinasional itu tak mungkin terjadi kalau evolusi yang dimaksudkan digerakkan dengan prinsip membinasakan yang lemah ala Charles Darwin.

Dari Mumbai ke Davos, Menggugat Sepak Terjang MNC

Abraham Runga Mali

Untuk kesekian kalinya gaung protes terhadap tata ekonomi global mencuat ke permukaan. Yang paling mutakhir adalah dari Forum Sosial Dunia (World Social Forum) ke tiga (2004) yang berlangsung di Mumbai, India. Sedikitnya 2.400 aktivis anti-globalisasi yang didukung oleh 75.000 demonstran menyerukan perlawanan terhadap sepak terjang perusahaan multi nasional.
Tema yang diusung Another World is Possible dalam pertemuan tersebut seakan mengingatkan kita pada buku Alternatives to Economic Globalization: A Better World Is Possible dengan editor John Cavanagh dan Sarah Anderson yang terbit November 2002.

Kedua penulis dari lembaga Forum Internasional untuk Globalisasi di bawah payung Institute fo Policy Studies mengumpulkan tulisan dari 17 penulis yang berisikan kritikan pedas terhadap institusi ekonomi global seperti IMF, Bank Dunia dan WTO serta mengajukan usulan perombakan atas lembaga-lembaga tersebut.

Raksasa MNC

Cavanagh dan Anderson melalui Corporate Watch adalah orang yang paling getol mengamati perusahaan multinasional (MNC) yang menguasai dunia saat ini. Sejak 1996 keduanya secara periodik mengeluarkan sebuah komparasi antara penjualan perusahaan raksasa tersebut dengan GDP negara-negara di dunia. Hasilnya memang mencengangkan.

Sampai 2000, misalnya, hasil penjualan 200 MNC raksasa ternyata lebih besar dari gabungan perekonomian 182 negara, atau perekonomian seluruh dunia dikurangi 9 negara besar seperti AS, Jepang, Jerman, Prancis, Inggris, Italia, Cina, Brazil, dan Kanada. 200 MNC secara bersama-sama membukukan penjualan $US7,1 triliun, sementara gabungan 182 negara hanya memiliki GDP US$6,9 triliun.

Philip Morris yang pada 2000 mencatat penjualan US$61,751 miliar menjadi institusi yang lebih menguntungkan dibandingkan Selandia Baru. Pada tahun yang sama, penjualan Wal-Mart mengungguli penghasilan gabungan dari 161 negara, termasuk Israel, Polandia dan Yunani.

Lain lagi raksasa mobil Mitsubishi yang memiliki kekayaan yang lebih besar dari GDP Indonesia. Itochu lebih unggul dari Austria, dan penjualan Mitsui dan General Motor lebih besar dari GDP gabungan Denmark, Portugal dan Turki.

Padahal, 200 perusahaan raksasa yang sebagaian besar dikendalikan dari kantor pusatnya di Eropa Barat, AS, Kanada dan Jepang itu mempekerjakan hanya sekitar 18,8 juta orang dari sekitar 5,5 miliar penduduk.

Itu sebabnya, Forum Sosial Dunia menuduh mereka bertanggung jawab terhadap nasib para pekerja internasional karena sering dipekerjakan dengan upah sangat rendah. Bahkan, untuk menekan biaya, anak-anak dan kaum perempuan pun dipaksa untuk bekerja.

Padahal, demikian data Corprate Watch, di dunia saat ini beroperasi sedikitnya 400.000 perusahaan dengan sedikitnya 250.000 cabang di berbagai negara. Betapa mereka mengontrol dunia dengan prinsip maksimalisasi keuntungan sebesar-besarnya sebagaimana yang dikumandangkan oleh kelompok neo liberalis.

Perusahaan multi nasional itu bukan hanya dikecam karena memarjinalkan tenaga buruh dan merusak lingkungan, tetapi menjadi pengontrol paling dominan terhadap kebijakan ekonomi-politik internasional untuk melayani kepentingana mereka. Institusi-institusi seperti IMF, Bank Dunia dan WTO tidak lebih dari pelayan yang mengabdi kepentingan mereka.

Lobi liberalisasi

Untuk mengurangi hambatan dalam perdagangan dan arus modal, sejak lama MNC raksasa tersebut rajin melakukan lobi di berbagai fora internasional.

Lahirnya pasar tunggal Eropa, NAFTA (North American Free Trade Agreement), Putaran Uruguay (Uruguay Round) dan GATT (General Agreement in Tariffs and Trade) merupakan hasil lobi MNC tersebut.

Begitu pun dalam bidang politik. Aksi AS melakukan invasi ke Guatemala (1954) dan menggembos pemerintahan Salvador Allende tidak lepas dari kepentingan ekonomis perusahaan multi nasional.

Pada 1970, International Telephone and Telegraph (ITT) diketahui menawarkan sekitar US$1 juta untuk mengalahkah pencalonan Allende.

Belum lagi berita yang aktual soal lobi perusahaan minyak AS yang hingga saat ini membutakan mata para pemimpin politik negara tersebut untuk memporak porandakan stabilitas politik wilayah kaya minyak seperti Timur Tengah.

Hegemoni MNC yang menggandeng kepentingan Eropa dan AS serta Jepang itu seakan membangkitkan kesadaran historis para penentangnya hingga menelusuri jauh ke era imperialisme. Kalau dulu kolonialisme dilakukan oleh bangsa dengan kekuatan senjata, saat ini pelakunya adalah korporasi dengan kekuatan modal.

Pada saat era Perang Dunia II berakhir-menandai berakhirnya sebagian besar praktek kolonialisme bangsa terhadap bangsa-para penganut paham neo liberal meneruskan aksinya dengan imperialisme gaya baru dalam bentuk modal.

Lahirnya institusi IMF dan Bank Dunia di Bretton Wood pada 1944 dan dimulainya program Marshall Plan merupakan cikal bakal lahirnya sebuah era kemenangan kepentingan negara maju yang berlangsung hingga saat ini.

Itulah sebabnya bisa dipahami euforia para aktivis anti-globalisasi di Mumbai yang terus mengkampanyekan jurus anti WTO yang menuai kegagalan dalam pertemuan puncak di Cancun, Meksiko belum lama ini. Pekan lalu Robert Zoellick lagi-lagi tidak berhasil menyukseskan misi perdagangan bagi AS.

AS belum lama ini juga gagal memaksa Australia dan Maroko memandatangani perjanjian free trade zone (FTAA).

Kegagalan yang sama dialami ketika negara adikuasa itu dalam pertemuan di Monterrey juga tidak mampu menekan Brazil untuk meneken perjanjian yang sama yang direncanakan pemerintahan Bush mulai Januari 2005.

Suara akar rumput

Berbagai kenyataan tersebut memperlihatkan bahwa gerakan akar rumput untuk menekan negara-negara maju, termasuk AS tidaklah main-main. Bahkan, bukan hanya dari level akar rumput. Ekonom Joseph Stiglitz yang hadir dalam pertemuan WSF sudah berkali-kali mencerca negara-negara maju.

Peraih hadiah Nobel Ekonomi 2001 dari pengalamannya sebagai Kepala Ekonom Bank Dunia itu mengakui globalisasi yang dimotori berbagai institusi internasional gagal menciptakan wajah dunia yang lebih manusiawi.

Karena itu dalam sebuah wawancara saat dia meninggalkan Bank Dunia setelah berseteru dengan Menteri Keuangan AS Larry Summer, Stiglitz meminta agar sikap paternal negara-negara yang termasuk Kelompok Utara harus segera ditinggalkan.

Kali ini suara Stiglitz bersatu dengan suara para aktivis anti-globalisasi dalam Pertemuan Sosial Dunia di India dari 16 hingga 21 Januari.

Pertemuan yang sengaja di Mumbai-nama lain untuk kota perdagangan tradisional Bombay-seakan mengantisipasi sebuah pertemuan lain, yaitu the World Economic Forum di Davos, Swiss dari 21 hingga 25 Januari.

Hampir pasti teriakan protes ala Mumbai akan menginspirasi pertemuan di Davos. Lain dengan di Mumbai, pertemuan Open Forum Davos 2004, diselenggarakan oleh LSM dan organisasi nir laba, termasuk lembaga sosial yang dikoordinasikan oleh gereja di negara-negara maju, terutama lembaga Bread for All dan Federasi gereja Protestan Swiss. Di Davos, pertanyaan yang hendak dijawab tertera dalam tema pertemuannya, yaitu Globalisation or Deglobalisation for the Benefit of the Poorest?

Terbersit harapan agar kritikan terhadap institusi dan pemain global makin mengental dalam pertemuan yang menurut rencana juga dihadiri Joseph E. Stiglitz, Ketua ILO, Juan Somavia dan CEO sejumlah perusahaan raksasa. Sebuah antitesa terhadap realitas global yang kian carut marut saat ini.

Seperti biasa, negara maju dan MNC diserukan untuk lebih mengedepankan tanggung jawab terhadap hak-hak masyarakat dan demokrasi dari pada hanya mengeruk keuntungan.

Begitu pula, mereka harus memperhatikan pemeliharaan lingkungan hidup yang selama ini dikorbankan demi meraup keuntungan yang berlipat ganda. Sebuah seruan suci yang tidak mudah diikuti oleh raksana-raksasa ekonomi yang dalam benaknya sudah dirasuki dengan tujuan maksimalisasi keuntungan.

Supaya lebih akurat, pertemuan itu bahkan dilengkapi dengan survai tentang realitas dunia berikut prediksinya yang dilakukan oleh Gallup International. (Lihat ilustrasi)

Survai dengan judul Voice of the People yang disebar ke 43.000 orang dari 51 negara menghasilkan jawaban yang mengambang tentang masa depan dunia. Misalnya terungkap sebuah keraguan terhadap pertanyaan apakah dunia di masa mendatang semakin makmur atau tidak.

Sepertiga (34%) optimis bahwa dunia akan menjadi lebih baik. Sepertiga lainnya (35%) pesimis dan sisanya bungkam. Mungkin itu juga sebuah pertanda keraguan terhadap lahirnya sebuah sintesa menuju sebuah tata global yang lebih adil.

Dalam keadaan demikian, lebih baik kalau kita turut bergabung dengan pekikan harapan yang disoraki para aktivis di Mumbai dan Davos.

Tentu sembari mencari terobosan seperti diharapkan novelis India, Arundahti Roy, ketika dia berteriak di hadapan masa di Mumbai, "Tidak baik kalau kita hanya berteriak jeetenge, bhai jeetenge (kita menang, kita akan menang), tetapi saatnya kita harus berbuat sesuatu."

Menunggu Diplomasi Dolar dari Boca Raton

Abraham RungaMali

Tulisan ini pernah dimuat di Bisnis Indonesia tanggal 15 Januari 2004

Mendekatnya posisi dolar AS (US$) pada batas psikologis 1,30 terhadap euro memicu kecemasan yang kian mendalam di antara para pelaku bisnis dunia.
Terbetik sebuah pertanyaan mendasar, ke manakah arah pertarungan bisnis antara negara ekonomi kuat di dunia akan berjalan? Sebab dibalik sentimen sejumlah mata uang dunia tersimpan sebuah peta persaingan ekonomi antara perekonomian Amerika, Jepang, Uni Eropa, Cina dan Rusia.

Persaingan itu layak diamati karena akan memetakan kekuatan ekonomi yang akan menggiring negara-negara ekonomi lemah, termasuk Indonesia untuk terlibat dalam pertarungan tersebut.

Pergerakan The Big Four-US$, yen, euro dan yuan-merepresentasikan dinamika persaingan pusat-pusat perkonomian tersebut.

Terpuruknya nilai US$ pada tahun terakhir menyusutkan keyakinan banyak pihak terhadap dominasi mata uang tersebut. Hal itu sekaligus memudarkan kekuatan perekomian AS yang memposisikan dan mendukung perannya sebagai polisi dunia.

Realitas yang tentunya ditunggu banyak pihak yang sudah muak dengan tontonan kedigdayaan Paman Sam dengan orkestra demokrasi dan Ham-nya yang sangat sering terdengar sumbang.

Munculnya kekuatan baru ekonomi Uni Eropa dan ekspektasi kedatangan Cina sebagai raksasa baru di bidang ekonomi merupakan berita yang terus menggertak para ekonom, pebisnis dan politisi AS.

Pada tahun 2003 misalnya, depresiasi US$ terhadap euro mencapai 20% setelah menyentuh level 1,27. Sementara upayanya untuk menjaga keseimbangan dengan melepas patokan yuan pada posisi level 8,3 untuk setiap US$ tidak mudah dilakukan.

Upaya AS mencari dukungan pada yuan dan yen bisa dipahami karena kedua negara tersebut secara bersama-sama memiliki cadangan mata uang asing dalam komposisi global mencapai lebih dari 50%.

Itulah sebabnya sejak lama, tertekannya US$ mengundang kegundahan yang luar biasa, termasuk dari ekonom sekelas Paul Krugman. Menulis artikel di New York Times, 4 November 2003 berjudul This Can't Go On, Krugman menyarankan agar pengambil keputusan di Washington segera keluar dari kondisi tersebut.

Motif politik

Para politisi di AS malah sudah lebih awal berteriak. Pada 18 Juli 2003, senator Charles Schumer menuduh Cina merupakan penyebab kemandekan dan defisit perekonomian di negara itu. Industri manufaktur AS, tegasnya, bisa terkapar oleh kekukuhan Cina mempertahankan mata uangnya.

Senator Elisabeth Dole juga mengatakan bahwa devaluasi mata uang Cina menyebabkan rendahnya harga barang yang menyulitkan ekspor AS untuk berkompetisi. Lain lagi senator Lindsey Graham yang bahkan meminta agar Menkeu AS melobi Beijing supaya tidak melanjutkan kebijakan yang bersifat devaluatif.

Merespons desakan para politisi itu, Menkeu AS John Snow pun dalam lawatannya ke Asia mendesak Cina untuk membiarkan nilai yuan mengikuti harga pasar. Namun Beijing tidak menanggapi secara serius permintaan AS, justru berbasa-basi dengan mengatakan pengambangan yuan merupakan Agenda pemerintah Cina, tetapi bukan suatu kebijakan yang akan dilakukan segera.

Merasa gagal melobi Cina dan Jepang, AS segera mendekati para menteri keuangan dari tujuh negara industri maju yang tergabung dalam G7 untuk menekan kedua negara tersebut.

Dalam pertemuan tahunan Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF) di Dubai, 23-24 September, para Menkeu G7 mengeluarkan pernyataan bersama yang mendorong penerapan sistem nilai tukar mengambang bebas dan mengritik intervensi bank sentral yang berlebihan di pasar uang.

Kegagalan Dubai

Komunike bersama itu membuat Jepang, yang merasa menjadi sasaran pertemuan G-7-selain Cina-mencak-mencak.

Apalagi sepekan sebelum pertemuan Dubai itu, Jepang melalui Gubernur Bank Sentralnya, Bank of Japan, Toshihiko Fukui melakukan intervensi untuk menahan penguatan mata uangnnya agar ekspornya tetap kompetitif.

Permintaan yang sama juga ditujukan untuk melepaskan pematokan yuan yang sudah berlangsung hampir satu dasa warsa.

Selain G7, IMF juga diminta turun tangan agar yuan dan mata uang Asia lainnya dibiarkan terapreasi terhadap US$. Kalau tidak, stabilitas perekonomian global bakal terancam.

Menurut Kenneth Rogoff, ekonom dari IMF, kalau saja Asia menolak untuk membiarkan mata uangnya mengalami apresiasi, maka dampak buruk akan menghantam dunia, terutama Eropa.

Namun sebagian pengamat mengatakan alasan tersebut belum terlalu tepat, mengingat sekitar 60% ekspor dari kawasan Uni Eropa masih dipasarkan untuk kawasan tersebut.

Tentu saja lobi Dubai tidak mencatat hasil yang optimal kalau tidak disebut gagal. Karena setelah itu, US$ masih terus terpuruk. Bahkan hingga awal perdagangan tahun ini membengkaknya defisit neraca dan anggaran AS terus menekan US$.

Pada Kamis pekan lalu, US$ sempat menguat dan mencapai level 1,27 terhadap euro dan 107 hingga 108 terhadap yen.

Tetapi setelah AS mengumumkan angka lapangan kerja yang jauh dari ekspektasi pasar, pada transaksi Jumat, US$ kembali melemah ke posisi 106,8 yen dan 1,28 per euro.

Memang para analis pasar uang masih optimistis terhadap kinerja US$. Defisit anggaran AS, harga komiditas bahan baku yang tinggi dan kebijakan luar negeri AS yang kontraproduktif masih bisa diimbangi dengan eskepktasi pertumbuhan perkonomian negara tersebut yang kian membaik.

Para analis bahkan merevisi perkiraan mereka terhadap pertumbuhan ekonomi AS. Berdasarakan pendapat 50 ekonom di negara tersebut, perkiraan pertumbuhan Produk Domestik Bruto Paman Sam disepakati mencapai 4,6%. Sebuah angka pertumbuhan yang cukup besar sejak 1984 yang mencapai 7,2%.

Apalagi The Fed masih memiliki kartu as untuk menaikkan suku bunga yang diperkirakan terjadi pada kuartal kedua tahun ini.

Kalau itu yang terjadi, dana yang tertarik keluar dari AS akan kembali berimigrasi ke negeri asalnya dan segera membelanjakan US$. Hal itu diperkirakan akan menjadi sentimen positif yang mendongkrak kinerja mata uang tersebut.

Apalagi Masyarakat Uni Eropa tidak sepenuhnya meraup keuntungan dengan penguatan euro. Banyak pihak yang mengatakan 1,30 euro untuk 1US$ merupakan batas priskologis.

Karena kalau tidak produk dari kawasan tersebut akan tidak kompetitif. Haruslah diakui bahwa kinerja ekonomi Eropa tidaklah sekuat yang dibayangkan.

Untuk Jerman sendiri tentu tidak terlalu bermasalah. Karena untuk tahun lalu negara yang menjadi motor perekonomian di Eropa mengalami surplus perdagangan. Apalagi ekspor Jerman ke AS hanya mencapai 10%, sementara 50% adalah untuk kawasan Eropa sendiri.

Tetapi, Eropa bukanlah Jerman. Ketidakkompakan antar negara Uni Eropa dan kerentanan perekonomian sejumlah negara di kawasan tersebut diperkirakan tidak akan menjadi basis yang cukup tangguh untuk menopang kinerja mata uang kawasan tersebut.

Memang pergerakan mata uang global saat ini berada dalam titik yang membahayakan. Presiden Bank Sentral Eropa (ECB) Jean Claude Trichet, seusai pertemuan para bankir dari bank sentral negara G-10 mengatakan melemahnya US$ berada pada titik yang membahayakan. Eropa, lanjutnya, tidak menghendaki kemerosotan mata uang AS yang semakin tajam.

Bahkan Perdana Menteri Prancis Jean-Pierre Raffain mendesak otoritas moneter Eropa untuk membawa euro pada tingkat yang lebih seusai dengan kondisi perekonomian Eropa dan AS. Karena persoalannya bukan hanya kedua kawasan tersebut, tetapi dunia.

Pertemuan Boca Raton

Berbagai peringatan para pemimpin ekonomi dan negara tersebut seakan mempersiapkan sebuah pertemuan G7 yang segera digelar di Boca Raton, Florida, Februari mendatang. Pada pertemuan tersebut, AS diperkirakan akan kembali melobi negara yang tergabung dalam kelompok G7 untuk kembali menekan Gubernur Sentral Zhou Xiachuan untuk melakukan reformasi terhadap rejim mata uangnya.

Stephen Jen, ahli strategi valas dari Morgan Stanley seperti dikutip sebuah kantor berita, yakin Eropa dan Jepang akan mendukung AS dalam upaya tersebut. Berbagai kecemasan dan lobi tersebut seakan meyakinkan analis dari Goldman Sachs bahwa Cina dalam kuartal pertama tahun ini akan merevaluasi mata uangnya.

Kendati kebutuhan revaluasi yuan untuk mendukung stabilitas mata uang dunia sebesar 10%, fund manager itu memperkirakan untuk tahap pertama hal itu akan dilakukan sebesar 2,5%.

Bahkan dalam prediksi terakhir, Goldman Sachs lebih jauh meyakini bahwa Cina kemungkinan juga akan mereformasi sistem mata uangnya dari pematokan secara langsung dengan US$ pada level 8,3 menuju sistem keranjang yang mengaitkan yuan dengan sejumlah mata uang lainnya, termasuk yen dan euro.

Akankah prediksi itu menjadi kenyataan? Kita tunggu lobi AS dalam pertemuan G7 di Boca Raton. Lebih dari itu, kita berharap G7 melakukan peran yang lebih besar, tidak sekadar menjaga stabilitas mata uang negara ekonomi kuat yang saat ini terlibat dalam sebuah pertarungan, melainkan terciptanya sebuah arsitektur ekonomi dunia yang lebih adil bagi negara-negara miskin yang tertimpa utang dan pasarnya gampang diintervensi pemain-pemain global. Sebuah harapan yang panjang, dan bukan tidak mungkin pula menjadi sekadar impian yang terus bertiarap.

Kontroversi Batam & Konsistensi Rezin Investasi

Abraham Runga Mali

Hari-hari di penghujung 2003 dilewati pelaku ekonomi Batam dengan kegembiraan yang tak terkira. Mengapa tidak? Kendati baru sebatas isu, berita akan disahkannya RUU Kawasan dan Pelabuhan Bebas Batam (Free Trade Zone) menjadi UU oleh Komisi V DPR pada awal tahun ini seakan membangunkan kembali harapan bahwa upaya Batam mengikuti jejak Shenzen, Cina, dan kawasan-kawasan bisnis yang menarik lainnya semakin mendekati kenyataan.
Tapi, mimpi itu harus dikuburkan dalam-dalam. Bahkan, untuk sekadar menjadikan Batam semenarik Labuan (Malaysia Timur), Subic (Filipina) atau Jebel Ali (Dubai) makin tak ter-bayangkan. Apalagi berangan-angan menjadi seperti Cayman Island, Karibia dan Singapura agaknya masih jauh panggang dari api.

Saat itu, terbersit harapan agar pengesahan UU tersebut menjadi gong yang mengakhiri pencanangan 2003 sebagai Tahun Investasi. Tapi, justru sebaliknya, Otorita Batam dan pelaku bisnis di kawasan tersebut harus menghadapi kenyataan lain.

Pemicunya adalah Peraturan Pemerintah No. 63 Tahun 2003, tentang pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) di Batam, yang sudah sejak beberapa tahun lalu ditunda, sehubungan dengan status hukum daerah itu.

Melalui PP itu, terhitung sejak 1 Januari 2004 pemerintah mengenakan PPN dan PPn-BM atas kendaraan bermotor beroda dua atau lebih, rokok dan hasil tembakau lain dan minuman beralkohol (Pasal 4 ayat 1).

Untuk tahap kedua, mulai 1 Maret 2004, dikenakan pajak atas barang-barang elektronik yang menggunakan baterai dan listrik (Pasal 4 ayat 2). Selain itu, komoditas lainnya bisa saja dikenakan PPN dan PPn-BM berdasarkan keputusan Menkeu paling lama setiap enam bulan (Pasal 4 ayat 3). Begitu juga, menyangkut pengenaan PPN berkaitan dengan pemasukan barang dari daerah lain di luar Batam (Pasal 5).

Kecemasan baru

Tak pelak, keluarnya PP 63/2003 itu menandai sebuah kecemasan baru yang kian mendalam. Persoalannya bukan sekadar pengenaan pajak dalam PP tersebut, tetapi lebih kepada visi dan konsistensi pemerintah dalam mengatur Batam.

Tidak terlalu mengherankan jika sejumlah asosiasi pengusaha sepakat membentuk tim khusus yang akan memperjuangkan pembatalan PP itu. Kendati, harus diakui, PP tersebut keluar bukan tanpa alasan, karena diharapkan dapat menggenjot penerimaan negara dan mendongkrak ekspor.

Menurut Abdul Karim Lesar, konsultan bisnis internasional dari Abda Capital Investco, maraknya berita tentang penyelundupan kendaraan bermotor di sekitar Batam serta tidak satunya visi dan misi para pengusaha serta pengelola kawasan itu mengenai FTZ, dimanfaatkan pemerintah untuk menunda pembahasan RUU-nya dengan DPR, walau ada rencana pada 16 Januari 2004 mulai dibahas di DPR.

Memang, pemerintah telah lima kali menunda penerapan PPN dan PPnBM agar tidak ada kesenjangan waktu menjelag berlakunya Undang-Undang FTZ.

Dalam kevakuman tersebut, munculah PP yang menimbulkan reaksi kontroversial. Itulah sebabnya, sejumlah kalangan me-nilai terbitnya PP tertanggal 31 Desember 2003 itu sebagai bom waktu yang bisa me-mukul para pengusaha di Batam.

Mayoritas pengusaha memang secara langsung tidak terkena peraturan tersebut. Tapi, hubungannya yang luas dengan berbagai pengusaha di luar kawasan industri dikhawatirkan akan meningkatkan biaya, terutama dari bidang jasa di luar industri yang dikerjakan oleh para UKM yang saat ini mencapai 10.000.

Misalnya, mereka yang banyak menggunakan spareparts dari barang impor akan menaikkan biaya karena menggunakan komponen eks luar negeri yang akan terkena pajak.

Kelompok penentang PP ini berargumen kalau hanya untuk menunjang ekspor, bukan hanya soal pajak yang berpotensi menambah Rp500 miliar ke kocek pemerintah.

Yang lebih mendesak adalah pembenahan pelabuhan sebagai sarana penunjang yang saat ini belum memadai, sehinga ekspor barang Indonesia masih banyak bergantung pada Singapura. Pengangkutan barang oleh Daily Express dari Batam melalui Singa-pura merupakan kenyataan yang susah disangkal.

Sementara soal kecemburuan daerah lain mengenai pembayaran pajak bisa ditepis dengan kenyataan lain bahwa pada 2002, Batam mampu menghasilkan pajak penghasilan Rp907 miliar.

Bahkan, pada 2003 penerimaan pajak dari kawasan itu menembus Rp1 triliun. Artinya, walaupun Batam selama ini dibebaskan dari PPN dan PPnBM, kawasan itu tetap mencatat tax ratio tertinggi, yaitu 20%.

Tak hengkang

Meski begitu, pemerintah tampaknya yakin penerapan PP itu tidak akan mempengaruhi keputusan investor asing untuk hengkang dari Batam. Pasalnya, menurut Adjat Djatmika, kepala Kantor Pelayanan Pajak Batam, industri yang berorientasi ekspor akan tetap mendapatkan fasilitas bebas pajak.

Bahkan, pengusaha yang selama ini mengandalkan produk impor diperkirakan akan melakukan substitusi dengan barang lokal. Pemerintah juga berjanji akan memberikan insentif, antara lain kemudahan mengurus izin kepada menkeu sebagai kawasan berikat bagi pengelola kawasan industri paling lambat 90 hari sejak penerapan PP itu.

Bahkan, menurut Agussahiman, kepala Dinas Pendapatan Daerah Batam, jika PP berhasil diterapkan, Batam akan mendapat kompensasi Dana Alokasi Umum (DAU) Rp450 miliar.

Di sisi lain, Menko Perekonomian Dorojatun Kuntjoro-Jakti berjanji bahwa pemerintah akan menyelesaikan RUU FTZ Barelang (Batam-Rempang-Galang) pada masa sidang terakhir DPR. Itu berarti pemerintah dan DPR memberi sebuah harapan bahwa RUU itu akan selesai sebelum Pemilu.

Di sinilah letak persoalannya. Janji ini, serta keluarnya PP 63/2003 tersebut, justru mencuatkan pertanyaan atas keseriusan dan kecerdasan pemerintah pusat dalam memformulasikan visi Batam di tengah arus persaingan ekonomi global dan tuntutan otonomi daerah yang kian tinggi.

Padahal keseriusan ini mempengaruhi tingkat kepastian hukum dan konsistensi kebijakan yang merupakan syarat fundamental bagi sebuah keputusan investasi.

Jika ditelusuri, sejak 1992 keluar Kepress mengenai kawasan Bon-ded Zone yang mencakup wilayah Batam, Rempang, Galang dan Galang Baru serta 39 pulau kecil di sekitarnya, di bawah suatu Badan yang disebut Otorita Pengembangan Industri Pulau Batam (Otorita Batam). Sejak saat itu, kawasan tersebut mendapat insentif pembebasan PPN, PPn BM dan BM untuk menunjang aktivitas bisnis dan mendorong ekspor.

Namun, ketidakpastian status Batam mencuat ke permukaan sejak April 2000 karena pemerintah akan memberlakukan PP-39/1998 yang menghapus semua pengecualian perlakuan pajak setelah mantan Presiden Soeharto menandatangani Letter of Intent yang disodorkan IMF.

Tentu saja hal ini memancing resistensi dari komunitas Batam sehingga berkali-kali ditunda hingga Desember 2003.

Ketidakpastian kian menguat ketika pada 1999 diberlakukan UU No. 22 tentang otonomi daerah yang mendorong terbentuknya pemerintahan kota (Pemkot) Batam yang selanjutnya membawa kawasan tersebut pada perseteruan konsep yang berkepanjangan lantaran sering berbeda pendapat dengan Otorita Batam.

Kontroversi kian memuncak saat pemerintah pada pertengahan tahun lalu merekomendasikan FTZ hanya secara enclave atau hanya pada kawasan industri saja.

Masih wacana

Semua pihak boleh mengklaim telah berjuang untuk membangun Batam. Yang pasti investasi sekitar Rp12 triliun untuk membangun kawasan tersebut melalui Otorita Batam, hasilnya saat ini belum optimal. FTZ, apapun bentuknya, masih sekadar janji dan wacana.

Memang terbetik harapan, agar anggota DPR dan pemerintah yang tenggelam dalam hiruk pikuk Pemilu masih menyisakan ruang dan waktu untuk merampungkan RUU FTZ.

Sebab, Singapura, negara tetangga yang juga berkepentingan dengan geostrategis selat Malaka, sudah beraksi jauh meninggalkan Batam yang masih berkutat soal visi.

Masih segar dalam ingatan ketika pada 6 Mei 2003 di ruang timur Gedung Putih, Washington DC, George Bush dan Goh Cok Tong menandatangani Perjanjian Perdagangan Be-bas antara kedua negara (USS-Free Trade Agreement), yang menghapus beban tarif pabean kedua negara US$33 miliar.

AS juga akan memberikan fasilitas istimewa berupa pembebasan bea masuk terhadap 92% impor dari Singapura dan sisanya akan dihapus dalam waktu delapan bulan.

Di satu pihak, Batam, Bintan dan kawasan sekitarnya akan mendapatkan manfaat positif dari perjanjian tersebut.

Tetapi, di pihak lain Batam dan Kepulauan Riau akan semakin tergantung pada Singapura sebagai pusat distribusi perdagangan dan perniagaan. Ini merupakan pukulan telak bagi negara besar dan potensial seperti Indonesia.

Tentu ini mirip kekalahan Majapahit tempo dulu dalam merebut persaingan di wilayah itu dari kesultanan Malaka yang baru menerima agama Islam tetapi bersedia me-minta perlindungan dari penguasa Cina untuk mengamankan kawasan tersebut.

Dari sinilah awal keruntuhan Majapahit karena pedagang pesisir Utara Jawa dan dari wilayah lain Nusantara lebih berorientasi ke Malaka dari pada harus membawa upeti ke pusat kerajaan yang berada di pedalaman dengan birokrasi yang lamban, feodal dan sentralistis.

BEJ di Tengah Pertarungan Dana Global

Abraham Runga Mali

Tulisan ini dibuat pada 13 Januari 2004, saat Bursa Efek Jakarta membukukan kinerja yang mantap.

Pada penutupan perdagangan akhir pekan lalu bursa mencatat kinerja yang menakjubkan. IHSG (Indeks harga saham gabungan) di Bursa Efek Jakarta bertengger di posisi tertinggi dalam sejarah pasar modal Indonesia, yaitu 753,69. Berbagai spekulasi merebak untuk mencari faktor pemicu paling signifikan yang mendongkrak bursa ke tingkat yang sangat meyakinkan.
Sejak perdagangan dibuka awal tahun, indeks sudah memperlihatkan kinerja yang bagus, sudah menyentuh posisi 725,47, yang merupakan angka tertinggi sejak 1999. Kebetulah saat itu perdagangan dibuka oleh Presiden Megawati Soekarnoputri. Seolah-olah faktor kunjungan politis juga turut meransang kinerja bursa.

Memang pada saat kunjungan itu, sejumlah petinggi perusahaan BUMN yang sudah go public yang menyertai kunjungan Presiden berkesempatan menyampaikan proyeksi kinerja perusahaan yang prospektif. Misalnya Telkom, Indosat dan sejumlah perusahaan blue chips lainnya. Serta-merta transaksi di sejumlah perusahaan itu memicu kenaikan indeks.

Sebenarnya sejak 2003 BEJ sudah memperlihatkan kinerja yang memuaskan, dengan meroketnya IHSG sebesar 62,82% dari posisi 424,94 pada penutupan perdagangan akhir 2002 menjadi 691,90 pada penutupan pasar akhir 2003. Itu berarti Presiden hanya memanfaatkan momentum untuk mendongkrak kinerja pribadinya yang sebenarnya belum memperlihatkan hasil yang optimal.

Karena kendati kondisi makro ekonomi Indonesia cukup memuaskan, hal itu tidak mencerminkan realitas perekonomian secara keseluruhan. Meskipun target pertumbuhan ekonomi mencapai 4,8% dan inflasi berhasil ditekan sebesar 6,5%, angka pengangguran dan target ekspor serta realisasi investasi belumlah memuaskan.

Faktor global

Untuk memahami kinerja BEJ, argumentasi lain yang harus dikemukakan adalah kinerja bursa global dan regional. Bursa Indonesia sebagai emerging market mendapat suntikan yang luar biasa dari situasi regional dan global. Dalam konteks ini, peran fund manager asing tak bisa diremehkan.

Kalau pelaku pasar Indonesia jeli, sebenarnya sejak 2003 aliran dana (capital flow) ke sejumlah bursa negara berkembang sudah dimulai. Tidak kurang Anne O. Krueger, direktur IMF, pada akhir November tahun lalu sudah memperkirakan hal tersebut. Hal itu terungkap dalam pidatonya pada 20 November dengan judul Maintaining the Miomementum: Emerging Market Policy Reform in 2004.

Menurut dia, tingkat pertumbuhan global yang dilansir pada September 2003 mengalami kenaikan 3,25%, kemungkinan akan naik menjadi 4% pada 2004. Seperti yang ditulis Financial Times, 5 Januari 2004, kawasan yang menjadi dinamo bagi pertumbuhan ekonomi tersebut tidak lain adalah Asia Timur, terutama Cina, Korea Selatan dan Taiwan.

Dua negara besar, yaitu Jepang dan Amerika Serikat (AS) yang berada dalam satu kawasan Asia Pasifik bersama Cina akan memberi dukungan yang sangat besar. Apalagi, pertumbuhan ekonomi dua negara itu membaik dibandingkan periode sebelumnya.

Asia Tenggara, tulis John Edward, tentu mendapat imbas positif. Karena kompetisi perekonomian Jepang dan Cina akan mencari mitra strategis di kawasan terdekat yang juga sangat potensial. Itulah sebabnya Jepang sangat bersemangat mengusahakan perjanjian perdagangan dengan Korea Selatan, Thailand, Malaysia dan Filipina setelah melakukan perjanjian Free Trade dengan Singapura. Sementara Cina yang telah melakukannya dengan Thailand akan melakukan hal serupa dengan sejumlah negara Asia Tenggara lainnya.

Perkembangan ekonomi di kawasan itu akan menarik aliran dana global ke sejumlah kawasan. Karen itu, tidaklah mengherankan jika harga saham di bursa Asia menguat sehingga menggangkat indeks MSCI Asia-Pasifik. Indeks Morgan Stanley Capital Internasional (MSCI) Asia Pasifik pada 2003 menguat 38% menjadi 89,01.

Realitas itulah yang meyakinkan Steven Koh, ahli strategi ekuitas Asia di Standard and Poor's, bahwa bursa di kawasan Asia akan bertumbuh 15% hingga 20% pada 2004. Hal itu, jelasnya, terutama dipacu oleh kinerja pasar Hong Kong, Indonesia, Korea Selatan dan Malaysia. Realitas perekonomian di kawasan tersebut seakan mengabaikan berbagai isu negatif seperti serangan teroris, SARS maupun persaingan dagang antara Cina dan AS.

Secara global, menurut perhitungan Institute International Finance, Inc, aliran dana (net private capital flows) ke emerging market telah meningkat dari US$121 miliar pada 2002 menjadi US$162 miliar pada 2003. Angka ini diperkirakan akan meningkat menjadi US$186 miliar pada tahun ini seiring membaiknya perekonomian sejumlah negara utama, termasuk AS.

Khusus untuk investasi portofolio (net portfolio equity) yang masuk ke pasar negara berkembang pada tahun lalu mencapai US$13 miliar. Sementara pada 2002 justru terjadi aliran dana ke luar sebesar US$1 miliar. Pada 2004 aliran dana portofolio yang masuk diperkirakan US$17 miliar.

Sedangkan untuk pasar Asia Pasifik, dana aliran portofolio ini mencapai US$11 miliar pada 2003, atau naik dibandingkan 2002 yang hanya US$2,6 miliar. Pada tahun ini jumlahnya diprediksi mencapai US$13,3 miliar, di mana Cina dan Korea akan menyerap sekitar US$10 miliar. Cina juga menyerap 85% dari total nilai investasi langsung sebesar US$60 miliar pada 2003.

Faktor pemilu

Melihat aliran dana global tersebut, amat disayangkan kalau kita tidak mengambil bagian untuk mendapat keuntungan yang optimal. Dana yang masuk tersebut tentu akan diperebutkan oleh sejumlah pasar modal di dunia. Karena itu perlu diwaspadai agar peristiwa pemilu nanti tidak menjadi faktor negatif yang akan merecoki para investor global.

Kunjungan Presiden Megawati Soekarnoputri pada awal tahun ini seharusnya menjadi ajakan yang bagus untuk semua politisi dan petinggi di negara ini agar bahu-membahu menjadikan Pemilu sebagai momentum yang tepat untuk meningkatkan citra bangsa ini sebagai negara yang benar-benar demokratis dan bebas dari KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme). Negara yang demokratis dengan tingkat kepastian hukum dan politik yang tinggi merupakan jaminan bagi sebuah investasi.

Bahkan lebih dari itu, untuk jangka panjang, para politisi dan pemimpin negara perlu segera menciptakan pasar modal agar lebih memberi manfaat kepada lebih banyak orang di Indonesia. Pasar modal tidak sekadar alat untuk mencari dana global dan kemudian memberi pendanaan pada sejumlah perusahaan dan mencetak gain kepada investor asing serta segelintir orang di Jakarta.

Karena itu, selain berkepentingan menciptakan pasar yang likuid dan transparan, pemerintahan hasil Pemilu 2004 harus ikut mempromosikan pasar modal. Dengan demikian, semakin banyak orang ikut menikmati keuntungan, termasuk investor lokal dan perusahaan kecil yang beroperasi di berbagai pelosok Nusantara.

Kalau tidak demikian, pasar modal Indonesia tidak jauh berbeda dari bursa yang dikembangkan pada era penjajahan Belanda dahulu. Pada masa VOC, Belanda pun sudah menjadikan bursa Jakarta sebagai sarana mencari dana global untuk mendanai kegiatan kolonialismenya. Inilah tantangan buat Megawati dan para capres yang bertarung pada Pemilu 2004. Jangan sampai indeks BEJ dan kenaikannya hanya jadi indikator bagi investor global dan segelintir orang di negara ini.

In God We Trust

Abraham Runga Mali

Seorang pertapa Budha, Vidya, melintasi pinggir kota Bangkok. Dia harus menjalani askese dengan menjadi pengemis di penggiran kota itu. Mengemis supaya bisa makan dan minum secukupnya seturut aturan Vihara..
Latihan hidup seperti itu pada awalnya tidak mudah dihayati. Apalagi, Vidya sudah terbiasa memiliki cukup uang. Maklum, dia pernah menjadi direktur di sebuah bank swasta di kota tersebut.
Menjadi tidak punya uang dan menggelandang tentu tidak mudah bagi Vidya. Karena itu, kendati harus terus mengosongkan dirinya dari segala macam persoalan, pertanyaan soal uang terus menghantui dirinya. Suatu ketika dia menemui gurunya dan menanyakan makna latihan laku tapa itu.
“Uang bukan segalanya-segalanya dalam hidupmu. Tinggalkan itu dan kosongkanlah dirimu,” begitu gurunya berpesan.
Kita bukan pertapa seperti Vidya. Tetapi, kemampuan memperlakukan uang secara bijak tidak hanya milik Vidya. Kita juga. Dan pasti juga tidak mudah. Apalagi pada jaman yang kental dengan semangat kapitalis-materialis.
Karena kesibukan mencari uang, kita sering kehabisan tenaga dan waktu untuk mempersoalkan sikap kita terhadap uang. Padahal, yang terakhir ini bisa saja lebih menentukan kualitas hidup seseroang.
Dalam ilmu spiritualitas dikenal dengan disposisi bathin, kesiapan hati dalam menyikapi realitas, termasuk terhadap uang. Soal kecondongan bathin dan cara pandang kita tentang uang. Kalau terlalu terpaut, uang malah meracuni. Itulah sebabnya, banyaknya uang dan ketepatan dalam mengaturkan keuangan tidak bebanding lurus dengan kebahagiaan.
Apakah kita lalu harus memuja kemiskinan dan penderitaaan. Tentu tidak. Karena kemiskinan dan penderitaan pun sering kali menjadi alasan yang kuat bagi seorang untuk mengutuki Tuhan dan membenci sesamanya.
Tentu lain hasilnya, kalau penderitaan hidup dan kemiskinan mendorong Anda untuk berpasarah pada Tuhan, membuka diri dan menjalin kerja sama dengan sesamanya. Orang-orang beragama menganut pandangan ini.
Konon, menurut pengalaman dan ajaran guru-guru agama, di sinilah letak kebahagiaan. Manusia menjadi tahu diri, dari mana asalnya dan ke mana perginya. Dia lalu paham bahwa hidupnya adalah sebuah ziarah bersama dengan yang lain menuju Penciptanya.
Kendati demikian, pendapat kaum spiritualis dan agamawan ini tidak bebas dari oposisi. Banyak pemikir yang tidak sepaham dengan pendapat ini. Salah satunya adalah Frederick Nietsche.
Menurut dia, orang-orang yang sering terus berpasrah itu bermental budak. Mereka tidak memiliki vitalitas yang bisa menentukan hidupnya sendiri, tanpa campur tangan otoritas lain, termasuk Tuhan. Memang Tuhan itu sudah mati, kata dia. Kehendak, otonomi diri, itu paling penting. Jadi, berjuang dan atur dirimu baik-baik, demikian pesan sang filsuf. Tak perlu ada otoritas ilahi yang mengatur langkahmu.
Kita sering tidak sepakat dengan Nietsche. Tapi terkadang, watak kita lebih keras dari sang filsuf ini. Hanya saja mungkin kita malu-malu berteriak bahwa Tuhan sudah mati. Tapi, dalam kenyataan, kita meminggirkan peran Tuhan. Penggantinya adalah Uang. Uang menjadi ‘sebab’ dan ‘tujuan’ dari segala tingkah laku dan perbuatan kita. Uang berbicara, uang menyelenggarakan semuanya. Kita telah ‘menuhankan’ dia. Kita adalah pengabdinya yang setia.
Sebagai orang yang mengakui beriman, bathin pun bergulat. Maklum, kita tidak bisa mengabdi pada dua tuan. Harus memilih, Tuhan atau Uang. Pasti Tuhan, demikian pilihan orang beriman. Itu lihat cucu-cucunya Lincoln di Amerika Serikat. Sebagai bukti keyakinannya kepada Tuhan, mereka tulis “In God We Trust” dalam mata uangnya.
Asal saja tolong diingat kalau itu bukan solusi. Pegulatan bathin jalan terus. Setiap kali, setiap hari. Anda tetap masih harus memililih dan bersikap. Semoga Anda berada pada jalan yang benar!.

Sol Invictus

Abraham Runga Mali

Renungan meyambut Hari Natal dan Tahun Baru

Setiap hari raya Natal, 25 Desember, orang Kristen memperingati ‘dies natalis’ (hari kelahiran) Yesus. Setelah itu, delapan hari sesudahnya, 1 Januari, dirayakan hari baru pada awal tahun yang ditetapkan berdasarkan tampilnya Yesus dalam pentas sejarah umat manusia. Perhitungan waktu yang didasarkan pada kelahiran Yesus sebagai Mesias atau Masehi itu meruapakan alasan mengapa kalender yang dipakai hingga saat ini disebut kalender masehi.
Tapi, mengkaitkan perhitungan waktu ‘sejarah’ dengan peristiwa kelahiran Yesus itu justru mendatangkan pertanyaan yang sukar dijawab. Karena kemudian muncul pertanyaan, mengapa kedua hari itu tidak jatuh pada tanggal yang sama? Mengapa kelahiran Yesus tidak jatuh pada 1 Januari? Mengapa Natal yang pada 25 Desember tidak dijadikan awal perhitungan kalender?
Persoalannya, Alkitab yang menjadi sumber kesaksian utama kehidupan Yesus itu tidak banyak membantu untuk menguak fakta kelahiran Yesus. Maklum, Alkitab itu bukan buku sejarah. Dia adalah buku pengalaman iman. Dari awal, para murid Yesus tidak tertarik pada persoalan sejarah kehidupan Yesus. Termasuk murid-murid yang yang sempat menulis kesaksian itu.
Bagi mereka, kelahiran Yesus bukan titik tolak pengalaman. SebalikNya, kematian dan penderitaanNya. Itulah sebabnya kisah penderitan dan kematian Yesus merupakan bagian yang paling awal ditulis dari semua episode Perjanjian Baru. Bahkan, menurut sejumlah ahli kekristenan, bagian Alkitab inilah yang paling mendekati kebenaran sejarah. Yaitu peritiwa sekitar perjalanan Yesus menapaki ‘via dolorosa’ (jalan penderitaan) saat memanggul salib hingga kematianNya di bukit Golgota.
Pada bagian ini cerita tentang Yesus tampak sangat detil. Sedangkan tentang bagian kehidupan yang lain—termasuk kisah kelahiran dan maa kecilNya—hanyalah penguat penjelasan tentang makna penderitaan dan kematian Dia.
Memang dalam kekristenan bagian yang harus terus dikenang adalah ‘perjamuan terakhir’—menjelang kematianNya--saat Dia membagikan roti dan anggur kepada para muridNya.
Karena di sinilah secara simbolis Dia menjelaskan ‘makna paling dalam’ kehidupanNya. Dia hidup untuk membagikan diriNya kepada sesama. Roti adalah ‘tubuh” dan anggur adalah ‘darah’ yang harus siap dihidangkan kepada sesamja. Dia meminta para pengikutNya untuk meneladani Dia dengan menjadi ‘roti’ dan ‘anggur’ bagi orang yang membutuhkan.
Permintaan yang tidak mudah dijalankan. Karena itu pada peristiwa Natal orang Kristen diingatkan akan teladan utama ini. Dia datang dalam kesederhanaan. Sebuah cerita awal dari seluruh hidupNya yang datang untuk melayani, solider dengan sesama. Tidak lebih dari itu.
Terkadang pesan ini dikaburkan dengan perayaan Natal yang gemerlap. Sebuah suka cita akan kedatangan Mesias yang terkadang mendekati foya-foya. Natal, terutama kemeriahan perayaannya saat ini lebih merupakan sebuah kebudayaan yang ditambahkan kemudian.
Konon, hingga abad ke empat orang Kristen merayakan Natal pada 6 Januari yang hingga sekarang masih dipertahankan oleh kalangan Kristen Ortodoks. Pada 315 M, Constantinus mengeluarkan peraturan keagamaan yang mengadaposi tradisi agama asli orang-orang Roma yang menyembah Dewa Matahari. Tanggal 25 Desember yang merupakan hari peringatan Dewa Matahari yang dikenal sebagai Sol Invictus. Lalu hari Matahari (Sun-day) juga diusulkan menggantikan hari libur yang diberlakukan hingga sekarang ini.
Jadi bukan hanya penetapan tanggalnya saja, tetapi cara merayakan lebih merupakan urusan tradisi dan kebudayaan bangsa Eropa. Hampir tak terkait sama sekali dengan sosok historis Yesus berbangsa Semit dan merupakan pemilik pertama tradisi pengakuan monoteisme melalui Yahweh yang mereka sembah. Selanjutnya Natal menjadi sedemikian ceria karena embel-embel di sekitarnya seperti lagu Natal, pohon dan gua Natal, sandiwara, kartu, hadiah, pakaian dan Sinterklas.
Ujung-ujungnya, Natal bukan hanya urusal ritual keagaamaan dan kebudayaan, tapi juga urusan ekonomi keluarga Anda.

Masyarakat tanpa Sekolah

Abraham Runga Mali


Deschooling society. Masyarakat tanpa sekolah. Itulah pemikiran yang dilontarkan Ivan Illich. Ekstrim memang. Maklum, itu adalah protes seorang tokoh yang menyuarakan pembebasan dari Amerika Latin bersama Gustavo Guttierez, Leonardo Boff, Juan Luiz Segundo dan masih banyak yang lain.
Kalau Guttierez dan kawan-kawan sibuk mengkutak-katik pemahaman teologis terhadap realitas kemiskinan di Amerika Selatan, maka Illich lebih menyoroti soal pendidikan. Tapi, mereka sama dalam satu hal, yaitu memakai pisau analisa Karl Marx dalam memahami realitas sosial.
Karena itu, sudah bisa ditebak arah perjuangannya, yaitu menentang para pemilik modal dan bentuk-bentuk penindasan. Termasuk gereja yang sering berselingkuh dengan pemilik modal menjadi sasaran mereka. Itulah sebabnya bersama rekan-rekanya seperti Boff dan Guttierez yang juga pastor, Illich harus terus berkonfrontasi dengan pemimpin tertinggi mereka di Vatikan.
Tentu Illich tak ambil pusing. Dia tetap menyulut pemikiran bahwa sekolah sudah diperalat oleh para penindas. Sekolah sudah dikorupsi. Menurut dia, baik murid maupun guru di Amerika Latin adalah orang-orang frustasi. Frustasi dengan biaya sekolah yang tinggi. Mereka tertindas. Karena itu harus segera dibebaskan.
Illich yakin penindasan itulah yang akan dilanggengkan melalui insitusi yang bernama sekolah. Karena terbukti sekolah tak mengubah apa-apa. Kalau berubah, itu hanya pola hidup konsumtif yang ujung-ujungnya melanggengkan kemiskinan orang Amerika Latin. Orang kaya tetap makin kaya, orang miskin menjadi semakin miskin.
Sekolah tak memberikan pemikiran alternatif. Yang ada hanya tumpukan informasi. Tak ada kritik. Dengan pemikirannya yang digodok di CIDOC (Centre for Intercultural Documentation) yang didirikannya di Puerto Rico tahun 1960-an, dia ingin mencair kebekuan itu dan membebaskan orang-orang miskin dari belenggu sekolah.
Dengan menggagas ‘to de-school’, (tanpa bersekolah), dia ingin menghancurkan kekuasaan orang yang mewajibkan orang lain untuk melakukan ‘pertemuan’ di sekolah. Siapa yang mewajibkan mereka? Atas kuasa dan kepentingan apa mereka menyelenggarakan sekolah? Informasi seperti apa yang berlalu lintas di lembaga tersebut?
Kritiknya terhadap sekolah menyangkut beberapa hal berikut. Pertama, adalah kritik terhadap sekolah sebagai proses institusionalisasi. Proses ini sering menghancurkan kepercayaan diri dan kapasitas diri individu dalam memecahkan persoalan. Proses ini seperti parasit dan kanker yang membunuh kreativitas anggota masyarakat.
Kedua, adalah kritik terhadap para ahli dan keahlian yang dihasilkan lembaga pendidikan formal ini. Menurut Illich, mereka itu lebih banyak memberikan kerusakan dari pada manfaat bagi masyarakat.
Mereka menganalisa situasi politik dan sekaligus mengambil keuntungan dari situasi tersebut.. Mereka mengontrol produksi informasi dan menentukan mana yang valid dan mana yang tidak.
Ketiga, para profesional dan institusi yang terlibat dalam institusi sekolah menjadikan proses belajar sebagai komoditas. Untuk mengambil keuntungan, mereka memonopoli produksi informasi, mereka membatasi distribusinya dan mereka menentukan harganya. Tak mengherankan kalau biaya sekolah di Amerika Latin saat itu sangat tinggi.
Sekolah yang demikian, harus segera diumumkan kematiannya. Tak perlu ada sekolah lagi. Karena yang penting dalam pendidikan menurut dia adalah proses penyadaran diri. Konsientisasi. Anak didik harus dibimbing untuk menyadari dengan kondisi hidupnya yang tertindas. Dan itu tak perlu harus berlangsung di sekolah.
Proses konsientisasi bisa terjadi di mana-mana. Tentu tidak berhenti di situ. Yang terpenting adalah kemampuan untuk mengubah kondisinya. Para petani, nelayan dan buruh pertama-tama harus memahami kondisi mereka masing-masing. Mereka yang lebih mengerti kondisinya. Tak harus diajari orang lain. Mereka harus bisa merumuskan kebutuhan dan langkah-langkah yang perlu untuk perubahan.
Selanjutnya, menurut dia, adalah motivasi bagi seseorang untuk mencari informasi yang penting bagi dirinya untuk perbaikan hidupnya. Jadi belajar seumur hidup (long life learning) sangat dianjurkannya. Masyarakat itu adalah sekolah tempat kita belajar tanpa henti.
Pembrontakan Illich berujung pada sebuah solusi. Dari proklamasi ‘masyarakat tanpa sekolah’, Illich sampai pada keyakinan bahwa ‘masyarakat adalah sekolah’. Sampai di persimpangan ini, Illich yang sosialis bertemu dengan Robert T. Kiyosaki, seorang ahli keuangan Amerika Serikat yang tentu sangat kapitalis.
Tentu lain Illich, lain Kiyosaki. Kalau yang pertama mencetuskan ‘kebebasan dari’ penindasan ekonomi, maka yang kedua berbicara soal ‘kebebasan untuk’ mencapai sebuah stabilitas ekonomi. Sama-sama bermimpi tentang kehidupan yang lebih baik. Dan, keduanya pun sepakat bahwa mimpi itu bisa diraih tanpa harus dibelenggu pada persoalan institusi yang namanya sekolah. U

Anda adalah Pemimpin

Abraham Runga Mali

Tulisan ini dibuat sebagai komentar atas pendapat Maxwell tentang pemimpin dan kepemimpinan

Memahami buku John C. Maxwell The Irrefutable Laws of Leadership (21 Hukum Kepemimpinan Sejati, 1998) tak boleh dipisahkan dengan buku-bukunya lain. Beberapa buku Maxwell yang bisa disebutkan di sini adalah Leadership 101: What Every Leader Needs to Know (2002), Failing Forward: How to Make the Most of Your Mistakes (2000), Attitude 101 (2002), Running with the Giants: What Old Testament Heroes Want to Know about Life and Leadership (2002), The Differencer Maker: Making Your Attitude Your Greatest Asset (2206).
Sesuai latar berlakang penulis yang adalah pemimpin rohani, pendekatan buku ini sangat psikologis spiritual. Dia mengambil nilai-nilai spiritual yang dijadikan dasar dan prinsip dalam pengembangan kemampuan memimpin.
Inti dasar dari nilai-nilai kepemimpinan tersebut adalah kemampuan mengembangkan relasi sosial dengan orang lain. Pada saat Anda bisa mempengaruhi ‘sesama’, Anda adalah pemimpin. Anda tida perlu menunggu menjabat sebuah posisi atau memangku sebuah status untuk disebut sebagai pemimpin.
Perhatikan apa yang ditulis Maxwell dalam bukunya ‘Our ability to build and maintain human relationships is the single most important factor in how wo get along—in every area of our life. (Winning With People).
Setiap orang, Anda dan saya, harus menjadi ‘pemimpin’ agar bisa lebih efektif mencapai apa yang dicita-citakan dalam kehidupannya. Karena tak bisa dihindari, Anda membutuhkan ‘orang di sekitar Anda’. Anda harus mampu mempengaruhi mereka untuk mendukung apa yang ingin diraih. Anda harus berusaha meraih kemenangan dengan dan bersama mereka.
Demikianlah sejumlah nilai kultur kepemimpinan yang hendak disampaikan Maxwell dalam buku 21 Hukum Kepemimpinan Sejati. Di sana terdapat 21 nilai atau prinsip hidup yang harus dihayati seseorang untuk memiliki kemampuan ‘memimpin’.


Untuk dapat lebih mudah memahami buku ini, pertama-tama mari kita lihat dimensi yang terkait dengan kepemimpinan. Kemudian kita akan dengan mudah melihat bahwa 21 prinsip atau nilai kepemimpinan itu melekat pada masing-masing dimensi tersebut. Kendati tidak menulis secara sistematis, tapi dimensi-dimensi tersebut dengan jelas terlihat dalam pemikiran Maxwell.

Anda mulai memasuki area kepimpinan kalau Anda memiliki visi tentang kehidupan yang lebih baik. Anda harus tahu, ada sesuatu yang ‘lebih’ yang menggerakakkan Anda untuk berubah, maju dan meninggalkan status quo. Visi kepemimpinan adalah semangat dan kemampuan melihat yang lebih baik dari yang ada sekarang. Maxwell menyebutnya dengan hukum katup (hukum 1). Keterbukaan katup, memperlihatkan kemampuan untuk melihat kebaikan di seberang sana. Energi hidup Anda digerakkan untuk mencapai itu. Katup yang tertutup adalah kebekukan hati dan pikiran yang ingin tinggal dalam kekinian, puas dengan apa adanya, merasa cukup.
Visi perubahan itu harus dirumuskan dalam tujuan. Seorang pemimpin harus mengetahui kemana kehidupan ini harus dituju. Bagaimana orang-orang disekitar Anda mau digerakkan dan dipengaruhi, kalau Anda tidak tahu kemana energi Anda dan orang-orang disekitar Anda harus diarahkan? Dalam Hukum Navigasi (hukum 4) dan Hukum Prioritas (hukum 17), Maxwell membicarakan hal tersebut. Tak mungkin seorang navigator tak mengetahui kemana kapal ‘kehidupannya’ akan berlabuh. Dari sanalah Anda bisa menentukan skala prioritas, mana yang penting dan tidak, mana yang mendesak atau tidak. Kalau Anda tahu tujuan, maka Anda akan tahu kapan Anda disebut pemenang. Kalau tujuan itu belum tercapai, hari dan pikiran Anda akan terus terganggu. Anda akan terus mencari jalan, karena Anda tidak mau disebut sebagai pecundang. Itulah Hukum Kemenangan (hukum 15)
Sebelum mempengaruhui orang lain, Anda harus memiliki sejumlah kualitas tertentu. Jangan bermimpi mempengaruhui orang lain secara optinal, kalau kualitas personal Anda tidak meyakinkan. Maka ada nilai-nilai personal yang Anda harus miliki agar Anda lebih mampu mempengaruhi orang lain. Maxwell menyebut beberapa nilai penting seperti: memiliki kehormatan (hukum 7), mempunyai karakter yang kuat yang bisa menjadi landasan yang mantap (hukum 6), memiliki semangat berkorban (hukum 18). Anda juga harus memilki hubungan yang baik dengan orang lain (hukum 10), bergaul dengan orang-orang tepat yang bisa mendukung tujuan Anda dan orang-orang Anda pimpin dalam sebuah komunitas (hukum 11). Selain itu, Anda harus menjadi pribadi yang simpatik, menarik orang lain dan memiliki kesatuan antara kata dan perbuatan, bisa dipercayai janji-janjinya, ide dan pikiran Anda didengarkan karena keluar dari komptensi dan keseriusan untuk mencapai kepentingan bersama, bukan mememanfaat orang lain untuk kepentingan diri sendiri. Maxwell membicarakan hal-hal tersebut dalam Hukum Daya Tarik (9), Hukum E.F Hutton (5), Hukum Kepercayaan (14).
Kalau Anda memiliki kualitas personal seperti di atas, maka Anda akan mudah mensinergikan kemampauan rekan-rekan dalam komunitas itu untuk mencapai tujuan bersama. Seroang pemimpin mestinya bisa memberdayakan orang lain (hukum 12). Agar pemberdayaan itu lebih optimal, Anda harus bisa menciptakan banyak pemimpin dalam komunitas Anda. Maxwell menyebutnya sebagai Hukum Reproduksi (13). Dengan semakin banyak orang yang terlibat untuk mencapai kemenangan bersama melalui banyak pemimpin-pemimpin itu, maka akan tercipta sebuah pertumbuhan yang eksplosif (hukum 20).
Kepemimpinan itu tidak terjadi dalam ruang hampa. Kepemimpinan berlangsung dalam ruang dan waktu tertentu. Untuk mencapai tujuan, bersama orang-orang yang Anda pimpin, kemampuan untuk bersabar dalam proses (hukum 3) sangatlah diperlukan. Selain itu, Anda harus pandai mencermati peluang untuk tampil pada saat yang tepat serta menggunakan momentum yang benar. Maxwell menyebutnya sebagai Hukum Waktu Yang Tepat (19) dan Hukum Momentum Besar (16). Pengalaman Anda dalam proses kepemimpinan serta kemampuan membaca peluang dalam situasi berdasarkan informasi yang selektif akan membawa Anda pada kemampuan memiliki intuisi. Seorang pemimpin harus memiliki intuisi (hukum 8). Dan terakhir, yang tidak kalah penting adalah kualitas kepeminan Anda sangat ditentukan oleh kemampuan untuk menyiapkan pengganti Anda. Berhenti memimpin pada saat yang tepat, adalah bagian dari kemampuan memimpin. (Hukum 21)

Jakarta Bukan Surga bagi Pensiunan

Abraham Runga Mali

Soal orang Indonesia yang mengadu nasib di negeri seberang, itu tentu bukan cerita baru. Kesuksesan dan tragedi yang mereka alami di Malaysia dan Timur Tengah misalnya sudah cukup menyita perhatian media massa tanah air. Tidak perlu lagi ada litani yang memperpanjang kisah mereka.
Yang justru tidak kalah menarik adalah bahwa negeri tetangga bukan saja menggiurka bagi pencari kerja, tetapi juga bagi mereka yang sudah tua dan memasuki usia pensiun dan ingin menikmati hidupnya secara lebih menyenangkan. Maka mulailah kisah tentang migrasi orang kaya Indonesia ke sejumlah negara tetangga.
Sebagai contoh, kita sebut saja namanya Pak Fredi. Di usianya yang ke 57, dia masih menjabat sebagai direktur di sebuah perusahaan besar di Jakarta. Setelah menyekolahkan dua anaknya di Canberra sejak 1995, tahun lalu dia memutuskan untuk membeli sebuah apartemen di sana. Sekarang, dia sering berhubungan dengan perusahaan penasihat keuangan untuk mempersiapkan perencanaan pensiun di negeri Kanguru.
Lain lagi cerita seorang pengusaha yang sejak krisis moneter 1997 membeli sebuah rumah di Singapura. Kendati masih menjalani bisnis di Indonesia, dia harus pulang pergi Singapura-Jakarta, karena semua keluarganya sudah berada di sana. “Mencari uang boleh di Jakarta, tetapi lebih enak hidup dan meyekolahkan anak di sana”, begitu kira-kira prinsip yang diyakininya
Ada cerita lain tentang pak Damanik yang bekerja di Frankfurt, Jerman. Sebenarnya saat pensiun tahun 1996 dari pekerjaannya di NATO untuk urusan Logistik dan Keuangan, dia bisa saja kembali ke Indonesia dan menikamati hari tuanya di sini. Tapi, hal itu tidak pernah dilakukan karena dia selalu kuatir pada ketidapkastian di bidang ekonomi dan hukum di Indonesia.

Firdaus bagi pemburu harta

Sejumlah kisah di atas membenarkan pendapat sementara orang bahwa Indonesia, khususnya Jakarta, adalah surga bagi orang kaya atau bagi mereka yang sedang memburu kekayaan. Tapi, saat mereka sudah mapan dan harus menikmati kekayaan yang dimilikinya, Indonesia yang sebelumnya bak kebun firdaus itu, berubah menjadi neraka.
Hal itu sekurang-kurangnya diakui oleh Tri Joko, Ketua Financial Planning Association Indonesia (FPAI). Mungkin menikmati kekayaan dalam arti menghambur-hamburkan uang untuk sebuah kenikmatan dan kegemerlapan duniawi seperti seks dan kekuasaan, demikian Tri Joko, bolehlah Anda masih berada di negeri ini.
“Tapi kalau orang sudah mulai tua dan masuk usia pensiun, pertimbangan sudah lain lagi. Mereka lebih mementingkan ketenangan dan lingkungan yang sehat,” ujar Dirut Panin Life itu.
Bagi mereka yang berduit, mengenal kenyamanan tinggal di luar negeri sudah dimulai sejak mereka masih aktif mengumpulkan uang alias masih bekerja. Biasanya bermula saat mereka mengirim anaknya di sekolah luar negeri. Atau perkenalan itu sudah dimulai ketika mereka melakukan investasi dengan membeli rumah atau apartemen di sana.
Apalagi kebetulan sekali agen-agen perguruan tinggi dan properti dari luar negeri sangat agresif mengincar orang kaya di negeri ini. Lihat saja apa yang dilakukan agen seperti Brady Property Consulatancy Indonesia.
Itulah sebabnya tidak mengherankan kalau dari tahun ke tahun jumlah anak orang kaya yang belajar ke luar makin bertambah banyak. Selain mutu yang lebih baik, tarif perguruan tinggi dalam negeri yang tidak lebih murah, mendorong mereka untuk hengkang ke sana. Belum lagi ada negara seperti Jerman yang membebaskan uang sekolah bagi para mahasiswanya.
Untuk investasi di properti pun, pasar di luar negeri juga menjanjikan kemudahan dan tarif kredit yang lebih murah. Di Singapura misalnya, bunga kredit yang hanya sekitar 4 persen per tahun jauh lebih murah daripada yang ditawarkan dalam negeri dengam tingkat 11 persen hingga 16 persen per tahun.
Di Australia misalnya, bank-bank menyediakan kredit dengan plafon antara 80 persen hingga 90 persen dengan jangka waktu kredit 25 hingga 30 tahun. Padahal di dalam negeri konsumen masih dibebani uang muka dan cicilan kredit yang berat.
Tidak berhenti si situ. Negara-negara tetangga seperti Singapura dan Australia tidak hanya menjejali orang kaya dalam negeri dengan urusan pendidikan dan properti. Soal kenyamanan hidup orang pensiunan akhir-akhir ini pun semakin gencar dipromosikan. Bahkan, langsung oleh instansi pemerintah negara yang bersangkutan.
Perhatikan saja tawaran isentif pajak yang diberikan pemerintahan Australia kepada warga Indonesia yang sudah sekian tahun bekerja di negara itu dan hendak menikmati pensiun di sana.
Atas nama Australian Taxation Office, Anda pasti dengan mudah menjumpai iklan di sejumlah harian berbahasa Inggris yang dirilis dalam bahasa Indonesia. Untuk melancarkan segara urusan administrasi, orang Indonesia yang tidak memahami bahasa Inggris, disediakan jasa penterjemah.
Di bawah judul Pemberitahauan Bagi Orang yang Berpenghasilan di bawah Aus$40.000, sebuah iklan pemerintah negara Kanguru itu berjanji mentransfer dana ke rekening pensiun seseroang apabila penghasilannya kurang dari Aus$40.000 setahun .
Dan apabila penghasilan Anda kurang dari Aus$27.500 setahun maka pemerintah akan menyamai kontribusi pensiun pribadi dengan perhitungan berdasarkan satu dolar berbanding satu dolar sampai Aus$1.000. Bantuan itu berlaku bagi mereka yang berusia di bawah 71 tahun dan telah menerima kontribusi pensiun dari perusahaan selama tahun tersebut.
Menurut Tri Joko soal bantuan itu merupakan salah satu contoh yang diperlihatkan betapa sejumlah negara yang sudah maju, termasuk Australia dan Singapura, memperlakukan para pensiun secara lebih terhormat. Belum lagi menyinggung soal fasilitas kesehatan bagi orang tua seperti rumah sakit, rumah jompo dan transportasi yang tentu tidak perlu diragukan lagi.
Menurut dia, perhatian kepada orang tua dari sejumlah negara maju, bisa dipahami karena dari sudut demografi, mayoritas penduduk di negara itu adalah orang tua.
Beda dengan penduduk Indonesia yang sebagian besar adalah anak-anak dan orang muda sehingga prioritas pemerintah masih pada urusan keluarga berencana, pendidikan dan penciptaan lapangan kerja.
Saking banyaknya jumlah, untuk urusan orang tua dan pensiun menyita perhatian yang luar biasa besar dari pemerintah negara maju. Masih ingat contoh pemerintah Jerman di bawah Gerhard Schroder yang belum lama ini mengalami kesulitan dalam melakukan reformasi sistem pensiun.
Tentu banyak orang tidak meragukan negara Jerman yang memang sangat terkenal dalam urusan jaminan sosial, termasuk untuk orang tua, karena memang sudah dirintis sejak pemerintahan Otto von Bismark tahun 1880.
Tapi sejak menjelang Natal tahun lalu, kanselir Jerman Gerhard Schroder harus mengambil langkah yang pahit dalam sejarah jaminan sosial Jerman. Dia harus melakukan penghematan dalam sistem pensiun.
Kalau sebelumnya 50 persen premi asuransi ditanggung negara, maka sekarang para pensiun harus membayar sendiri. Sementara umur pensiun hanya bisa dinaikkan dari 63 tahun menjadi 65 tahun.
Perubahan yang hampir sama juga dialami oleh sejumlah negara seperti Jepang, Belanda dan Italia dalam dua tahun terakhir. Sebuah reformasi yang menggambarkan bahwa di sejumlah negara maju--karena jumlah usia tua yang semakin banyak--membuat mereka sangat kesulitan dalam pemberian subsidi kepada para orang tua yang hendak menjalani usia pensiun.
Menurut Tri Joko beban yang harus ditanggung di negara maju itu mendorong mereka untuk menggaet orang-orang kaya dari negara lain untuk pindah ke negara mereka agar ikut meringankan beban tersebut. Walaupun sebenarnya, lanjut dia, faktor penolakan dalam negeri memberi kontribusi yang jauh lebih signifikan.
Dia mencontohkan makin banyak jumlah orang miskin di tanah air, yaitu 35,7 juta berdasarkan data Depsos 2002, dan rendahnya fasilitas publik—karena minimnya anggaran pemerintah yang disiapkan--mendorong orang kaya untuk lebih memilih meninggalkan Indonesia dan menikmati hari tua di negara lain.
Kemiskinan, kepadatan penduduk serta minimnya birokrasi pemerintah menjadikan Jakarta dan sejumlah kota-kota besar di Indonesia lahan subur bagi kriminalitas dan polusi. Jakarta dari hari ke hari semakin dibanjiri kaum urban yang tidak memberikan pengaruh prositif bagi tingkat kemakmuran. Maka terdesaklah orang beruang yang mendambakan kenikmatan hidup, terutama pada usia tuanya. Memang Jakarta bukan surga bagi orang pensiunan.

Tuesday, January 29, 2008

Jejak Soeharto di lantai bursa

Tulisan ini dibuat dalam rangka mengenang mantan presiden RI Haji M. Soeharto yang meninggal pada 27 Februari 2007.


Oleh Abraham Runga Mali

JAKARTA: Menghubungkan mendiang mantan Presiden Soeharto dengan pasar modal mengingatkan saya pada tahun 1995, menjelang go public PT Bimantara Citra. Karena perusahaan itu bagian dari Grup Bimantara—milik Bambang Trihatmodjo, putera Pak Harto—nuansa politisnya mencuat sangat kuat.
Sebagai jurnalis yang meliput bidang pasar modal saat itu, kami disodorkan kuisioner dari sebuah perusahaan public relations yang ikut terlibat dalam proses go public tersebut. Salah satu pertanyaan yang masih melekat dalam ingatan saya adalah dengan menjadi perusahaan publik, akankah hilang pula aroma ‘cendana’ dari Bimantara?
Jawabannya, aroma ‘cendana’ itu tidak serta-merta menguap. Bukan apa-apa, jumlah saham yang dilepas ke publik cuma segelintir. Lagi pula terendus sangat kuat saat itu bahwa perusahaan berbau ‘cendana’ tersebut pergi ke lantai bursa hanya untuk merias citra menjadi perusahaan yang lebih transparan.
Saat melaksanakan initial public offering, Bimantara Citra menjual 200 juta lembar saham baru dengan denominasi Rp500 per saham. Jumlah saham yang dijual itu ekuivalen dengan 20% dari modal disetor.
Dengan mengambil momentum 50 tahun Indonesia merdeka, manajemen perseroan—dengan duet Bambang-Rosano Barack—meyakinkan masyakat bahwa tujuan utama Bimantara ke bursa bukan untuk mencari dana, tetapi ingin mengubah citranya sebagai perusahaan tertutup.
Sebelum PT Bimantara Citra dicatatkan di bursa pada Juli 1995, perusahaan keluarga Cendana lain yang dilepas melalui pasar modal adalah PT Citra Marga Nusaphala Persada (CMNP).
Perusahaan milik Siti Hardiyanti Hastuti (Tutut) yang bergerak di bidang infrastruktur jalan tol itu go public pada awal 1995 lewat pelepasan 122 juta saham dengan nilai nominal Rp500. Jumlah ini setara dengan 24,4% dari seluruh saham yang diterbitkan.
Baru dua tahun kemudian, Desember 1997, PT Humpuss Intermoda Transportasi—milik Hutomo (Tommy) Mandala Putera—mendapat giliran go public. Anak perusahaan Grup Humpuss yang mengoperasikan pengapalan bahan bakar minyak dan gas tersebut hanya segelintir dari bisnis yang dikelola salah seorang putera mantan penguasa Orde Baru itu.
Humpus Intermoda bahkan satu-satu perusahaan keluarga inti Cendana yang masih eksis di pasar modal hingga saat ini. Dua perusahaan yang lebih dulu listing di bursa, CMNP dan Bimantara, saat ini sudah berpindah tangan.
Sejak Soeharto lengser dari kursi kepresidenan pada 21 Mei 1998, kepemilikan saham keluarga Cendana di CMNP terus menyusut. Tutut melepas seluruh kepemilikannya di perusahaan pengelola tol itu. Kepemilikan perusahaan ini kemudian jatuh ke tangan pengusaha Harry Tanoesudibyo.
Harry juga membeli saham Bambang di Bimantara lalu mengubah namanya menjadi PT Global Mediacom. Bila sebelum go public Bambang menguasai 50%, berdasarkan komposisi kepemilikan saham terakhir di lantai bursa, kini putera Soeharto itu tinggal memegang 12% lewat anak perusahaan di bawah kendalinya, yaitu PT Asriland.
Peralihan kepemilikan itu mengundang banyak selentingan di pasar. Banyak spekulasi mengatakan kepemilikan Harry di dua perusahaan itu, CMNP dan Bimantara, hanya proxi yang mengelola dana keluarga Cendana—sebuah tuduhan yang tidak mudah dibuktikan.
Tuduhan yang sangat simplistis seolah-olah orang dengan enteng mengatakan peralihan kepemilikan saham Bambang di PT Chandra Asri dan PT Try Polyta ke pengusaha Prajogo Pangestu dilakukan dengan tujuan ‘persembunyian’ itu.
Spekulasi seperti ini tentu menarik bagi para penggiat pencari harta kekayaan mantan Presiden Soeharto. Banyak data yang disodorkan oleh para penggiat tentang keberadaan harta keluarga Cendana.

Mereka bahkan dengan fasih menyebut properti yang dimiliki keluarga Soeharto dari Boston, Los angeles, London, Australia hingga sejumlah gedung dan perhotelan mewah di dalam negeri. Ada pula yang meyodorkan data bahwa banyak bank investasi, seperti Credit Suisse dan UBS, dipercayakan mengelola harta keluarga Cendana.
Dana-dana itu disimpan di Swiss, New York, dan entah di kota mana lagi. Sekali lagi itu semua masih spekulasi yang tidak mudah dibuktikan. Dengan mengganti pemilik saham dengan nama perusahaan dari British Virgin Island saja, misalnya, orang akan susah melacaknya.
Di tengah pencarian kekayaaan keluarga Cendana, kepada kita Grup Humpuss—yang dikomandoi Tommy Soeharto—paling transparan [melalui websitenya: www.Humpuss.com) mengungkapkan bisnisnya.
Melalui induk usaha itu, selain memiliki perusahaan publik Humpuss Intermedia, mereka masih mengelola sejumlah bisnis lain. Di sana ada PT Gatari Air Services yang menangani bisnis penerbangan dengan jalur khusus.
Kemudian ada PT Humpuss Pengelolaan Minyak yang mengelola migas dan petrokimia. Lalu ada PT Rante Mario yang mengelola hutan HPH seluas 114.000 di Mamuju, Sulawesi. Setiap tahun Rante Mario memprofuksi sedikitnya 28.000 m3 kayu.
Selain itu, ada PT Humpuss Aromatik yang mengelola, memproduksi, dan mendistribusikan migas. Terakhir adalah PT Humpuss Trading yang menjual hasil pengelolaan komoditas utama seperti migas dan kayu.
Kecuali lewat sejumlah perusahaan itu, keluarga Cendana sebenarnya pernah terlibat di pasar modal melalui perusahaan sekuritas, yaitu PT Pentasena Arthatama. Meski kecil, pada tahun 1990-an perusahaan sekuritas yang dimiliki Siti Hediyati Haryadi (Titiek) itu pernah memainkan peran cukup besar di pasar modal.
Perusahaan sekuritas inilah yang menjadi underwriter PT Tambang Timah—bersama Niaga Securities dan BZW Ltd—ketika go public pada Oktober 1995. Itulah sebabnya pada 1994-1995, sekuritas ini menjadi salah satu perusahaan lokal swasta papan atas bersama Makindo, Bhakti Investama, Trimegah Securities, Lippo Securities, Niaga Securities, BT Prima Securuties, Danamon Securities, dan Bumi Daya Securuties.
Keterlibatan Titiek di pasar modal bukan hanya dalam urusan bisnis di PT Pentasena. Dia pernah menjabat sebagai komisaris PT Bursa Efek Jakarta bersama Fuad Bawazir saat I Putu Gde Ary Suta menduduki posisi Ketua Bapepam.
Lebih dari itu bahkan. Pada masa inilah Titiek menjabat sebagai Ketua Masyarakat Pasar Modal (Capital Market Society/CMS) Indonesia. Lembaga nirlaba ini sempat membuat visi pasar modal dan mensosialisasikannya.
Dalam rangka memperingati 20 tahun pasar modal pada 1997, CMS di bawah komandan Titiek dengan gairah sangat besar mengadakan pameran bursa saham. Soeharto yang berada di ujung kekuasaan pun di undang ke sana.
Titiek melalui lembaga itu berkali-kali mengutarakan visinya tentang pasar modal Indonesia yang akan jadi terbesar di Asia Tenggara pada 2020. Besar karena banyak pemodal lokal yang terlibat, besar karena banyak perusahaan yang memanfaatkan pencarian dana lewat pasar modal.
Sebuah visi yang hingga satu dekade kemudian ternyata tidak berhasil dielaborasi secara serius oleh Bapepam, otoritas bursa, dan pelaku bursa saat ini. Mereka hanya lebih suka asyik-masyuk memperhatikan turun-naiknya indeks dan mereguk keuntungan.
Sangat terlambat
Keterlibatan dan perhatian anak-anak Pak Harto di pasar modal memang sangat terlambat. Mereka aktif di bursa saham—bukan tempatnya di sini untuk mempersoalkan apa motivasi dan siapa yang mengajak mereka—baru 20 tahun setelah Soeharto memaparkan visi besar tentang pasar modal, yaitu pada 1977 saat mengaktifkan kembali kegiatan bursa saham.
Kalau disimak, bukan hanya anak-anaknya, Soeharto sendiri bahkan terlambat. Kendati berkuasa sejak 1968, Pak Harto yang membangun bangsa ini dengan ideolologi kapitalis-liberal, baru pada 10 Agustus 1977 meresmikan perdagangan di Bursa Efek Jakarta.
Pada saat itu, mantan penguasa Orde Baru tersebut dengan tegas mengatakan pasar modal diminta menjadi agen pemerataan ekonomi. “….perusahaan-perusahaan diberi kesempatan untuk menjual sahamnya kepada masyarakat, dan masyarakat diberi kesempatan untuk membeli saham-saham tersebut.”
Pasar modal diharapkan menjadi salah satu alat pencapaian demokrasi ekonomi. Sayangnya, visi dan kesadaran terhadap pentingnya bursa saham itu tidak segera direalisasikan oleh Sang Jenderal Besar TNI.
Selama periode pertama, 1977-1987, pasar modal mengalami kelesuan, meskipun pemerintah telah memberikan fasilitas kepada dunia usaha yang memanfaatkan dana dari bursa efek. Berbagai fasilitas itu di antaranya perpajakan untuk merangsang masyarakat agar mau terjun dan aktif di bursa.
Soeharto, melalui tim ekonominya saat itu, belum mampu mengatasi tersendatnya perkembangan pasar modal selama periode tersebut. Hal ini disebabkan oleh beberapa masalah di antaranya mengenai prosedur emisi saham dan obligasi yang terlalu ketat, adanya batasan fluktuasi harga saham, dan sebagainya.
Baru satu dekade kemudian, pemerintah mengeluarkan deregulasi yang berkaitan dengan perkembangan pasar modal, yaitu Paket Kebijakan Desember 1987, Paket Kebijakan Oktober 1988, dan Paket Kebijakan Desember 1988.
Pakdes 1987 merupakan penyederhanaan persyaratan proses emisi saham dan obligasi dengan menghapuskan biaya yang sebelumnya dipungut Bapepam, seperti biaya pendaftaran emisi efek. Selain itu, dibuka kesempatan bagi pemodal asing untuk membeli efek maksimal 49% dari total emisi.
Paket ini juga menghapus batasan fluktuasi harga saham di bursa efek dan memperkenalkan bursa paralel. Ini merupakan pilihan bagi emiten yang belum memenuhi syarat untuk memasuki bursa efek.
Pakto 88 ditujukan bagi sektor perbankan, tetapi berdampak terhadap perkembangan pasar modal. Paket kebijakan ini berisikan tentang ketentuan 3 L (legal, lending, limit) dan pengenaan pajak atas bunga deposito.
Pengenaan pajak itu berdampak positif terhadap perkembangan pasar modal. Hal ini karena dengan keluarnya kebijakan itu berarti pemerintah memberi perlakuan yang sama kepada sektor perbankan dan pasar modal.Sementara itu, Pakdes 88 pada dasarnya memberikan dorongan yang lebih jauh kepada pasar modal dengan membuka peluang bagi swasta untuk menyelenggarakan bursa. Karena tiga regulasi itu, pasar modal menjadi aktif pada periode 1988 hingga sekarang.
Itulah jejak mantan Presiden Soeharto dan anak-anaknya di pasar modal. Jejak itu mungkin saja kurang nyata, mungkin pula terlambat. Namun, lebih baik kabur dan terlambat daripada tidak sama sekali.
Soal keterlambatan Pak Harto memang bisa dipahami. Di bawah pengaruh tim ekonominya saat itu, Soeharto yang sangat dekat dengan AS, lebih senang memanfaatkan aliran modal langsung, baik melalui utang maupun investasi langsung perusahaan raksasa sekelas Freeport atau ExxonMobil.
Membangun Indonesia dengan mengandalkan utang dan investasi langsung (direct investment), tanpa pengendalian diri dan sistem yang kuat, bakal menimbulkan kebocoran di sini sana. Dan Soeharto akhirnya jatuh juga pada kegiatan pembangunan yang kental dengan jalinan korupsi, kolusi dan nepotime (KKN). Maka tidak heran ketika lengser, baik dari panggung politik maupun panggung kehidupan, Pak Harto meninggalkan utang yang menggunung.
Kita tentu masih ingat menjelang lengser, Presiden Soeharto mengutus Menkeu Mar’ie Muhammad dan Ketua Umum Kadin Indonesia Aburizal Bakrie ke AS untuk memohon keringanan pembayaran utang. Bayangkan saat itu bangsa ini terlilit utang dalam jumlah besar, terdiri atas US$80 miliar utang negara dan US$75 miliar utang swasta.
Bapak Pembangunan juga meninggalkan sistem dan kultur bisnis dan perusahaan yang amburadul. Tak perlu malu mengakui bahwa kesalahan utama Pak Harto dalam meletakkan kapitalisme di negeri ini adalah menghidupkan crony capitalism dengan tabiat dasar KKN.
Pasar modal yang mengedepankan transparansi semestinya bisa menjauhkan Soeharto dan Orde Baru dari kesalahan fatal ini. Sayangnya, hal itu tidak sampai terjadi.
Sekarang, setelah Soeharto wafat, kita cuma bisa mengatakan andaikan mantan presiden itu lebih awal dan lebih kuat meninggalkan jejaknya di pasar modal.

Wednesday, January 23, 2008

Semilir Surgawi dari Lantai Bursa

Abraham Runga Mali

Bisa dipahami kalau orang-orang yang taat beragama pada awalnya menaruh curiga pada pasar modal. Menurut mereka, saham itu adalah derivatif terkini dari perjudian. Lebih dari itu, tidak sedikit dari tumpukan kertas-kerta berharga itu mewakili unit usaha yang bukan saja bisa dikelola oleh 'tangan-tangan kotor', tapi bidang usaha yang digeluti pun berada di 'lumpur dosa' yang tentu ditentang oleh norma agama. Kalau demikian, begitu pandangan mereka, 'bertandang' ke pasar modal itu mirip dengan merintis jalan ke neraka.
Tapi, pandangan itu sudah ketinggalan. Yang berpandangan bahwa bermain saham itu identik dengan perjudian pun sudah tinggal segelintir orang. Para penjaga kebenaran itu pelan-pelan mulai menyadari kalau antara keduanya terdapat perbedaan yang mendasar.

Di bursa saham transaksi selalu dilengkapi dengan informasi. Sesuatu yang tidak ada kalau Anda duduk di meja perjudian. Di situlah letak perbedaan antara keduanya. Di perjudian hanya ada untung-untungan. Di sana hanya ada spekulasi yang membuat kalah atau memang seperti sebuah takdir yang harus diterima begitu saja.

Di pasar modal tentu tidak. Ada propektus perusahaan, ada riset dan analisa yang dirilis secara rutin dan teratur. Sebagai pelaku, Anda tinggal mendesak agar informasi itu disediakan secara transparan dan dibagikan secara merata kepada semua pihak. Jangan ada informasi yang disembunyikan. Tidak pula ada informasi khsusus yang diberikan kepada orang-orang khusus pula.

Selain itu, otoritas bursa, dalam hal ini BEJ, bersama pengawasnya, Bapepam, menjaga agar transaksi yang terjadi di lantai bursa itu adil, informasi yang disediakan akurat dan infrastruktur pasarnya optimal.

Berdasarkan informasi itu , tinggal Anda memutuskan secara bebas untuk membelinya atau tidak. Anda yang menanggung risikonya. Bukan hanya risiko finansial. Tetapi juga risiko spiritual terutama bagi Anda yang meyakini kalau keputusan 'menjual' dan 'membeli' saham tidak hanya beurusan dengan 'duit yang tebal' di kantong, tapi juga berurusan dengan 'jiwa yang tentram' di surga.

Banyak pemodal Indonesia yang ingin masuk ke pasar modal sebenarnya masih kuatir kalau risiko surgawi ini tak bisa dikelola secara optimal di sana. Tapi beruntung akhirnya Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) dan para pelaku pasar cepat tanggap dan segera turun tangan. Lihat saja berkat jasa mereka sekarang sudah ada reksa dana syariah, obligasi syariah dan indeks syariah. Bahkan sedang digodok pula peraturan yang menjadi landasan legal bagi pasar modal syariah.

Khusus mengenai Jakarta Islamic Index (JII), seperti diakui Iwan Pontjo yang ikut membidaninya kalau pebentukan indeks itu secara tidak langsung didorong oleh kepentingan Danareksa Fund Management yang pada saat itu dikomandaninya.

Ceritanya berawal dari pertengahan 1997 ketika Danareksa hendak meluncurkan reksa dana syariah. Perusahaan sekuritas itu membutuhkan indeks yang menjadi acuan bagi pengelolaan dananya.

Pada Juni 2000 terbentuklah JII. Tentu saja itu itu hasil kerja sama antara Dewan Syariah Danareksa bersama BEJ. Indeks itu ditopang oleh 30 saham yang diseleksi oleh kedua lembaha tersebut.

Pertama-tama mereka mengumpulkan semua saham yang jenis usahanya tidak bertentangan dengan syariah dan sudah dicatatkan lebih dari tiga bulan.

Setelah itu, ditakar rasio kewajiban terhadap aktiva berdasarkan laporan kuangan tahunan dan semester terakhir. Yang lolos seleksi adalah saham dari emiten yang memiliki rasio kewajiban terhadap aktiva minimal 90 persen.

Lalu, dipilih 60 saham yang lolos dari kriteria di atas dan selanjutnya disusun berdasarkan besaran kapitalisasinya. Terkahir adalah memilih 30 jenis saham dengan urutan berdasarkan tingkat likuiditas dalam perdagangan reguler selama satu tahun teakhir. Begitulah 30 jenis saham itu dievaluasi setiap enam bulan dan dipilih lagi dengan proses selekesi yang sama.

Kinerjanya menggembirakan

Setelah berjalan empat tahun, kinerja JII termasuk lumayan dan bergerak mengikuti trend indikator saham gabungan di Bursa Efek Jakarta. Pada 2004 misalnya, JII mengalami kenaikan 42,796 poin dari 122,079 pada awal tahun menjadi 164,875 pada akhir tahun, atau naik sebesar 35,05 persen. Sementara IHSG (Indeks Harga Saham Gabungan) mengalami kenaikan 299,932 atau sebesar 42,57 persen

Cacatan kinerja itu cukup menggembirakan.Maklum saja saham-saham yang terjaring di JII adalah jenis saham yang cukup prospektif. Tapi, apakah JII sudah berfungsi optimal sebagai benchmark bagi para pelakunya?

Untuk soal yang satu ini Iwan Pontjo lebih memilih diam kendati dia ikut membidaninya dari awal. "Saya sudah lama tidak terlibat lagi sehingga tidak bisa memberi jawaban.Itu bisa ditanyakan kepada pelaku pasar. Biar lebih lebih obyektif," ujarnya kepada Bisnis Uang pekan lalu.

Iggi H. Ahcsien, Manajer Syariah Unit Investment Banking AAA Secuerities, mengakui kalau para manajer investasi reksa dana syariah merasakan manfaat dari kehadiran JII yang bisa dijadikan sebagai patokan selama ini. "Semakin banyak reksa dana syariah yang diluncurkan maka makin besar pula kebutuhan pelaku pasar akan indeks ini," jelasnya.

Saat ini sedikitnya terdapat sembila reksa dana syariah seperti BIG Dana Syariah, BNI Dana Syariah, Dompet Dhuafa-BTS Syariah, I-Haji Syariah Fund, Reksa Dana PNP Dana Syariah Sejahtera. Kelima reksa dana ini termasuk dalam reksa dana pendapatan tetap. Empat lainnya adalah reksa dana campuran, yaitu AAA Syariah Fund, Batasa Syariah, Danareksa Syariah Berimbang dan Reksa Dana PNM Syariah.

Hanya lebih lanjut dia mengingatkan bahwa JII akan lebih optimal kalau di pasar modal Indonesia segera dirilis semua jenis saham yang termasuk halal di BEJ. Biar para pelaku pasar tidak hanya membatasi diri pada 30 saham itu . "Biar makin banyak pilihan bagi pemodal dan fund manager yang mengelola reksa dana syariah," ujarnya.

Selain itu, bila perlu ada indeks syariah lain selain JII. Biar ada pembandingnya seperti yang ada di pasar modal Malaysia. Danareksa atau institusi keuangan lain misalnya, lanjut dia, bisa membentuk indeks syariah sendiri.

Sepertinya belum puas dengan JII, seorang manajer investasi reksa dana syariah yang enggan disebutkan namanya meminta agar proses seleksi dalam pemilihan 30 saham yang menopang indeks itu harus dilakukan lebih ketat lagi.

Karena selain tercatat saham-saham yang prospektif seperti Indosat, Telkom, masih ada saham-saham yang kurang atraktif di JII. Bisa karena sektor usaha yang tidak menarik, bisa juga karena kinerja yang kurang optimal. Hal ini, jelas dia, akan menyulitkan manajer investasi reksa dana syariah untuk melakukan diversifikasi dengan menempatkan saham-saham seperti Telkom dan Indosat dalam satu keranjang portofolio dengan sejumlah saham lain yang kurang menarik itu.

Bahkan, dia lebih jauh lagi berpendapat. Dalam kriteria saham-saham itu, perlu dicantumkan juga soal citra publik para pengelola emiten itu. "Dalam daftar yang sekarang ini masih ada satu dua saham yang emitennya dimiliki oleh konglomerat bermasalah. Ini yang harus dievaluasi lagi".

Keluhan-keluhan para pelaku pasar itu seakan mengakui kalau jalan ke surga melalui pasar modal memang masih berliku. Tapi, tak ada alasan bagi Anda untuk tidak menikmati semilirnya sekarang juga.