Friday, February 1, 2008

Memprediksi Tren Harga Minyak Dunia (1)

Abraham Runga Mali

(Dimuat di Bisnis Indonesia pada 17 Mei 2005)

"Nothing happened," kata-kata itu meluncur dari mulut Carl Larry, analis Barclays Capital, awal bulan ini ketika menyaksikan harga minyak mentah dunia kembali menyelinap ke posisi di atas US$50 per barel.

Dua pekan setelah pernyataan itu, harga minyak turun bahkan menyentuh ke posisi yang lebih rendah lagi, yaitu US$48, 29 per barel. Itu berarti terjadi penurunan sebesar 16% dari rekor tertinggi yang dicapai pada 4 April di New york Mercantile Exchange, yaitu US$58,28 per barel. Hingga 16 Mei, harga minyak berada di bawah US$48 per barel.

Posisi US$48 per barel adalah harga terendah sejak 18 Februari ketika harga emas hitam itu seakan tak mau beranjak dari angka psikologis di atas US$50. Tapi, ke mana harga minyak selanjutnya akan bergerak?

Bloomberg pada akhir pekan kemarin menurunkan hasil pengumpulan opini dari 59 analis dan ahli strategi perminyakan dunia. Hasilnya cukup menggembirakan. Sebanyak 36 orang, atau 61% berpendapat kalau harga minyak akan terus menurun, sekurang-kurangnya untuk satu atau dua pekan mendatang.

Larry kembali menguatkan keyakinannya bahwa apa yang terjadi akhir bulan lalu itu hanya sebuah spekulasi. Fondasi realitasnya masih sama, yaitu permintaan minyak dunia yang kian menguat, sehingga mengangkat harga itu jauh di atas harga keranjang yang ditetapkan OPEC pada awal Januari, yaitu US$22-US$28 per barel.

Sampai Maret saja, organisasi negara-negara pengekspor minyak (OPEC), masih berusaha tenang dan meyakinkan dunia bahwa dia masih berkuasa mengendalikan harga minyak dunia.

Ada seorang analis lain dari Goldman Sachs, Arjun N. Murti, pada akhir Maret segera memecahkan ketenangan OPEC. Dia melontarkan prediksi yang menggegerkan bahwa harga minyak mentah akan terus menguat dan segera menyentuh US$105 per barel pada 2007.

Padahal, angka ini adalah hasil revisi dari perkiraan yang pernah dibuat sebelumnya bahwa harga minyak mentah akan bergerak di level US$50-US$80 per barel. Mungkin karena angka itu masih terlau rendah sehingga banyak orang seakan tak mempedulikan lontaran per-kiraan tersebut.

Murti sebenarnya menda-sarkan perkiraannya pada ketimpangan antara permintaan dan penawaran. Permintaan minyak yang lebih tinggi dari persediaan adalah penjelasan di balik kenaikan harga minyak.

"Kenaikan permintaan minyak dan pertumbuhan ekonomi yang semakin tinggi, khususnya di Amerika Serikat dan China, benar-benar menghentakkan kita," tulis laporan Goldman Sachs itu.

Tetapi tentu tidak semua orang sependapat dengan Arjun Murti. Banyak yang menuduh Murti terlalu berani melansir laporan itu dan terkesan ingin berspekulasi dan memainkan harga saham sektor energi dan minyak di Wall Street.

Sebut saja Tim Evans, analis energi dari Thomson Financial. Dia keberatan dengan prediksi atas lonjakan harga minyak sefantastis itu. Hal itu, menurut Evans, hanya mungkin kalau negara-negara di dunia, seperti AS, tidak akan berbuat sesuatu. Atau kecuali Arab Saudi menghancurkan semua cadangan minyak mentahnya.

Evans malah sebaliknya memperkirakan kalau harga minyak bakal turun hingga US$30 per barel. Harapan dia merujuk pada laporan Departemen Energi AS bahwa negara itu akan memproduksi minyak mentah hingga 314,7 juta barel tahun ini, meningkat 8%. Bukankah itu sebagian dari cara untuk memenuhi permintaan minyak dunia? Begitulah keyakinan Evans.

Apa pun bantahan atas Murti, yang pasti harga minyak dunia saat ini sudah cukup mengkhawatirkan. Bahkan sudah banyak pihak yang mengingatkan bahwa era minyak murah di dunia memang sudah berakhir. Coba simak pernyataan Saghuran Rajan dari departemen riset IMF.

Kendati tidak sedrastis Murti, dia juga punya perkiraan sendiri. Menurut Saghuran, harga minyak akan naik secara bertahap.

Pada tahun 2030, harga minyak mentah berada di kisaran US$67-US$96 per barel. Karena itu Saghuran mengingatkan agar dunia harus memulai membiasakan diri dengan harga minyak yang semakin mahal itu.

Sejarah harga minyak

Memang benar kalau lonjakan harga minyak yang terjadi akhir-akhir ini bukanlah satu-satu yang pernah dalam sejarah harga energi itu. Pada peristiwa Yon Kippur-Mesir dan Suriah menyerang Israel pada 5 Oktober 1973-harga per barel minyak mendadak naik dari US$3 pada 1972 menjadi US$12.

Pada 1974 hingga 1978 harga per barel minyak mentah cukup stabil dan bergerak di kisaran US$12,21 hingga US$13,55 [setelah disesuaikan dengan harga dolar tahun 2000]. Namun stabilitas harga itu tidak berlangsung lama. Karena kemudian muncul krisis baru pada 1979 dan 1980.

Ketika terjadinya Revolusi Iran, suplai minyak dari negara itu menurun sekitar 2 juta-2,5 juta per barel per hari antara November 1978 hingga Juni 1979. Sementara pada 1980, ketika berkecamuk perang Iran-Irak, produksi minyak Irak turun 2,7 juta per barel dan produksi minyak Iran terkikis 600.000 barel per hari.

Kombinasi dua peristiwa penting itu kembali menggerek harga ke tingkat yang cukup tinggi. Dari US$14 per barel pada 1978 melonjak hingga US$35 per barel pada periode 1981.

Tetapi setelah itu harga kembali stabil. Hal ini membenarkan keyakinan bahwa efek politik atas minyak berlaku untuk jangka pendek. Untuk sebuah alasan ekonomi-yaitu kelebihan permintaan atas suplai, bisa berlangsung lama. Dan itulah yang terjadi saat ini.

Mengenai yang satu ini-juga kalau kita kembali merunut pada sejarah-mestinya tidak perlu membuat para pelaku dan pengamat perminyakan terkaget-kaget. Jauh-jauh hari sebelum Murti, Herber King pernah membuat perkiraan serupa.

Dalam tulisannya pada 1952, Herber mengatakan akan terjadi krisis minyak dunia lantaran krisis pasok. Krisis itu, lanjutnya, diperkirakan terjadi pada tahun 2000-an.

Karena itu, menarik disimak angka-angka yang menjelaskan hubungan permintaan dan penawaran minyak dunia. Hingga 1995 permintaan minyak dunia bergerak di jenjang yang sangat tipis, yaitu pada 66 juta barel-68 juta barel hari. Setelah itu, permintaan minyak dunia menembus angka 70 juta dan melangkah hingga 82,4 juta barel per hari.

Pemicu permintaan paling tinggi adalah pertumbuhan ekonomi di Asia, terutama China dan India. Permintaan China menyentuh angka 7.7 juta barel per hari dan me-nempatkan negara Tirai Bambu itu sebagai pengguna minyak nomor dua terbesar setelah AS.

1 comment:

yachnaraburn said...

What's On - Jammy Casino - Jackson County, MS
Jammy Casino at Jackson County is 경산 출장안마 offering 오산 출장안마 up a $500 하남 출장마사지 bonus 경주 출장마사지 for new 보령 출장샵 players. The Jammy Casino is now accepting bets and has over 3,000 games.