Friday, February 1, 2008

Mengintip Reformasi Finansial Cina (2)

Abraham Runga Mali

Jurus Sang Naga menuju raksasa ekonomi
(Bag. 2 dari 3 tulisan dimuat pada edisi 12 Maret 2004)

Pemerintahan Cina menyadari betul pentingnya urusan reformasi sektor finansial. Kesadaran tersebut menggerakkan Presiden Cina Hu Jintao membentuk tim pengawas yang diketuai Liu Mingkang, yang ketika itu menjabat sebagai Dirut Bank of China.
Kondisi sektor perbankan di Cina memang sangat parah. Kredit macet di Bank of China, bank terbesar di negara itu, mencapai 20%.

Sementara di tiga bank besar lainnya, Bank Industri dan Perdagangan, Bank Pembangunan (China Construction Bank) dan Bank Pertanian, kredit macetnya mencapai 21%, atau setara dengan US$200 miliar.

Bahkan para pengamat asing memperkirakan jumlah kredit macet jauh lebih besar dari angka resmi yang diumumkan pemerintah, yakni antara 40% hingga 50%.

Hal itu bisa dipahami. Karena dalam perjalanannya, bank-bank di Cina lebih berperan sebagai pengelola dana yang melayani kepentingan partai komunis di negara itu.


Tidak mengherankan kalau Desember tahun lalu, pejabat tinggi Partai Komunis Cina, Wang Xuebing dijatuhi hukuman penjara 12 tahun.

Pasalnya, selama tujuh tahun memimpin Bank of China, tercatat US$700 juta dana raup tanpa bekas. Kejadian itu merupakan pertanda keseriusan raksasa ekonomi tersebut dalam melakukan reformasi di sektor finansial guna mendukung pertumbuhan ekonominya.

Cina pada Januari lalu mengucurkan masing-masing US$22,5 miliar dari kas cadangan devisanya untuk China Construction Bank dan Bank Of China.

Bahkan negara itu siap mengucurkan sekitar US$100 miliar untuk menyelamatkan bank dari lilitan kredit macet. Hal yang tentu saja bisa dilakukannya karena besarnya cadangan devisa yang dimiliki mencapai US$450 miliar.

Dalam regulasi terbaru yang diumumkan China Banking Regulatory Commission (CBCR), seluruh bank komersial di negara itu harus memenuhi persyaratan rasio kecukupan modal 8% pada 1 Januari 2007, seperti ditetapkan Bank for International Settlements (BIS).

Seperti diakui oleh seorang pejabat CBCR, rasio kecukupan modal perbankan Cina saat ini sangat rendah.

Kondisi ini, lanjutnya, akan menyulitkan perbankan dalam mengontrol ekspansi bisnisnya yang begitu pesat.

Pada tahun lalu total kredit perbankan Cina mencapai 2,77 triliun yuan. Total kredit itu diperkirakan sedikit menurun pada tahun ini, yaitu 2,6 triliun yuan.

Sebagai bagian dari upaya reformasi, pada Desember tahun lalu, CBCR memperbolehkan sejumlah investor asing menguasai 20% saham perbankan Cina dan investor individu luar negeri boleh membeli 15% saham.

Selain merupakan tuntutan internal, urusan reformasi perbankan harus dilakukan untuk menjawab tuntutan eksternal.

Mulai akhir 2006-sesuai dengan janjinya saat masuk WTO-negara itu akan membuka seluas-luasnya sektor tersebut terhadap masuknya perbankan asing.

Karena itu, sektor perbankan Cina harus dibenahi secara optimal agar bisa bersaing dengan perbankan luar negeri.

Reformasi perbankan, terutama perbaikan kinerja Bank of China dan China Contruction Bank, memang tidak bisa ditawar-tawar.

Bahkan otoritas moneter keuangan negara itu mengakui kalau urusan melepaskan patokan yuan terhadap US$ baru bisa dilakukan setelah pembenahan di kedua bank tersebut tuntas.

Soal mata uang

Soal mata uang yuan merupakan persoalan lain yang perlu dicarikan jalan keluar. Sejak awal Cina menganut sistem mata mengambang terkendali.

Tetapi sejak krisis finansial Asia tahun 1997, Cina melakukan pengetatan melalui manajemen pengendalian (kontrol devisa). Kebijakan yang akhirnya membuat Cina tidak ikut terpuruk bersama negara Asia lainnya.

Sejak saat itu Cina mematok mata uangnya pada 8,28 yuan untuk 1$US. Saat ini, banyak kalangan di AS, Jepang dan Eropa menilai patokan sebesar itu terlalu rendah karena akan mematikan daya saing ekspor mereka. Karena itu Cina terus didesak untuk segera mengapresiasi mata uangnya.

Di pihak lain pemerintahan Cina berkali-kali menegaskan bahwa Cina tidak membutuhkan penguatan nilai yuan.

Bahkan, media lokal di Cina mengingatkan bahwa desakan AS dan Jepang itu merupakan sebuah konspirasi untuk memblokade pertumbuhan ekonomi Cina dengan orientasi pasar ekspor sebagai penggeraknya. (Lihat tabel)

Hal itu bisa dipahami. Chi Hung Kwan, peneliti senior pada Researach Institute of Exconomy, Trade and Industry, Japan, mengatakan ada tiga alasan mengapa Beijing sangat berat melepaskan patokan yuannya.

Pertama, suskes Cina ketika tidak terkena dampak krisis finansial yang menerpa Asia pada tahun 1997-1998.

Kedua, kondisi perekonomian Cina yang tengah kondusif, sehingga menahannya untuk tidak tergesa-gesa melakukan perubahan ekonomi makro.

Ketiga, kuatnya kelompok pendukung yang menikmati keuntungan dari tingkat yuan yang rendah. Kelompok ini adalah para pengekspor Cina yang menikmati marjin yang besar, ketika produk Cina memiliki daya saing yang tinggi di luar negeri.

Padahal, barang-barang impor yang murah lantaran rendahnya nilai yuan juga akan membawa dampak yang buruk bagi sektor pertanian dalam negeri.

Tetapi Cina dipaksa untuk memiliki perspektif yang lain. Negara itu perlu memperhatikan kepentingan komunitas internasional, terutama Jepang, Eropa dan khususnya AS, yang mengalami defisit perdagangan dengan negara itu.

Kalau tidak, Cina harus terus mengeluarkan energi untuk merem kenaikan yuan dalam konteks friksi perdagangan dengan luar negeri.

Selain itu, karena cadangan mata uang yang besar, mau tidak mau memaksa Cina untuk mengontrol suplai uang dan ekspansi yang agresif di sektor-sektor yang konsumtif seperti real estate.

Karena itu, jelas Kwan, reformasi kebijakan mata uang merupakan hal yang perlu dilakukan.

Fluktuasi yang tajam terhadap dolar dan kenyataan banyak negara Asia mengemas mata uang secara mengambang juga akan menimbulkan ketidakstabilan dalam lalu lintas perdagangan dengan negara lain.

Lagi pula, mobilitas dana yang besar ke Cina semakin menyulitkan otoritas moneter negara itu mengontrol suplai dan tingkat bunga. Suatu kondisi yang sangat mungkin menimbulkan inflasi dalam negeri.

Apalagi, kondisi perkekomian Cina yang cukup kondusif saat ini merupakan kesempatan untuk melakukan sejumlah perubahan, termasuk soal yuan.

Perspektif lain itu akhirnya memunculkan spekulasi bahwa Cina akan segera melakukan perubahan kebijakan mata uangnya pada tahun ini juga, kendati dari sisi Beijing selalu menegaskan bahwa reformasi bidang itu -kalaupun dilakukan-bukan karena atas desakan dari luar negeri, tetapi lebih merupakan kebutuhan internal.

Tentu saja, Cina akan mempertimbangkannya dengan hati-hati. Dan sekarang ini yang menjadi prioritas masih pada penguatan sektor perbankan.

No comments: