Friday, February 1, 2008

Ketika Mereka Keluar dari Rambu-Rambu Investasi

Abraham Runga Mali

Soal kelas menengah Jakarta yang royal dalam membeli mobil, Muhamad Ichsan dari PrimePlanner, punya komentar sendiri. "Itu kebutuhan yang sesuai dengan gaya hidup mereka," ujar konsultan yang sudah malang melintang di bidang perencanaan keuangan keluarga itu.
Sebagai gaya hidup, jelas Ichsan, selain urusan kenikmatan personal, juga memiliki aspek demonstratif, memamerkan kepada orang lain. Mobil itu, menurut dia, karena bisa dibawa kemana-mana, merupakan alat paling pas untuk diperlihatkan kepada orang lain.

Simak saja penuturan pengacara kondang Ruhut Sitompul dan artis penyanyi Krisdayanti kepada sebuah majalah ibu kota awal tahun ini.

Konon, Ruhut menghabiskan Rp 8 miliar uangnnya untuk memiliki sebuah Ferrari, sementara penyanyi yang akrab disapa KD itu harus menyisihkan Rp 650 juta dari koceknya agar bisa menikmati Mercedes New Eyes E260.

Tentu keduanya bisa saja berkelit bahwa ini bukan hanya urusan gaya hidup, tetapi juga tuntutan pekerjaan. Sebagai pengacara, Ruhut harus tampil prima saat harus bertemu dengan klien-kliennya. Begitu juga profesi KD sebagai artis yang mau tidak mau membutuhkan mobil mewah yang bisa mendongkrak kepercayaan dirinya.

Tapi, memperhatikan porsi 52% dari pendapatan yang dirancang kelas menengah untuk masa depan mereka, Ichsan lebih lanjut menegaskan bahwa itu merupakan hal yang positif. "Saya malah surprised dengan hasil riset tersebut. Itu hal yang bagus sekali."

Soalnya, belum lama ini dia sempat dibuat terkejut oleh hasil riset yang juga dilakukan oleh Nielsen Media Research yang menempatkan kalangan atas Jakarta sebagai kelas yang cenderung sangat konsumtif dibandingkan kelompok yang sama dari kota-kota lain di Asia pada tahun lalu.

Menurut hasil Asian Target Market Survey itu, dari sisi pendapatan kelas atas di tujuh ibu kota di Asia, yaitu Jakarta, Hong Kong, Taipei, Manila, Bangkok , Singapura dan Kualalumpur, pendapatan orang kaya di Jakarta berada di posisi paling rendah, yaitu US$7.000 per tahun.

Sementara yang menempati peringkat pertama dari sisi pendapatan adalah orang kaya yang berdomisili di Hong Kong dengan pendapatan US$65.000 dan diikuti Singapura US$41.000.

Untuk investasi, peringkat teratas adalah warga kaya dari Singapura dengan rata-rata US$222.000 atau setara dengan Rp1,9 miliar. Sedangkan untuk urusan investasi kelompok kaya dari Indonesia berada pada nomor buncit dengan nilai rata-rata US$876 (Rp739 juta).

Pilihan investasi orang kaya di Jakarta juga berbeda dengan rekan-rekannya dari kota besar lainnya. Kalau kelompok kaya di kota lain pertama-tama memilih investasi pada asuransi dan dana pensiun, maka orang kaya Jakarta paling banyak berinvestasi pada properti rumah (52%). Kemudian baru investasi di bidang asuransi dan dana pensiun (43%), properti untuk penanaman modal (33%), logam mulia emas dan platina (30%), saham (11%).

Prioritas investasi seperti di atas, menurut Doni Istyanto Hari Mahdi, penasihat keuangan dari Global Financial Services, bisa dipahami karena masyarakat Indonesia masih tergolong saving society (masyarakat menabung) bukan investing society (masyarakat berinvestasi). Pada masyarakat seperti ini, jelasnya, pertimbangan investasi bukan pertama-tama soal keuntungan (return). "Mereka menabung semata-mata hanya kerena ada kelebihan dana."

Skala prioritas

Menurut dia, urutan pengeluaran yang benar berdasarkan seni perencanaan keuangan adalah sebagai berikut. Pertama, adalah pengeluaran yang berkaitan dengan manajemen risiko, yaitu investasi untuk menjamin hilang atau berkurangnya pendapatan karena risiko kematian. Produk investasinya adalah asuransi.

Kedua, adalah investasi yang terkait dengan rencana pensiun. Ketiga, pengeluaran untuk membiayai kewajiban dalam keluarga seperti mobil, rumah, dan keempat, pengeluaran untuk membayar gaya hidup (life style).

Banyak kelas menengah-atas di Indonesia, menurut Doni, yang tidak mengikuti prinsip skala prioritas tersebut. Sering kali, jelasnya, pengelaruaran mereka dirancang pertama-tama untuk membiayai gaya hidup dan kewajiban-kewajiban utang seperti rumah dan mobil.

"Gaya hidup itu terbawa-bawa sampai pada memilih asuransi. Jadi mereka melakukan investasi di asuransi lebih karena gaya hidup daripada terdorong oleh kalkulasi investasi yang matang."

Hal itu, jelasnya, terlihat dari kesalahan mereka dalam memilih asuransi. "Saya berani mengatakan 90% kelas menengah-atas yang salah dalam mengambil posisi asuransi," demikian perencana keuangan yang lama bekerja pada sebuah perusahaan agen asuransi itu.

Kesalahan itu terlihat dari sebagian produk asuransi yang dipilih adalah unit link dan asuransi jiwa whole life (asuransi keseluruhan, yaitu tanggungan kematian berjalan sepanjang kehidupan tertanggung dan selama premi dibayar sesuai ketentuan di dalam polis).

Padahal, tegas Doni, kedua produk asuransi itu belum bisa memberi proteksi secara lengkap. Masih ada alternatif asuransi lain seperti asuransi yang berdasarkan kontrak (endowment insurance) atau asuransi berjangka (term insurance) dimana benefit kematian akan dibayarkan hanya apabila tertanggung meninggal dalam kurun waktu yang telah ditentukan.

Porsi pengeluaran

Biasanya, demikian Doni berpendapat, dari pengalaman memberi nasihat keuangan selama ini, merupakan hal yang ideal kalau 10% dari pendapat dimanfaatkan untuk manajemen risiko, 25%-30% untuk pensiun, dan kewajiban (liability) seperti untuk sewa rumah dan biaya pendidikan disisihkan 20% dari total pendapatan. Sisanya baru untuk biaya gaya hidup.

Dengan pembagian seperti itu, jelasnya, mudah dinilai apakah kelas menengah-atas ini sudah menggunakan uangnya secara tepat atau tidak. Misalnya saja dalam perencanaan pensiun. Biasanya, jelas Dony, mereka hanya mengikuti kewajiban minimal yang dianjurkan pemerintah yang hanya menyisihkan 5% dari total pendapatannya untuk pensiun, yaitu 3% ditanggung pemberi kerja dan 2% ditanggung oleh karyawan yang bersangkutan.

Dengan memperhitungkan tingkat investasi sebesar 6% dan inflasi dengan tingkat yang hampir sama, yaitu 6%, maka sama sekali tidak terjadi pertumbuhan uang pada skema investasi tersebut. "Pertumbuhannya nol. Itu sangat tidak cukup untuk membiayai kehidupan pada masa pensiunnya nanti."

Mari kita membuat perhitungan sederhana. Andaikan saat ini seseroang berumur 35 tahun dengan pendapatan Rp100 juta per tahun. Itu berati masa kerjanya masih tersisa 25 tahun lagi. Dengan menyisihkan hanya 5% sebagimana investasi ke dana pensiun yang normal, maka hasilnya hanya cukup untuk membiayai pengeluarannya saat pensiun nanti tidak lebih dari 15 bulan.

Karena dengan pendapatan Rp100 juta per tahun, berarti 5% dari total pendapatan yang disisihkan untuk pensiun berarti hanya Rp500.000. Itu berarti 25 tahun nanti hanya terkumpul dana sekitar Rp150 juta.

"Ini tentu jauh dari cukup karena hanya cukup untuk kehidupannya sekitar 15 bulan. Kalau saja usia pensiunnya berlangsung 20 tahun, bagaimana dia menutup kekurangan di masa pensiun yang sangat panjang itu?"

Pada hal, jelas Dony, kalau dengan menghitung faktor penurun (inflasi 6%) saja, maka 24 tahun lagi, dengan pengeluaran saat ini Rp100 juta, minimal pada saat pensiun pengeluaran menjadi Rp400 juta. Itu berarti selama sisa masa kerja 20 tahun, sedikitnya investasi yang harus dilakukan untuk pensiun mencapai sekitar Rp8 miliar.

Jumlah yang luar biasa besar. Sebagian dari kita mungkin terkejut. Atau ada yang mungkin saja sudah memperkirakan angka itu, tetapi mereka tidak peduli. Soal pensiun, demikian mereka berprinsip, itu urusan nanti, yang penting sekarang menikmati hidup dulu. Kalau tidak, mestinya pembelian mobil bukan pada pilihan nomor satu. Atau, orang Indonesia sudah terbiasa dengan dana siluman lain, sehingga urusan mobil oke dan persiapan dana pensiun yang Rp8 miliar juga tak diabaikan.

No comments: