Friday, February 1, 2008

Membaca Tren Harga Minyak Dunia (2)

Abraham Runga Mali
(Dimuat di Bisnis Indonesia pada edisi 18 Mei 2005)

Secara keseluruhan, permintaan minyak dunia secara berturut-turut Amerika Serikat (25%), Negara Eropa yang tergabung dalam OECD (19%), China (8%), Jepang (7%), India (3%), dan sisanya dikomsumsi oleh negara-negara lain sebesar 34%.

Menurut perhitungan Energy Information Administration (EIA), khusus untuk permintaan China pada 2003, menyumbang hampir 40% dari pertumbuhan permintaan minyak dunia selama empat tahun terakhir. Jumlah yang dikonsumsi tahun itu mencapai 5,6 juta barel per hari. Pada 2005, jumlah konsumsi di negara tersebut bisa menembus angka 7,4 juta-7,7 juta barel.

Sementara India yang pada 1995 masih mengkonsumsi 1,6 juta barel, meningkat menjadi 2,2 juta barel pada 2003. Dan sejak 2000 negara itu memenuhi kebutuhannya dengan mengimpor sebesar 27% dari kebutuhan minyaknya.

Ke depan, pertumbuhan permintaan minyak dunia diprediksi terus meningkat. Mengutip IEA, diperkirakan permintaan minyak dunia meningkat 60% antara 2002 hingga 2030.

Penambahan permintaan dari dua negara yang pertumbuhan ekonominya menakjubkan, yaitu India dan China, tentu memberikan kontribusi paling signifikan. Misalnya, permintaan minyak China yang pada 2002 sebesar 5,2 juta barel per hari, akan menjadi 13,3 juta barel pada 2030. Sedangkan India yang pada 2002 mencatat permintaan 2,5 juta barel akan meningkat menjadi 5,6 juta barel per hari tahun itu.

Bahkan, menurut perkiraan IMF, permintaan minyak China mencapai 19 juta barel per hari untuk memenuhi kebutuhan transpotasi yang memang meningkat tajam.

Kalau pada 2002 jumlah kendaraan bermotor di negara itu hanya 21 juta unit, maka pada 2030 meningkat menjadi 390 juta unit.

Masalah suplai

Persoalannya, terhadap permintaan yang terus meningkat itu tidak bisa diimbangi dengan pasok yang cukup. Selain karena produksi perusahaan minyak yang sudah di ambang batas, produksi baru-melalui penemuan ladang-ladang baru-juga jarang dilakukan.

Hunter Herron, Presiden Petrolium Equty dalam artikelnya The Looming Crisis In Worldwide Oil Supplies, mengatakan 90% dari produksi minyak saat ini berasal dari sumur yang sudah berusia 20 tahun, dan 70% berasal dari sumur yang usinya sudah mencapai 30 tahun.

Menurut kalkulasi dia, pada 1998 produksi minyak mencapai 807 miliar barel dari kapasitas maksimal 1,8 triliun barel.

Dari jumlah itu yang sedang diproduksi saat ini adalah 830 miliar barel dan yang masih bisa diproduksi lagi sebesar 995 barel.

Dengan kondisi seperti itu, apabila konsumsi per tahun sekarang rata-rata mencapai 25 barel, maka dari sisa yang masih diproduksi sebesar 995 miliar barel itu hanya akan mensuplai hingga 40 tahun. Itu diasumsikan kalau rata-rata konsumsi berlaku konstan. Padahal, kenyataannya konsumsi minyak dunia makin hari makin tinggi.

Berdasarkan analisis ExxonMobil, dalam 10 tahun mendatang permintaan minyak meningkat sekitar 2% setahun, sementara produksi dari ladang-ladang minyak terus menurun sekitar 3%-5%.

Data dari BP Statistical Review of World Energy memperlihatkan 18 negara produsen minyak besar-dengan kontribusi hampir 29% dari total produksi dunia-saat ini mengalamai penurunan kapasitas produksi dan secara rata-rata penurunan itu mencapai satu juta barel pada 2003.

Ini tentu belum termasuk kondisi beberapa negara lain yang baru mengalami penurunan produksi dalam beberapa tahun mendatang. Terutama Meksiko dan China. Perusahaan minyak nasional Meksiko, Pemex, misalnya, sudah mengumumkan bahwa produksi dari ladang minyak Cantarell, salah satu kilang minyak terbesar dunia, akan menurun hingga 16% mulai 2006.

Rusia pun berjanji tidak akan ada penambahan produksi pada 2005. Selain hasil penjualan minyak digunakan untuk menutupi utangnya, yang mencapai US$114 miliar pada posisi Desember 2004, sebagian dana itu juga dipakai untuk membiayai kebutuhan dalam negeri. Hal yang juga dilakukan oleh Arab Saudi dan negara-negara lain yang kertergantungan pada minyak sangat tinggi.

Bandingkan juga dengan data dari Asosiasi Perminyakan Indonesia (API) yang mengatakan bahwa saat ini sekitar 70% sumur minyak di Indonesia berusia tua. Sumur-sumur ini menghasilkan 88% dari total produksi minyak di negara ini

Produksi baru

Karena itu, kebutuhan untuk investasi baru adalah tuntutan yang mendesak. Tapi persoalannya, biaya yang dikeluarkan juga sangat besar. Untuk menjaga keseimbangan baru antara permintaan dan penawaran dibutuhkan investasi sebesar US$ 1.000 miliar dengan dukungan sekitar 350.000 teknisi dan tenaga ahli.

Memang benar dari hasil riset Oil Depletion Analysis Centre (ODAC) yang bermarkas di London, dari 2004 hingga 2010 terdapat sedikitnya 68 mega proyek baru yang akan menambah suplai sebesar 12,5 juta barel per hari.

Dari jumlah proyek itu, 56 akan berproduksi pada tiga tahun mendatang, 7 mulai berproduksi pada 2008, tiga lagi pada 2009, dan 2 proyeknya baru berproduksi tahun 2010.

Chris Skrebowski, seorang ahli dari ODAC, mengatakan lebih dari setengah hasil produksi itu akan menggantikan penurunan produksi dari sumur minyak yang lama.

Dengan demikian, apabila pertumbuhan permintaan sebesar 2% setahun maka produksi di atas tidak akan mencukupi total kebutuhan pada 2010 yang mencapai lebih dari 2 juta barel per hari.

"Dengan penambahan permintaan yang cukup rendah saja, hasil studi kami memperlihatkan akan terjadi ketimpangan antara permintaan dan suplai setelah 2007," tegas Skrebowski yang juga editor pada majalah Petrolium Review.

Dia tetap yakin penurunan kapasitas produksi pada sumur-sumur lama merupakan faktor yang sangat berpengaruh pada keseimbangan antara suplai dan permintaan.

Pukulan bagi OPEC

Ketuaan sebagian besar sumur minyak dunia dan ketidakmampuan menemukan ladang baru merupakan sebuah pukulan bagi negara-negara pengekspor minyak, terutama mereka yang tergabung dalam OPEC.

Sebagai sebuah kartel para produsen minyak, OPEC disinyalir tidak memiliki lagi kekuatan yang bisa mempengaruhi harga.

Apalagi negara-negara itu dinilai kurang konsisten dalam mengambil sikap terhadap harga minyak yang terus melambung, melampaui target dalam patokan OPEC, sekitar US$22-US$28 per barel.

Begitu lamban dan kaburnya sikap lembaga ini sampai-sampai mengundang tuduhan kalau OPEC memang berkepentingan agar harga minyak tetap tinggi.

Selama ini OPEC hanya menuduh kalau harga itu selalu dimainkan oleh para spekulan. Apakah memang demikian?

Leo Drollas dari Centre for Global Energy Studies mengatakan Arab Saudi sejak 2004 menghendaki agar harga minyak tidak lebih rendah dari US$30 per barel.

Negara itu, menurut dia, membutuhkan banyak dana untuk pembangunan dalam negeri.

Apalagi hasil penjualan minyak tidak segemilang dulu. Benar bahwa harga minyak memang tinggi tetapi melemahnya nilai dolar menyebabkan penghasilan itu tidak berarti apa-apa bagi negara tersebut. Ini karena harga transaksi semuanya dalam dolar AS.

Itulah sebabnya tidak terlalu mengejutkan bila OPEC hingga saat ini tidak bisa membuat keputusan apakah perlu menambah kapasitas produksi hingga 500.000 barel per hari. Bahkan terkesan pendapat soal itu bukan hanya berbeda dari negara yang satu dengan dari yang lain, tetapi juga berubah-ubah dari satu waktu ke waktu yang lain.

No comments: