Friday, February 1, 2008

Ketika Zhongxin Menghentak Dunia (2)

Beberapa waktu yang lalu, wartawan Bisnis Indonesia Abraham Runga Mali, dan sejumlah wartawan Indonesia berkesempatan mengunjungi kantor, pabrik dan pusat riset perusahaan teknologi komunikasi ZTE di Zhenzen dan Shanghai. Berikut laporannya.

Berbagai persoalan yang dihadapi Huawei ini menjadi kesempatan bagi ZTE untuk tampil lebih meyakinkan sebagai perusahaan teknologi yang patut diperhitungkan di kancah internasional. Kendati sebenarnya keduanya memiliki kekuatan yang berbeda. Huawei sangat kuat di GSM (global system for mobile communications), WCDMA (wideband code division multiple access), NGN (next generation networks) dan optical networks.

Sementara ZTE kendati memiliki produk yang bervariasi, tetapi lebih fokus pada CDMA dan handset dan teknologi personal handyphone system. Di China, ZTE menguasai 40% pasar PHS dan 20% pasar CDMA.

Keberhasilan keduanya menembusi pasar tak lain kerena kekuatan produk yang dihasilkannya. Lihat saja apa yang dicatat ZTE tahun lalu ketika berhasil merilis ZTE-F808, telepon selular 3G yang diyakini sebagai salah satu yang terkecil dan teringan di dunia.

Keberhasilan ponsel CDMA ini menjadi energi bagi ZTE untuk terus memenangi persaingan. Derap langkah dominasinya di bidang CDMA mulai meninggalkan jejaknya di Indonesia melalui ponsel Fren yang dikeluarkan Mobile-8.

Bagi ZTE, ini tentu saja ini bukanlah pekerjaan yang mudah. Selain persoalan uang, keunggulan riset dan sumber daya manusia merupakan hal yang sangat penting. Itulah sebabnya seperti saudara yang sekaligus pesaing Huawei, ZTE pun menyisihkan 10% pendapatannya untuk riset dan pengembangan.

Sampai saat ini, misalnya, Huawei memperkerjakan 46% dari 24.000 tenaga kerjanya di bidang riset dan pengembangan, 33% untuk penjualan dan 12% untuk manufaktur. Sementara ZTE merekrut 21.000 karyawan yang bekerja di 33 kantor cabang. Dari total karyawannya itu, lebih dari 10% tenaga asing.

"Kami yakin perusahaan ini akan maju karena pengembangan teknologinya didukung oleh SDM yang tangguh. Lihat saja lebih dari seribu karyawan kami adalah tamatan master dan PhD dengan usia yang rata-rata masih muda," jelas Zhao.

Apalagi, demikian dia, dengan produksi secara masal perusahaanya dapat menekan biaya produksinya. Makanya tak mengherankan kalau Hui Pan, Kepala Analis dari Information Gatekkepers Inc, mengatakan dengan teknologi yang sama ZTE dan Huawei bisa menjual produk mereka dengan harga 30% lebih murah dari produk yang lain.

Memang jumlah penduduk yang besar di negera itu sangat memungkinkan kedua perusahaan itu untuk melakukan produksi massal. Kita ambil contoh handset. Menurut perkiraan Deutsches Bank, permintaan handset di negara itu akan mencapai 100 juta tahun depan.

Untuk melayani kebutuhan itu sedikitnya 40 perusahaan telepon bersaing dengan menawarkan 200 juta unit dengan 800 model yang berbeda. Tak heran kalau Motorola mendapatkan 15% penjualan internasional dari China dan menjadi pasar terbesar kedua setelah AS.

Perkembangan pesat ZTE dan Huawei bukan tanpa tantangan. Pada saat keduanya sibuk melakukan penetrasi ke seluruh penjuru dunia, para pesaing mereka justru datang menyerbu kampung halaman mereka.

Misalnya Alcatel yang pada 2002 berhasil menggaet mitra lokal Shanghai Bell dan membentuk Alcatel Shanghai Bell. Konon satu dari tiga pesawat telepon di China dihubungkan dengan infrastruktur yang dikontrol oleh perusahaan patungan ini. Alcatel Shanghai saat ini menjual 200 produk baik untuk telepon tetap dan bergerak. Bahkan perusahaan ini menjadi pamasok nomor satu teknologi DSL.

Begitu juga dengan Nortel yang pada awal tahun ini berhasil membujuk mitra lokal mendirikan perusahaan patungan yang bergerak di bidang riset, pengembangan, produksi dan penjualan produk 3G. Pada tahun lalu Nortel mencatat pendapatan sebesar US$1,25 miliar dari pasar Asia Pasifik. Sementara pendapatan Lucent dari kawasan ini tahun lalu US$1,696 miliar.
Akankah ZTE atau Huawei keluar sebagai pemenang dalam pertarungan dengan para vendor internasional ini? Menilik ambisi dan etos kerja bangsa China yang tinggi, semangat meniru dan belajar mereka yang kuat membaja serta dukungan pasarnya yang besar, kemenangan itu agaknya bukan sebuah khayalan belaka. Mungkin bukan untuk satu atau dua tahun mendatang. Tapi, yang pasti hentakannya kini kian menggetari pasar dunia. (abraham.runga@bisnis.co.id)

No comments: