Friday, February 1, 2008

Jembatan Emas

Abraham Runga Mali

Seorang sahabat pernah mengajukan tesis yang cukup mengguncangkan. "Anda percaya bahwa Tuhan itu mahakuasa". Begitu kira-kira pertanyaan pemanasan sebelum dia keluar dengan gagasan yang sangat provokatif itu.

Sebelum saya mengajukan perkara keimanan saya, dia lebih dulu nyerocos dengan pendapatnya."Hanya ada satu yang tidak bisa dikuasai oleh Tuhan Anda yaitu kebebasan. Anda bebas untuk menerima atau menolak kuasa Tuhan dalam kehidupan Anda."

"Apakah Anda orang yang percaya pada eksistensi Tuhan". Saya balik bertanya. "Tidak," jawab dia. "Lalu, bagaimana Anda menjelaskan segala keterbatasan Anda". Saya kembali bertanya.

"Tapi, mengapa karena kerbatasan itu, lalu Anda harus mengakui bahwa Ada Yang Tak Terbatas". Sahabatku tak mau mengalah. "Bebas atau tak bebas, Yang Tak Terbatas itu ada begitu saja. Dia tidak butuh pengakuan. Menolak eksistensi Yang Tak Terbatas itu hanya ada dalam konsep Anda. Dalam pengalaman sehari-hari, Anda tak pernah bebas mengelakannya," saya berusaha untuk meyakinkannya.

Sahabatku itu tentu tak sepakat. Dia malah makin liar dengan pemikirannya. Mengapa manusia tidak cukup langsung menerima bahwa dia memang hidup dan tersiksa dalam kefanaan dan kerbatasannya. Bukankah pengakuan akan adanya "kehidupan dan kekuasaan yang tak terbatas, itu hanya solusi akal budi ketika menghadapi rahasia alam dan kehidupan yang tidak bisa dipahaminya"

Yang lebih aneh lagi, begitu dia melanjutkan, ketika Yang Tak Terbatas itu diberi nama Theos, Tuhan. Dia seolah-olah pribadi yang hidup dan memiliki otoritas dengan memberikan sejumlah perintah dan larangan. Solusi seperti ini, jelas dia, makin menyudutkan keterbatasan manusia. Manusia yang sudah dirundung keterbatasan, malah semakin diperpuruk dalam kungkungan.

Begitulah dasar pemikiran yang menyulut orang-orang seperti Friedrich Nietsche untuk memproklamirkan kematian Tuhan. Ide-ide tentang Tuhan seolah-olah menghambat cita-cita manusia untuk menjadi makhluk unggul, manusia super dan merdeka. "Tuhan mati dan kita telah membunuh Dia."

Pertarungan
Pertarungan antara kebebasan manusia dan otoritas Tuhan sudah berlangsung lama. Erich Fromm dalam Escape From Freedom, melihat kisah manusia pertama di Taman Firdaus sebagai awal pembrontakan itu. Semula Adam dan Siti Hawa hidup dalam keharmonisan yang sempurna antara satu dengan yang lain dan dengan alam. Namun, tak ada pilihan, tak ada kebebasan di sana.

Keharmonisan itu mulai retak ketika manusia-manusia itu mulai membrontak dengan memakan buah pengetahuan yang baik dan jahat. Inilah permulaan dari kebebasan manusia. "Tindakan ketidakpatuhan sebagai suatu tindakan kebebasan itu adalah permulaan dari akal budi."

Mitos penciptaan kemudian secara detil memaparkan konsekuensi-konsekuensi dari pemberontakan itu. Manusia harus bertarung satu sama lain, bertarung dengan alam. Kebebasan itu adalah kutukan. Manusia bebas dari penghambaan surgawi yang manis, namun ia tak bebas mengatur dirinya sendiri. Dia merdeka dari pengayoman Tuhan, tapi dia tak merdeka untuk merealisasikan individualitasnya.

Itulah sebabnya dalam kaca mata kaum determinis kebebasan adalah khayalan semata. Holbach mengatakan para pemimpi kebebasan itu seperti lalat yang berada di atas tonggak sebuah kereta raksasa. "Seorang manusia yang membayangkan dirinya bebas adalah seekor lalat yang membayangkan ia dapat memindahkan alam semesta, padahal tanpa menyadarinya ia sendiri terbawa olehnya."

Faktor bawaan dan lingkungan menyebabkan manusia tak bisa berbuat lain, kata Schopenhauer. Segala sesuatu terjadi dengan niscaya, tegas Voltaire. Tentu saja ironi kaum determinis bukan tanpa cacat.

Musuhnya, kaum liberian, menuduh bahwa dengan membajak kebebasan itu manusia ingin berlari dari tanggung jawab. Kalau semua sudah ditentukan, di manakah kehendak bebas manusia dan tanggung jawab? Tak ada ruang yang cukup bagi manusia untuk berbicara soal moral dan etika. Padahal bagi hukum moral, kebebasan dan akal budi adalah syaratnya.

Keluar dari kemandekan
Tapi demikianlah pemikiran manusia, selalu ada jalan untuk keluar dari kemandekan berpikir. Benar kebebasan itu terbatas. Tapi, manusia bukan batu, kayu, atau tikus yang serba ditentukan. Benar, manusia selalu dihadapkan dengan segala keterbatasan dan pembatasan, belenggu dan pembelengguan. Tapi, dengan akalnya dia bisa menimbang-nimbang, memilih dan bertanggung jawab atas pilihan untuk berusaha keluar dari keterbelengguan.

Kita seolah-olah ditakdirkan bukan hanya untuk mendambakan kebebasan itu, tapi memperjuangkannya. Termasuk ketika penjajahan membelenggu bangsa ini. Manusia-manusia Indonesia berjuang untuk merdeka. Tapi seperti tak terhindarkan pula, ketika merdeka, menurut alur pemikiran para penganjur "kontrak sosial", kita menyerahkan sebagian dari kebebasan kita kepada institusi negara ini untuk mengatur dan mengurusinya.

Lalu setelah 60 tahun, semakin bebaskah kita? Bagaimana dengan kemiskinan, keterbelakangan dan manajemen negara yang kian membelenggu dan mencemaskan warganya" Masihkah kita harus berteriak merdeka"
Jangan-jangan benar bahwa kemerdekaan itu hanya khayalan. Atau memang kita dikutuk untuk terbelenggu, kemudian berjuang, terbelenggu lagi dan berjuang lagi" Atau mungkin benar kata Pak Karno, kemerdekaan 60 tahun lalu adalah jembatan emas. Tapi seberapa panjang lagi jembatan emas itu akan dibangun" Jangan-jangan kita pun terkutuk untuk terus membangun jembatan emas itu. Tak pernah selesai.

No comments: