Friday, February 1, 2008

Kaya dengan Secangkir Kopi Susu

Menjadi kaya secara otomatis? Ah, jangan bercanda. Mimpi macam apa lagi. Sesungguhnya ini bukan mimpi atau sejenis sulap. Tentu bukan juga nasihat menjadi kaya dengan mengundang kekuatan gaib dari Gunung Kawi. Kalau begitu, bagaimana mungkin itu bisa terjadi?

Memang di jaman ekonomi lagi sulit seperti sekarang ini, tak salah kalau Anda perlu mendengar banyak petuah dan nasihat. Sudah cukup kalau Anda diberi jalan untuk bisa bertahan hidup. Bagaimana kalau ada nasihat supaya bisa menjadi kaya? Nah, nasihat itu pasti benar-benar sangat berharga. Maka jangan disia-siakan.

Kali ini nasihat untuk menjadi kaya datang dari seorang David Bach. Dia yang empunya jalan bagaimana Anda bisa kaya secara otomatis. Kalau Anda ingin serius menekuni perencanaan keuangan, tokoh yang satu tak bisa dihindari. Di Amerika Serikat, Bach konon sangat terkenal.

Beberapa buku populer pernah dirilisnya seperti Start Late, Finish Rich, The Automatic Millionaire, Smart Woman Finish Rich, Smart Couples Finish Rich, The Finish Rich Workbook dan The Automatic Millionaire Workbook. Sedikitnya sudah tersebar 3 juta copy dengan berbagai judul tersebut.

Buku yang terakhirnya, Start Late, Finish Rich, menjadi best seller dan terdaftar sebagai nomor satu di sejumlah surat kabar terkemuka seperti The New York Times, USS Today, dan The Wall Street Journal.

Begitu juga tulisan-tulisan dan wawancaranya mengenai perencanaan keuangan menghiasai berbagai media massa di Amerika Serikat. Tak ketinggalan Bach menjadi kontributor tetap di acara televisi terkenal seperti American Morning (CNN), The View (ABC), Today dan Weekend Today (NBC), Early Show (CBS), The O'Reily Factor (Fox News Channel), Power Lunch dan The Big Idea with Donny Deutsch (CNBC).

Sebelum Anda lebih jauh mengenal nasihat dan tips-tips keuangan melalui buku atau websitenya (www.finishrich.com), sebagai pemanasan Anda diperkenalkan dengan nasihat yang cukup terkenal, bagaimana Anda bisa menjadi kaya dengan cara yang sangat sederhana.

Prinsip dasar

Bach tak mau rumit dengan urusan menjadi kaya. Dia juga berusaha keluar dari kerumitan persoalan uang. Menurut dia, persoalan uang itu sangat kompleks. Jadi kalau pikiran dan waktu kita disita untuk masalah uang, maka cita-cita untuk mencapai kebebasan finansial malah tidak tercapai. Justru sebaliknya, kita disandra dan diperbudak oleh persoalan uang.

Maka untuk menjadi kaya, menurut dia, tak perlu harus menghasilkan banyak uang. Tidak perlu juga terlalu pusing dengan masalah disiplin. Sebagai gantinya dia menawarkan sebuah konsep sederhana yang dia sebut sebagai Latte Factor.

Apa yang Bach maksudkan dengan konsep ini?

Seperti yang mungkin Anda ketahui latte itu adalah kata Italia untuk susu. Namun kemudian di negerinya George Bush, latte berarti minuman yang terbuat dari kopi yang ditambahkan dengan sedikit susu yang dikukus (steamed milk).Ya... kira-kira sejenis kopi susu yang sangat digandrungi.

Bach kemudian mengambil istilah Latte Factor sebagai metafora yang menggambarkan bahwa cara Anda menjadi kaya harus sesederhana, seperti Anda berusaha mendapatkan kopi itu. Sesederhana dan sedemikian otomatis.

Usaha untuk menjadi kaya, dalam versi Bach itu, harus dilakukan seotomatis mungkin sampai-sampai Anda tidak menyadari bahwa Anda sedang meluangkan waktu dan mengeluarkan sejumlah uang.

Seperti dalam hidup sehari-hari, Anda tidak pernah melakukan banyak pertimbangan ketika harus membeli sebungkus rokok atau semangkuk indomie.

Itu sebabnya Bach mengeluarkan nasihat yang sangat khas. Dalam membuat perencanaan keuangan, lanjut dia, Anda harus memiliki sistem yang bekerja secara otomatis. Dengan memiliki sistem ini Anda tidak akan gagal, demikian Bach berusaha meyakini. "If your financial plan is not automatic, you will fail."

Memang terkadang disiplin perencanaan keuangan yang terlalu rumit terasa sangat memberatkan. Misalnya Anda diharuskan mencatat semua pengeluaran yang dilakukan setiap hari. Disiplin seperti ini seringkali menjadi sebab kegagalan bagi orang-orang yang sehari-hari memang sudah sibuk. Apalagi untuk orang yang malas melakukannya.

Tapi apakah kesibukan dan ketidakdisiplinan itu menjadi alasan bagi Anda untuk tidak mencapai kemapanan finansial? Tentu saja tidak, asalkan sekali lagi, Anda memiliki sistem yang bekerja secara otomatis tadi.

Apa sistem sederhana yang bekerja secara otomatis itu? Atau bagaimana orang menjadi kaya atau miliyuner secara otomatis itu? Dia menganjurkan Anda setiap hari secara rutin menyisikan US$5. Uang sejumlah itu sangat kecil. Dan Anda harus menabung tanpa harus melakukan banyak pertimbangan.

Dengan menabung secara rutin dan otomatis setiap hari, hasilnya ternyata cukup menjanjikan. Dengan tabungan sebesar itu, dalam seminggu tabungan Anda sudah mencapai US$35. Dalam sebulan jumlah tabungan bertambah menjadi US$150. Dengan investasi di instrumen yang bisa memberi keuntungan 10%, maka jumlah itu akan berlipatganda dalam beberapa tahun kemudian.

Dengan jumlah tabungan yang tetap dan tingkat keuntungan yang stabil, dalam setahun uang Anda bertambah menjadi US$1.885. Sepuluh tahun kemudian jumlah itu menjadi US$30,727. Lalu, empat puluh tahun kemudian investasi Anda mencapai angka yang cukup signifikan, yaitu US$948.611 atau sekitar Rp9,48 miliar! Luar biasa bukan? Untuk ukuran Indonesia, dengan jumlah uang sebesar itu, Anda tentu sudah menjadi orang yang mapan secara finansial. Sebuah mimpi yang terwujud setelah sistem itu bekerja selama empat puluh tahun.

Menurut Bach, kendati langkah ini kecil, tetapi menuntut perubahan pola pikir secara radikal. Dan perubahan itu harus dimulai dari sekarang. Kalau Anda setiap hari bisa membeli secangkir kopi dan sebungkus gudang garam, apa susahnya kalau Anda juga mulai menabung dengan uang sejumlah itu? Daripada untuk beli kopi atau rokok, coba ditabung secara konsisten. Hasilnya ternyata di luar dugaan!

Jika Anda merasa sudah terlambat, ajari anak Anda melakukannya. Ingat empat puluh tahun kemudian, anak Anda akan menjadi seorang milioner hanya dengan mengalihkan duit kopi atau rokok, ke tabungan yang produktif.

Ketika Zhongxin Menghentak Dunia (2)

Beberapa waktu yang lalu, wartawan Bisnis Indonesia Abraham Runga Mali, dan sejumlah wartawan Indonesia berkesempatan mengunjungi kantor, pabrik dan pusat riset perusahaan teknologi komunikasi ZTE di Zhenzen dan Shanghai. Berikut laporannya.

Berbagai persoalan yang dihadapi Huawei ini menjadi kesempatan bagi ZTE untuk tampil lebih meyakinkan sebagai perusahaan teknologi yang patut diperhitungkan di kancah internasional. Kendati sebenarnya keduanya memiliki kekuatan yang berbeda. Huawei sangat kuat di GSM (global system for mobile communications), WCDMA (wideband code division multiple access), NGN (next generation networks) dan optical networks.

Sementara ZTE kendati memiliki produk yang bervariasi, tetapi lebih fokus pada CDMA dan handset dan teknologi personal handyphone system. Di China, ZTE menguasai 40% pasar PHS dan 20% pasar CDMA.

Keberhasilan keduanya menembusi pasar tak lain kerena kekuatan produk yang dihasilkannya. Lihat saja apa yang dicatat ZTE tahun lalu ketika berhasil merilis ZTE-F808, telepon selular 3G yang diyakini sebagai salah satu yang terkecil dan teringan di dunia.

Keberhasilan ponsel CDMA ini menjadi energi bagi ZTE untuk terus memenangi persaingan. Derap langkah dominasinya di bidang CDMA mulai meninggalkan jejaknya di Indonesia melalui ponsel Fren yang dikeluarkan Mobile-8.

Bagi ZTE, ini tentu saja ini bukanlah pekerjaan yang mudah. Selain persoalan uang, keunggulan riset dan sumber daya manusia merupakan hal yang sangat penting. Itulah sebabnya seperti saudara yang sekaligus pesaing Huawei, ZTE pun menyisihkan 10% pendapatannya untuk riset dan pengembangan.

Sampai saat ini, misalnya, Huawei memperkerjakan 46% dari 24.000 tenaga kerjanya di bidang riset dan pengembangan, 33% untuk penjualan dan 12% untuk manufaktur. Sementara ZTE merekrut 21.000 karyawan yang bekerja di 33 kantor cabang. Dari total karyawannya itu, lebih dari 10% tenaga asing.

"Kami yakin perusahaan ini akan maju karena pengembangan teknologinya didukung oleh SDM yang tangguh. Lihat saja lebih dari seribu karyawan kami adalah tamatan master dan PhD dengan usia yang rata-rata masih muda," jelas Zhao.

Apalagi, demikian dia, dengan produksi secara masal perusahaanya dapat menekan biaya produksinya. Makanya tak mengherankan kalau Hui Pan, Kepala Analis dari Information Gatekkepers Inc, mengatakan dengan teknologi yang sama ZTE dan Huawei bisa menjual produk mereka dengan harga 30% lebih murah dari produk yang lain.

Memang jumlah penduduk yang besar di negera itu sangat memungkinkan kedua perusahaan itu untuk melakukan produksi massal. Kita ambil contoh handset. Menurut perkiraan Deutsches Bank, permintaan handset di negara itu akan mencapai 100 juta tahun depan.

Untuk melayani kebutuhan itu sedikitnya 40 perusahaan telepon bersaing dengan menawarkan 200 juta unit dengan 800 model yang berbeda. Tak heran kalau Motorola mendapatkan 15% penjualan internasional dari China dan menjadi pasar terbesar kedua setelah AS.

Perkembangan pesat ZTE dan Huawei bukan tanpa tantangan. Pada saat keduanya sibuk melakukan penetrasi ke seluruh penjuru dunia, para pesaing mereka justru datang menyerbu kampung halaman mereka.

Misalnya Alcatel yang pada 2002 berhasil menggaet mitra lokal Shanghai Bell dan membentuk Alcatel Shanghai Bell. Konon satu dari tiga pesawat telepon di China dihubungkan dengan infrastruktur yang dikontrol oleh perusahaan patungan ini. Alcatel Shanghai saat ini menjual 200 produk baik untuk telepon tetap dan bergerak. Bahkan perusahaan ini menjadi pamasok nomor satu teknologi DSL.

Begitu juga dengan Nortel yang pada awal tahun ini berhasil membujuk mitra lokal mendirikan perusahaan patungan yang bergerak di bidang riset, pengembangan, produksi dan penjualan produk 3G. Pada tahun lalu Nortel mencatat pendapatan sebesar US$1,25 miliar dari pasar Asia Pasifik. Sementara pendapatan Lucent dari kawasan ini tahun lalu US$1,696 miliar.
Akankah ZTE atau Huawei keluar sebagai pemenang dalam pertarungan dengan para vendor internasional ini? Menilik ambisi dan etos kerja bangsa China yang tinggi, semangat meniru dan belajar mereka yang kuat membaja serta dukungan pasarnya yang besar, kemenangan itu agaknya bukan sebuah khayalan belaka. Mungkin bukan untuk satu atau dua tahun mendatang. Tapi, yang pasti hentakannya kini kian menggetari pasar dunia. (abraham.runga@bisnis.co.id)

Ketika Zhongxin Menghentak Dunia (1)

Pada akhir September 2005, saya dan sejumlah wartawan Indonesia berkesempatan mengunjungi kantor, pabrik dan pusat riset perusahaan teknologi komunikasi ZTE di Zhenzen dan Shanghai. Berikut hasil pengamatan atas perkembangan teknologi komunikasi di perusahaan tersebut dan di China secara umum.

Zhongzin Telecom Equipment Corp, atau disingkat ZTE, adalah satu dari sekian perusahaan China yang mendunia. Sebuah kekecualian dari hasil penelitian Francis Fukuyama bahwa banyak unit bisnis di sana yang karena 'saling percaya' yang hanya berkutat di kalangan anggota keluarga tak layak berkembang menjadi multinasional.

"Ini bukan perusahaan keluarga sejak dari berdirinya," ujar William Zhao, Direktur Penjualan ZTE di kantor pusatnya di Kawasan teknologi Tinggi Nanshan, Zhenzen. Bahkan, perusahaan ini lebih dari hanya sekadar perusahaan biasa.

Zhongxin adalah sebuah perusahaan publik setelah mencatatkan sahamnya di bursa Zhenzen (1997) dan bursa Hong Kong (2004). Hanya dari listing di Hong Kong, perusahaan itu meraup sekitar US$400 juta.

Sekitar 60% dari dana hasil emisi itu dimanfaatkan untuk memperluas jaringan pemasaran internasional, dan sisanya untuk membiayai pengembangan teknologi. Selain dari bursa, ZTE mendapat dukungan dana dari sejumlah perbankan domestik. "Perusahaan yang bagus dan prospektif tak ada persoalan dengan pendanaan. Banyak institusi keuangan yang berebutan melirik kami."

Begitu Zhao menjelaskan dengan penuh keyakinan.

Tentu bukan sebuah keyakinan tanpa dasar. Sejak lima tahun terakhir kinerja perusahaan ini melesat bak meteor. Lihat saja kinerja keuangannya.

Kalau lima tahun lalu pendapatannya masih sebesar US$1,127 miliar, maka tahun lalu sudah mencapai US$2, 747 miliar. Sementara penjualan handsets, base station, switches, software dan broadband pada 2004 tercatat sebesar US$4,1 miliar.

Sementara keuntungan tahun ini diperkirakan mencapai US$186 juta atau meningkat dari tahun sebelumnya sebesar US$153,6 juta.

Dengan kinerja seperti ini, Presiden ZTE Yimin Yin sangat yakin kalau perusahaan itu akan mampu bersaing dengan perusahaana kelas dunia lainnya seperti Nokia, Samsung dan Motorola. Mereka, demikian Yin, memiliki nama yang lebih besar, tapi, "Saya tidak merasa inferior di hadapan mereka. Tak ada perbedaan yang cukup besar."

Apalagi ZTE memang sudah mendunia. Sudah 60 negara dimasukinya. Tidak terkecuali Indonesia. Tahun lalu ZTE menandatangani kontrak dengan Indonesia untuk membangun jaringan CDMA senilai US$47,6 juta.

Selain itu, perusahaan tersebut bekerjasama dengan Telkom untuk membangun jaringan NGN-DCL (Digital Loop Carrier) untuk wilayah Jakarta dan sekitarnya.

Bukan yang terbesar

Tentu saja di China ZTE bukan yang terbesar. Dia masih berada di bawah bayang-bayang Huawei. Kendati ZTE beroperasi tiga tahun lebih awal, tapi kinerjanya masih lebih kecil dibandingkan Huawei.

Mari kita sejenak menengok kinerja Huawei.

Pada tahun lalu saja, Huawei mencatat nilai kontrak sebesar US$5,58 miliar atau meningkat 46% dari 2003. Dari penjualan tahun lalu, 60% masih didapatkan dari pasar domestik. Tahun ini diperkirakan menurun menjadi 55,5%.

Bahkan, tahun 2008 Huawei menargetkan penjualan di pasar internasional sebesar US$10 miliar, atau 70% dari total penjualan.

Target itu tidak muluk-muluk. Karena sampai saat itu perusahaan teknologi informasi menjadi pemasok produk dan solusi kepada 270 operator di dunia. Bahkan, 22 dari 50 operator paling top di dunia menggunakan produk perusahaan ini. Memang luar biasa. Produknya sudah memasuki begitu banyak kawasan di dunia.

Tapi masih ada sejumlah ganjalan yang merem laju ekspansi perusahaan ini. Kehadiran Huawei tidak ditanggapi hanya urusan bisnis. Pengembangan teknologinya sering dicurigai sebagai bagian dari strategi militer China.

Itulah sebabnya berkembang beragam spekulasi bahwa berbagai ekspansi dan kegiatan perusahaan ini di berbagai negara juga merupakan bagian dari sttategi militer sehingga harus diwaspadai.

Kecurigaan itu terkait hubungan historis perusahaan itu dengan pendirinya Ren Zhengfei yang adalah seorang militer. Tentu saja Huawei membantah spekulasi tersebut.

Sebuah spekulasi yang berlebihan. Tapi, spekulasi itu tidak mudah untuk hilang begitu saja. Apalagi perusahaan itu bukan perusahaan publik yang bisa dijamin transpransinya.
Selain itu, langkah Huawei sempat tersendat ketika mengalami perseteruan bisnis dengan Cisco, raksasa teknologi AS. Pada 2003, Huawei America Inc dituduh menggandakan dan menyalahgunakan perangkat lunak IOS milik Cisco termasuk source code-nya. Huawei diseret ke depan pengadilan karena menggandakan dokumen milik Cisco dan sejumlah peralatannya. Atas tuntutan itu, Huawei kemudian harus menarik semua produk yang menimbulkan persoalan itu

Mati untuk Tuhan

Abraham Runga Mali

Ketika bangsa ini sibuk mengurusi Azahari, di Amerika Serikat orang ramai membicarakan film baru berjudul Paradise Now. Penggarap film ini, Hany Abu As-saad asal Palestina mencoba menggali motif bunuh diri yang dilakukan para pelaku bom bunuh diri. Dia tidak hanya berusaha memahami pikiran dan perasan para pelakunya, tetapi sekaligus mengkritik mereka.

Sebagian dari kita mungkin berusaha memahami kenekatan Azahari dan kawan-kawannya. Tapi, di sisi lain, emosi kemanusiaan kita pun tak tahan menyemburkan kepedihan menyaksikan tubuh yang tercabik-cabik ledakan bom. Apalagi kalau ternyata mayat-mayat yang terbujur kaku itu adalah sanak saudara atau orang-orang yang kita cintai.

Cara yang unik

Lepas dari berbagai polemik dan emosi atas aksi Azahari dan kawan-kawan, kematian mereka menyiratkan sebuah cara yang unik. Kematian dengan 'membunuh diri'. Mengorbankan nyawanya untuk sebuah perjuangan. Luar biasa berani dan heroik.

Kalau bukan karena gila atau karena kehabisan harapan, tindakan kemartiran itu mesti keluar dari sebuah fondasi pemikiran yang sangat valid.

Pertama, Azahari dan kawan-kawan sedang melawan sebuah hegemoni besar, yakni peradaban Barat yang diwakilkan oleh AS. Barat ditentang bukan saja karena mendukung Israel dalam berperang melawan Palestina dan melakukan invasi ke Afghanistan dan Irak, tapi juga karena mereka adalah pemeran utama dalam ketidakadilan global.

Kedua, perjuangan yang sangat heroik ini, demikian keyakinan para pelaku bunuh diri itu, diberi pendasaran pada dogma agama Islam. Mereka sedang melakukan jihad sesuai perintah ayat-ayat Al-Quran. Makanya, mereka disebut pemeluk Islam yang secara fundamental kembali merujuk pada kebenaran agama. Terhadap musuh agama, mereka bersedia mati syahid. Hanya dengan jalan itu, pencapaian surga adalah kepastian.

Perlawanan mereka tidak terbuka dan aksi kekerasannya tak langsung mengenai musuhnya. Mereka menyerang pada simbol-simbol musuhnya. Karena itu mereka disebut teroris, karena hanya menebarkan 'rasa takut' dan tak nyaman pada seterunya.

Mark Juergensmeyer dalam bukunya Teror in the Mind of God: The Global Rise of Religious Violence, menguak konsep perang kosmis (cosmic war) dalam konteks pemikiran agama-agama.

Di dalam agama, jelas dia, terdapat semacam skenario besar tentang peperangan yang baik dan jahat. Karena peperangan, maka diperlukan pahlawan dan musuh. Untuk mengenyahkan musuh dibutuhkan sikap rela mati dari para pahlawan. Harus ada yang siap mati syahid. Mereka adalah kaum syuhada atau para martir suci.

Aksi 'bom bunuh diri' ala Azahari bisa dijelaskan dalam bingkai ini. Bahkan, kalau ditelusuri bukan saja hanya metodenya yang lama, tapi akar dan sebab musebabnya pun sudah sangat lama. Dalam bukunya Perang Suci (Dari Perang Salib hingga Perang Teluk), Karen Amstrong meletakkan genealogi kekerasan dan terorisme pada pertarungan dari pengikut tiga agama besar yaitu Yahudi, Kristen dan Islam.

Ketiga agama itu lahir dari sejarah dan budaya semit yang menyebut tokoh Abraham atau Ibrahim 'Bapak' mereka. Yang menjadi soal, sejarah para pengikutnya adalah sejarah pertarungan yang sangat kompleks. Pertarungan merebut 'Yerusalem' dan pertarungan merebut pengaruh peradaban. Pertarungan menjadi semakin sengit ketika para pengikut agama itu sekaligus berkelompok menurut etnisnya masing-masing.

Kalau dunia Arab berada di belakang Islam, Barat menjadi pendukung kekristenan dan orang-orang Yahudi adalah pendukung agama Yahudi. Maka jangan heran kalau agama dan politik paling sering dicampuradukan dalam ketiga kelompok ini.

Maka ketika Zionisme memakai Taurat sebagai landasannya, maka Osama bin Laden, Azahari dan kawan-kawannya juga menggunakan landasan serupa. Tak ketinggalan George Bush, presiden dari negara yang paling sering menggembargemborkan demokrasi sempat terjerembab dalam kesalahan yang sama.

Dalam pertemuan dengan politikus senior Palestina Nabil Shaat, Bush mengungkapkan keyakinan berikut, "Saya bertindak dengan misi dari Tuhan. Tuhan berkata kepada saya 'George, perangi dan lawanlah teroris di Afganistan.' Itu saya lakukan. Tuhan berkata lagi kepada saya, 'George, pergi dan hentikan tirani di Irak' Itu saya lakukan. Sekarang saya disuruh membantu Palestina untuk mendapatkan negaranya dan memberi Israel rasa aman.'

Memang berperang atas nama Tuhan sangat sering berulang dan makan banyak korban. Pada abad-abad awal, Yahudi dan kekristenan masuk dan mencabik-cabik budaya dan wilayah Arab. Sejak muncul Mohammad, orang-orang Arab bukan hanya bangkit, tapi mulai berekspansi dan merangsek hingga daratan Eropa. Babak selanjutnya pembantaian terhadap orang Yahudi di Eropa dan pengiriman pasukan perang salib menuju Tanah Suci.

Zionisme merupakan cerita terkini dari perjalanan panjang pertarungan yang sengit. Ketiga elemen yang mewakili komunitas peradaban dan agama hadir lagi dalam konflik Israel-Palestina yang belum menemukan solusi hingga kini. Kapan konflik itu akan berakhir? Walalhualam.

Tak mudah untuk mengadili siapa yang salah dan siapa benar. Karena semua kembali merujuk kepada Alkitab. Padahal, bukan tidak mungkin 'ayat-ayat Tuhan' itu bermula dari persoalan identitas dan tanah. Lalu di kemudian hari ketika mereka menemui kesulitan soal tanah dan identitas, Alkitab lagi yang dirujuk. Seperti orang berjalan di terowong tak berujung. Kecuali kita yakin Tuhan menghendaki banyak darah harus tertumpah untuk menghormatiNya.

Pikiran waras

Dan akhirnya tak ada gunanya juga mengecek mana yang lebih biadab dan beradab. Yang pasti mereka sama-sama membunuh. Mungkin bagi para pengikut yang masih waras, perlu lebih tenang lagi untuk mempelajari kehidupan ketiga tokoh yang pertama mengajarkan agama-agama itu. Musa melarang orang membunuh. Yesus mengharamkan pedang. Muhamad mengajarkan damai. Tak ada anjuran untuk berperang dan bunuh diri dengan tujuan semata-mata membinasakan.

Daripada saling berperang dan membunuh, masih banyak musuh bersama yang perlu dilawan. Selain kemiskinan dan kebodohan, masih ada masalah lingkungan dan persoalan moralitas.

Khusus untuk Indonesia, bangsa ini masih membutuhkan banyak martir dan pejuang jihad yang berani mati untuk sesama yang menjadi korban korupsi dan ketakbecusan manajemen politik dan birokrasi. Bukankah korupsi dan kemiskinan pun juga musuh Tuhan?

Benar, kita pun harus melawan hegemoni Barat yang hadir dalam ketidakadilan global. Tapi, bukan dengan bunuh diri. Bunuh diri hanyalah pertanda ketakberdayaan dan kehilangan asa. Kalau bunuh diri menjadi peradababan, maka niscaya yang terjadi bukanlah kekalahan Barat, tetapi sebaliknya, sebuah proses bunuh diri peradadaban sendiri.

Lagi pula, senjata utama Barat bukan lagi pedang, tapi ilmu pengetahuan dan teknologi. Maka untuk melawan mereka, pertama-tama kita harus berjihad dan berani berkorban untuk mendapatkan pengetahuan dan teknologi yang setinggi-tingginya.

Daripada ikut-ikutan mengurusi Azahari, lebih baik kita berjuang menjadi martir dalam pekejaan dan profesi kita masing-masing. Tak perlu pakai tetesan darah, tapi cukup dengan kerja keras. Atau, kecuali kita sudah sangat merindukan surga!

Mewaspadai Euforia Waralaba

abraham Runga Mali

Waralaba (franchise) adalah bentuk bisnis yang paling banyak mendapat keuntungan dari perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Karena dukungan teknologi itu, 'jaringan' yang merupakan kunci dalam bisnis ini bisa bekerja secara optimal. Tapi, justru karena dukungan itu, perkembangan waralaba diakui terlalu pesat sehingga bisa membahayakan. Tak ada cara lain, kecuali Anda mewaspadainya.

Soal pesatnya waralaba diakui oleh John Naisbit dalam bukunya yang sangat populer Megatrends dua dekade yang lalu. Menurut dia, waralaba merupakan konsep pemasaran yang paling berhasil selama sejarah umat manusia. Itu hanya mungkin karena bisnis ini bekerja dalam jaringan.

Mungkin Anda pernah mendengar atau bahkan pernah terlibat dalam bisnis MLM (multi level marketing). Kalau MLM adalah sistem pemasaran yang diciptakan agar bisa dijalankan oleh individu, maka waralaba sistem yang dikemas untuk perusasahaan. Waralaba adalah sebuah bentuk jaringan bisnis, jaringan yang terdiri banyak pengusaha yang bekerja dengan sebuah sistem yang sama.

Marvin Migdol dalam tulisannya Franchise Boom Continues, memperlihatkan perkembangan industri waralaba di dunia yang sangat dasyat. Kalau pada 1980 nilai bisnis yang dijalankan melalui waralaba masih tercatat sebesar US$335 miliar, maka pada 1996 nilainya meningkat menjadi lebih dari US$700 miliar.

Kita ambil contoh McDonald, salah satu bisnis waralaba paling besar saat ini. Perusahaan yang didirikan oleh Dick dan Mac Mcdonald bersaudara tahun 1940 ini baru dikemas sebagai usaha waralaba oleh Roy Kroc tahun 1955. Dengan sistem jaringan waralaba, perusahaan yang bermula dari kota kecil San Bernadino itu berkembang ke 122 negara. Sampai tahun lalu McDonald memiliki 30.000 restauran dengan 18.000 terwaralaba (franchisee).

Pertumbuhan waralaba di Indonesia juga tidak kalah mengagumkan. Hingga tahun lalu jumlah gerai yang dimiliki oleh perawalaba (franchisor) mencapai 1.978. Dari jumlah gerai tersebut, 1.674 adalah waraba lokal. Amir Karamoy and Asscociate mencatat, selama kurun waktu 1998-2004, waralaba lokal tumbuh rata-rata 14,7 persen, sementara waralaba asing rata-rata 7 persen.

Apa rahasianya?

Mengapa perkembangan waralaba itu sangat dasyat? Apa rahasianya? Pietra Sarosa, salah seorang pengamat waralaba mengatakan keunggulan utama waralaba adalah karena sistem yang disediakan. "Dengan demikian seorang pemodal yang akan menjalankan investasi tidak harus memulai lagi dari nol."

Memang trial and error dalam bisnis itu sangat melelahkan. Banyak penelitian memperlihatkan bahwa 90 persen usaha bisnis itu gagal dalam tiga tahun pertama.

Dengan menjalankan bisnis yang sudah memiliki sistem tertentu, seperti yang disediakan waralaba para pebisnis atau investor bebas dari risiko trial and error tersebut. Mungkin karena itu seorang penulis waralaba, Bob Brooke mengatakan keuntungan utama dalam bisnis waralaba adalah risikonya yang sangat minimal.

Namun itu tidak berarti waralaba itu sama sekali bebas dari risiko. Menurut Pietra, risiko terbesar franchise adalah karena terwaralaba tidak memahami sistem yang ditawarkan oleh franchisor (pewaralaba).

"Inilah kesalahan terbesar yang bisa terjadi, yaitu pihak terwaralaba tidak melakukan investigate before investing. Investigasi yang dilakukan baik terhadap sistem maupun kisah usaha dari pewaralaba," jelasnya.

Sementara itu, Amir Karamoy mengingatkan agar calon terwaralaba untuk membaca secara teliti isi perjanjian kerja sama yang disodorkan pihak pewaralaba. Misalnya soal masa kontrak, soal hal apa saja yang dapat membatalkan perjanjian kerja sama, dan juga soal pembagian keuntungan.

"Kalau njomplang atau keuntungan lebih banyak di pihak franchisor, maka calon terwaralaba harus hati-hati," tegasnya.

Prinsip kehati-hatian

Kehatian-hatian itu, jelas Karamoy karena pewaralaba lokal seringkali terlalu cepat menawarkan bisnisnya kepada konsumen tanpa terlebih dulu memperkuat diri dengan sistem dan manajemen yang teruji.

Dia mensinyalir, sekitar 60 persen dari franchisor lokal mengabaikan konsep bisnis yang mantap dan teruji. Apalagi pengawasan dari pemerintah belum dilakukan semestinya.

Karena itu di tengah menjamurnya waralaba di Tanah Air, investor harus tetap berhati-hati untuk menggandakan uangnya di bisnis tersebut. Karena kendati memiliki sistem, data memperlihatkan bahwa tingkat kegagalan bisnis waralaba masih cukup tinggi.

Menurut cacatan Amir Karamoy, tingkat keberhasilan waralaba dalam negeri masih sebesar 48 persen. Bandingkan dengan tingkat keberhasilan usaha waralaba di luar negeri yang mencapai 92 persen.

Agar berhasil dalam waralaba, belum cukup hanya dengan memahami sistem. Masih banyak urusan lain yang harus ditangani dengan mengikuti hukum bisnis biasa.

Misalnya soal kemampuan modal, kejelian memilih produk dan lokasi pemasaran serta kemampuan dalam memimpin unit usahanya yang dibeli dengan sistem waralaba tersebut.

Agar tidak berjalan sendirian, sebagai terwaralaba Anda harus yakin bahwa hubungan dengan franchisor bisa berlanjut setelah kontrak ditandatangani.

Dengan demikian, Anda bisa mendapatkan bimbingan apabila menghadapi kesulitan. Selain berhungan baik dengan pewaralaba, Anda masih bisa memanfaatkan jasa para konsultan bidang waralaba.

Menjadi Kaya dengan Syariah

Abraham Runga Mali

"Tujuan utama syariat adalah memelihara kesejahteraan manusia yang mencakup perlindungan keimanan, kehidupan, akal, keturunan, dan harta benda mereka. Apa saja yang menjamin terlindungya lima perkara ini adalah masalahat bagi manusia dan dikehendaki". (Imam Ghazali)

Jadi salah satu tujuan syariat, seperti yang dipikirkan Ghazali, adalah mengatur harta benda, kekayaan, atau uang Anda guna mencapai kesejahteraan. Karena sangat penting, ada baiknya di tengah suasana Ramadhan tahun ini, Anda diajak untuk merenungi tema pengelolaan keuangan secara syariah.

Sebuah kesempatan refleksi bukan saja untuk menguji sedalam apa pemahaman Anda tentang ekonomi syariah, tetapi terutama untuk mengetahui sejauh mana konsep itu sudah diterapkan dalam kehidupan Anda.

Para ahli ekonomi dan teologi Islam memberikan banyak alasan mengapa kegiatan ekonomi, bisnis dan pengelolaan keuangan secara syariah mendesak untuk diterapkan. Umer Chapra dalam bukunya Islam dan Tantangan Ekonominya, sekurang-kurangnya memberikan dua alasan.

Pertama alasan eksternal. Dia memperlihatkan betapa sistem ekonomi yang pernah diusung seperti kapitalisme, sosialisme dan konsep negara kesejahteraan yang merupakan kombinasi keduanya ternyata tidak berfungsi secara optimal dalam memperbaiki kehidupan manusia.

Malah, demikian ahli ekonomi dari Pakistan yang pernah menjadi penasihat ekonomi Kerajaan Arab Saudi, apa yang dialami umat manusia justru sebaliknya, yaitu ketimpangan ekonomi, kemiskinan dan pengrusakan lingkungan hidup.

Kedua adalah alasan internal bahwa ajaran Islam yang bersifat komprehensif dan universal juga tak terhindarkan mengatur kehidupan ekonomi. Karena itu, jelas dia, ekonomi syariah harus tampil sebagai alternatif.

Spirit komersial

Ekonomi syariah tentu berbeda dengan ekonomi konvensional yang tidak mengindahkan nilai-nilai moral dalam pelaksanaannya. Sebaliknya inspirasi dan petunjuk pelaksanaan ekonomi Islam diambil dari Al-Quran dan Sunnah Nabi SAW.

Ilmuwan C.C Torrey dalam disertasinya The Commercial Theological Term in the Koran memperlihatkan bahwa Al Quran menggunakan 20 terminilogi bisnis dan mengulangnya sebanyak 720 kali. Itu, kata dia, memperlihatkan betapa Kitab Suci itu mengandung spirit bisnis dan komersial yang sangat kental.

Lagi pula, spirit itu tidak hanya sekedar tertulis dalam ayat-ayat suci. Dia sudah terbukti menjadi inspirasi dan pedoman dalam kehidupan komunitas muslim awali. Dan hasilnya memang menakjubkan. Komunitas itu dikenal sebagai salah satu komunitas yang terbaik dalam peradaban, termasuk dalam mengurusi ekonomi dan kekayaan.

Landasan apa sebenarnya diberikan oleh Al Quran dalam mengusung sebuah sistem ekonomi alternatif sebagaimana yang dicita-citakan Islam? Presiden Direktur Karim Business Consultant Adiwarman Karim melansir empat prinsip berikut.

Pertama adalah prinsip tauhid, yaitu keyakinan akan kemahaesaan dan kemahakuasaan Allah di dalam mengatur semuanya, termasuk dalam urusan rejeki. Karena itu seluruh kegiatan bisnis harus ditempatkan sebagai bentuk perhambaan kepada Sang Khalik.

Kedua prinsip keadilan dan keseimbangan yang menjadi dasar kesejahtaraan manusia.

Kemudian ketiga adalah kebebasan. Anda bebas menjalankan kegiatan bisnisnya asal sesuai dengan ketentuan Allah. Dan keempat, karena bebas, maka Anda juga harus memikul tanggung jawab atas apa yang diperbuat.

Manusia adalah khalifah

Ada beberapa hal lain yang perlu juga ketahui, yaitu soal kedudukan manusia berikut harta yang dimilikinya. Ahli perencana keuangan syariah Lili Yulyadi menegaskan bahwa pemahaman manusia sebagai khalifah seperti tertuang dalam surat Al Baqarah ayat 30 merupakan hal yang sangat mendasar dalam Islam.

Sebagai khalifah, jelas Lili, Anda diberi petunjuk dan instruksi oleh Allah untuk mencapai kesejahteraan, yaitu dengan memperhatikan keseimbangan antara kebutuhan material dan spiritual, pribadi dan kolektif, dunia dan akhirat.

Sebagai khalifah, tujuan hidupnya bukan untuk menenuhi keinginan tetapi untuk mencapai kejayaan dan kesejahteraan di dunia dan akhirat. Dengan tujuan seperti itu, maka perilaku dan gaya hidupnya yang lain harus disesuaikan.

Bagi manusia yang adalah khalifah, demikian Lili yang adalah komite ahli di Islamic Economic Forum for Indonesian Development (ISEFID), harta dan kepemilikan adalah hanya titipan. Harta adalah amanah yang harus dipertanggungjawabkan.

Karena itu, kata dia, harta harus disucikan melalui zakat kepada orang yang berhak. Al Quran menjelaskan "wa fi amwalihim haqul lisaaili wal mahruum". "Dalam harta mereka (yang mempunyai harta), ada haknya para dhuafa dan orang-orang tak berpunya," tandas Lili.

Bahkan, menurut Chapra, sasaran-sasaran yang dikehendaki Islam secara mendasar bukanlah materiil, tetapi kebahagiaan manusia (falah) dan kehidupan yang baik (hayatan thayyibah) yang sangat mengagungkan aspek persaudaraan (ukhuwah), keadilan sosial ekonomi, dan pemenuhan kebutuhan spiritual manusia.

Untuk mencapai semuanya itu, harta, termasuk uang yang Anda miliki hanyalah alat. Dia bukan tujuan pada dirinya. Sudahkah Anda memanfaakan alat itu dengan sebaik-baiknya untuk mencapai kekayaan yang islami? Nilai, prinsip dan pedomannya sudah dikemukakan. Sekarang, tinggal Anda menghayati dan melaksanakannya!

Keajabaian Nol

Empat ribu lima ratus. Angka 4.500 adalah harga premium terkini. Bagi bangsa ini, angka ini lebih dari sekadar gambaran harga bahan bakar. Dia menceritakan banyak hal. Soal ketakberdayaan pemerintah, tren harga minyak dunia, kesemrawutan manajemen Pertamina, atau kegelisahan masyarakat di negeri ini.

Beberapa hari atau pekan ini, angka-angka menjadi momok yang menakutkan. Apalagi kalau kita giat berkeliaran di pasar. Pematokan harga atas beras, minyak, ikan, ayam, ketela ataupun bayam dengan nominal yang kian membesar, benar-benar menegangkan syaraf kepala.

Untuk mengurangi ketegangan, untuk sementara mari kita lepaskan dulu angka-angka itu dari urusan minyak dan barang-barang kebutuhan pokok lainnya. Kita bercerita soal angka yang sudah digemari sejak zaman dahulu kala.

Bukan hanya orang Athena, bangsa-bangsa yang mendiami lembah Nil, Tigris, Yangstse, Gangga ataupun Amazon juga sudah terbiasa dengan angka-angka. Bahkan, mereka sudah secara detil menggunakannya untuk ukuran bangunan sekelas Sphinx di Mesir, atau untuk membuat tata kota seteratur Troya atau Roma.

Angka dan risiko

Tapi menurut ahli sejarah manajemen risiko Peter L. Berstein dalam bukunya Against The Gods, bangsa-bangsa tua itu belum pernah menggunakan angka-angka itu untuk menghitung risiko. Setiap kali ada persoalan hidup, mereka tidak pernah mengoptimalkan angka-angka. Mereka malah buru-buru ke orakel.

Di sana ada peramal yang menjelaskan hidupnya bukan atas dasar realitas, tapi menurut aturan para dewa.

Menurut keyakinan mereka, ada banyak sekali dewa yang ikut mengurus persoalan hidup manusia. Para dewa ikut memainkan dadu-dadu kehidupan, sehingga mereka tak pernah berpikir menggunakan hitungan peluang atau teori probabilitas. Disiplin itu baru tercipta ribuan tahun kemudian

Dalam sejarah peradaban Eropa, urusan angka-angka mulai tampil secara meyakinkan tahun 1202 seiring terbitnya buku Liber Abaci, atau Book of the Abacus. Buku ini pertama kali beredar di Italia melalui penulisnya Leonardo Pisano, atau lebih dikenal dengan nama samaran Fibonacci.

Dalam buku ini, dia memperkenalkan kepada masyarakat Eropa angka nol dan kelipatan sepuluh yang kemudian mempengaruhi imajinasi numeral bangsa itu. Keajaiban angka nol itu bukan temuan Fibonacci. Dia sendiri menyerapnya dari para sarjana Arab ketika dia mengunjungi Bugia, salah satu kota di Aljeria.

Di Arab, saat itu matematika sudah sangat maju. Mereka berhasil menterjemahkan buku-buku matematika Yunani dan mengembangkan ilmu aljabar. Tapi, angka nol itu sendiri tidak lahir di jazirah Arab. Nol diambil dari India ketika Islam melakukan ekspansi ke kawasan itu.

Di India, nol disebut sunya, lalu menjadi cifr dalam kosa kata Arab. Adalah al-Khowarizmi yang mengembangkan sistem angka dan matematika ini di dunia Arab. Konon kata logaritma berasal dari nama ahli ini. Ahli Arab yang hidup sekitar tahun 825-atau empat ratusan tahun sebelum Fibonacci-inilah yang pertama menciptakan rumusan pengurangan, penjumlahan atau pun perkalian.

Memang dalam sistem ini, nol tak bersentuhan dengan hidup sehari-hari. Filsuf Inggris Alfred North Whitehead memberi penjelasan berikut: Nol tak pernah kita gunakan dalam kehidupan sehari-hari. Tak pernah ada orang yang ke pasar untuk membeli 'nol ikan'. Nol hanya dipakai untuk melengkapi angka-angka kardinal dan memaksa kita untuk menyempurnakan model-model berpikir

Nol dan peradaban

Memang betapa terbatasnya pemikiran matematis tanpa nol. Ketiadaan nol terbukti menjadi hambatan luar biasa bagi peradaban Romawi maupun Yunani. Angka sembilan [9] yang sederhana itu harus ditulis dengan agak rumit oleh orang Romawi dengan IX. Mereka juga tak bisa menulis 32 dengan III II. Karena itu bisa ditafsirkan macam-macam, bisa 32, 302, 3020 atau kombinasi lain yang lebih besar dari 3 dan 2.

Sistem numerik seperti ini jelas sulit dikembangkan untuk sebuah kalkulasi yang rumit. Begitu juga sistem angka dalam peradaban Yunani. Setiap angka dari 1 sampai dengan 9 memiliki abjadnya masing-masing. Misalnya simbol 'pi' dari abjad penta untuk mewakili 5, 'delta' dari abjad 'deca' untuk 10 dan 'rho' untuk 100. Bisa dibayangkan 115 harus ditulis 'rho-deca-penta'.

Memang menyulitkan mengemas sistem angka-angka Yunani dan Romawi sebagai alat untuk menyelesaikan persoalan hidup. Terutama untuk menghitung risiko dengan mengembangkan teori peluang dan probalitas. Tapi, persoalan bukan saja pada kehadiran angka nol.

Menurut Bernstein keyakinan bahwa kejadian sehari-hari diatur oleh para dewa tidak menjadi lahan yang subur bagi angka-angka. Yang maju justru kegiatan peramalan di orakel untuk mengetahui nasib dan masa depan mereka.

Hal yang hampir mirip, menurut dia, terjadi pada masyarakat Arab. Kepercayaan yang luar biasa pada pada takdir Ilahi, membuat keajabaian nol tidak berkembang secara optimal.

Keajaiban itu justru terjadi ketika nol yang diambil dari dunia Arab oleh Fibonacci disemaikan dalam alam Renaissance. Dalam semangat Renaissance, masyarakat Eropa diberi kebebasan untuk berpikir dan melihat persoalan hidupnya lepas dari kungkungan Ilahi. Bagi mereka, hidup adalah rentetan hubungan sebab dan akibat.

Karena hubungan sebab akibat itu, maka manusa bisa meneliti sebab-sebab yang terus berulang. Penelitian atas sebab-sebab ini sangat penting untuk bisa memperkirakan apa yang terjadi di kemudian hari.

Untuk kepentingan itu, para ahli Barat berusaha menggunakan angka-angka itu untuk menghitung peluang dan kemungkinan. Konon, dengan sebuah kalkulasi dan rumusan yang tepat, manusia bisa menggunakan angka-angka itu meminimalkan risiko hidupnya.

Di kepala Pascal, Leibniz dan kemudian John Maynard Keynes, Harry Markowitz dan puluhan kepala lainnya, sistem hitungan dengan keajaiban nol itu berkembang dengan sangat pesat. Termasuk aplikasinya untuk menghitung risiko, termasuk risiko investasi.

Teori-teori investasi dan diversifikasi yang dikembangkan sarjana Barat tak mungkin terjadi tanpa sistem angka yang dipelajarinya dari dunia Hindu-Arab. Tapi, nol itu tak pernah menjadi benar-benar ajaib tanpa dibarengi sikap bebas, menghargai akal dan lepas dari pengaruhi mistik dan perdukunan.

Tentu saja Keynes dan kawan-kawan pun sadar kalau hidup tak pernah sepenuhnya dirumuskan dalam angka-angka. Ada misteri, ada keliaran yang tak pernah digenggam secara sempurna oleh otak manusia.

Karena itu, Keynes mengingatkan bahwa teori probabilitas hanya bisa menjadi pedoman dalam kehidupan kalau ada keyakinan bahwa tindakan yang didasarkan pada teori ini adalah hal yang rasional, dan ketergantungan padanya dapat memberi manfaat.

Memang keajaiban nol tak bisa menjawab semua persoalan. Apalagi kalau memang angka-angka itu tak pernah dihitung dan dikemas secara benar. Jangan-jangan 'nol' dalam angka 4.500 pun bukan sebuah keajaiban, tapi adalah aib bagi negeri ini.

Modal Percaya

Abraham Runga Mali

Redemption di reksa dana adalah sebuah fenomena yang layak disimak. Mari kita kaji lebih serius, mengapa para investor reksa dana melakukan penarikan dana (redemption) habis-habisan secara emosional? Jawabannya pun bisa bermacam-macam.

Dalam perspektif ekonomis mungkin bisa dijelaskan bahwa meningginya suku bunga perbankan lebih menarik bagi pemodal sehingga mendorong mereka berbondong-bondong menghijrahkan uangnya ke sana. Lebih menguntungkan di deposito daripada dana itu bertengger dalam bentuk portofolio di reksa dana.

Tapi, mengapa itu dilakukan dalam kepanikan? Bukankah reksa dana adalah investasi jangka panjang? Bukankah agak menyesatkan kalau pemodal menjadikan kenaikan bunga 'saat ini' sebagai rujukan dalam menilai kinerja reksa dana.

Kalau investornya dianggap tak cakap, maka yang ikut bersalah adalah juga para fund manager. Karena mereka tidak menyertakan pengetahuan yang memadai tentang keuntungan dan risiko yang bisa terjadi di investasi ini saat mereka mengumpulkan uang dari pemodal.

Tapi, bukankah saat menyerahkan dananya ke para fund manager, para investor sudah memahami bahwa pengetahuan mereka memang terbatas sehingga segala keputusan mengenai dana mereka sudah selayaknya ada di tangan para manajer investasi itu?

Kalau begitu, pertanyaan mengapa para investor harus panik masih sangat relevan. Jadi, kembali lagi, mengapa para investor itu panik? Mungkin saja dari perspektif ekonomi masih tersedia jawaban. Tapi, ada baiknya kita juga mendengar suara dari disiplin ilmu yang lain, sosiologi.

Pada lintas batas ini kita tidak lagi berkutat pada persoalan 'uang' dan karakternya yang selalu mencari tempat yang menguntungkan, atau mempersoalkan lagi kemampuan para fund manager serta pengetahunan para pemodal. Ada persoalan di sana, yaitu masalah kepercayaan.

Pertama-tama para pelaku pasar, baik investor dan fund manager tidak mempercayai pemerintah. Karena sudah tidak mempercayai, apa pun yang dilakukan pemerintah memang selalu salah.

Lebih runyam lagi, bahwa setelah tidak mempercayai kebijakan pemerintah, para pemodal ikut-ikut tidak mempercayai kecakapan fund manager. Padahal, dana itu sejak dari awal sudah diserahkan untuk dikelola oleh para manajer investasi tersebut. Lingkaran ketidaksalingpercayaan terekpresi pada kinerja pasar atau industri yang terus terpuruk.

Begitulah kepercayaan-diakui atau tidak-sangat berpengaruh bukan hanya pada perkembangan sosial dan kultural, tapi juga kemajuan organisasi ekonomi. Itulah sebabnya ada sejumlah pemikir sosial yang memasukan kepercayaan (trust) sebagai modal yang penting. Kepercayaan adalah modal sosial (social capital), bahkan intisari dari modal sosial itu.

Jenis modal

Pierre Bourdieu, sosiolog Perancis dalam The Forms of Capital membedakan tiga jenis modal dalam kehidupan manusia, yaitu modal ekonomis, modal kultural dan modal sosial. Dalam konteks reksa dana di atas tiga jenis modal itu dengan mudah ditempatkan di mana posisinya.

Dana para investor dalam portofolio itu adalah modal ekonomis, kemampuan dan ketrampilan mengelola dana baik oleh fund manager maupun oleh pemiliki modal sendiri adalah modal kultural, dan kompleksitas kesalingpercayaan antara pemerintah dan para pelaku bisnis itu adalah sebuah modal sosial.

Soal modal sosial itu Bourdieu menulis: Social capital is an attribute of an individual in a social context. One can acquire social capital throuh purposeful actions and can transforms social capital into conventional capital gain.

Menurut dia, kemampuan seseorang untuk memperoleh dan mengoptimal modal sosial itu sangat tergantung pada kualitas kewajiban sosial, relasi, dan jaringan-jaringan yang tersedia bagi orang itu.

Bahkan, lebih jauh lagi, Francis Fukuyama dalam The Social Virtues and The Creation of Prosperity secara gamblang memperlihatkan kaitan yang sangat nyata antara modal sosial dengan penciptaan kemakmuran sebuah komunitas atau bangsa. Kemakmuran hanya mungkin terjadi karena ada 'saling percaya' di antara anggota komunitas itu.

Bagi Fukuyama, salah satu nilai yang paling penting dalam dari intensitas jaringan sosial itu adalah kepercayaan. Bahkan, kepercayaan itu fundamen utama dari terbentuknya berbagai jaringan sosial dan kerja sama yang baik di antara para anggota komunitas.

Harapan bersama

Kepercayaan adalah harapan bersama dalam komunitas bahwa akan terciptanya keteraturan, kejujuran dan perilaku kooperatif yang muncul dalam komunitas itu yang didasarkan pada norma-norma yang dianut bersama oleh para anggotanya.

Tanpa harapan bersama untuk saling mempercayai, modal-modal ekonomi, dan kemampuan individual seseorang dalam komunitas menjadi keropos dan sepertinya sia-sia. Sebuah organisasi sosial atau ekonomi seperti sebuah perusahaan tanpa trust hanya kumpulan aktivitas tanpa energi dan sinergi.

Mungkin saja benar di perusahaan itu ada pemimpin dan bawahan, ada aturan, ada divisi, ada tata tertib. Tapi di sana tak ada visi bersama, tak ada sinergi. Yang ada hanya kompetisi yang destruktif karena anggotanya saling sikut dan menyudutkan.

Begitu juga yang terjadi dengan bangsa ini yang hari demi hari tak lepas di dera krisis. Kekayaan melimpah di negeri ini. Banyak doktor dan profesor mengabdi kepadanya. Wacana kebijakan dan UU berseliweran dari hari ke hari.

Tapi, mengapa tak ada kemakmuran dan kesejahteraan di sini? Karena kita masih saling mencurigai, saling dendam, saling menuduh dan menyudutkan. Kita kelihatan ramah tapi tidak saling mempercayai, kita hidup bersama-sama tapi sukar bekerja sama, gampang meneteskan air mata tapi susah membangun solidaritas. Sampai kapan? Wallahu a'lam.

Ketika Anjing Memburu Duit

Abraham Runga Mali

Membisniskan anjing? Kenapa tidak. Mungkin, di telinga orang-orang yang 'berperikebinatangannya' tinggi, lebih sedap kalau dikatakan bahwa Anda bisa memburu uang bersama binatang rumah ini. Tidak percaya? Silahkan mencoba.

Kalau pernah memelihara anjing, Anda pasti tahu kalau binatang ini cerdas dan setia. Itulah sebabnya sudah sejak zaman batu anjing menjadi salah satu sahabat terdekat manusia. Konon binatang yang diduga berasal dari Asia Timur itu pertama kali menjalin persahabatan dengan manusia, saat nenek moyang orang Asia bermigrasi menyeberangi Selat Berling di Rusia menuju Alaska, Amerika Utara.

Sejak saat itu anjing menjadi salah satu penjaga dan sahabat manusia. Tapi, itu saja belum cukup. Karena nenek moyang anjing berasal dari serigala seperti yang diteliti Profesor McTaggart Cowan, anjing juga terkenal berani dan kuat berlari. Maka dia juga bukan saja hanya menjadi sahabat manusia di rumah, tapi juga saat manusia memburu binatang-binatang hutan. Bahkan, pada jaman modern ini dia adalah sahabat para polisi dalam memburu penjahat dan pengedar Narkoba.

Tapi justru karena sejumlah kemampuan dan keunggulan yang melekat pada binatang ini, Anda bisa juga memanfaatkannya untuk memburu uang. Sebenarnya bisa juga, dan ini paling mudah, Anda mengorbankan sahabat Anda ini dan menghidangkannya sebagai daging. Kendati lezat, tapi pasarnya sangat terbatas. Selain diharamkan, yang terbiasa dengan daging anjing ini hanyalah dari suku-suku tertentu di Indonesia. Lebih dari itu, Anda harus siap-siap menerima kritikan dari para penyayang binatang.

Masih ada cara lain yang lebih elegan untuk membisniskan anjing ini, terutama jenis anjing ras. Untuk itu kita perlu mendengar pendapat Boby Sant yang begitu fasih membeberkan peluang bisnis "Snuppy" ini. Membisniskan anjing adalah sebuah peluang bisnis yang tidak bisa dianggap remeh. Bayangkan kalau seekor anjing herder yang paling mahal di Indonesia pernah dijual dengan harga 50.000 euro atau setara dengan Rp 600 juta kalau satu euro ekuivalen dengan Rp12.000. Luar biasa bukan?

Karena peluang bisnis ini cukup prospektif, Bobby berani merilis web-site khusus dengan nama AnjingKita.Com. Tujuannya, jelas dia, agar memberikan informasi yang lebih akurat dan komprehensif tentang dunia peranjingan. Iklan penjualan anjing, iklan makanan dan aksesorisnya, termasuk pendapat yang berkaitan dengan haram tidaknya anjing dapat dibaca di web-site ini.

Menurut Bobby setiap orang memiliki motivasi yang berbeda ketika memelihara binatang rumah ini. Pertama, ada yang memelihara anjing hanya untuk sekadar mencari nama. Misalnya anjing piaraannya diikutkan dalam berbagai pameran dan perlombaan. Sebagai pemiliknya, orang itu tentu sangat berbangga andaikan sahabatnya dipilih sebagai pememang

Dan asal tahu saja, perlombaan dan pameran anjing ras di Indonesia makin sering dilakukan. Misalnya dari Klub Rottweiler, atau dari jenis anjing ras yang lain seperti anjing gembala Jerman (herder), boxer, pekingese dan lain sebagainya. Sekali perlombaan bisa diikuti oleh ratusan anjing. Tidak main-main, juri-juri yang menilai hasil perlombaan anjing ini berkelas internasional yang sering didatangkan dari luar negeri.

Bisa karena hobi

Motivasi kedua adalah urusan hobi. Dengan memelihara anjing mereka bisa merasa terhibur dan terbebas dari stress dan tekanan rutinitas pekerjaan. Sri Widati mantan Dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia mengalami hal ini. Konon, dengan mendengar gonggongan anjing, perasaan stress Bu Sri bisa hilang.

Tapi, asal Anda cerdas, hobi ini pun bisa dikembangkan untuk mendatangkan sedikit uang. Begitulah yang dilakukan oleh Steven yang belum lama ini menawarkan tiga anak Pittbus berhidung merah. Dua ekor Pittbus betina ditawarkan masing-masing Rp2,5 juta, sementara seekor Pittbus jantan dijual dengan harga tiga juta rupiah. Dia mengakui kalau dia menjual anak-anak anjing ras itu bukan karena pekerjaan utamanya adalah memelihara anjing. Bukan.

"Itu hanya semata-mata hobi. Dan kebetulan ada kelebihan anak-anak Pittbus, maka saya menawarkan kepada orang lain. Dan banyak orang yang melakukan itu hanya sekadar hobi seperti saya."

Motivasi ketiga, jelas Boby, adalah orang yang memelihara anjing karena itu merupakan ladang bisnisnya. Hal ini bisa dilakukan dengan dua cara. Pertama adalah dengan cara menjual dan membeli anak-anak anjing ras itu. Ya orang itu menjadi pedagang. Cara lain adalah dengan menjadi pembiak dengan memelihara induknya. Supaya lebih hemat, jantannya hanya dikawinkan dengan menyewa pejantan lain.

Dengan menjadi pembiak kawakan, Anda akan dicari karena pembeli akan meminta informasi yang sangat detil. Dan biasanya para pembeli akan lebih mantap mendapatkan informasi soal anjing dari pembiak yang berilmu dan berpengalaman daripada hanya dari seseroang pedagang anjing. Ya informasi mengenai sejarah keturunannya, usianya, anatominya dan segala kekhususan mengenai anjing itu.

Ini baru bisnis jual beli anjing. Masih banyak peluang bisnis lain yang mendukung bisnis ini. Misalnya makanannya, pelatihannya, tempat penitipannya, kandang, termasuk penyelenggaraan pameran dan perlombaan yang akhir-akhir ini makin diminati.

Contoh tempat penitipan di Happy Pets Dogs & Cats Hotel yang berlokasi di perumahan BSD, Nusa Loka, Sektor 14. Untuk penginapan semalam, pemilik anjing itu harus membayar Rp 50 ribu. Mereka juga melayani jasa antar jemput untuk wilayah Jakarta dan sekitarnya dengan pungutan antara Rp50.000 hingga Rp75.000.

Tentu saja Anda bisa juga membuka toko untuk menjajakan aksesorisnya seperti sampo, pengering bulu rambut, kandang dan sebagainya. Sebagai contoh kandang lipat buatan Taiwan bisa dijual dengan harga Rp325.000, atau sampo jenis Shampoo Nice Coat untuk jenis pembasmi kutu (Formula Flea & Tick) ukuran seribu mili liter dijual dengan harga Rp51.000.

Jadi Anda bisa memilih pada bagian mana dari dunia peranjingan yang bisa Anda geluti. Mungkin saja kalau kehidupan Jakarta yang kian keras dan relasi antar manusia kian renggang, maka kebutuhan untuk menjadikan anjing sebagai sahabat dalam kehidupan sehari-hari kian besar. Mungkin kebutuhan itu tidak setinggi pada masyarakat Eropa dan Amerika yang sangat individual.

Di Amerika, menurut catatan American Pet Products Manufactures Association, sedikitnya 62 persen rumah tangga memelihara hewan. Persentasi tersebut meliputi 78 juta kucing dan 65 juta anjing. Konon, pada tahun lalu keluarga-keluarga itu menghabiskan dana Rp320 triliun untuk hewan piaraan mereka. Jumlah ini meningkat Rp20 triliun dari tahun sebelumnya yang hanya mencapai Rp300 triliun.

Di Indonesia, khususnya di Jakarta, perkembangan mungkin tidak sepesat itu. Tapi bukan tidak mungkin jumlahnya akan terus meningkat.

Bobby mengakui minat orang akan anjing dari hari ke hari kian meningkat. Itu terlihat dari jumlah pengunjungi web-site-nya yang rata-rata per hari mencari seribu orang. Kalau begitu, mengapa Anda tidak mencoba memanfaatkan peluang ini?

Hati-Hati, Ada 'Jin' di Multifinance

Belajar dari Kasus Ustad Wana

Abraham Runga Mali


Rumah Wana bin Adun itu kini sepi. Begitu kira-kira suasana dua minggu setelah rumah itu ditinggal pergi pemiliknya yang saat ini sedang 'beristirahat' di Bui.

"Ketika usahanya masih jalan tempat ini ramai sekali. Begitu juga di halaman musholla, bahkan sampai di kebun-kebun itu," ujar Ajis, tukang ojek, yang mengantar saya ke rumah ini. Sepi rumah pemilik Amanah Motor itu seakan melengkapi kegetiran ribuan nasabah setelah impian mereka ditelan kotak ajaib sang Ustad.

Berdasarkan pengakuan Ustad Wana, niatnya sangat baik. Melalui Amanah Motornya dia ingin membantu orang-orang yang ingin memiliki mobil dan motor dengan cara kredit. Persyaratan yang dikenakan sangat mudah.

Nasabah cukup membayar 50 persen dari harga tunai yang akan dibeli. Sisanya lagi akan dicil tanpa bunga dalam satu sampai tiga tahun. Sebuah penawaran yang sangat menggiurkan. Begitu uang muka dibayar, pembeli bisa langsung membawa pulang mobil atau motor yang dipesannya.

Yang membuat lebih meyakinkan, Ustad Wana mengakui memiliki kotak ajaib. Kotak ajaib ini, demikian pengakuan Dirut Amanah Motor itu, bisa menggandakan uang muka dan anggsuran.

Para nasabah benar-benar diyakinkan dengan kemampuan gaibnya itu. Bahkan, masyarakat di sekitarnya tahu bahwa Wanna adalah pemelihara 'jin' yang yang bisa membantu orang, terutama bagi orang yang ingin berbisnis.

"Banyak orang yang sebelum memulai bisnis, membeli jin dari pak Ustad," demikian Andy, warga Bantar Gebang, Bekasi, yang juga menjadi korban dalam kasus ini menjelaskan.

Selain itu, jelas Andy, pak Ustad Wana sering memanfaatkan agama untuk menjalankan bisnisnya itu. Memang letak musholla yang seakan menyatu dengan rumah Wana bisa memperdayai nasabahnya. Tak mungkin orang 'yang dekat dengan Tuhan' bisa melakukan bisnis 'tipu.tipu', begitulah keyakinan dari sebagian nasabahnya.

Awal penipuan

Tapi justru dari sinilah awal penipuan itu dimulai. Dengan dibantu oleh 30 orang pegawainya Wana mulai beraksi. Dari 30 orang pegawainya, 10 orang adalah mereka yang bertugas untuk pengadaan mobil dan motor. Mereka sebenarnya adalah para calo yang berpengalaman dan memiliki hubungan khusus dengan perusahaan leasing.

Entah karena kekuatan 'jin' atau karena kebodohan warga, meski bisnis itu tidak masuk akal, perkreditan otomotif yang ditawarkan Wana menarik banyak peminat. Konon, menurut pengakuan dia, sedikitnya sudah 900 mobil dan 3.000-an motor yang sudah dilego melalui Amanah Motor ini. Korbannya merata mulai dari tukang ojek hingga anggota DPRD, para pejabat pemerintahan di Bekasi dan petinggi di jajaran polisi dan militer.

Memang pihak kepolisian memperkirakan sedikitnya 50 perusahaan pembiayaan di wilayah Jabodetabek menjadi korban petualangan Ustad Wana. Konon ada keterlibatan karyawan perusahaan pembiayaan dalam kasus perkreditan tersebut.

Itulah sebabnya tidak berlebihan kalau pihak kepolisian juga akan membongkar sejumlah perusahaan leasing yang ikut dalam jaringan penipuan ala kotak ajaib ini. Karena tidak mungkin perusahaan leasing begitu mudahnya mengucurkan pembiayaan mobil dan motor. Bisa saja benar kalau Sekjen Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia Sebuah (APPI), Dennis D. Firmansyah menolak untuk ikut campur dalam persoalan ini. Tapi, yang pasti dugaan keterlibatan karyawan dari sejumlah perusahaan leasing dalam kasus ini merupakan tantangan bagi industri multifinance tersebut untuk terus berbenah.

Masalah kecerdasan

Mike Rini, seorang perencana keuangan, justru melihat rendahnya kecerdasan finansial masyarakat dalam kasus ini. "Salah satu bukti rendahnya kecerdasan ini adalah mudahnya mereka untuk tergiur mendapatkan kredit dengan harga yang murah. Ini jelas tidak masuk akal dan memiliki risiko yang tinggi. Mereka malah lebih percaya pada kekuatan gaib dari pada kekuataan finansial dan perencanaan sendiri."

Mestinya, jelas dia, para nasabah harus mempertanyakan ketika tahu ada kredit murah yang harus dilunasi tanpa bunga. Sebagai nasabah yang cerdas, mereka harus meneliti proposal bisnis atau kredit yang ditawarkan kepada mereka. Begitu juga institusi yang terlibat dalam perkreditan itu harus diketahui reputasinya.

"Karena kendati dealer yang langsung mengurusi kendaraan itu ke perusahaan pembiayaan, pembeli harus ikut mengecek. Kalau tahu insitusi pembiayaannya, mereka tentu tidak menyerahkan cicilannya pada kotak ajaib segala."

Kasus di kelurahan Cikiwul, Bantar Gebang ini, menurut Mike, jelas-jelas merupakan sebuah money game, sebuah modus penipuan bisnis yang paling sering dijumpai masyarakat. Dalam kasus itu Ustad Wana mengumpulkan uang di kotak ajaib dan kemudian memutarnya lagi di aset-aset yang lain.

Memang masyarakat konsumtif yang suka jalan pintas paling mudah menjadi korban penipuan. Mereka tidak menghargai proses berinvestasi dan menggandakana uang secara benar. Sebuah akar yang sama yang bisa menjelaskan mengapa negara ini menjadi sarang koruptor dan para pembohong publik.

Apalagi kalau mereka tahu kalau publik yang hadapinya adalah orang-orang yang suka bermimpi dan bercengkerama dengan makhluk-makhluk dari alam gaib. Hanya kecerdasan finansial yang bisa menghalau 'roh-roh halus' ini. Hati-hati, jin-jin masih bergentayangan, termasuk di perusahaan-perusahaan multifinance.

Kemerdekaan Finansial

Abraham Runga Mali

Mungkin sudah sangat sering Anda mendengarkan dan membaca kata kebebasan finansial. Mengertikah Anda sesungguhnya apa yang dimaksudkan dengan kebebasan finansial? Bersyukurlah kalau sudah. Bagi yang belum memahami, sekaranglah saatnya. Dalam suasana peringatan kemerdekaan negara ini, mari kira arahkan perhatian sejenak pada makna kemederkaan yang satu ini.

Di Indonesia, kata kebebasan finansial mulai dikenal seiring dengan popularitas buku-buku Rober T. Kiyosaki. Memang dia adalah salah satu yang mempromosikan cita-cita dan pengertian financial freedom ke seluruh dunia. Tentu pertama-tama di Amerika Serikat.

Kendati, sudah lama kata-kata itu bergema di negaran asalnya, belum banyak orang memahaminya. Atau di antara mereka belum sepakat dengan makna kata ini. Itu terbukti pada awal bulan lalu, dalam suasana peringatan deklarasi kemerdekaan Amerika, penasihat keuangan Feffrey D. Voudrie masih perlu menulis soal ini.

Tidak sama dengan kaya

Dalam tulisannya Let Financial Freedom Ring, dia berkeberatan dengan pendapat banyak orang yang mengartikan kebebasan finansial sebagai memiliki banyak uang dan hidup layak dengan uangnya itu. Karena kalau demikian, bukan hanya tidak mungkin ada orang yang berhasil meraihnya, tapi akan susah mencari batasannya.

“Seberapa banyak uang yang diperlukan untuk mendukung hidup yang layak itu,” demikian Voudrie bertanya. Pertanyaan itu relevan. Apakah uang itu diperlukan sebanyak kebutuhan, atau sejauh keinginan?

Karena kalau mengikuti keinginan manusia yang tidak terbatas itu, maka uang yang diperlukan menjadi tak terbatas pula. Kalau demikian, apakah masih adakah kebebasan finansial itu? Atau, jangan-jangan dia hanya ada secara konseptual.

Untuk keluar dari kemelut itu, Voudrie maju dengan sebuah rumusan yang lebih sederhana. “Financial freedom is not about spending more, but worrying less. It is more about the relationship between your life style and your income.”

Tentu dengan rumusan in, tidak berarti semuanya menjadi terang benderang. Dengan pendapatan seberapa dan gaya hidup seperti apa, orang itu bebas secara finansial? Tak ada yang memberi jawaban yang pasti.

Kiyosaki hanya mengatakan bahwa kebebasan itu buah dari kecerdasan seseorang dalam bekerja dengan memanfaatkan jaringan. Dalam jaringan, demikian Kiyosaki, seseorang justru memanfaatkan waktu, tenaga dan uang orang lain

Hasilnya, ada passive income. Uang akan terus mengalir ke kantong seseorang dan dia akan terlepas dari segala macam kesulitan finansial. Tapi, sekali lagi apa mungkin seseorang bebas dari persoalan uang kalau dia tidak segera membatasi keinginannya?

Andaikan seseorang yang sudah memiliki kapal pesiar, tapi masih cemas dan harus menguras waktu dan tenaga untuk memburu uang guna membeli pesawat, apakah dia termasuk jenis orang yang menikmati kebebasan finansial? Bukankah tak ada jaminan bahwa setelah pesawat sudah terbeli, dia juga masih cemas dan harus berjuang lebih keras lagi untuk memiliki pesawat kedua, ketiga dan seterusnya.

Suze Orman berusaha menjawab kecemasan orang-orang yang sudah memiliki banyak uang itu. Karena itu berbeda dari Kiyosaki, ketika berbicara kebebasan finansial dalam bukunya The 9 Steps to Financial Freedom, Suze justru berbicara tentang kemampuan seseorang untuk melepaskan diri (baca: bebas) dari uang pada saat dia memiliki banyak uang.

Dalam keadaan ‘bebas’ seperti ini, demikian Suze, seseorang bisa berkuasa atas uang. Suze yakin inilah makna kebebasan finansial yang sesungguhnya karena seseorang tidak lagi diperbudak oleh uang dan keinginannya. Karena kalau tidak memiliki kebebasan itu, jelas dia, seseorang bisa mengorbankan hal-hal lain yang tidak kalah penting seperti kehidupan keluarga, etika, cinta atau mungkin religiositas.

Bersifat personal

Untuk itu seorang perencana keuangan seperti Ron Pearson lebih tertarik membicarakan kebebasan finansial sebagai kemampuan seseorang secara personal untuk memenuhi impiannya. Kalau seseorang dalam hidupnya mempunyai impian untuk menyekolahkan anaknya, dan kalau dia berhasil melakukan itu, dia telah memiliki kemerdekaan itu.

Dan itu dibenarkan oleh perencana keuangan yang lain, Stacy Francis yang menekankan pentingnya seseorang menetapkan tujuan personal dalam dalam hidupnya. Menurut ilmu perencanaan keuangan, tujuan seseorang sudah jelas, yaitu bagaimana menetapkan kebutuhan hidupnya (goals), seperti kebutuhan untuk menjamin risiko hidup melalui asuransi, memenuhi segala kebutuhan hidup sehari-harinya seperti kebutuhan akan rumah, pendidikan anak dan juga termasuk bagaimana merencanakan pensiunnya.

Setelah menetapkan tujuan, jelasnya, tahap berikut adalah menghitung segala pengeluaran untuk memenuhi kebutuhan dan impian-impian itu. Baru terakhir adalah membuat perencanaan (plan) dengan tahapan yang jelas bagaimana seseorang harus bekerja, berapa pengeluaran dan berapa tabungannya.

Karena itu, menurut Francis, faktor yang menentukan apakah Anda akan mencapai kebebasan finansial adalah dengan melihat bagaimana Anda mengatur pengeluaran dan bagaimana Anda menabung. Sesederhana itu, kata Francis.
Kalau demikian, tidak cukup Anda memahami pengertian kebebasan finansial secara konseptual. Yang lebih penting adalah Anda sadar bahwa kondisi kebebasan finansial Anda berbeda dengan yang lain. Dan yang lebih penting lagi, mulai sekarang deklarasikan kemerdekaan finansial Anda. Baru setelah itu, dan ini yang terpenting, Anda berjuang untuk mencapainya. Merdeka!

Pemimpin Jaringan

Abraham Runga Mali

Salah seorang penulis yang paling antusias berbicara soal pentingnya jaringan dalam bisnis adalah Robert. T. Kiyosaki. Dalam berbagai bukunya seperti Rich Dad Poor Dad, Rich Dad's CASHLOW Quadrant, Rich Dad's Guide to Investing, atau Business School, penulis campuran Jepang-Amerika ini memberi tempat yang tinggi pada bisnis berkekuatan jaringan.

Jaringan itu kunci sukses finansial, kata dia. Maka bisnis yang paling dianjurkan adalah waralaba dan bisnis jaringan pemasaran atau MLM (Multi Level Marketing). Bisnis jenis ini berbeda dengan cara berbisnis tradisional yang mengajarkan orang untuk menjadi karyawan atau bekerja sendiri untuk mendapatkan uang. Ini cara lama. Benar di sana orang diajarkan untuk bekerja keras. Dan mereka mendapatkan uang dari pekerjaannya itu. Tapi, hasilnya terbatas, sebatas potensi dirinya dan waktu pribadinya.

Pada sistem jaringan, sistem yang sering digunakan oleh oleh pengusaha dan investor, hasilnya jauh lebih optimal. Bahkan, pada saatnya, bisnis dan uang itu akan dibiarkan bekerja untuk pemiliknya. Tentu dengan memanfaakan uang dan waktu orang lain. Makin banyak orang dilibatkan dalam jaringan itu, makin besar uang yang mungkin didapatkannya.

Dengam maksud membangun sebuah jaringan yang solid dan efektif, Kiyosaki juga kerap bicara soal pentingnya kepemimpinan dalam menentukan keberhasilan bisnis jaringan pemasaran. Anda harus berhasil menginsipirasikan orang lain untuk menemukan kehebatan pribadi mereka. Termasuk dengan menggali impian mereka yang paling liar sekali pun.

Menjadi pemimpin berarti Anda harus mampu menggerakkan orang lain untuk berjuang menggapai apa yang mereka impikan. Di MLM, pekerjaan rutin Anda adalah menginspirasikan, menggerakan, memotivasi orang lain. Itu pekerjaan kepemimpinan. Masing-masing orang harus menjadi pemimpin.

Kepemimpinan

Di MLM, orang belajar menjadi pemimpin. Bahkan, banyak program pendidikannya, diakui sebagai pelatihan bisnis dan pengembangan kepemimpian terbaik. Ada keyakainan di sana, "uang selalu mengalir kepada pemimpin. Kalau kamu menginginkan lebih banyak uang, cukuplah menjadi lebih dari seorang pemimpin."

Sampai di sini, orang-orang MLM boleh bertukaran pengalaman dengan sebuah organisasi atau jaringan yang lain. Jaringan Jesuit, atau Serikat Jesuit. Karena di sana pun, kepemimpinan atau menjadi pemimpin mendapat tempat terhormat. Bahkan, itu adalah nilai yang turut menentukan keberhasilan organisasi itu.

Adalah Christ Lowney melalui bukunya Heroic Leadership: Best Practises from a 450-Year-Old Company Thet Changed the World (2003) yang memperkenalkan paradigma dalam memahami arti kepemimpinan.

"Saya terkesan kepemimpinan dalam Serikat Jesus (SJ). Coba sebutkan perusahaan, organisasi, atau lembaga yang mendapat kriteria sebagai organisasi paling sukses dan bisa bertahan selama 465 tahun atau hingga sekarang? Tidak banyak untuk mengatakan tidak ada, kecuali SJ. Di antara organisasi keagamaan sesama Katolik, Jesuit adalah champion," ujar Lowney kepada surat kabar Kompas belum lama ini.

Buku Heroic Leadership saat ini berada pada peringkat pertama di Amerika Serikat dan menjadi finalis dalam Book of the Year Award Majalah Foreward. Alasannya, buku ini berhasil menggali pengalaman dari sebuah serikat atau jaringan dalam mengedepankan kultur kepemimpinan yang baru, sebuah manajemen baru.

Serikat ini didirikan oleh Ignasius Loyola pada 1954. Sampai saat ini, di organisasi itu terdapat 21.000 personel yang mengelola 2.000 lembaga, terutama lembaga pendidikan yang tersebar di sedikitnya 112 negara.

Lembaga sekolah yang dikelolanya sudah berhasil mendidik banyak tokoh di dunia. Termasuk di antaranya Bill Clinton, Francois Mitterand, Fidel Castro, aktor AS peraih Oscar Denzel Washington, Presiden Meksiko Vicente Fox, manta Ketua NBC yang kini menjadi Ketua Sony Corporation Robert C. Wright, mantan PM Kanada Pierre Trudeau dan sekitar 40 orang yang kini menjadi anggota di Konggres AS.

Tentu termasuk tokoh dunia terkenal lain semisal penjelajah Benedetto de Goes, ahli lignuistik Matteo Ricci, serta pakar matematika dan astronomi Christopher Clavius.

Kepemimpinan yang diperkenalkan di antara anggota Jaringan Jesuit memang lain. Di sana ada pemimpin, tetapi dia memimpin tidak dalam model konvensional, yaitu menentukan jalan organisasi dan anggota yang lain bergantung pada komando satu orang ini. Tidak. Sebaliknya, setiap orang harus menjadi pemimpin di mana pun dia berada.

Insting Jesuit

Di situlah insting Jesuit yang membuat kelompok ini berhasil. Kepemimpinan dan kepahlawan ada pada setiap orang. Nilai-nilai itu harus digali dan dikembangkan secara optimal dalam diri setiap orang sehingga kehadirannya dalam jaringan juga berfungsi optimal. Lowney memperlihatkan empat pilar yang mendasari kepemimpinan para Jesuit ini.

Pertama, setiap Jesuit harus memiliki kesadaran diri sendiri (self-awareness). Dia harus mengenal kekuatan dan kelemahan dalam dirinya, memiliki nilai dan pandangan sendiri. Kedua, setiap Jesuit juga memiliki ingenuity (keunikan), yaitu kemauan melakukan inovasi dengan keyakinan dan mau menyesuaikan diri dengan perubahan dunia.

Ketiga, setiap Jesuit harus memiliki cinta (love). Cinta ini yang memampukan seorang Jesuit untuk berrelasi dan berinteraksi dengan pihak lain dengan pandangan dan cara yang positif. Hanya dengan itu, seseorang yang adalah pemimpin itu bisa membuka potensi yang ada pihak lain juga.

Keempat adalah heroisme, yaitu kemampuan mengoptimalkan potensi diri dan potensi orang lain dengan semangat heroik dan disertai keinginan dari masing-masing dan bersama-sama untuk mencapai keinginan itu.

Empat pilar itu yang membuat Jaringan Jesuit menjadi kelompok yang kuat yang memiliki kultur perusahaan tersendiri. Kultur itu di kalangan internal jaringan mereka disebut modo de proceder (cara kita melakukan banyak hal, the way we do things). Jadi tak perlu heran kalau dalam seperti ini, mereka juga berhasil secara finansial. Uang memang mengalir kepada pemimpin.

Mestinya, kalau kita mau berhasil membina jaringan atau mengembangkan organisasi yang baik, belajarlah dari para Jesuit. Kultur mereka sudah teruji. Mereka sudah terbukti berhasil membangun serikat dan jaringan. Caranya hanya satu, setiap orang harus menjadi pemimpin dalam jaringan tersebut.

Jembatan Emas

Abraham Runga Mali

Seorang sahabat pernah mengajukan tesis yang cukup mengguncangkan. "Anda percaya bahwa Tuhan itu mahakuasa". Begitu kira-kira pertanyaan pemanasan sebelum dia keluar dengan gagasan yang sangat provokatif itu.

Sebelum saya mengajukan perkara keimanan saya, dia lebih dulu nyerocos dengan pendapatnya."Hanya ada satu yang tidak bisa dikuasai oleh Tuhan Anda yaitu kebebasan. Anda bebas untuk menerima atau menolak kuasa Tuhan dalam kehidupan Anda."

"Apakah Anda orang yang percaya pada eksistensi Tuhan". Saya balik bertanya. "Tidak," jawab dia. "Lalu, bagaimana Anda menjelaskan segala keterbatasan Anda". Saya kembali bertanya.

"Tapi, mengapa karena kerbatasan itu, lalu Anda harus mengakui bahwa Ada Yang Tak Terbatas". Sahabatku tak mau mengalah. "Bebas atau tak bebas, Yang Tak Terbatas itu ada begitu saja. Dia tidak butuh pengakuan. Menolak eksistensi Yang Tak Terbatas itu hanya ada dalam konsep Anda. Dalam pengalaman sehari-hari, Anda tak pernah bebas mengelakannya," saya berusaha untuk meyakinkannya.

Sahabatku itu tentu tak sepakat. Dia malah makin liar dengan pemikirannya. Mengapa manusia tidak cukup langsung menerima bahwa dia memang hidup dan tersiksa dalam kefanaan dan kerbatasannya. Bukankah pengakuan akan adanya "kehidupan dan kekuasaan yang tak terbatas, itu hanya solusi akal budi ketika menghadapi rahasia alam dan kehidupan yang tidak bisa dipahaminya"

Yang lebih aneh lagi, begitu dia melanjutkan, ketika Yang Tak Terbatas itu diberi nama Theos, Tuhan. Dia seolah-olah pribadi yang hidup dan memiliki otoritas dengan memberikan sejumlah perintah dan larangan. Solusi seperti ini, jelas dia, makin menyudutkan keterbatasan manusia. Manusia yang sudah dirundung keterbatasan, malah semakin diperpuruk dalam kungkungan.

Begitulah dasar pemikiran yang menyulut orang-orang seperti Friedrich Nietsche untuk memproklamirkan kematian Tuhan. Ide-ide tentang Tuhan seolah-olah menghambat cita-cita manusia untuk menjadi makhluk unggul, manusia super dan merdeka. "Tuhan mati dan kita telah membunuh Dia."

Pertarungan
Pertarungan antara kebebasan manusia dan otoritas Tuhan sudah berlangsung lama. Erich Fromm dalam Escape From Freedom, melihat kisah manusia pertama di Taman Firdaus sebagai awal pembrontakan itu. Semula Adam dan Siti Hawa hidup dalam keharmonisan yang sempurna antara satu dengan yang lain dan dengan alam. Namun, tak ada pilihan, tak ada kebebasan di sana.

Keharmonisan itu mulai retak ketika manusia-manusia itu mulai membrontak dengan memakan buah pengetahuan yang baik dan jahat. Inilah permulaan dari kebebasan manusia. "Tindakan ketidakpatuhan sebagai suatu tindakan kebebasan itu adalah permulaan dari akal budi."

Mitos penciptaan kemudian secara detil memaparkan konsekuensi-konsekuensi dari pemberontakan itu. Manusia harus bertarung satu sama lain, bertarung dengan alam. Kebebasan itu adalah kutukan. Manusia bebas dari penghambaan surgawi yang manis, namun ia tak bebas mengatur dirinya sendiri. Dia merdeka dari pengayoman Tuhan, tapi dia tak merdeka untuk merealisasikan individualitasnya.

Itulah sebabnya dalam kaca mata kaum determinis kebebasan adalah khayalan semata. Holbach mengatakan para pemimpi kebebasan itu seperti lalat yang berada di atas tonggak sebuah kereta raksasa. "Seorang manusia yang membayangkan dirinya bebas adalah seekor lalat yang membayangkan ia dapat memindahkan alam semesta, padahal tanpa menyadarinya ia sendiri terbawa olehnya."

Faktor bawaan dan lingkungan menyebabkan manusia tak bisa berbuat lain, kata Schopenhauer. Segala sesuatu terjadi dengan niscaya, tegas Voltaire. Tentu saja ironi kaum determinis bukan tanpa cacat.

Musuhnya, kaum liberian, menuduh bahwa dengan membajak kebebasan itu manusia ingin berlari dari tanggung jawab. Kalau semua sudah ditentukan, di manakah kehendak bebas manusia dan tanggung jawab? Tak ada ruang yang cukup bagi manusia untuk berbicara soal moral dan etika. Padahal bagi hukum moral, kebebasan dan akal budi adalah syaratnya.

Keluar dari kemandekan
Tapi demikianlah pemikiran manusia, selalu ada jalan untuk keluar dari kemandekan berpikir. Benar kebebasan itu terbatas. Tapi, manusia bukan batu, kayu, atau tikus yang serba ditentukan. Benar, manusia selalu dihadapkan dengan segala keterbatasan dan pembatasan, belenggu dan pembelengguan. Tapi, dengan akalnya dia bisa menimbang-nimbang, memilih dan bertanggung jawab atas pilihan untuk berusaha keluar dari keterbelengguan.

Kita seolah-olah ditakdirkan bukan hanya untuk mendambakan kebebasan itu, tapi memperjuangkannya. Termasuk ketika penjajahan membelenggu bangsa ini. Manusia-manusia Indonesia berjuang untuk merdeka. Tapi seperti tak terhindarkan pula, ketika merdeka, menurut alur pemikiran para penganjur "kontrak sosial", kita menyerahkan sebagian dari kebebasan kita kepada institusi negara ini untuk mengatur dan mengurusinya.

Lalu setelah 60 tahun, semakin bebaskah kita? Bagaimana dengan kemiskinan, keterbelakangan dan manajemen negara yang kian membelenggu dan mencemaskan warganya" Masihkah kita harus berteriak merdeka"
Jangan-jangan benar bahwa kemerdekaan itu hanya khayalan. Atau memang kita dikutuk untuk terbelenggu, kemudian berjuang, terbelenggu lagi dan berjuang lagi" Atau mungkin benar kata Pak Karno, kemerdekaan 60 tahun lalu adalah jembatan emas. Tapi seberapa panjang lagi jembatan emas itu akan dibangun" Jangan-jangan kita pun terkutuk untuk terus membangun jembatan emas itu. Tak pernah selesai.

Membaca Tren Harga Minyak Dunia (3)

Abraham Runga Mali

(Dimuat di Bisnis Indonesia edisi 19 Mei 2005)

Pada tulisan sebelumnya diceritakan tentang sikap OPEC yang sulit mengambil keputusan penambahan kapasitas produksi hingga 500.000 barel per hari. Sikap OPEC bahkan berubah-ubah. Perubahan itu terutama setelah 17 Maret 2005 ketika harga minyak menembus posisi US$57 per barel.

Di antara negara-negara anggota OPEC memang tidak sepakat mengenai hal itu dan menundanya hingga Mei. Tetapi sampai saat ini terlihat tanda-tanda bahwa negara-negara itu akan mencapai kebulatan pendapat soal tersebut.

Bahkan Menteri Perminyakan Aljazair Chakib Khelil, misalnya, pada akhir Maret menegaskan OPEC tidak perlu menaikkan produksi sebanyak 500.000 barel menjadi 27,5 juta barel per hari. Alasannya, pasokminyak dunia diniliai sudah mencukupi. Padahal, dua minggu sebelumnya, dalam pertemuannya yang ke-135 di Isfahan, Iran, organisasi itu sudah sepakat meningkatkan kuota guna mengerem kenaikan harga minyak.

Sebagai ganti membuat aksi yang jelas dan tegas, OPEC malah lebih sibuk melempar kesalahan itu pada masalah geolopolitik dan spekulasi yang menyebabkan lonjakan dan fluktuasi harga minyak. Padahal, banyak pihak sudah sampai pada konklusi bahwa pasok minyak menjadi sebab utama dan terutama karena tidak mampu melayani permintaan negara-negara konsumen.

Secara pribadi Menteri Perminyakan Arab sebenarnya pernah melontarkan niat untuk mendongkrak produksi minyak pada semester kedua 2005 guna mengantisipasi lonjakan permintaan tersebut. Tetapi itu bukan kebijakan institusional OPEC.

Menyaksikan keragaman sikap OPEC, banyak pihak malah balik menuduh bahwa organisasi itu memang tidak transparan dengan kondisi yang sebenarnya terjadi. Ketidaktransparan itu seakan melengkapi kenyataan bahwa data-data mengenai persediaan, suplai, dan permintaan minyak dunia memang serba tidak pasti. Jadi, tak usah mengherankan bila antara prediksi yang satu bisa bertolak belakang dengan prediksi yang lain.

Walaupun, pendapat negara-nega-ra OPEC soal faktor di luar suplai tidak sepenuhnya salah. Faktor politik yang terkait dengan negara-negara penghasil minyak itu merupakan salah satu faktor yang menyebabkan fluktuasi minyak dunia. Ini terutama situasi politik yang menimpa dua negara anggota OPEC, yaitu Irak dan Venezuela.

Invasi AS ke Irak diikuti dengan penghancuran sejumlah ladang minyak di wilayah selatan Irak menyebabkan produksi minyak di negara itu menjadi tidak pasti. Bahkan upaya memproduksi minyak dengan jumlah yang sama seperti sebelum Perang merupakan hal yang sangat sulit dicapai.

Begitu juga yang terjadi dengan Venezuela. Carut-marut politik berupa aksi demontrasi dan mogok di negera itu sejak Desember 2002 turut mempengaruhi kemampuan Venezuela mensuplai minyak dunia. Peristiwa tersebut tidak hanya menyusutkan pendapat bruto negera itu tetapi juga produksi minyak nasionalnya.

Menurut EIA, pada 2003 produksi nasional mencapai 2,6 juta barel per hari, atau turun 10% dari total produksi sebelum krisis politik.

Begitu juga dengan situasi yang menimpa Nigeria yang sampai sekarang masih terlibat konflik antarsuku dan kelompok. Ketidakstabilan politik di negara itu tentu turut mempengaruhi persediaan suplai minyaknya.

Soal spekulasi

Persoalan suplai, dinamika politik, dan ketidaktransparanan OPEC dan negara-negara produsen minyak lainnya merupakan ladang yang subur bagi para spekulan dalam mempermainkan harga minyak dunia.

Pada pertengahan tahun lalu, Sekjen OPEC Maizar Rahman memperkirakan spekulasi harga minyak turut menaikkan harga sekitar US$10-US$15 per barel. Perkiraan yang hampir serupa juga pernah dilansir oleh Financial Times edisi 21 Agustus 2004.

Salah seorang yang sangat mencemaskan soal spekulasi harga minyak adalah Presiden The Fed, Alan Greenspan. Dalam kesaksiannya di depan Komite Bujet di Kongres AS, dia menyebutkan secara terang-terangan bahwa spekulasi merupakan salah satu sebab yang mendongkrak harga minyak dunia.

Pertama, jelas Greenspan, spekulasi yang berkaitan dengan penambahan permintaan minyak yang langsung berurusan dengan potensi penemuan ladang-ladang baru. Kedua adalah investor dan spekulan yang mengambil untung dari posisi harga futures minyak mentah.

Untuk spekulasi yang pertama pernah dibantah oleh EIA. Perhatikan laporan EIA September 2004 bertajuk Short-Term Energy Outlook. Laporan itu memperlihatkan perkembangan harga saham di AS dan negara-negara OECD (Organization for Economic Cooperation and Development).

Karena, kendati diumumkan bahwa penemuan dan proyek-proyek baru di negara-negara maju mengalami penurunan sehingga tidak bisa mengimbangi kenaikan permintaan, ternyata harga saham justru menurun dari September 2004 hingga Maret 2005.

Padahal, menurut lembaga itu, yang terjadi mestinya sebaliknya. Kalau saja pernyataan Greenspan soal spekulasi jenis pertama benar, maka mestinya tidak demikian yang terjadi.

Karena itu, EIA tetap berkeyakinan bahwa spekulasi tidak terjadi pada tataran yang pertama ini. Artinya, demikian lembaga penelitian itu, spekulasi lebih terjadi pada transaksi derivatif yang bernama futures harga minyak mintah itu.

Wall Street Journal memperlihatkan terjadi kenaikan volume perdagangan yang cukup signifikan di pasar futures dalam periode terakhir ini. Sebuah indikasi bahwa spekulasi di harga minyak itu benar-benar memberi kontribusi pada lonjakan harga komoditas tersebut.

Spekulasi pada transaksi derivatif ini turut diperparah oleh fluktuasi mata uang global, terutama yang berkaitan dengan tiga mata uang kuat dunia, yaitu dolar AS, euro, dan yuan.

Keinginan dari sejumlah negara agar transaksi minyak juga di-transaksikan dalam euro dan yuan, selain dolar AS, seakan menjadi spekulasi jenis lain yang turut menamaikan permainan harga minyak di bursa minyak internasional.

Kalau demikian yang terjadi, har-ga minyak dunia di masa depan semakin sukar dikendalikan dan diprediksikan, termasuk oleh produsen yang sudah kesulitan meningkatkan kapasitas produksinya. Karena itu, mulailah membiasakan diri dengan harga minyak yang cenderung berfluktuasi ke tingkat yang lebih tinggi. Kalau itu adalah hal yang luar biasa, maka sekurang-kurangnya membiasakan diri untuk berhemat energi dan mencari solusi dengan energi alternatif.

Membaca Tren Harga Minyak Dunia (2)

Abraham Runga Mali
(Dimuat di Bisnis Indonesia pada edisi 18 Mei 2005)

Secara keseluruhan, permintaan minyak dunia secara berturut-turut Amerika Serikat (25%), Negara Eropa yang tergabung dalam OECD (19%), China (8%), Jepang (7%), India (3%), dan sisanya dikomsumsi oleh negara-negara lain sebesar 34%.

Menurut perhitungan Energy Information Administration (EIA), khusus untuk permintaan China pada 2003, menyumbang hampir 40% dari pertumbuhan permintaan minyak dunia selama empat tahun terakhir. Jumlah yang dikonsumsi tahun itu mencapai 5,6 juta barel per hari. Pada 2005, jumlah konsumsi di negara tersebut bisa menembus angka 7,4 juta-7,7 juta barel.

Sementara India yang pada 1995 masih mengkonsumsi 1,6 juta barel, meningkat menjadi 2,2 juta barel pada 2003. Dan sejak 2000 negara itu memenuhi kebutuhannya dengan mengimpor sebesar 27% dari kebutuhan minyaknya.

Ke depan, pertumbuhan permintaan minyak dunia diprediksi terus meningkat. Mengutip IEA, diperkirakan permintaan minyak dunia meningkat 60% antara 2002 hingga 2030.

Penambahan permintaan dari dua negara yang pertumbuhan ekonominya menakjubkan, yaitu India dan China, tentu memberikan kontribusi paling signifikan. Misalnya, permintaan minyak China yang pada 2002 sebesar 5,2 juta barel per hari, akan menjadi 13,3 juta barel pada 2030. Sedangkan India yang pada 2002 mencatat permintaan 2,5 juta barel akan meningkat menjadi 5,6 juta barel per hari tahun itu.

Bahkan, menurut perkiraan IMF, permintaan minyak China mencapai 19 juta barel per hari untuk memenuhi kebutuhan transpotasi yang memang meningkat tajam.

Kalau pada 2002 jumlah kendaraan bermotor di negara itu hanya 21 juta unit, maka pada 2030 meningkat menjadi 390 juta unit.

Masalah suplai

Persoalannya, terhadap permintaan yang terus meningkat itu tidak bisa diimbangi dengan pasok yang cukup. Selain karena produksi perusahaan minyak yang sudah di ambang batas, produksi baru-melalui penemuan ladang-ladang baru-juga jarang dilakukan.

Hunter Herron, Presiden Petrolium Equty dalam artikelnya The Looming Crisis In Worldwide Oil Supplies, mengatakan 90% dari produksi minyak saat ini berasal dari sumur yang sudah berusia 20 tahun, dan 70% berasal dari sumur yang usinya sudah mencapai 30 tahun.

Menurut kalkulasi dia, pada 1998 produksi minyak mencapai 807 miliar barel dari kapasitas maksimal 1,8 triliun barel.

Dari jumlah itu yang sedang diproduksi saat ini adalah 830 miliar barel dan yang masih bisa diproduksi lagi sebesar 995 barel.

Dengan kondisi seperti itu, apabila konsumsi per tahun sekarang rata-rata mencapai 25 barel, maka dari sisa yang masih diproduksi sebesar 995 miliar barel itu hanya akan mensuplai hingga 40 tahun. Itu diasumsikan kalau rata-rata konsumsi berlaku konstan. Padahal, kenyataannya konsumsi minyak dunia makin hari makin tinggi.

Berdasarkan analisis ExxonMobil, dalam 10 tahun mendatang permintaan minyak meningkat sekitar 2% setahun, sementara produksi dari ladang-ladang minyak terus menurun sekitar 3%-5%.

Data dari BP Statistical Review of World Energy memperlihatkan 18 negara produsen minyak besar-dengan kontribusi hampir 29% dari total produksi dunia-saat ini mengalamai penurunan kapasitas produksi dan secara rata-rata penurunan itu mencapai satu juta barel pada 2003.

Ini tentu belum termasuk kondisi beberapa negara lain yang baru mengalami penurunan produksi dalam beberapa tahun mendatang. Terutama Meksiko dan China. Perusahaan minyak nasional Meksiko, Pemex, misalnya, sudah mengumumkan bahwa produksi dari ladang minyak Cantarell, salah satu kilang minyak terbesar dunia, akan menurun hingga 16% mulai 2006.

Rusia pun berjanji tidak akan ada penambahan produksi pada 2005. Selain hasil penjualan minyak digunakan untuk menutupi utangnya, yang mencapai US$114 miliar pada posisi Desember 2004, sebagian dana itu juga dipakai untuk membiayai kebutuhan dalam negeri. Hal yang juga dilakukan oleh Arab Saudi dan negara-negara lain yang kertergantungan pada minyak sangat tinggi.

Bandingkan juga dengan data dari Asosiasi Perminyakan Indonesia (API) yang mengatakan bahwa saat ini sekitar 70% sumur minyak di Indonesia berusia tua. Sumur-sumur ini menghasilkan 88% dari total produksi minyak di negara ini

Produksi baru

Karena itu, kebutuhan untuk investasi baru adalah tuntutan yang mendesak. Tapi persoalannya, biaya yang dikeluarkan juga sangat besar. Untuk menjaga keseimbangan baru antara permintaan dan penawaran dibutuhkan investasi sebesar US$ 1.000 miliar dengan dukungan sekitar 350.000 teknisi dan tenaga ahli.

Memang benar dari hasil riset Oil Depletion Analysis Centre (ODAC) yang bermarkas di London, dari 2004 hingga 2010 terdapat sedikitnya 68 mega proyek baru yang akan menambah suplai sebesar 12,5 juta barel per hari.

Dari jumlah proyek itu, 56 akan berproduksi pada tiga tahun mendatang, 7 mulai berproduksi pada 2008, tiga lagi pada 2009, dan 2 proyeknya baru berproduksi tahun 2010.

Chris Skrebowski, seorang ahli dari ODAC, mengatakan lebih dari setengah hasil produksi itu akan menggantikan penurunan produksi dari sumur minyak yang lama.

Dengan demikian, apabila pertumbuhan permintaan sebesar 2% setahun maka produksi di atas tidak akan mencukupi total kebutuhan pada 2010 yang mencapai lebih dari 2 juta barel per hari.

"Dengan penambahan permintaan yang cukup rendah saja, hasil studi kami memperlihatkan akan terjadi ketimpangan antara permintaan dan suplai setelah 2007," tegas Skrebowski yang juga editor pada majalah Petrolium Review.

Dia tetap yakin penurunan kapasitas produksi pada sumur-sumur lama merupakan faktor yang sangat berpengaruh pada keseimbangan antara suplai dan permintaan.

Pukulan bagi OPEC

Ketuaan sebagian besar sumur minyak dunia dan ketidakmampuan menemukan ladang baru merupakan sebuah pukulan bagi negara-negara pengekspor minyak, terutama mereka yang tergabung dalam OPEC.

Sebagai sebuah kartel para produsen minyak, OPEC disinyalir tidak memiliki lagi kekuatan yang bisa mempengaruhi harga.

Apalagi negara-negara itu dinilai kurang konsisten dalam mengambil sikap terhadap harga minyak yang terus melambung, melampaui target dalam patokan OPEC, sekitar US$22-US$28 per barel.

Begitu lamban dan kaburnya sikap lembaga ini sampai-sampai mengundang tuduhan kalau OPEC memang berkepentingan agar harga minyak tetap tinggi.

Selama ini OPEC hanya menuduh kalau harga itu selalu dimainkan oleh para spekulan. Apakah memang demikian?

Leo Drollas dari Centre for Global Energy Studies mengatakan Arab Saudi sejak 2004 menghendaki agar harga minyak tidak lebih rendah dari US$30 per barel.

Negara itu, menurut dia, membutuhkan banyak dana untuk pembangunan dalam negeri.

Apalagi hasil penjualan minyak tidak segemilang dulu. Benar bahwa harga minyak memang tinggi tetapi melemahnya nilai dolar menyebabkan penghasilan itu tidak berarti apa-apa bagi negara tersebut. Ini karena harga transaksi semuanya dalam dolar AS.

Itulah sebabnya tidak terlalu mengejutkan bila OPEC hingga saat ini tidak bisa membuat keputusan apakah perlu menambah kapasitas produksi hingga 500.000 barel per hari. Bahkan terkesan pendapat soal itu bukan hanya berbeda dari negara yang satu dengan dari yang lain, tetapi juga berubah-ubah dari satu waktu ke waktu yang lain.

Memprediksi Tren Harga Minyak Dunia (1)

Abraham Runga Mali

(Dimuat di Bisnis Indonesia pada 17 Mei 2005)

"Nothing happened," kata-kata itu meluncur dari mulut Carl Larry, analis Barclays Capital, awal bulan ini ketika menyaksikan harga minyak mentah dunia kembali menyelinap ke posisi di atas US$50 per barel.

Dua pekan setelah pernyataan itu, harga minyak turun bahkan menyentuh ke posisi yang lebih rendah lagi, yaitu US$48, 29 per barel. Itu berarti terjadi penurunan sebesar 16% dari rekor tertinggi yang dicapai pada 4 April di New york Mercantile Exchange, yaitu US$58,28 per barel. Hingga 16 Mei, harga minyak berada di bawah US$48 per barel.

Posisi US$48 per barel adalah harga terendah sejak 18 Februari ketika harga emas hitam itu seakan tak mau beranjak dari angka psikologis di atas US$50. Tapi, ke mana harga minyak selanjutnya akan bergerak?

Bloomberg pada akhir pekan kemarin menurunkan hasil pengumpulan opini dari 59 analis dan ahli strategi perminyakan dunia. Hasilnya cukup menggembirakan. Sebanyak 36 orang, atau 61% berpendapat kalau harga minyak akan terus menurun, sekurang-kurangnya untuk satu atau dua pekan mendatang.

Larry kembali menguatkan keyakinannya bahwa apa yang terjadi akhir bulan lalu itu hanya sebuah spekulasi. Fondasi realitasnya masih sama, yaitu permintaan minyak dunia yang kian menguat, sehingga mengangkat harga itu jauh di atas harga keranjang yang ditetapkan OPEC pada awal Januari, yaitu US$22-US$28 per barel.

Sampai Maret saja, organisasi negara-negara pengekspor minyak (OPEC), masih berusaha tenang dan meyakinkan dunia bahwa dia masih berkuasa mengendalikan harga minyak dunia.

Ada seorang analis lain dari Goldman Sachs, Arjun N. Murti, pada akhir Maret segera memecahkan ketenangan OPEC. Dia melontarkan prediksi yang menggegerkan bahwa harga minyak mentah akan terus menguat dan segera menyentuh US$105 per barel pada 2007.

Padahal, angka ini adalah hasil revisi dari perkiraan yang pernah dibuat sebelumnya bahwa harga minyak mentah akan bergerak di level US$50-US$80 per barel. Mungkin karena angka itu masih terlau rendah sehingga banyak orang seakan tak mempedulikan lontaran per-kiraan tersebut.

Murti sebenarnya menda-sarkan perkiraannya pada ketimpangan antara permintaan dan penawaran. Permintaan minyak yang lebih tinggi dari persediaan adalah penjelasan di balik kenaikan harga minyak.

"Kenaikan permintaan minyak dan pertumbuhan ekonomi yang semakin tinggi, khususnya di Amerika Serikat dan China, benar-benar menghentakkan kita," tulis laporan Goldman Sachs itu.

Tetapi tentu tidak semua orang sependapat dengan Arjun Murti. Banyak yang menuduh Murti terlalu berani melansir laporan itu dan terkesan ingin berspekulasi dan memainkan harga saham sektor energi dan minyak di Wall Street.

Sebut saja Tim Evans, analis energi dari Thomson Financial. Dia keberatan dengan prediksi atas lonjakan harga minyak sefantastis itu. Hal itu, menurut Evans, hanya mungkin kalau negara-negara di dunia, seperti AS, tidak akan berbuat sesuatu. Atau kecuali Arab Saudi menghancurkan semua cadangan minyak mentahnya.

Evans malah sebaliknya memperkirakan kalau harga minyak bakal turun hingga US$30 per barel. Harapan dia merujuk pada laporan Departemen Energi AS bahwa negara itu akan memproduksi minyak mentah hingga 314,7 juta barel tahun ini, meningkat 8%. Bukankah itu sebagian dari cara untuk memenuhi permintaan minyak dunia? Begitulah keyakinan Evans.

Apa pun bantahan atas Murti, yang pasti harga minyak dunia saat ini sudah cukup mengkhawatirkan. Bahkan sudah banyak pihak yang mengingatkan bahwa era minyak murah di dunia memang sudah berakhir. Coba simak pernyataan Saghuran Rajan dari departemen riset IMF.

Kendati tidak sedrastis Murti, dia juga punya perkiraan sendiri. Menurut Saghuran, harga minyak akan naik secara bertahap.

Pada tahun 2030, harga minyak mentah berada di kisaran US$67-US$96 per barel. Karena itu Saghuran mengingatkan agar dunia harus memulai membiasakan diri dengan harga minyak yang semakin mahal itu.

Sejarah harga minyak

Memang benar kalau lonjakan harga minyak yang terjadi akhir-akhir ini bukanlah satu-satu yang pernah dalam sejarah harga energi itu. Pada peristiwa Yon Kippur-Mesir dan Suriah menyerang Israel pada 5 Oktober 1973-harga per barel minyak mendadak naik dari US$3 pada 1972 menjadi US$12.

Pada 1974 hingga 1978 harga per barel minyak mentah cukup stabil dan bergerak di kisaran US$12,21 hingga US$13,55 [setelah disesuaikan dengan harga dolar tahun 2000]. Namun stabilitas harga itu tidak berlangsung lama. Karena kemudian muncul krisis baru pada 1979 dan 1980.

Ketika terjadinya Revolusi Iran, suplai minyak dari negara itu menurun sekitar 2 juta-2,5 juta per barel per hari antara November 1978 hingga Juni 1979. Sementara pada 1980, ketika berkecamuk perang Iran-Irak, produksi minyak Irak turun 2,7 juta per barel dan produksi minyak Iran terkikis 600.000 barel per hari.

Kombinasi dua peristiwa penting itu kembali menggerek harga ke tingkat yang cukup tinggi. Dari US$14 per barel pada 1978 melonjak hingga US$35 per barel pada periode 1981.

Tetapi setelah itu harga kembali stabil. Hal ini membenarkan keyakinan bahwa efek politik atas minyak berlaku untuk jangka pendek. Untuk sebuah alasan ekonomi-yaitu kelebihan permintaan atas suplai, bisa berlangsung lama. Dan itulah yang terjadi saat ini.

Mengenai yang satu ini-juga kalau kita kembali merunut pada sejarah-mestinya tidak perlu membuat para pelaku dan pengamat perminyakan terkaget-kaget. Jauh-jauh hari sebelum Murti, Herber King pernah membuat perkiraan serupa.

Dalam tulisannya pada 1952, Herber mengatakan akan terjadi krisis minyak dunia lantaran krisis pasok. Krisis itu, lanjutnya, diperkirakan terjadi pada tahun 2000-an.

Karena itu, menarik disimak angka-angka yang menjelaskan hubungan permintaan dan penawaran minyak dunia. Hingga 1995 permintaan minyak dunia bergerak di jenjang yang sangat tipis, yaitu pada 66 juta barel-68 juta barel hari. Setelah itu, permintaan minyak dunia menembus angka 70 juta dan melangkah hingga 82,4 juta barel per hari.

Pemicu permintaan paling tinggi adalah pertumbuhan ekonomi di Asia, terutama China dan India. Permintaan China menyentuh angka 7.7 juta barel per hari dan me-nempatkan negara Tirai Bambu itu sebagai pengguna minyak nomor dua terbesar setelah AS.

Masyarakat tanpa Sekolah

Abraham Runga Mali

Deschooling society. Masyarakat tanpa sekolah. Itulah pemikiran yang dilontarkan Ivan Illich. Ekstrim memang. Maklum, itu adalah protes seorang tokoh yang menyuarakan pembebasan dari Amerika Latin bersama Gustavo Guttierez, Leonardo Boff, Juan Luiz Segundo dan masih banyak yang lain.

Kalau Guttierez dan kawan-kawan sibuk mengkutak-katik pemahaman teologis terhadap realitas kemiskinan di Amerika Selatan, maka Illich lebih menyoroti soal pendidikan. Tapi, mereka sama dalam satu hal, yaitu memakai pisau analisa Karl Marx dalam memahami realitas sosial.

Karena itu, sudah bisa ditebak arah perjuangannya, yaitu menentang para pemilik modal dan bentuk-bentuk penindasan. Termasuk gereja yang sering berselingkuh dengan pemilik modal menjadi sasaran mereka. Itulah sebabnya bersama rekan-rekanya seperti Boff dan Guttierez yang juga pastor, Illich harus terus berkonfrontasi dengan pemimpin tertinggi mereka di Vatikan.

Tentu Illich tak ambil pusing. Dia tetap menyulut pemikiran bahwa sekolah sudah diperalat oleh para penindas. Sekolah sudah dikorupsi.

Menurut dia, baik murid maupun guru di Amerika Latin adalah orang-orang frustasi. Frustasi dengan biaya sekolah yang tinggi. Mereka tertindas. Karena itu harus segera dibebaskan.

Illich yakin penindasan itulah yang akan dilanggengkan melalui insitusi yang bernama sekolah. Karena terbukti sekolah tak mengubah apa-apa. Kalau berubah, itu hanya pola hidup konsumtif yang ujung-ujungnya melanggengkan kemiskinan orang Amerika Latin. Orang kaya tetap makin kaya, orang miskin menjadi semakin miskin.

Sekolah tak memberikan pemikiran alternatif. Yang ada hanya tumpukan informasi. Tak ada kritik. Dengan pemikirannya yang digodok di CIDOC (Centre for Intercultural Documentation) yang didirikannya di Puerto Rico tahun 1960-an, dia ingin mencair kebekuan itu dan membebaskan orang-orang miskin dari belenggu sekolah.

Dengan menggagas 'to de-school' (tanpa bersekolah), dia ingin menghancurkan kekuasaan orang yang mewajibkan orang lain untuk melakukan 'pertemuan' di sekolah. Siapa yang mewajibkan mereka? Atas kuasa dan kepentingan apa mereka menyelenggarakan sekolah? Informasi seperti apa yang berlalu lintas di lembaga tersebut?

Kritiknya terhadap sekolah menyangkut beberapa hal berikut. Pertama, adalah kritik terhadap sekolah sebagai proses institusionalisasi. Proses ini sering menghancurkan kepercayaan diri dan kapasitas diri individu dalam memecahkan persoalan. Proses ini seperti parasit dan kanker yang membunuh kreativitas anggota masyarakat.

Kedua, adalah kritik terhadap para ahli dan keahlian yang dihasilkan lembaga pendidikan formal ini. Menurut Illich, mereka itu lebih banyak memberikan kerusakan dari pada manfaat bagi masyarakat.

Mereka menganalisa situasi politik dan sekaligus mengambil keuntungan dari situasi tersebut. Mereka mengontrol produksi informasi dan menentukan mana yang valid dan mana yang tidak.

Ketiga, para profesional dan institusi yang terlibat dalam institusi sekolah menjadikan proses belajar sebagai komoditas. Untuk mengambil keuntungan, mereka memonopoli produksi informasi, mereka membatasi distribusinya dan mereka menentukan harganya. Tak mengherankan kalau biaya sekolah di Amerika Latin saat itu sangat tinggi.

Sekolah yang demikian, harus segera diumumkan kematiannya. Tak perlu ada sekolah lagi. Karena yang penting dalam pendidikan menurut dia adalah proses penyadaran diri. Konsientisasi. Anak didik harus dibimbing untuk menyadari dengan kondisi hidupnya yang tertindas. Dan itu tak perlu harus berlangsung di sekolah.

Proses konsientisasi bisa terjadi di mana-mana. Tentu tidak berhenti di situ. Yang terpenting adalah kemampuan untuk mengubah kondisinya.

Para petani, nelayan dan buruh pertama-tama harus memahami kondisi mereka masing-masing. Mereka yang lebih mengerti kondisinya. Tak harus diajari orang lain. Mereka harus bisa merumuskan kebutuhan dan langkah-langkah yang perlu untuk perubahan.

Selanjutnya, menurut dia, adalah motivasi bagi seseorang untuk mencari informasi yang penting bagi dirinya untuk perbaikan hidupnya. Jadi belajar seumur hidup (long life learning) sangat dianjurkannya. Masyarakat itu adalah sekolah tempat kita belajar tanpa henti.

Pembrontakan Illich berujung pada sebuah solusi. Dari proklamasi 'masyarakat tanpa sekolah', Illich sampai pada keyakinan bahwa 'masyarakat adalah sekolah'. Sampai di persimpangan ini, Illich yang sosialis bertemu dengan Robert T. Kiyosaki, seorang ahli keuangan Amerika Serikat yang tentu sangat kapitalis.

Tentu lain Illich, lain Kiyosaki. Kalau yang pertama mencetuskan 'kebebasan dari' penindasan ekonomi, maka yang kedua berbicara soal 'kebebasan untuk' mencapai sebuah stabilitas ekonomi. Sama-sama bermimpi tentang kehidupan yang lebih baik.

Dan, keduanya pun sepakat bahwa mimpi itu bisa diraih tanpa harus dibelenggu pada persoalan institusi yang namanya sekolah.