Friday, February 1, 2008

Mati untuk Tuhan

Abraham Runga Mali

Ketika bangsa ini sibuk mengurusi Azahari, di Amerika Serikat orang ramai membicarakan film baru berjudul Paradise Now. Penggarap film ini, Hany Abu As-saad asal Palestina mencoba menggali motif bunuh diri yang dilakukan para pelaku bom bunuh diri. Dia tidak hanya berusaha memahami pikiran dan perasan para pelakunya, tetapi sekaligus mengkritik mereka.

Sebagian dari kita mungkin berusaha memahami kenekatan Azahari dan kawan-kawannya. Tapi, di sisi lain, emosi kemanusiaan kita pun tak tahan menyemburkan kepedihan menyaksikan tubuh yang tercabik-cabik ledakan bom. Apalagi kalau ternyata mayat-mayat yang terbujur kaku itu adalah sanak saudara atau orang-orang yang kita cintai.

Cara yang unik

Lepas dari berbagai polemik dan emosi atas aksi Azahari dan kawan-kawan, kematian mereka menyiratkan sebuah cara yang unik. Kematian dengan 'membunuh diri'. Mengorbankan nyawanya untuk sebuah perjuangan. Luar biasa berani dan heroik.

Kalau bukan karena gila atau karena kehabisan harapan, tindakan kemartiran itu mesti keluar dari sebuah fondasi pemikiran yang sangat valid.

Pertama, Azahari dan kawan-kawan sedang melawan sebuah hegemoni besar, yakni peradaban Barat yang diwakilkan oleh AS. Barat ditentang bukan saja karena mendukung Israel dalam berperang melawan Palestina dan melakukan invasi ke Afghanistan dan Irak, tapi juga karena mereka adalah pemeran utama dalam ketidakadilan global.

Kedua, perjuangan yang sangat heroik ini, demikian keyakinan para pelaku bunuh diri itu, diberi pendasaran pada dogma agama Islam. Mereka sedang melakukan jihad sesuai perintah ayat-ayat Al-Quran. Makanya, mereka disebut pemeluk Islam yang secara fundamental kembali merujuk pada kebenaran agama. Terhadap musuh agama, mereka bersedia mati syahid. Hanya dengan jalan itu, pencapaian surga adalah kepastian.

Perlawanan mereka tidak terbuka dan aksi kekerasannya tak langsung mengenai musuhnya. Mereka menyerang pada simbol-simbol musuhnya. Karena itu mereka disebut teroris, karena hanya menebarkan 'rasa takut' dan tak nyaman pada seterunya.

Mark Juergensmeyer dalam bukunya Teror in the Mind of God: The Global Rise of Religious Violence, menguak konsep perang kosmis (cosmic war) dalam konteks pemikiran agama-agama.

Di dalam agama, jelas dia, terdapat semacam skenario besar tentang peperangan yang baik dan jahat. Karena peperangan, maka diperlukan pahlawan dan musuh. Untuk mengenyahkan musuh dibutuhkan sikap rela mati dari para pahlawan. Harus ada yang siap mati syahid. Mereka adalah kaum syuhada atau para martir suci.

Aksi 'bom bunuh diri' ala Azahari bisa dijelaskan dalam bingkai ini. Bahkan, kalau ditelusuri bukan saja hanya metodenya yang lama, tapi akar dan sebab musebabnya pun sudah sangat lama. Dalam bukunya Perang Suci (Dari Perang Salib hingga Perang Teluk), Karen Amstrong meletakkan genealogi kekerasan dan terorisme pada pertarungan dari pengikut tiga agama besar yaitu Yahudi, Kristen dan Islam.

Ketiga agama itu lahir dari sejarah dan budaya semit yang menyebut tokoh Abraham atau Ibrahim 'Bapak' mereka. Yang menjadi soal, sejarah para pengikutnya adalah sejarah pertarungan yang sangat kompleks. Pertarungan merebut 'Yerusalem' dan pertarungan merebut pengaruh peradaban. Pertarungan menjadi semakin sengit ketika para pengikut agama itu sekaligus berkelompok menurut etnisnya masing-masing.

Kalau dunia Arab berada di belakang Islam, Barat menjadi pendukung kekristenan dan orang-orang Yahudi adalah pendukung agama Yahudi. Maka jangan heran kalau agama dan politik paling sering dicampuradukan dalam ketiga kelompok ini.

Maka ketika Zionisme memakai Taurat sebagai landasannya, maka Osama bin Laden, Azahari dan kawan-kawannya juga menggunakan landasan serupa. Tak ketinggalan George Bush, presiden dari negara yang paling sering menggembargemborkan demokrasi sempat terjerembab dalam kesalahan yang sama.

Dalam pertemuan dengan politikus senior Palestina Nabil Shaat, Bush mengungkapkan keyakinan berikut, "Saya bertindak dengan misi dari Tuhan. Tuhan berkata kepada saya 'George, perangi dan lawanlah teroris di Afganistan.' Itu saya lakukan. Tuhan berkata lagi kepada saya, 'George, pergi dan hentikan tirani di Irak' Itu saya lakukan. Sekarang saya disuruh membantu Palestina untuk mendapatkan negaranya dan memberi Israel rasa aman.'

Memang berperang atas nama Tuhan sangat sering berulang dan makan banyak korban. Pada abad-abad awal, Yahudi dan kekristenan masuk dan mencabik-cabik budaya dan wilayah Arab. Sejak muncul Mohammad, orang-orang Arab bukan hanya bangkit, tapi mulai berekspansi dan merangsek hingga daratan Eropa. Babak selanjutnya pembantaian terhadap orang Yahudi di Eropa dan pengiriman pasukan perang salib menuju Tanah Suci.

Zionisme merupakan cerita terkini dari perjalanan panjang pertarungan yang sengit. Ketiga elemen yang mewakili komunitas peradaban dan agama hadir lagi dalam konflik Israel-Palestina yang belum menemukan solusi hingga kini. Kapan konflik itu akan berakhir? Walalhualam.

Tak mudah untuk mengadili siapa yang salah dan siapa benar. Karena semua kembali merujuk kepada Alkitab. Padahal, bukan tidak mungkin 'ayat-ayat Tuhan' itu bermula dari persoalan identitas dan tanah. Lalu di kemudian hari ketika mereka menemui kesulitan soal tanah dan identitas, Alkitab lagi yang dirujuk. Seperti orang berjalan di terowong tak berujung. Kecuali kita yakin Tuhan menghendaki banyak darah harus tertumpah untuk menghormatiNya.

Pikiran waras

Dan akhirnya tak ada gunanya juga mengecek mana yang lebih biadab dan beradab. Yang pasti mereka sama-sama membunuh. Mungkin bagi para pengikut yang masih waras, perlu lebih tenang lagi untuk mempelajari kehidupan ketiga tokoh yang pertama mengajarkan agama-agama itu. Musa melarang orang membunuh. Yesus mengharamkan pedang. Muhamad mengajarkan damai. Tak ada anjuran untuk berperang dan bunuh diri dengan tujuan semata-mata membinasakan.

Daripada saling berperang dan membunuh, masih banyak musuh bersama yang perlu dilawan. Selain kemiskinan dan kebodohan, masih ada masalah lingkungan dan persoalan moralitas.

Khusus untuk Indonesia, bangsa ini masih membutuhkan banyak martir dan pejuang jihad yang berani mati untuk sesama yang menjadi korban korupsi dan ketakbecusan manajemen politik dan birokrasi. Bukankah korupsi dan kemiskinan pun juga musuh Tuhan?

Benar, kita pun harus melawan hegemoni Barat yang hadir dalam ketidakadilan global. Tapi, bukan dengan bunuh diri. Bunuh diri hanyalah pertanda ketakberdayaan dan kehilangan asa. Kalau bunuh diri menjadi peradababan, maka niscaya yang terjadi bukanlah kekalahan Barat, tetapi sebaliknya, sebuah proses bunuh diri peradadaban sendiri.

Lagi pula, senjata utama Barat bukan lagi pedang, tapi ilmu pengetahuan dan teknologi. Maka untuk melawan mereka, pertama-tama kita harus berjihad dan berani berkorban untuk mendapatkan pengetahuan dan teknologi yang setinggi-tingginya.

Daripada ikut-ikutan mengurusi Azahari, lebih baik kita berjuang menjadi martir dalam pekejaan dan profesi kita masing-masing. Tak perlu pakai tetesan darah, tapi cukup dengan kerja keras. Atau, kecuali kita sudah sangat merindukan surga!

No comments: