Friday, February 1, 2008

Ketika Zhongxin Menghentak Dunia (1)

Pada akhir September 2005, saya dan sejumlah wartawan Indonesia berkesempatan mengunjungi kantor, pabrik dan pusat riset perusahaan teknologi komunikasi ZTE di Zhenzen dan Shanghai. Berikut hasil pengamatan atas perkembangan teknologi komunikasi di perusahaan tersebut dan di China secara umum.

Zhongzin Telecom Equipment Corp, atau disingkat ZTE, adalah satu dari sekian perusahaan China yang mendunia. Sebuah kekecualian dari hasil penelitian Francis Fukuyama bahwa banyak unit bisnis di sana yang karena 'saling percaya' yang hanya berkutat di kalangan anggota keluarga tak layak berkembang menjadi multinasional.

"Ini bukan perusahaan keluarga sejak dari berdirinya," ujar William Zhao, Direktur Penjualan ZTE di kantor pusatnya di Kawasan teknologi Tinggi Nanshan, Zhenzen. Bahkan, perusahaan ini lebih dari hanya sekadar perusahaan biasa.

Zhongxin adalah sebuah perusahaan publik setelah mencatatkan sahamnya di bursa Zhenzen (1997) dan bursa Hong Kong (2004). Hanya dari listing di Hong Kong, perusahaan itu meraup sekitar US$400 juta.

Sekitar 60% dari dana hasil emisi itu dimanfaatkan untuk memperluas jaringan pemasaran internasional, dan sisanya untuk membiayai pengembangan teknologi. Selain dari bursa, ZTE mendapat dukungan dana dari sejumlah perbankan domestik. "Perusahaan yang bagus dan prospektif tak ada persoalan dengan pendanaan. Banyak institusi keuangan yang berebutan melirik kami."

Begitu Zhao menjelaskan dengan penuh keyakinan.

Tentu bukan sebuah keyakinan tanpa dasar. Sejak lima tahun terakhir kinerja perusahaan ini melesat bak meteor. Lihat saja kinerja keuangannya.

Kalau lima tahun lalu pendapatannya masih sebesar US$1,127 miliar, maka tahun lalu sudah mencapai US$2, 747 miliar. Sementara penjualan handsets, base station, switches, software dan broadband pada 2004 tercatat sebesar US$4,1 miliar.

Sementara keuntungan tahun ini diperkirakan mencapai US$186 juta atau meningkat dari tahun sebelumnya sebesar US$153,6 juta.

Dengan kinerja seperti ini, Presiden ZTE Yimin Yin sangat yakin kalau perusahaan itu akan mampu bersaing dengan perusahaana kelas dunia lainnya seperti Nokia, Samsung dan Motorola. Mereka, demikian Yin, memiliki nama yang lebih besar, tapi, "Saya tidak merasa inferior di hadapan mereka. Tak ada perbedaan yang cukup besar."

Apalagi ZTE memang sudah mendunia. Sudah 60 negara dimasukinya. Tidak terkecuali Indonesia. Tahun lalu ZTE menandatangani kontrak dengan Indonesia untuk membangun jaringan CDMA senilai US$47,6 juta.

Selain itu, perusahaan tersebut bekerjasama dengan Telkom untuk membangun jaringan NGN-DCL (Digital Loop Carrier) untuk wilayah Jakarta dan sekitarnya.

Bukan yang terbesar

Tentu saja di China ZTE bukan yang terbesar. Dia masih berada di bawah bayang-bayang Huawei. Kendati ZTE beroperasi tiga tahun lebih awal, tapi kinerjanya masih lebih kecil dibandingkan Huawei.

Mari kita sejenak menengok kinerja Huawei.

Pada tahun lalu saja, Huawei mencatat nilai kontrak sebesar US$5,58 miliar atau meningkat 46% dari 2003. Dari penjualan tahun lalu, 60% masih didapatkan dari pasar domestik. Tahun ini diperkirakan menurun menjadi 55,5%.

Bahkan, tahun 2008 Huawei menargetkan penjualan di pasar internasional sebesar US$10 miliar, atau 70% dari total penjualan.

Target itu tidak muluk-muluk. Karena sampai saat itu perusahaan teknologi informasi menjadi pemasok produk dan solusi kepada 270 operator di dunia. Bahkan, 22 dari 50 operator paling top di dunia menggunakan produk perusahaan ini. Memang luar biasa. Produknya sudah memasuki begitu banyak kawasan di dunia.

Tapi masih ada sejumlah ganjalan yang merem laju ekspansi perusahaan ini. Kehadiran Huawei tidak ditanggapi hanya urusan bisnis. Pengembangan teknologinya sering dicurigai sebagai bagian dari strategi militer China.

Itulah sebabnya berkembang beragam spekulasi bahwa berbagai ekspansi dan kegiatan perusahaan ini di berbagai negara juga merupakan bagian dari sttategi militer sehingga harus diwaspadai.

Kecurigaan itu terkait hubungan historis perusahaan itu dengan pendirinya Ren Zhengfei yang adalah seorang militer. Tentu saja Huawei membantah spekulasi tersebut.

Sebuah spekulasi yang berlebihan. Tapi, spekulasi itu tidak mudah untuk hilang begitu saja. Apalagi perusahaan itu bukan perusahaan publik yang bisa dijamin transpransinya.
Selain itu, langkah Huawei sempat tersendat ketika mengalami perseteruan bisnis dengan Cisco, raksasa teknologi AS. Pada 2003, Huawei America Inc dituduh menggandakan dan menyalahgunakan perangkat lunak IOS milik Cisco termasuk source code-nya. Huawei diseret ke depan pengadilan karena menggandakan dokumen milik Cisco dan sejumlah peralatannya. Atas tuntutan itu, Huawei kemudian harus menarik semua produk yang menimbulkan persoalan itu

No comments: