Friday, February 1, 2008

Kaya dengan Secangkir Kopi Susu

Menjadi kaya secara otomatis? Ah, jangan bercanda. Mimpi macam apa lagi. Sesungguhnya ini bukan mimpi atau sejenis sulap. Tentu bukan juga nasihat menjadi kaya dengan mengundang kekuatan gaib dari Gunung Kawi. Kalau begitu, bagaimana mungkin itu bisa terjadi?

Memang di jaman ekonomi lagi sulit seperti sekarang ini, tak salah kalau Anda perlu mendengar banyak petuah dan nasihat. Sudah cukup kalau Anda diberi jalan untuk bisa bertahan hidup. Bagaimana kalau ada nasihat supaya bisa menjadi kaya? Nah, nasihat itu pasti benar-benar sangat berharga. Maka jangan disia-siakan.

Kali ini nasihat untuk menjadi kaya datang dari seorang David Bach. Dia yang empunya jalan bagaimana Anda bisa kaya secara otomatis. Kalau Anda ingin serius menekuni perencanaan keuangan, tokoh yang satu tak bisa dihindari. Di Amerika Serikat, Bach konon sangat terkenal.

Beberapa buku populer pernah dirilisnya seperti Start Late, Finish Rich, The Automatic Millionaire, Smart Woman Finish Rich, Smart Couples Finish Rich, The Finish Rich Workbook dan The Automatic Millionaire Workbook. Sedikitnya sudah tersebar 3 juta copy dengan berbagai judul tersebut.

Buku yang terakhirnya, Start Late, Finish Rich, menjadi best seller dan terdaftar sebagai nomor satu di sejumlah surat kabar terkemuka seperti The New York Times, USS Today, dan The Wall Street Journal.

Begitu juga tulisan-tulisan dan wawancaranya mengenai perencanaan keuangan menghiasai berbagai media massa di Amerika Serikat. Tak ketinggalan Bach menjadi kontributor tetap di acara televisi terkenal seperti American Morning (CNN), The View (ABC), Today dan Weekend Today (NBC), Early Show (CBS), The O'Reily Factor (Fox News Channel), Power Lunch dan The Big Idea with Donny Deutsch (CNBC).

Sebelum Anda lebih jauh mengenal nasihat dan tips-tips keuangan melalui buku atau websitenya (www.finishrich.com), sebagai pemanasan Anda diperkenalkan dengan nasihat yang cukup terkenal, bagaimana Anda bisa menjadi kaya dengan cara yang sangat sederhana.

Prinsip dasar

Bach tak mau rumit dengan urusan menjadi kaya. Dia juga berusaha keluar dari kerumitan persoalan uang. Menurut dia, persoalan uang itu sangat kompleks. Jadi kalau pikiran dan waktu kita disita untuk masalah uang, maka cita-cita untuk mencapai kebebasan finansial malah tidak tercapai. Justru sebaliknya, kita disandra dan diperbudak oleh persoalan uang.

Maka untuk menjadi kaya, menurut dia, tak perlu harus menghasilkan banyak uang. Tidak perlu juga terlalu pusing dengan masalah disiplin. Sebagai gantinya dia menawarkan sebuah konsep sederhana yang dia sebut sebagai Latte Factor.

Apa yang Bach maksudkan dengan konsep ini?

Seperti yang mungkin Anda ketahui latte itu adalah kata Italia untuk susu. Namun kemudian di negerinya George Bush, latte berarti minuman yang terbuat dari kopi yang ditambahkan dengan sedikit susu yang dikukus (steamed milk).Ya... kira-kira sejenis kopi susu yang sangat digandrungi.

Bach kemudian mengambil istilah Latte Factor sebagai metafora yang menggambarkan bahwa cara Anda menjadi kaya harus sesederhana, seperti Anda berusaha mendapatkan kopi itu. Sesederhana dan sedemikian otomatis.

Usaha untuk menjadi kaya, dalam versi Bach itu, harus dilakukan seotomatis mungkin sampai-sampai Anda tidak menyadari bahwa Anda sedang meluangkan waktu dan mengeluarkan sejumlah uang.

Seperti dalam hidup sehari-hari, Anda tidak pernah melakukan banyak pertimbangan ketika harus membeli sebungkus rokok atau semangkuk indomie.

Itu sebabnya Bach mengeluarkan nasihat yang sangat khas. Dalam membuat perencanaan keuangan, lanjut dia, Anda harus memiliki sistem yang bekerja secara otomatis. Dengan memiliki sistem ini Anda tidak akan gagal, demikian Bach berusaha meyakini. "If your financial plan is not automatic, you will fail."

Memang terkadang disiplin perencanaan keuangan yang terlalu rumit terasa sangat memberatkan. Misalnya Anda diharuskan mencatat semua pengeluaran yang dilakukan setiap hari. Disiplin seperti ini seringkali menjadi sebab kegagalan bagi orang-orang yang sehari-hari memang sudah sibuk. Apalagi untuk orang yang malas melakukannya.

Tapi apakah kesibukan dan ketidakdisiplinan itu menjadi alasan bagi Anda untuk tidak mencapai kemapanan finansial? Tentu saja tidak, asalkan sekali lagi, Anda memiliki sistem yang bekerja secara otomatis tadi.

Apa sistem sederhana yang bekerja secara otomatis itu? Atau bagaimana orang menjadi kaya atau miliyuner secara otomatis itu? Dia menganjurkan Anda setiap hari secara rutin menyisikan US$5. Uang sejumlah itu sangat kecil. Dan Anda harus menabung tanpa harus melakukan banyak pertimbangan.

Dengan menabung secara rutin dan otomatis setiap hari, hasilnya ternyata cukup menjanjikan. Dengan tabungan sebesar itu, dalam seminggu tabungan Anda sudah mencapai US$35. Dalam sebulan jumlah tabungan bertambah menjadi US$150. Dengan investasi di instrumen yang bisa memberi keuntungan 10%, maka jumlah itu akan berlipatganda dalam beberapa tahun kemudian.

Dengan jumlah tabungan yang tetap dan tingkat keuntungan yang stabil, dalam setahun uang Anda bertambah menjadi US$1.885. Sepuluh tahun kemudian jumlah itu menjadi US$30,727. Lalu, empat puluh tahun kemudian investasi Anda mencapai angka yang cukup signifikan, yaitu US$948.611 atau sekitar Rp9,48 miliar! Luar biasa bukan? Untuk ukuran Indonesia, dengan jumlah uang sebesar itu, Anda tentu sudah menjadi orang yang mapan secara finansial. Sebuah mimpi yang terwujud setelah sistem itu bekerja selama empat puluh tahun.

Menurut Bach, kendati langkah ini kecil, tetapi menuntut perubahan pola pikir secara radikal. Dan perubahan itu harus dimulai dari sekarang. Kalau Anda setiap hari bisa membeli secangkir kopi dan sebungkus gudang garam, apa susahnya kalau Anda juga mulai menabung dengan uang sejumlah itu? Daripada untuk beli kopi atau rokok, coba ditabung secara konsisten. Hasilnya ternyata di luar dugaan!

Jika Anda merasa sudah terlambat, ajari anak Anda melakukannya. Ingat empat puluh tahun kemudian, anak Anda akan menjadi seorang milioner hanya dengan mengalihkan duit kopi atau rokok, ke tabungan yang produktif.

Ketika Zhongxin Menghentak Dunia (2)

Beberapa waktu yang lalu, wartawan Bisnis Indonesia Abraham Runga Mali, dan sejumlah wartawan Indonesia berkesempatan mengunjungi kantor, pabrik dan pusat riset perusahaan teknologi komunikasi ZTE di Zhenzen dan Shanghai. Berikut laporannya.

Berbagai persoalan yang dihadapi Huawei ini menjadi kesempatan bagi ZTE untuk tampil lebih meyakinkan sebagai perusahaan teknologi yang patut diperhitungkan di kancah internasional. Kendati sebenarnya keduanya memiliki kekuatan yang berbeda. Huawei sangat kuat di GSM (global system for mobile communications), WCDMA (wideband code division multiple access), NGN (next generation networks) dan optical networks.

Sementara ZTE kendati memiliki produk yang bervariasi, tetapi lebih fokus pada CDMA dan handset dan teknologi personal handyphone system. Di China, ZTE menguasai 40% pasar PHS dan 20% pasar CDMA.

Keberhasilan keduanya menembusi pasar tak lain kerena kekuatan produk yang dihasilkannya. Lihat saja apa yang dicatat ZTE tahun lalu ketika berhasil merilis ZTE-F808, telepon selular 3G yang diyakini sebagai salah satu yang terkecil dan teringan di dunia.

Keberhasilan ponsel CDMA ini menjadi energi bagi ZTE untuk terus memenangi persaingan. Derap langkah dominasinya di bidang CDMA mulai meninggalkan jejaknya di Indonesia melalui ponsel Fren yang dikeluarkan Mobile-8.

Bagi ZTE, ini tentu saja ini bukanlah pekerjaan yang mudah. Selain persoalan uang, keunggulan riset dan sumber daya manusia merupakan hal yang sangat penting. Itulah sebabnya seperti saudara yang sekaligus pesaing Huawei, ZTE pun menyisihkan 10% pendapatannya untuk riset dan pengembangan.

Sampai saat ini, misalnya, Huawei memperkerjakan 46% dari 24.000 tenaga kerjanya di bidang riset dan pengembangan, 33% untuk penjualan dan 12% untuk manufaktur. Sementara ZTE merekrut 21.000 karyawan yang bekerja di 33 kantor cabang. Dari total karyawannya itu, lebih dari 10% tenaga asing.

"Kami yakin perusahaan ini akan maju karena pengembangan teknologinya didukung oleh SDM yang tangguh. Lihat saja lebih dari seribu karyawan kami adalah tamatan master dan PhD dengan usia yang rata-rata masih muda," jelas Zhao.

Apalagi, demikian dia, dengan produksi secara masal perusahaanya dapat menekan biaya produksinya. Makanya tak mengherankan kalau Hui Pan, Kepala Analis dari Information Gatekkepers Inc, mengatakan dengan teknologi yang sama ZTE dan Huawei bisa menjual produk mereka dengan harga 30% lebih murah dari produk yang lain.

Memang jumlah penduduk yang besar di negera itu sangat memungkinkan kedua perusahaan itu untuk melakukan produksi massal. Kita ambil contoh handset. Menurut perkiraan Deutsches Bank, permintaan handset di negara itu akan mencapai 100 juta tahun depan.

Untuk melayani kebutuhan itu sedikitnya 40 perusahaan telepon bersaing dengan menawarkan 200 juta unit dengan 800 model yang berbeda. Tak heran kalau Motorola mendapatkan 15% penjualan internasional dari China dan menjadi pasar terbesar kedua setelah AS.

Perkembangan pesat ZTE dan Huawei bukan tanpa tantangan. Pada saat keduanya sibuk melakukan penetrasi ke seluruh penjuru dunia, para pesaing mereka justru datang menyerbu kampung halaman mereka.

Misalnya Alcatel yang pada 2002 berhasil menggaet mitra lokal Shanghai Bell dan membentuk Alcatel Shanghai Bell. Konon satu dari tiga pesawat telepon di China dihubungkan dengan infrastruktur yang dikontrol oleh perusahaan patungan ini. Alcatel Shanghai saat ini menjual 200 produk baik untuk telepon tetap dan bergerak. Bahkan perusahaan ini menjadi pamasok nomor satu teknologi DSL.

Begitu juga dengan Nortel yang pada awal tahun ini berhasil membujuk mitra lokal mendirikan perusahaan patungan yang bergerak di bidang riset, pengembangan, produksi dan penjualan produk 3G. Pada tahun lalu Nortel mencatat pendapatan sebesar US$1,25 miliar dari pasar Asia Pasifik. Sementara pendapatan Lucent dari kawasan ini tahun lalu US$1,696 miliar.
Akankah ZTE atau Huawei keluar sebagai pemenang dalam pertarungan dengan para vendor internasional ini? Menilik ambisi dan etos kerja bangsa China yang tinggi, semangat meniru dan belajar mereka yang kuat membaja serta dukungan pasarnya yang besar, kemenangan itu agaknya bukan sebuah khayalan belaka. Mungkin bukan untuk satu atau dua tahun mendatang. Tapi, yang pasti hentakannya kini kian menggetari pasar dunia. (abraham.runga@bisnis.co.id)

Ketika Zhongxin Menghentak Dunia (1)

Pada akhir September 2005, saya dan sejumlah wartawan Indonesia berkesempatan mengunjungi kantor, pabrik dan pusat riset perusahaan teknologi komunikasi ZTE di Zhenzen dan Shanghai. Berikut hasil pengamatan atas perkembangan teknologi komunikasi di perusahaan tersebut dan di China secara umum.

Zhongzin Telecom Equipment Corp, atau disingkat ZTE, adalah satu dari sekian perusahaan China yang mendunia. Sebuah kekecualian dari hasil penelitian Francis Fukuyama bahwa banyak unit bisnis di sana yang karena 'saling percaya' yang hanya berkutat di kalangan anggota keluarga tak layak berkembang menjadi multinasional.

"Ini bukan perusahaan keluarga sejak dari berdirinya," ujar William Zhao, Direktur Penjualan ZTE di kantor pusatnya di Kawasan teknologi Tinggi Nanshan, Zhenzen. Bahkan, perusahaan ini lebih dari hanya sekadar perusahaan biasa.

Zhongxin adalah sebuah perusahaan publik setelah mencatatkan sahamnya di bursa Zhenzen (1997) dan bursa Hong Kong (2004). Hanya dari listing di Hong Kong, perusahaan itu meraup sekitar US$400 juta.

Sekitar 60% dari dana hasil emisi itu dimanfaatkan untuk memperluas jaringan pemasaran internasional, dan sisanya untuk membiayai pengembangan teknologi. Selain dari bursa, ZTE mendapat dukungan dana dari sejumlah perbankan domestik. "Perusahaan yang bagus dan prospektif tak ada persoalan dengan pendanaan. Banyak institusi keuangan yang berebutan melirik kami."

Begitu Zhao menjelaskan dengan penuh keyakinan.

Tentu bukan sebuah keyakinan tanpa dasar. Sejak lima tahun terakhir kinerja perusahaan ini melesat bak meteor. Lihat saja kinerja keuangannya.

Kalau lima tahun lalu pendapatannya masih sebesar US$1,127 miliar, maka tahun lalu sudah mencapai US$2, 747 miliar. Sementara penjualan handsets, base station, switches, software dan broadband pada 2004 tercatat sebesar US$4,1 miliar.

Sementara keuntungan tahun ini diperkirakan mencapai US$186 juta atau meningkat dari tahun sebelumnya sebesar US$153,6 juta.

Dengan kinerja seperti ini, Presiden ZTE Yimin Yin sangat yakin kalau perusahaan itu akan mampu bersaing dengan perusahaana kelas dunia lainnya seperti Nokia, Samsung dan Motorola. Mereka, demikian Yin, memiliki nama yang lebih besar, tapi, "Saya tidak merasa inferior di hadapan mereka. Tak ada perbedaan yang cukup besar."

Apalagi ZTE memang sudah mendunia. Sudah 60 negara dimasukinya. Tidak terkecuali Indonesia. Tahun lalu ZTE menandatangani kontrak dengan Indonesia untuk membangun jaringan CDMA senilai US$47,6 juta.

Selain itu, perusahaan tersebut bekerjasama dengan Telkom untuk membangun jaringan NGN-DCL (Digital Loop Carrier) untuk wilayah Jakarta dan sekitarnya.

Bukan yang terbesar

Tentu saja di China ZTE bukan yang terbesar. Dia masih berada di bawah bayang-bayang Huawei. Kendati ZTE beroperasi tiga tahun lebih awal, tapi kinerjanya masih lebih kecil dibandingkan Huawei.

Mari kita sejenak menengok kinerja Huawei.

Pada tahun lalu saja, Huawei mencatat nilai kontrak sebesar US$5,58 miliar atau meningkat 46% dari 2003. Dari penjualan tahun lalu, 60% masih didapatkan dari pasar domestik. Tahun ini diperkirakan menurun menjadi 55,5%.

Bahkan, tahun 2008 Huawei menargetkan penjualan di pasar internasional sebesar US$10 miliar, atau 70% dari total penjualan.

Target itu tidak muluk-muluk. Karena sampai saat itu perusahaan teknologi informasi menjadi pemasok produk dan solusi kepada 270 operator di dunia. Bahkan, 22 dari 50 operator paling top di dunia menggunakan produk perusahaan ini. Memang luar biasa. Produknya sudah memasuki begitu banyak kawasan di dunia.

Tapi masih ada sejumlah ganjalan yang merem laju ekspansi perusahaan ini. Kehadiran Huawei tidak ditanggapi hanya urusan bisnis. Pengembangan teknologinya sering dicurigai sebagai bagian dari strategi militer China.

Itulah sebabnya berkembang beragam spekulasi bahwa berbagai ekspansi dan kegiatan perusahaan ini di berbagai negara juga merupakan bagian dari sttategi militer sehingga harus diwaspadai.

Kecurigaan itu terkait hubungan historis perusahaan itu dengan pendirinya Ren Zhengfei yang adalah seorang militer. Tentu saja Huawei membantah spekulasi tersebut.

Sebuah spekulasi yang berlebihan. Tapi, spekulasi itu tidak mudah untuk hilang begitu saja. Apalagi perusahaan itu bukan perusahaan publik yang bisa dijamin transpransinya.
Selain itu, langkah Huawei sempat tersendat ketika mengalami perseteruan bisnis dengan Cisco, raksasa teknologi AS. Pada 2003, Huawei America Inc dituduh menggandakan dan menyalahgunakan perangkat lunak IOS milik Cisco termasuk source code-nya. Huawei diseret ke depan pengadilan karena menggandakan dokumen milik Cisco dan sejumlah peralatannya. Atas tuntutan itu, Huawei kemudian harus menarik semua produk yang menimbulkan persoalan itu

Mati untuk Tuhan

Abraham Runga Mali

Ketika bangsa ini sibuk mengurusi Azahari, di Amerika Serikat orang ramai membicarakan film baru berjudul Paradise Now. Penggarap film ini, Hany Abu As-saad asal Palestina mencoba menggali motif bunuh diri yang dilakukan para pelaku bom bunuh diri. Dia tidak hanya berusaha memahami pikiran dan perasan para pelakunya, tetapi sekaligus mengkritik mereka.

Sebagian dari kita mungkin berusaha memahami kenekatan Azahari dan kawan-kawannya. Tapi, di sisi lain, emosi kemanusiaan kita pun tak tahan menyemburkan kepedihan menyaksikan tubuh yang tercabik-cabik ledakan bom. Apalagi kalau ternyata mayat-mayat yang terbujur kaku itu adalah sanak saudara atau orang-orang yang kita cintai.

Cara yang unik

Lepas dari berbagai polemik dan emosi atas aksi Azahari dan kawan-kawan, kematian mereka menyiratkan sebuah cara yang unik. Kematian dengan 'membunuh diri'. Mengorbankan nyawanya untuk sebuah perjuangan. Luar biasa berani dan heroik.

Kalau bukan karena gila atau karena kehabisan harapan, tindakan kemartiran itu mesti keluar dari sebuah fondasi pemikiran yang sangat valid.

Pertama, Azahari dan kawan-kawan sedang melawan sebuah hegemoni besar, yakni peradaban Barat yang diwakilkan oleh AS. Barat ditentang bukan saja karena mendukung Israel dalam berperang melawan Palestina dan melakukan invasi ke Afghanistan dan Irak, tapi juga karena mereka adalah pemeran utama dalam ketidakadilan global.

Kedua, perjuangan yang sangat heroik ini, demikian keyakinan para pelaku bunuh diri itu, diberi pendasaran pada dogma agama Islam. Mereka sedang melakukan jihad sesuai perintah ayat-ayat Al-Quran. Makanya, mereka disebut pemeluk Islam yang secara fundamental kembali merujuk pada kebenaran agama. Terhadap musuh agama, mereka bersedia mati syahid. Hanya dengan jalan itu, pencapaian surga adalah kepastian.

Perlawanan mereka tidak terbuka dan aksi kekerasannya tak langsung mengenai musuhnya. Mereka menyerang pada simbol-simbol musuhnya. Karena itu mereka disebut teroris, karena hanya menebarkan 'rasa takut' dan tak nyaman pada seterunya.

Mark Juergensmeyer dalam bukunya Teror in the Mind of God: The Global Rise of Religious Violence, menguak konsep perang kosmis (cosmic war) dalam konteks pemikiran agama-agama.

Di dalam agama, jelas dia, terdapat semacam skenario besar tentang peperangan yang baik dan jahat. Karena peperangan, maka diperlukan pahlawan dan musuh. Untuk mengenyahkan musuh dibutuhkan sikap rela mati dari para pahlawan. Harus ada yang siap mati syahid. Mereka adalah kaum syuhada atau para martir suci.

Aksi 'bom bunuh diri' ala Azahari bisa dijelaskan dalam bingkai ini. Bahkan, kalau ditelusuri bukan saja hanya metodenya yang lama, tapi akar dan sebab musebabnya pun sudah sangat lama. Dalam bukunya Perang Suci (Dari Perang Salib hingga Perang Teluk), Karen Amstrong meletakkan genealogi kekerasan dan terorisme pada pertarungan dari pengikut tiga agama besar yaitu Yahudi, Kristen dan Islam.

Ketiga agama itu lahir dari sejarah dan budaya semit yang menyebut tokoh Abraham atau Ibrahim 'Bapak' mereka. Yang menjadi soal, sejarah para pengikutnya adalah sejarah pertarungan yang sangat kompleks. Pertarungan merebut 'Yerusalem' dan pertarungan merebut pengaruh peradaban. Pertarungan menjadi semakin sengit ketika para pengikut agama itu sekaligus berkelompok menurut etnisnya masing-masing.

Kalau dunia Arab berada di belakang Islam, Barat menjadi pendukung kekristenan dan orang-orang Yahudi adalah pendukung agama Yahudi. Maka jangan heran kalau agama dan politik paling sering dicampuradukan dalam ketiga kelompok ini.

Maka ketika Zionisme memakai Taurat sebagai landasannya, maka Osama bin Laden, Azahari dan kawan-kawannya juga menggunakan landasan serupa. Tak ketinggalan George Bush, presiden dari negara yang paling sering menggembargemborkan demokrasi sempat terjerembab dalam kesalahan yang sama.

Dalam pertemuan dengan politikus senior Palestina Nabil Shaat, Bush mengungkapkan keyakinan berikut, "Saya bertindak dengan misi dari Tuhan. Tuhan berkata kepada saya 'George, perangi dan lawanlah teroris di Afganistan.' Itu saya lakukan. Tuhan berkata lagi kepada saya, 'George, pergi dan hentikan tirani di Irak' Itu saya lakukan. Sekarang saya disuruh membantu Palestina untuk mendapatkan negaranya dan memberi Israel rasa aman.'

Memang berperang atas nama Tuhan sangat sering berulang dan makan banyak korban. Pada abad-abad awal, Yahudi dan kekristenan masuk dan mencabik-cabik budaya dan wilayah Arab. Sejak muncul Mohammad, orang-orang Arab bukan hanya bangkit, tapi mulai berekspansi dan merangsek hingga daratan Eropa. Babak selanjutnya pembantaian terhadap orang Yahudi di Eropa dan pengiriman pasukan perang salib menuju Tanah Suci.

Zionisme merupakan cerita terkini dari perjalanan panjang pertarungan yang sengit. Ketiga elemen yang mewakili komunitas peradaban dan agama hadir lagi dalam konflik Israel-Palestina yang belum menemukan solusi hingga kini. Kapan konflik itu akan berakhir? Walalhualam.

Tak mudah untuk mengadili siapa yang salah dan siapa benar. Karena semua kembali merujuk kepada Alkitab. Padahal, bukan tidak mungkin 'ayat-ayat Tuhan' itu bermula dari persoalan identitas dan tanah. Lalu di kemudian hari ketika mereka menemui kesulitan soal tanah dan identitas, Alkitab lagi yang dirujuk. Seperti orang berjalan di terowong tak berujung. Kecuali kita yakin Tuhan menghendaki banyak darah harus tertumpah untuk menghormatiNya.

Pikiran waras

Dan akhirnya tak ada gunanya juga mengecek mana yang lebih biadab dan beradab. Yang pasti mereka sama-sama membunuh. Mungkin bagi para pengikut yang masih waras, perlu lebih tenang lagi untuk mempelajari kehidupan ketiga tokoh yang pertama mengajarkan agama-agama itu. Musa melarang orang membunuh. Yesus mengharamkan pedang. Muhamad mengajarkan damai. Tak ada anjuran untuk berperang dan bunuh diri dengan tujuan semata-mata membinasakan.

Daripada saling berperang dan membunuh, masih banyak musuh bersama yang perlu dilawan. Selain kemiskinan dan kebodohan, masih ada masalah lingkungan dan persoalan moralitas.

Khusus untuk Indonesia, bangsa ini masih membutuhkan banyak martir dan pejuang jihad yang berani mati untuk sesama yang menjadi korban korupsi dan ketakbecusan manajemen politik dan birokrasi. Bukankah korupsi dan kemiskinan pun juga musuh Tuhan?

Benar, kita pun harus melawan hegemoni Barat yang hadir dalam ketidakadilan global. Tapi, bukan dengan bunuh diri. Bunuh diri hanyalah pertanda ketakberdayaan dan kehilangan asa. Kalau bunuh diri menjadi peradababan, maka niscaya yang terjadi bukanlah kekalahan Barat, tetapi sebaliknya, sebuah proses bunuh diri peradadaban sendiri.

Lagi pula, senjata utama Barat bukan lagi pedang, tapi ilmu pengetahuan dan teknologi. Maka untuk melawan mereka, pertama-tama kita harus berjihad dan berani berkorban untuk mendapatkan pengetahuan dan teknologi yang setinggi-tingginya.

Daripada ikut-ikutan mengurusi Azahari, lebih baik kita berjuang menjadi martir dalam pekejaan dan profesi kita masing-masing. Tak perlu pakai tetesan darah, tapi cukup dengan kerja keras. Atau, kecuali kita sudah sangat merindukan surga!

Mewaspadai Euforia Waralaba

abraham Runga Mali

Waralaba (franchise) adalah bentuk bisnis yang paling banyak mendapat keuntungan dari perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Karena dukungan teknologi itu, 'jaringan' yang merupakan kunci dalam bisnis ini bisa bekerja secara optimal. Tapi, justru karena dukungan itu, perkembangan waralaba diakui terlalu pesat sehingga bisa membahayakan. Tak ada cara lain, kecuali Anda mewaspadainya.

Soal pesatnya waralaba diakui oleh John Naisbit dalam bukunya yang sangat populer Megatrends dua dekade yang lalu. Menurut dia, waralaba merupakan konsep pemasaran yang paling berhasil selama sejarah umat manusia. Itu hanya mungkin karena bisnis ini bekerja dalam jaringan.

Mungkin Anda pernah mendengar atau bahkan pernah terlibat dalam bisnis MLM (multi level marketing). Kalau MLM adalah sistem pemasaran yang diciptakan agar bisa dijalankan oleh individu, maka waralaba sistem yang dikemas untuk perusasahaan. Waralaba adalah sebuah bentuk jaringan bisnis, jaringan yang terdiri banyak pengusaha yang bekerja dengan sebuah sistem yang sama.

Marvin Migdol dalam tulisannya Franchise Boom Continues, memperlihatkan perkembangan industri waralaba di dunia yang sangat dasyat. Kalau pada 1980 nilai bisnis yang dijalankan melalui waralaba masih tercatat sebesar US$335 miliar, maka pada 1996 nilainya meningkat menjadi lebih dari US$700 miliar.

Kita ambil contoh McDonald, salah satu bisnis waralaba paling besar saat ini. Perusahaan yang didirikan oleh Dick dan Mac Mcdonald bersaudara tahun 1940 ini baru dikemas sebagai usaha waralaba oleh Roy Kroc tahun 1955. Dengan sistem jaringan waralaba, perusahaan yang bermula dari kota kecil San Bernadino itu berkembang ke 122 negara. Sampai tahun lalu McDonald memiliki 30.000 restauran dengan 18.000 terwaralaba (franchisee).

Pertumbuhan waralaba di Indonesia juga tidak kalah mengagumkan. Hingga tahun lalu jumlah gerai yang dimiliki oleh perawalaba (franchisor) mencapai 1.978. Dari jumlah gerai tersebut, 1.674 adalah waraba lokal. Amir Karamoy and Asscociate mencatat, selama kurun waktu 1998-2004, waralaba lokal tumbuh rata-rata 14,7 persen, sementara waralaba asing rata-rata 7 persen.

Apa rahasianya?

Mengapa perkembangan waralaba itu sangat dasyat? Apa rahasianya? Pietra Sarosa, salah seorang pengamat waralaba mengatakan keunggulan utama waralaba adalah karena sistem yang disediakan. "Dengan demikian seorang pemodal yang akan menjalankan investasi tidak harus memulai lagi dari nol."

Memang trial and error dalam bisnis itu sangat melelahkan. Banyak penelitian memperlihatkan bahwa 90 persen usaha bisnis itu gagal dalam tiga tahun pertama.

Dengan menjalankan bisnis yang sudah memiliki sistem tertentu, seperti yang disediakan waralaba para pebisnis atau investor bebas dari risiko trial and error tersebut. Mungkin karena itu seorang penulis waralaba, Bob Brooke mengatakan keuntungan utama dalam bisnis waralaba adalah risikonya yang sangat minimal.

Namun itu tidak berarti waralaba itu sama sekali bebas dari risiko. Menurut Pietra, risiko terbesar franchise adalah karena terwaralaba tidak memahami sistem yang ditawarkan oleh franchisor (pewaralaba).

"Inilah kesalahan terbesar yang bisa terjadi, yaitu pihak terwaralaba tidak melakukan investigate before investing. Investigasi yang dilakukan baik terhadap sistem maupun kisah usaha dari pewaralaba," jelasnya.

Sementara itu, Amir Karamoy mengingatkan agar calon terwaralaba untuk membaca secara teliti isi perjanjian kerja sama yang disodorkan pihak pewaralaba. Misalnya soal masa kontrak, soal hal apa saja yang dapat membatalkan perjanjian kerja sama, dan juga soal pembagian keuntungan.

"Kalau njomplang atau keuntungan lebih banyak di pihak franchisor, maka calon terwaralaba harus hati-hati," tegasnya.

Prinsip kehati-hatian

Kehatian-hatian itu, jelas Karamoy karena pewaralaba lokal seringkali terlalu cepat menawarkan bisnisnya kepada konsumen tanpa terlebih dulu memperkuat diri dengan sistem dan manajemen yang teruji.

Dia mensinyalir, sekitar 60 persen dari franchisor lokal mengabaikan konsep bisnis yang mantap dan teruji. Apalagi pengawasan dari pemerintah belum dilakukan semestinya.

Karena itu di tengah menjamurnya waralaba di Tanah Air, investor harus tetap berhati-hati untuk menggandakan uangnya di bisnis tersebut. Karena kendati memiliki sistem, data memperlihatkan bahwa tingkat kegagalan bisnis waralaba masih cukup tinggi.

Menurut cacatan Amir Karamoy, tingkat keberhasilan waralaba dalam negeri masih sebesar 48 persen. Bandingkan dengan tingkat keberhasilan usaha waralaba di luar negeri yang mencapai 92 persen.

Agar berhasil dalam waralaba, belum cukup hanya dengan memahami sistem. Masih banyak urusan lain yang harus ditangani dengan mengikuti hukum bisnis biasa.

Misalnya soal kemampuan modal, kejelian memilih produk dan lokasi pemasaran serta kemampuan dalam memimpin unit usahanya yang dibeli dengan sistem waralaba tersebut.

Agar tidak berjalan sendirian, sebagai terwaralaba Anda harus yakin bahwa hubungan dengan franchisor bisa berlanjut setelah kontrak ditandatangani.

Dengan demikian, Anda bisa mendapatkan bimbingan apabila menghadapi kesulitan. Selain berhungan baik dengan pewaralaba, Anda masih bisa memanfaatkan jasa para konsultan bidang waralaba.

Menjadi Kaya dengan Syariah

Abraham Runga Mali

"Tujuan utama syariat adalah memelihara kesejahteraan manusia yang mencakup perlindungan keimanan, kehidupan, akal, keturunan, dan harta benda mereka. Apa saja yang menjamin terlindungya lima perkara ini adalah masalahat bagi manusia dan dikehendaki". (Imam Ghazali)

Jadi salah satu tujuan syariat, seperti yang dipikirkan Ghazali, adalah mengatur harta benda, kekayaan, atau uang Anda guna mencapai kesejahteraan. Karena sangat penting, ada baiknya di tengah suasana Ramadhan tahun ini, Anda diajak untuk merenungi tema pengelolaan keuangan secara syariah.

Sebuah kesempatan refleksi bukan saja untuk menguji sedalam apa pemahaman Anda tentang ekonomi syariah, tetapi terutama untuk mengetahui sejauh mana konsep itu sudah diterapkan dalam kehidupan Anda.

Para ahli ekonomi dan teologi Islam memberikan banyak alasan mengapa kegiatan ekonomi, bisnis dan pengelolaan keuangan secara syariah mendesak untuk diterapkan. Umer Chapra dalam bukunya Islam dan Tantangan Ekonominya, sekurang-kurangnya memberikan dua alasan.

Pertama alasan eksternal. Dia memperlihatkan betapa sistem ekonomi yang pernah diusung seperti kapitalisme, sosialisme dan konsep negara kesejahteraan yang merupakan kombinasi keduanya ternyata tidak berfungsi secara optimal dalam memperbaiki kehidupan manusia.

Malah, demikian ahli ekonomi dari Pakistan yang pernah menjadi penasihat ekonomi Kerajaan Arab Saudi, apa yang dialami umat manusia justru sebaliknya, yaitu ketimpangan ekonomi, kemiskinan dan pengrusakan lingkungan hidup.

Kedua adalah alasan internal bahwa ajaran Islam yang bersifat komprehensif dan universal juga tak terhindarkan mengatur kehidupan ekonomi. Karena itu, jelas dia, ekonomi syariah harus tampil sebagai alternatif.

Spirit komersial

Ekonomi syariah tentu berbeda dengan ekonomi konvensional yang tidak mengindahkan nilai-nilai moral dalam pelaksanaannya. Sebaliknya inspirasi dan petunjuk pelaksanaan ekonomi Islam diambil dari Al-Quran dan Sunnah Nabi SAW.

Ilmuwan C.C Torrey dalam disertasinya The Commercial Theological Term in the Koran memperlihatkan bahwa Al Quran menggunakan 20 terminilogi bisnis dan mengulangnya sebanyak 720 kali. Itu, kata dia, memperlihatkan betapa Kitab Suci itu mengandung spirit bisnis dan komersial yang sangat kental.

Lagi pula, spirit itu tidak hanya sekedar tertulis dalam ayat-ayat suci. Dia sudah terbukti menjadi inspirasi dan pedoman dalam kehidupan komunitas muslim awali. Dan hasilnya memang menakjubkan. Komunitas itu dikenal sebagai salah satu komunitas yang terbaik dalam peradaban, termasuk dalam mengurusi ekonomi dan kekayaan.

Landasan apa sebenarnya diberikan oleh Al Quran dalam mengusung sebuah sistem ekonomi alternatif sebagaimana yang dicita-citakan Islam? Presiden Direktur Karim Business Consultant Adiwarman Karim melansir empat prinsip berikut.

Pertama adalah prinsip tauhid, yaitu keyakinan akan kemahaesaan dan kemahakuasaan Allah di dalam mengatur semuanya, termasuk dalam urusan rejeki. Karena itu seluruh kegiatan bisnis harus ditempatkan sebagai bentuk perhambaan kepada Sang Khalik.

Kedua prinsip keadilan dan keseimbangan yang menjadi dasar kesejahtaraan manusia.

Kemudian ketiga adalah kebebasan. Anda bebas menjalankan kegiatan bisnisnya asal sesuai dengan ketentuan Allah. Dan keempat, karena bebas, maka Anda juga harus memikul tanggung jawab atas apa yang diperbuat.

Manusia adalah khalifah

Ada beberapa hal lain yang perlu juga ketahui, yaitu soal kedudukan manusia berikut harta yang dimilikinya. Ahli perencana keuangan syariah Lili Yulyadi menegaskan bahwa pemahaman manusia sebagai khalifah seperti tertuang dalam surat Al Baqarah ayat 30 merupakan hal yang sangat mendasar dalam Islam.

Sebagai khalifah, jelas Lili, Anda diberi petunjuk dan instruksi oleh Allah untuk mencapai kesejahteraan, yaitu dengan memperhatikan keseimbangan antara kebutuhan material dan spiritual, pribadi dan kolektif, dunia dan akhirat.

Sebagai khalifah, tujuan hidupnya bukan untuk menenuhi keinginan tetapi untuk mencapai kejayaan dan kesejahteraan di dunia dan akhirat. Dengan tujuan seperti itu, maka perilaku dan gaya hidupnya yang lain harus disesuaikan.

Bagi manusia yang adalah khalifah, demikian Lili yang adalah komite ahli di Islamic Economic Forum for Indonesian Development (ISEFID), harta dan kepemilikan adalah hanya titipan. Harta adalah amanah yang harus dipertanggungjawabkan.

Karena itu, kata dia, harta harus disucikan melalui zakat kepada orang yang berhak. Al Quran menjelaskan "wa fi amwalihim haqul lisaaili wal mahruum". "Dalam harta mereka (yang mempunyai harta), ada haknya para dhuafa dan orang-orang tak berpunya," tandas Lili.

Bahkan, menurut Chapra, sasaran-sasaran yang dikehendaki Islam secara mendasar bukanlah materiil, tetapi kebahagiaan manusia (falah) dan kehidupan yang baik (hayatan thayyibah) yang sangat mengagungkan aspek persaudaraan (ukhuwah), keadilan sosial ekonomi, dan pemenuhan kebutuhan spiritual manusia.

Untuk mencapai semuanya itu, harta, termasuk uang yang Anda miliki hanyalah alat. Dia bukan tujuan pada dirinya. Sudahkah Anda memanfaakan alat itu dengan sebaik-baiknya untuk mencapai kekayaan yang islami? Nilai, prinsip dan pedomannya sudah dikemukakan. Sekarang, tinggal Anda menghayati dan melaksanakannya!

Keajabaian Nol

Empat ribu lima ratus. Angka 4.500 adalah harga premium terkini. Bagi bangsa ini, angka ini lebih dari sekadar gambaran harga bahan bakar. Dia menceritakan banyak hal. Soal ketakberdayaan pemerintah, tren harga minyak dunia, kesemrawutan manajemen Pertamina, atau kegelisahan masyarakat di negeri ini.

Beberapa hari atau pekan ini, angka-angka menjadi momok yang menakutkan. Apalagi kalau kita giat berkeliaran di pasar. Pematokan harga atas beras, minyak, ikan, ayam, ketela ataupun bayam dengan nominal yang kian membesar, benar-benar menegangkan syaraf kepala.

Untuk mengurangi ketegangan, untuk sementara mari kita lepaskan dulu angka-angka itu dari urusan minyak dan barang-barang kebutuhan pokok lainnya. Kita bercerita soal angka yang sudah digemari sejak zaman dahulu kala.

Bukan hanya orang Athena, bangsa-bangsa yang mendiami lembah Nil, Tigris, Yangstse, Gangga ataupun Amazon juga sudah terbiasa dengan angka-angka. Bahkan, mereka sudah secara detil menggunakannya untuk ukuran bangunan sekelas Sphinx di Mesir, atau untuk membuat tata kota seteratur Troya atau Roma.

Angka dan risiko

Tapi menurut ahli sejarah manajemen risiko Peter L. Berstein dalam bukunya Against The Gods, bangsa-bangsa tua itu belum pernah menggunakan angka-angka itu untuk menghitung risiko. Setiap kali ada persoalan hidup, mereka tidak pernah mengoptimalkan angka-angka. Mereka malah buru-buru ke orakel.

Di sana ada peramal yang menjelaskan hidupnya bukan atas dasar realitas, tapi menurut aturan para dewa.

Menurut keyakinan mereka, ada banyak sekali dewa yang ikut mengurus persoalan hidup manusia. Para dewa ikut memainkan dadu-dadu kehidupan, sehingga mereka tak pernah berpikir menggunakan hitungan peluang atau teori probabilitas. Disiplin itu baru tercipta ribuan tahun kemudian

Dalam sejarah peradaban Eropa, urusan angka-angka mulai tampil secara meyakinkan tahun 1202 seiring terbitnya buku Liber Abaci, atau Book of the Abacus. Buku ini pertama kali beredar di Italia melalui penulisnya Leonardo Pisano, atau lebih dikenal dengan nama samaran Fibonacci.

Dalam buku ini, dia memperkenalkan kepada masyarakat Eropa angka nol dan kelipatan sepuluh yang kemudian mempengaruhi imajinasi numeral bangsa itu. Keajaiban angka nol itu bukan temuan Fibonacci. Dia sendiri menyerapnya dari para sarjana Arab ketika dia mengunjungi Bugia, salah satu kota di Aljeria.

Di Arab, saat itu matematika sudah sangat maju. Mereka berhasil menterjemahkan buku-buku matematika Yunani dan mengembangkan ilmu aljabar. Tapi, angka nol itu sendiri tidak lahir di jazirah Arab. Nol diambil dari India ketika Islam melakukan ekspansi ke kawasan itu.

Di India, nol disebut sunya, lalu menjadi cifr dalam kosa kata Arab. Adalah al-Khowarizmi yang mengembangkan sistem angka dan matematika ini di dunia Arab. Konon kata logaritma berasal dari nama ahli ini. Ahli Arab yang hidup sekitar tahun 825-atau empat ratusan tahun sebelum Fibonacci-inilah yang pertama menciptakan rumusan pengurangan, penjumlahan atau pun perkalian.

Memang dalam sistem ini, nol tak bersentuhan dengan hidup sehari-hari. Filsuf Inggris Alfred North Whitehead memberi penjelasan berikut: Nol tak pernah kita gunakan dalam kehidupan sehari-hari. Tak pernah ada orang yang ke pasar untuk membeli 'nol ikan'. Nol hanya dipakai untuk melengkapi angka-angka kardinal dan memaksa kita untuk menyempurnakan model-model berpikir

Nol dan peradaban

Memang betapa terbatasnya pemikiran matematis tanpa nol. Ketiadaan nol terbukti menjadi hambatan luar biasa bagi peradaban Romawi maupun Yunani. Angka sembilan [9] yang sederhana itu harus ditulis dengan agak rumit oleh orang Romawi dengan IX. Mereka juga tak bisa menulis 32 dengan III II. Karena itu bisa ditafsirkan macam-macam, bisa 32, 302, 3020 atau kombinasi lain yang lebih besar dari 3 dan 2.

Sistem numerik seperti ini jelas sulit dikembangkan untuk sebuah kalkulasi yang rumit. Begitu juga sistem angka dalam peradaban Yunani. Setiap angka dari 1 sampai dengan 9 memiliki abjadnya masing-masing. Misalnya simbol 'pi' dari abjad penta untuk mewakili 5, 'delta' dari abjad 'deca' untuk 10 dan 'rho' untuk 100. Bisa dibayangkan 115 harus ditulis 'rho-deca-penta'.

Memang menyulitkan mengemas sistem angka-angka Yunani dan Romawi sebagai alat untuk menyelesaikan persoalan hidup. Terutama untuk menghitung risiko dengan mengembangkan teori peluang dan probalitas. Tapi, persoalan bukan saja pada kehadiran angka nol.

Menurut Bernstein keyakinan bahwa kejadian sehari-hari diatur oleh para dewa tidak menjadi lahan yang subur bagi angka-angka. Yang maju justru kegiatan peramalan di orakel untuk mengetahui nasib dan masa depan mereka.

Hal yang hampir mirip, menurut dia, terjadi pada masyarakat Arab. Kepercayaan yang luar biasa pada pada takdir Ilahi, membuat keajabaian nol tidak berkembang secara optimal.

Keajaiban itu justru terjadi ketika nol yang diambil dari dunia Arab oleh Fibonacci disemaikan dalam alam Renaissance. Dalam semangat Renaissance, masyarakat Eropa diberi kebebasan untuk berpikir dan melihat persoalan hidupnya lepas dari kungkungan Ilahi. Bagi mereka, hidup adalah rentetan hubungan sebab dan akibat.

Karena hubungan sebab akibat itu, maka manusa bisa meneliti sebab-sebab yang terus berulang. Penelitian atas sebab-sebab ini sangat penting untuk bisa memperkirakan apa yang terjadi di kemudian hari.

Untuk kepentingan itu, para ahli Barat berusaha menggunakan angka-angka itu untuk menghitung peluang dan kemungkinan. Konon, dengan sebuah kalkulasi dan rumusan yang tepat, manusia bisa menggunakan angka-angka itu meminimalkan risiko hidupnya.

Di kepala Pascal, Leibniz dan kemudian John Maynard Keynes, Harry Markowitz dan puluhan kepala lainnya, sistem hitungan dengan keajaiban nol itu berkembang dengan sangat pesat. Termasuk aplikasinya untuk menghitung risiko, termasuk risiko investasi.

Teori-teori investasi dan diversifikasi yang dikembangkan sarjana Barat tak mungkin terjadi tanpa sistem angka yang dipelajarinya dari dunia Hindu-Arab. Tapi, nol itu tak pernah menjadi benar-benar ajaib tanpa dibarengi sikap bebas, menghargai akal dan lepas dari pengaruhi mistik dan perdukunan.

Tentu saja Keynes dan kawan-kawan pun sadar kalau hidup tak pernah sepenuhnya dirumuskan dalam angka-angka. Ada misteri, ada keliaran yang tak pernah digenggam secara sempurna oleh otak manusia.

Karena itu, Keynes mengingatkan bahwa teori probabilitas hanya bisa menjadi pedoman dalam kehidupan kalau ada keyakinan bahwa tindakan yang didasarkan pada teori ini adalah hal yang rasional, dan ketergantungan padanya dapat memberi manfaat.

Memang keajaiban nol tak bisa menjawab semua persoalan. Apalagi kalau memang angka-angka itu tak pernah dihitung dan dikemas secara benar. Jangan-jangan 'nol' dalam angka 4.500 pun bukan sebuah keajaiban, tapi adalah aib bagi negeri ini.