Friday, February 1, 2008

Mengeruk Untung dari Penny Stock

Abraham Runga Mali

"Paling aman pilih blue chips." Begitulah pesan yang sering dilontarkan para penasihat investasi kepada investor di pasar modal kita. Blue chips seringkali dinilai sebagai pilihan paling bijak saat ini dengan berbagai alasan.
Misalnya, argumentasi karena dukungan fundamental dan teknikal yang solid, saham-saham tersebut berpeluang mencapai level harga baru. Premis argumentasi ini, blue chips akan mudah rebound setelah ditimpa aksi profit taking.

Tentu tak ada yang salah dengan keyakinan tersebut. Namun kalau tidak berhati-hati, terutama dengan de-ngan memasukan kata 'paling bijak', pesan yang hendak disampaikan menjadi kabur.

Bahkan bernuansa menyesatkan para pelaku pasar. Mengapa? Karena de-ngan frase seperti itu, para penasihat investasi seakan memberi sinyal kepada investor yang tidak memilih blue chips, sebagai orang yang tidak bijak.

Tapi, benarkah pesan seperti itu? Tentu saja, tidak! Mengapa? Karena pengalam-an para investor beken seperti Warren Buffett, Mario Gobelli, Glenn Greenberg, Robert H. Heilbrunn, Seth Klarman, Michael Price, Paul. D. Sonkin, Walter dan Edwin Schloss dan lainnya membuktikan bahwa berinvestasi pada saham-saham dengan kapitalisasi pasar yang kecil (microcap) di bursa New York dapat menjadi sumber 'gain'.
Microcap ialah saham dengan kapitalissi pasar di bawah US$100 juta dan yang rendah harganya (penny stock) berharga kurang dari US $5.

Dari sederet nama di atas, Paul D. Sonkin merupakan orang yang paling sukses mengeruk gain dari saham-saham kecil dan rendah harganya.

Memang sebagai pe-laku pasar modal yang pernah menjadi profesor matakuliah bisnis di Columbia, Sonkin amat menghargai buku karya bersama Benjamin Graham dan David Dodd berjudul Security Analysis (1934).

Terutama edisi revisi ketiga (1954) yang diperkaya dengan pengalaman Graham sendiri akan masa depresi ekonomi tahun 1929. Sonkin juga mengapresiasi surat-surat yang ditulis Graham kepada para investor di per-usahaan mitra antara Gra-ham - Newman.

Tapi, Sonkin berpandangan teori investasi Graham itu kurang aplicable. Sebab, dalam praktek di pasar, ba-nyak investor kewalahan menerapkannya karena harus berhadapan dengan banyak investor yang sama-sama cerdas dan punya banyak informasi.

Bertolak dari fakta demikian, Sonkin memfokuskan perhatiannya pada 'permainan' (baca: transaksi saham) yang pesertanya sedikit. Pasalnya, semakin sedikit pemain semakin mudah membaca strategi lawan main.

Kombinasi

Dari observasi dan pegalaman berinvestasi, Sonkin berkesimpulan bahwa transaksi yang pesertanya sedikit hanya terjadi atas saham-saham dari perusahaan yang kecil dan tidak dipedulikan oleh para analis.

Karena bermain di 'arena' yang diabaikan para analis maka Sonkin mau tak mau harus melakukan analisis secara mandiri.

Bagaimana caranya? Caranya ialah dengan mengombinasikan metode analisis fundamental ala Graham, dan menggali nilai pada neraca perusahaan.

Menurut dia, neraca harus dibedah karena di sana tersimpan data mengenai posisi asset, kas dan jumlah uang yang dapat ditagih. Data tersebut amat menentukan apakah sebuah perusahaan bernilai atau tidak.

Nah, dengan cara itu Sonkin dapat menentukan secara akurat saham perusahaan kecil mana saja yang layak diinvestasi. Dengan begitu dia dapat menekan risiko rugi dan mendatangkan gain bagi portofolio investasinya.

Sonkin pun menyadari bahwa sejumlah investor menghendaki portofolio yang terpusat; menaruh semua telur pada satu keranjang. Sementara, investor lainnya menginginkan portofolio yang terdiversifikasi; menaruh telur pada banyak keranjang.

Apa sikap Sonkin terhadap dua tren itu? Sekali lagi, dia memakai jalan kombinasi atas. Makanya, portofolio yang dia jalankan terbagi atas dua bagian besar.

Bagian pertama, membentuk portofolio setelah menyeleksi saham secara tradisonal sebagaimana ditunjuk oleh Graham. Dalam hal ini, mula-mula dia membuat daftar saham-saham perusaha-an kecil tetapi memiliki nilai tinggi.

Jika saham-saham tersebut diabaikan oleh analis dan pemain di bursa saham, maka dia mengalokasikan dana investasi ke saham-saham tersebut. Kemudian, dia menempatkan dananya pada saham-saham yang berada pada harga terendah, namun memiliki kondisi fundamental yang baik. Seperti memiliki kas di bank, aset-aset nyata, atau pendapatan yang sudah dinormalisasi.

Pada bagian lain, Sonkin membentuk portofolio berpedomankan pada jenis situasi arbitrase. Dia mengartikan arbitrase dalam pengertian luas. Tapi satu hal kunci yang dipegangnya ialah bahwa suatu peristiwa korporasi selalu berpengaruh pada harga sahamnya di lantai bursa.

Menurut dia, pengumuman tentang take-over, likuidasi, spin-off, restrukturi-sasi perusahaan merupakan peluang emas untuk menerapkan prinsip high return on investment and low level of risk.

Dia berkeyakinan bahwa pembentukan portolio investasi melalui dua proses dan dua maksud yang berbeda merupakan suatu kombinasi yang tepat agar terhindar dari keputusan berinvestasi pada saham-saham kecil yang memang busuk.

Tentu saja, tidaklah salah bila pengalaman Sonkin dijadikan acuan oleh para investor di bursa nasional. Dengan kata lain untuk menjadi pelaku pasar modal yang bijak dan sukses meraup gain seorang investor tak mesti masuk dan berdesakan di pasar blue chips yang crowded, tapi cobalah menyusup ke pasar yang microcap dan penny stock yang longgar. Selamat mencoba!

No comments: