Friday, February 1, 2008

Pemilu dan Indeks Saham

Abraham Runga Mali


Pertarungan Seru antara Politisi dan Pemodal

(Dimuat di Bisnis Indonesia pada 30 Maret 2004, menjelang Pemilu)

It is economy, stupid! Begitulah kalimat bertuah yang dipakai Bill Clinton untuk menyerang lawan politiknya dalam kampanye 1992. Pesaingnya, Paman Bush senior, yang baru saja menghamburkan uang untuk Perang Teluk dianggap mengabaikan pembangunan ekonomi negara itu. Kesalahan serius itu harus dibayar mahal. Bush harus menyerah kalah dan menyerahkan tampuk kekuasaaan AS kepada Clinton dari Partai Demokrat.
Lalu, apakah tema ekonomi yang diusung Clinton itu juga menjadi urusan penting bagi partai dan capres dalam kampanye pemilu di negeri ini? Secara prinsip, mestinya ya. Bahwa partai-partai dan calon pemimpin di negara ini belum menyusun program ekonomi yang jelas itu urusan lain lagi.

Bisa saja, karena begitulah seharusnya substansi sebuah kontrak sosial antara pemimpin politik dan warganya, mereka terpaksa cukup berteriak-teriak soal kesejahteraan orang banyak. Padahal, motivasi mereka tunggal, yaitu kekuasaan.

Beruntung saja masih ada para pengamat dan pelaku ekonomi membuat pernyataan yang sedikit menghibur, yaitu kalau saja Pemilu 2004 ini berhasil, maka pertumbuhan ekonomi akan berjalan baik. Seolah-olah ada hubungan sebab-akibat di sana. Kalau memang ada hubungan-sekali lagi tentu bukan hubungan kausalitas-hal yang menarik disimak adalah ukuran keberhasilan pemilu di negeri ini.

Misalnya saja, apakah pemilu nanti dinilai 'berhasil' kalau PDIP dan Partai Golkar-karena memang kedua partai itu paling berpeluang-menang, dan Megawati dan Akbar Tandjung kembali berkuasa seperti sekarang? Lalu, akan berbedakah cara mereka 'berkuasa' sebelum dan sesudah pesta demokrasi hanya karena mereka mengantungi legitimasi yang lebih optimal dan otoritas yang lebih penuh akibat pemilihan secara langsung?

Hampir pasti tidak. Mengubah watak pemimpin politik-baik itu eksekutif maupun legislatif yang berjuang dalam pemilu kali ini-yang sudah diketahui kinerjanya, tidak semudah membalikkan telapak tangan. Apalagi urusan penegakan hukum yang mestinya bisa memagari 'kelakuan' para pemimpin di negeri ini belum bisa diandalkan.

Lalu, kalau harapan hanya sekedar 'pemilu yang aman-aman' saja, bukankah selama ini pelaksanaan pemilu memang demikian adanya? Apalagi, bukankah pada masa Orde Baru, pemilu berjalan ekstra aman. Alhasilnya, nasib bangsa ini toh tidak lebih baik. Sebagai ganti, justru datang krisis multi-dimensi yang mendera bangsa ini. Lebih ironinya lagi, malapetaka itu datang justru pada saat bangsa ini baru saja menyelesaikan Pemilu 1997.
Lalu untuk apa ritus politik yang bernama pemilu di negeri ini? Jawaban normatifnya adalah untuk menciptakan tatanan sosial-politik yang lebih demokratis, termasuk dalam urusan ekonomi.

Mencapai tujuan itu membutuhkan jalan yang panjang dan melelahkan. Ingat nasihat Francis Fukuyama, tak ada demokrasi tanpa orang-orang demokrat. Jadi urusannya bukan hanya soal politik, tetapi kultur. Bukan hanya hukum, tetapi juga etika.

Jadi, untuk sebagian besar bangsa Indonesia yang secara ekonomis masih memprihatinkan, menggantungkan harapan yang berlebihan pada manfaat pemilu berikut demokrasi jelas sangat tidak dianjurkan.

Selain bangsa ini memang masih jauh dari praktik demokratis, secara empiris, korelasi positif antara demokrasi dan pembangunan pun ternyata masih diperdebatkan.

India dan Cina sering dijadikan contoh untuk mengkaitkan kedua hal tersebut. Bahkan, seorang Amartya Sen membandingkan kedua negara itu dalam urusan korelasi antara pembangunan dan demokrasi.

Menurut ekonom sekaligus filsuf yang pernah mendapat hadiah Nobel tahun 1998 itu, Cina yang pada akhir 1958-1961 membunuh 30 juta warganya dan menembak mahasiswanya dalam pristiwa Tianamen, membukukan pertumbuhan ekonomi yang jauh lebih gemilang dari India. Cina yang tidak demokratis tentu melangkah lebih jauh dalam urusan pembangunan.

Tapi, Sen dalam tulisannya Democracy as a Universal Value (Journal of Democracy 1999), menghibur dan memberikan nasihat visioner bagi bangsanya. India, kata dia, tidak perlu terlalu peduli dengan angka-angka perekonomian. Yakinlah, demikian Sen, pada jalan demokrasi yang sudah dirintis.

Tidak mengherankan kalau negara itu lebih sibuk mengurus pendidikan yang baik bagi warganya. Dengan pendidikan yang baik masyarakat mengerti hak dan kewajibannya dan berjuang membebaskan diri dari ketergantungan.

Karena itu, menurut Sen, untuk jangka pendek, India secara statistik pasti tidak memperlihatkan pembangunan yang mempesonakan. Sen seperti seorang nabi bagi perekonomian India yang lebih berpikir secara apokaliptik. Dia memberi harapan bahwa demokrasi itu bermanfaat, kendati hasilnya dicapai pada masa akan datang.

Ekspektasi terhadap masa depan India yang lebih baik selalu mendapat peneguhan setiap kali bangsa itu melakukan pemilu. Karena terbersit harapan bahwa setiap Pemilu muncul pemimpin baru yang mengisi ruang demokrasi dengan pembangunan yang lebih menjanjikan.

Positif bagi bursa

Itulah sebabnya, peristiwa pemilu dalam 24 tahun terakhir di India selalu menjadi berita positif bagi bursa di negara itu. Dua atau tiga bulan sebelum dan sesudah pesta demokrasi di negara itu, indeks bergerak positif.

Sebuah indikasi bahwa para investor-yang selelau menghitung prospek-menaruh harapan bahwa setiap pemilu membawa sebuah perubahan, kendatipun kecil.

Menurut catatan Rajiv Nagpal dan Arshdeed Sehgal dari Time News Network dalam laporan Why Markets Love Elections '04, dari pemilu 1 Januari 1980 hingga 26 September 1999, hanya sekali saja, yaitu pada 1 Desember 1989 indeks bursa di India terpuruk ketika para investor bereaksi negatif terhadap tampilnya V.P. Singh.

Untuk pemilu yang dimulai 20 April nanti, pemodal menaruh ekspektasi yang cukup besar pada saham, terutama di sektor konstruksi, infrastruktur dan energi.

Hal itu bisa dipahami karena pemerintah memberi perhatian cukup besar pada pembangunan di tiga sektor tersebut. Total investasi di India meningkat dari US$ 120 miliar tahun 2004 menjadi sekitar US$208 miliar tahun 2007. Dari jumlah itu, investasi di sektor energi akan meningkat sebesar 114% dan eksplorasi minyak menjadi 80%.

Lain India lain Indonesia. India memang memiliki para pemimpin dan inteletual yang bervisi dan berkomitmen tinggi sekelas Sen dan Mahatma Gandhi. Kendati tertatih-tatih, demokrasi India terus berkibar. Indonesia yang sejak abad pertama mengkonsumsi filsafat dan kebudayaan India juga tidak ketinggalan mulai belajar berdemokrasi.

Terutama sejak terbukti bahwa perekomian masa Orde Baru era Soeharto yang mengabaikan fundamen demokrasi memang keropos. Hanya saja, sejak krisis 1997, Indonesia harus memikul beban sangat berat sehingga tidak memiliki cukup energi untuk bangkit.

Untuk menimba inspirasi bagi sebuah harapan, bangsa ini perlu belajar dari pemodal di lantai bursa seperti yang terjadi di India. Berdasarkan catatan, dalam setiap pemilu di negeri ini digelar juga selalu membawa harapan baru bagi pemodal di lantai bursa. Ekspektasi terhadap Indonesia yang lebih baik itulah yang selalu menggeret indeks perdagangan BEJ ke tingkat yang lebih tinggi pada saat-saat menjelang pemilu.

Korelasi

Mari kita simak korelasi indeks dan pemilu sejak 1987.

Pada Pemilu 23 April 1987, indeks BEJ berada pada posisi 75,02. Sebulan sebelumnya (23 Maret 1987) indeks berada pada posisi 72,93 atau mengalami perubahan sebesar 2,87% (Lihat tabel). Kenaikan yang sama juga terjadi pada Pemilu 9 Juni 1992. Indeks untuk perdagangan sehari sesudah pemilu (10 Juni) berada pada posisi 329,66 atau mengalami kenaikan 14,21% dari posisi sebulan sebelumnya.

Korelasi pemilu dan indeks terus terjadi pada Pemilu 29 Mei 1997. Pada hari itu indikator perdagangan BEJ menyentuh 689,59. Indeks pada posisi itu merupakan peningkatan sebesar 6,53% dari posisi sebulan sebelumnya (29 April). Bahkan saat Pemilu berlangsung indeks naik 16,999 poin dari 672,499 hari sebelumnya.

Sejak krisis mengikis ekspektasi pemodal pada Agustus 1997, indeks mengalami kecenderungan menurun. Dari posisi 721,772 pada 1 Agustus 1997, indikator perdagangan BEJ menurun sangat cepat dan menyentuh tingkat terendah pada posisi 339,536 pada 15 Desember 1997.

Penurunan indeks terus berlangsung selama 1998 yang bergerak pada rentang 542,098 pada 27 Maret dan 258,106 pada 6 Oktober. Pergerakan indeks selama periode ini dipengaruhi situasi politik dalam negeri yang sangat tidak stabil, terutama sejak kerusuhan 12 hingga 15 Mei 1998 hingga berakhirnya pemerintahan Soeharto pada 21 Mei 1998.

Selama masa pemerintahan transisi yang dipegang oleh Habibie dari Mei 1998 hingga Pemilu Juni 1999 ekspektasi pemodal terhadap prospek Indonesia sangat rendah. Indikator perdagangan BEJ tetap melemah.

Baru menjelang Pemilu 7 Juni 1999 yang membawa duet Abdurrahman Wahid -Megawati ke puncak pimpinan Indonesia, terbersit lagi harapan itu. Indeks BEJ kembali menguat. Kalau Januari hingga April 1998 masih di bawah posisi 495,222 (30 April), maka sebulan sebelum pemilu indeks secara teknis mulai memperlihatkan tanda-tanda penguatan.

Sejak awal Mei 1999 indeks menyentuh 523,358 dan tepat sebulan sebelum pemilu indeks berada pada posisi 575,118 (7 Mei 1999). Setelah berfluktuasi hingga tinggal 517, 067 pada 27 September akhirnya indeks ditutup pada 676,919 pada perdagangan akhir tahun.

Merosot

Duet Abdurrahman Wahid-Megawati yang kurang kuat dan manajemen kepemimpinan Gus Dur yang kurang terurus terus membayangi kemerosotan indeks pada tahun 2000 hingga pertengahan 2001. Pada tahun 2001, indeks bergerak antara titik terendah 342,858 (20 April 2001) hingga posisi tertinggi 470,229 (23 Juli 2001), tepat pada saat Gus Dur diturunkan dari kursi kepresidenan.

Kemudian mulailah duet Megawati-Hamzah Haz pertengahan Juli 2001 sampai sekarang. Pada tahun 2002, indeks masih melemah dan bergerak mendatar mulai dari kisaran tertinggi 551,607 (16 April) dan terendah 337,475 (14 Oktober).

Pada 2003, indeks bergerak sangat cepat dan mengalami kenaikan kinerja dan menyentuh posisi 693,033 per 29 Desember 2003. Posisi tersebut merupakan kenaikan sebesar 63% dibandingkan posisi tahun sebelumnya, yaitu pada tingkat 424,945.

Kinerja bursa 2003 yang sangat positif ini bisa dipahami. Pertumbuhan ekonomi periode itu tercatat 3,8% atau meningkat dibandingkan tahun 2002 sebesar 3,66%. Suku bunga SBI turun dan mencapai angka 115 pada 2003. Belum lagi masuknya sejumlah BUMN pada tahun tersebut sehingga menambah kesemarakan transaksi di bursa tersebut.

Lalu bagaimana dengan indeks BEJ di tahun 2004? Ketika Presiden Megawati membuka perdagangan bursa awal tahun (2 Januari)-sebuah kampanye kecil menjelang Pemilu 5 April 2004-indeks melaju hingga ke titik 704,498 dari penutupan 691,895 pada akhir 2003.

Ekspektasi terhadap kinerja ekonomi Indonesia yang mulai membaik pada 2003 mendapat pasokan energi baru dari peristiwa pemilu. Indeks mencapai posisi tertingi pada 26 Januari pada posisi 786,874. Tepat sebulan sebelum pemilu, indeks berada pada tingkat 778,010 (5 Maret 2004). Bisa saja, saat pemilu nanti atau beberapa hari perdagangan sesudahnya-kalau proses pemilu berjalan lancar menurut jadwal dan tentu aman-indikator perdagangan BEJ mengalami trend menguat.

Pada hal, kendati angka-angka ekonomi makro positif, ekspektasi hanya untuk alasan perekonomian makro Indonesia tentu berlebihan. Realitas perekonomian pada tataran mikro mestinya mencemaskan. Investasi yang lamban, angka pengangguran sebesar 40 juta, utang negara plus swasta sekitar US$200 miliar merupakan alasan yang kuat untuk sebuah kecemasan.

Apalagi untuk urusan penegakan hukum, insentif perpajakan dan ekspansi kredit perbankan-ketiga hal yang substansial untuk investasi di sektor yang riil-negara ini masih harus terus belajar membenahi.

Benar, kendati IHSG melemah dibandingkan sebulan sebelumnya, kinerja perdagangan BEJ masih saja semarak. Ritus demokrasi pada 5 April tetap menjadi inspirasi untuk sebuah harapan akan Indonesia yang lebih baik. Kendati harap tetap diingat bahwa seperti para investor, warga bangsa ini menabur harapan dengan sebuah risiko, yaitu datangnya para pemimpin baru yang oportunis dan fatalis.

Pemimpin yang demikian tidak saja tidak mampu memberi harapan, tetapi dalam dirinya tidak memiliki harapan. Mereka sudah pasti tidak pernah serius untuk sebuah reformasi dan cenderung menapaki jalan tikus.

Kalau demikian, harapan tinggal harapan. Pemilu datang, pemilu pergi, yang tinggal hanyalah secercah harapan. Mungkin perlu kita menghibur diri dan terus belajar dari para investor melalui petuah Romawi kuno: dum spiro spero, selama saya bernapas, saya berharap. Selamat datang pemilu 2004!

No comments: