Friday, February 1, 2008

Mengintip Reformasi Finansial Cina (1)

Oleh Abraham Runga Mali

Jurus Sang Naga menuju raksasa ekonomi
(Bag. 1 dari 3 tulisan)

Di Beijing saat ini sedang berlangsung Kongres Rakyat Cina yang dimulai akhir pekan lalu. Selain penegasan atas kepemilikan wilayah Taiwan dan peningkatan kekuatan militer, kongres tersebut membahas kebijakan ekonomi, termasuk kebijakan mengubah paradigma pembangunan ekonomi dengan lebih memperhatikan pengembangan wilayah miskin di pedesaan yang selama ini terabaikan.
Untuk memajukan kesejahteraan para petani, Perdana Menteri Wen Jiabao berjanji akan meningkatkan investasi di wilayah pertanian sebesar 20%, mengurangi beban pajak pertanian hingga 7 miliar yuan dan memberi subsidi kepada penghasil bahan makanan hingga US$1,2 miliar.

Bahkan, penerbitan obligasi untuk pembangunan yang tahun ini dikurangi dari 140 miliar yuan (US$16,9 miliar) menjadi 110 miliar yuan juga akan lebih banyak dimanfaatkan untuk pengembangan wilayah tersebut.

Selain itu Wan di hadapan peserta kongres mengedepankan kebijakan fiskal yang pro-aktif dan mengupayakan pembayaran internasional yang seimbang dan menjaga mata uang yuan dalam tingkat yang seimbang.

Arahan Wan memang menggembirakan. Tetapi, akankah Cina dengan mudah merealisasikan janji-janji reformasinya itu?

Tentu tidak. Pasalnya, pertama-tama negara itu harus menyelesaikan sebuah pekerjaan rumah maha penting, yaitu reformasi finansial yang sampai saat ini amburadul. Potret raksasa ekonomi dengan fundamen perekonomian yang masih terus dibenahi.

Raksasa ekonomi

Pada 2050, Cina bersama India diproyeksikan masuk dalam kelompok tiga besar perekonomian dunia bersama Amerika Serikat.

Kekayaan alam, besarnya populasi, keberhasilan kaum migrannya, keterbukaan pada pasar dunia, serta etos kerja masyarakat yang dilandasi nilai-nilai filsafat Taoisme dan Hindu-Budhisme yang mendalam, memungkinkan kebenaran proyeksi para ekonom tersebut.

Proyeksi itu tidak berlebihan. IMF Survey, 15 Desember 2003, di bawah judul: A Tale of Tio Giants: India and China, juga menurunkan laporan tentang dua raksasa ekonomi Asia itu. Laporan itu kembali mengutip Lord Meghnad Desai dari London School of Economy, yang berbicara dalam sebuah konferensi bulan sebelumnya di New Dehli.
Menurut dia, kalau satu generasi sebelumnya orang mempertanyakan apakah kedua negara itu mampu memberi makanan kepada penduduknya, maka saat ini temanya lain.

Sekarang, Cina dan India yang penduduknya merupakan 40% populasi dunia, berhasil mencatat 20% output global. Desai bahkan lebih jauh ikut meyakini kalau Cina akan menjadi kekuatan ekonomi raksasa dan India akan menjadi sebuah masyarakat besar.

Lee Kuan Yew, tokoh senior Singapura pun turut membuat perkiraan tentang Cina. Dalam pidatonya dengan judul China - An Economic Giant, di sebuah Global Forum Lunch seperti dimuat di Fortune, 29 September 1999, dia mengakui kalau pada 2050 Cina secara sempurna merampungkan tiga perubahan penting.

Perubahan itu adalah dari ekonomi terencana menjadi ekonomi pasar, dari ekonomi agraris menjadi ekonomi industri dan dari ekonomi sentralistis menjadi perekonomian yang merangkum seluruh potensi wilayah pinggiran.

Proyeksi tampilnya Cina dalam percaturan ekonomi dunia bukan tanpa dasar. Pada 1980, India-menurut terminologi besarnya PDB dibandingkan daya beli mata uangnya-menduduki posisi nomor lima ekonomi dunia, sementara Cina berada pada posisi ke sembilan. Pada 2001, Cina meloncat ke posisi kedua setelah AS, sementara India berada pada posisi keempat.

Pertumbuhan Cina memang lebih fantastis dibandingkan India. Awalnya adalah liberalisasi yang dikemas Deng Xiaoping pada 1978. Pertumbuhan itu kian mencengangkan sejak Cina mendekatkan diri pada pasar global dengan bergabung dalam keanggotaan WTO pada 11 Desember 2001.

Total perdagangan luar negeri Cina pada 2002 mencapai US$620,8 miliar, menduduki peringkat kelima dunia. Ekspor 2003 bertumbuh 34,6%, sementara impor 39,9%.

Beijing berhasil melakukan hubungan dagang dengan sejumlah mitra utamanya seperti Jepang, AS, Hong Kong, Korsel, Taiwan, Jerman, Malaysia, Singapura, Rusia dan Belanda.

Nilai dagang dengan 10 mitra utamanya mencapai US$581,5 miliar atau 68% dari total perdagangan. Ekspor meningkat dari sekitar US$10 miliar pada tahun 1978 menjadi US$125 miliar pada tahun 2001. Tahun 2003 total nilai ekspor Cina tercatat sebesar US$438,4 miliar.

Memang utang luar negerinya juga lumayan besar, yaitu US$182,6 miliar pada Juni 2003, meningkat 8,3% dibandingkan tahun sebelumnya. Dari angka tersebut, 65% merupakan utang jangka panjang dan menengah dan 35,2% merupakan utang jangka pendek. Perbandingan utang terhadap ekspor (debt sevice ratio) per 2002 adalah 7,89% atau masih jauh di bawah tingkat kecemasan konvensional sebesar 20%.

Kalau tahun lalu pertumbuhan ekonomi Cina mencapai 9,1%, tahun ini diperkiraan mencapai 7% hingga 8%. Lalu terlontar pertanyaan dari mana biaya yang menopang perekonomian negara Tirai Bambu itu?

'Banjir' investasi

Semua tentu sepakat kalau pertumbuhan ekonomi Cina didukung aliran dana global dan cadangan devisanya yang besar. Per Desember 2003 cadangan devisa Cina mencapai US$403,3 miliar, terbesar kedua di dunia setelah Jepang (US$673,5 miliar).

Lalu perhatikan besarnya pembiayaan ekonomi Cina dari aliran dana global. Pada 2003, proyek yang disetujui dengan pembiayaan dari luar bertambah 20,2% menjadi 41.081, sementara kontraknya bertambah 39,% (US$115,1 miliar) dan utilisasi naik 1,4% (US$53,5 miliar).

Cina juga akan mengalami gambaran serupa tahun ini. Sebab aliran dana global ke pasar-pasar yang sedang berkembang (emerging market) melonjak luar biasa besar. Laporan Institute of International Finance (IIF) memperkirakan aliran dana global tahun ini naik dari US$196miliar menjadi US$187 miliar dan US$124 miliar pada 2002.

Masuknya dana global, terutama dana investasi langsung ke Cina tidak bisa dilepas dari peran para perantuannya (chinese overseas) yang tersebar di sentero dunia. Bahkan, menurut perkiraan Thomas Merkhoff dan Solvai Gerke dalam bagian pengantar buku Chinese Entrepreneurship and China Business Networks, 80% dari total dana investasi langsung itu berasal dari para migran Cina.

Sebuah perhitungan yang tidak mengada-ada. Bayangkan, kalau kalkulasi itu benar, pada awal 1990-an diperkirakan "GNP" dari total 50 juta perantauan Cina, termasuk Hong Kong dan Taiwan, mencapai US$450 miliar atau lebih besar dari "GNP" negara Cina sendiri.

Dan total aset likuid-tidak termasuk ekuitas-para migran itu senilai US$1,5 triliun-US$2 triliun (The Economist, 7/8/1992 dan 11/27/1993). Jumlah itu sangat dahsyat.

Karena itu, Cina tidak menyia-nyiakan tetesan dana global dan ikatan emosional dengan kaum migrannya.

Daerah-daerah potensial mulai dikembangkan secara optimal. Sejak 1985 lebih dari 85% pasokan dana global itu disalurkan ke zona-zona pembangunan khusus (special economic zones) seperti Shanghai, Beijing dan dua wilayah di provinsi selatan seperti Hainan dan Guangdong.

Sisi gelap

Tapi, aliran dana global yang besar menuntut kesiapan internal yang matang. Salah satu yang saat ini terus dilakukan adalah pada sektor finansial. Tanpa didukung sektor finansial yang kuat, Cina tidak mampu menyerap dan mengelola dana global secara optimal. Itulah sebuah sisi gelap dibalik kemegahan pembangunan Cina dengan proyeksi yang menggiurkan.

Menurut laporan Bank Dunia dalam Managing Capital Flows in East Asia (1996), dari dana investasi langsung bersih pada awal 1990-an terus mengalami perembesan ke luar negeri (capital fligtht), ditengarai akibat lemahnya pengelolaan permodalan. Puncaknya pada 1993, dimana rembesan modal keluar mencapai US$10 miliar.

Investor kala itu mulai mencoba menghindari risiko mata uang dan berbagai risiko dalam negeri Cina, termasuk sektor perbankan yang lebih banyak menyalurkan kredit ke sektor-sektor properti yang menyebabkan terjadinya gelembung ekonomi (bubble economic).

Tak heran dana yang sudah masuk ke luar kembali untuk mencari return yang lebih tinggi di luar negeri. Kejadian itu seiring dengan kenyataan adanya depresiasi yuan terhadap US$ sebesar 21% pada 1990, 10% pada 1991 dan 8% antara 1992-1993.

Itulah sebabnya, reformasi sektor finansial, baik perbankan, mata uang dan pasar modal, merupakan soal sangat mendesak bagi Beijing. Kalau tidak, aliran dana masuk akan menjadi bencana besar seperti dipertontonkan dalam krisis ekonomi Asia 1997.

No comments: