Friday, February 1, 2008

Menyongsong Runtuhnya Hegemoni Petro-Dolar (1)

Abraham Runga Mali
Dimuat di Bisnis Indonesia edisi 26 Februari 2004

Akhir pekan lalu Menteri Energi Rusia Igor Yusufov angkat bicara. Apalagi kalau bukan urusan dolar dan minyak yang tidak kondusif bagi perekonomian negara yang sangat bergantung pada ekspor emas hitam itu, menyusul pertemuan G7 yang membahas pasar uang global di Florida dan OPEC di Aljazair awal bulan ini.
Aksi OPEC yang akan memangkas produksinya hingga 1,5 juta barel per hari dan mengurangi kuota sebanyak 1 juta barel, menurut Yusufov, akan menaikkan harga mi-nyak yang tentu akan membawa inflasi bagi negaranya.

Sementara di pihak lain, Rusia harus terus menyesuaikan harganya guna mengkonpensasikan penurunan dolar terhadap euro yang hingga saat ini belum diprediksi kapan berakhir. Keluhan yang normal dari sebuah negara pengekspor minyak.

Hingga posisi terakhir kemarin dolar memang sedikit menguat ke posisi 1,2533 euro. Sementara yen berada pada posisi 108,60 setelah pekan lalu sempat menguat ke tingkat 105,83 per $US sebagai reaksi atas intervensi pemerintah ke pasar.

Pada bulan sebelumnya otoritas moneter negara Sakura itu telah mengucurkan 7,15 triliun yen (US$67,7 miliar) untuk menangkal keterpuru-kan kinerja dolar.

Berbeda dengan opini Rusia, Menteri Keuangan AS John Snow sangat optimistis pertemuan G7 di Boca Rato membawa hasil positif. Pasar bereaksi positif dan sejak pertemuan itu dolar sempat menguat 0,16% terhadap euro dan 2,6% terhadap yen.

"Dolar yang kuat menguntungkan bagi AS. Kami mempercayai pasar dan dolar akan memperhatikan kepentingannya sendiri," ujarnya seperti dikutip Bloomberg.

Sementara Cina-yang saat ini terus melakukan perdebatan internal dan ditekan pihak internasional-diperkirakan mengubah kebijakan mata uangnya tahun ini.

Untuk urusan melobi Cina itu, kemarin tiba rombongan dari AS yang dipimpin David Loevinger, wakil Snow, guna berbicara dengan bank sentral, menemui sejumlah institusi finansial serta bertukar pikiran dengan para pemim-pin politik setempat.

Bahkan Snow sendiri yakin pada janji Cina yang akan mengubah patokan mata uangnya setelah melakukan regulasi perbankan dan kebijakan moneter yang saat ini memang sedang dikerjakan.

Tren menguat

Tapi, soal harga minyak memang memperlihatkan tren menguat. Harga minyak mentah yang dipersiapakan untuk jatah April mengalami kenaikan 5 sen atau 0,1% menjadi US$34,63 per barel, sementara harga kontrak sudah mencapai US$34,58 per barel.

Melihat posisi dolar yang masih relatif rendah dan harga minyak yang kian meroket seperti ini, kerisauan Yusufov bisa dipahami.

Kenaikan dolar yang masih kecil sebenarnya belum meredakan kecemasan para petinggi dari Arab Saudi, Qatar dan Libya yang sejak akhir tahun lalu mengkhawatirkan daya jual minyak dari para produsen.

Karena mereka menjual minyak dalam dolar, tetapi membeli barang dan jasa dari mata uang lain seperti euro dan yen. Realitas tersebut mestinya mengantar kita pada tema yang sentral dan sensitif, yaitu keterkaitan antara dolar dan minyak.

Apalagi Yusufov secara terang-terangan menyatakan kesediaan negaranya untuk menggantikan transaksi mi-nyak dengan euro.

Memang terasa sangatlah tidak lengkap kalau kita lalai mengaitkan kinerja dolar yang melemah selama ini dengan urusan minyak yang menjadi komoditas utama du-nia. Karena, sepakat atau tidak, minyaklah yang selama ini menjadi penopang utama hegemoni dolar.

Kendati dolar mulai diperkenalkan Thomas Jeferson pada 1792, baru dua abad kemudian mulai menancapkan hegemoninya setelah OPEC, organisasi negara produsen minyak yang mensuplai dua pertiga kebutuhan dunia, menjadikan mata uang AS itu sebagai alat transaksi resmi.

Sejak 1792 dolar ditetapkan pada nilai yang setara dengan 371,2 grain perak atau 24,75 grain emas. Ketentuan itu tidak bertahan. Patokan terhadap perak dilepas pada 1873. Tahun 1934, terjadi devaluasi dan nilai dolar mero-sot terhadap emas. Sejak saat itu nilai 35 dolar ditetapkan sepadan dengan 1 ounce emas.

Hegemoni dolar

Dalam perspektif historis, para ahli internasional membagi hegemoni AS dalam tiga tahap.

Tahap pertama, adalah dari tahun 1945 hingga tahun 1973. Pada bagian pertama itu, di bawah sistem yang dikemas di Bretton Wood, ne-gara itu tampil sebagai ke-kuatan ekonomi raksasa setelah menang dalam perang dunia II dan menggantikan peran Inggris sebagai raksasa ekonomi dunia.

Mata uang dolar dan industri-industri di AS sejak saat itu memperlihatkan kinerja yang gemilang dengan dukungan cadangan emas yang kuat. AS segera mencanangkan Marshal Plan dengan kredit dolar dalam jumlah besar untuk membangun Eropa dari puing-puing keruntuhan Perang Dunia II.

Berbagai organisasi militer dan institusi keuangan mulai dari NATO hingga Bank Dunia dibentuk guna menopang peran yang dimainkan dalam perekonomian global.

Pada pertengahan 1960-an ekonomi Eropa menguat dan tumbuh sebagai eksportir baru. Tampilnya Eropa saat itu bersamaan dengan kemandekan ekonomi AS yang baru saja melancarakan perang Vietnam.

Sejak akhir 1960-an, negara Eropa, khususnya bank-bank Prancis mulai memborong emas dari AS untuk mendukung cadangan dolarnya. Sejak saat itu, cadangan emas AS merosot dan pada Agustus 1971, Washington mulai mengembangkan sistem mengambang bebas terhadap dolarnya.

Artinya, sejak saat itu dolar tidak lagi didukung oleh cadangan emas dan dibiarkan beredar di pasar berdasarkan kekuatan permintaan dan penawaran pasar.

Bersamaan dengan itu, harga minyak negara-negara anggota OPEC pada tahun 1973 mulai menguat akibat terjadinya perang Yom Kippur. Maka mulailah periode hegemoni AS tahap dua yang ditopang oleh sistem petro-dolar.

Negara-negara pengimpor minyak sejak saat itu mulai memborong dolar supaya bisa membeli minyak untuk memenuhi kebutuhan energi dalam negeri.

Sementara AS yang juga membutuhkan banyak minyak dari Timur Tengah dan anggota OPEC lainnya tinggal mencetak dolarnya sebanyak mungkin. Hegemoni tahap kedua itu berlangsung hingga 1999 sejak munculnya mata uang euro.

Tetapi semuanya kemudian berubah, ketika gedung World Trade Center di New York sebagai simbol kebesaran eko-nomi AS dihunjam bom, tepatnya pada 11 September 2001. Sejak peristiwa pemboman gedung WTC itu, AS mulai mengembangkan tahap hegemoni baru yang disebut imperialisme demokratis.

Isyu terorisme dan fundamentalisme Islam mulai dikemasnya untuk menghancurkan lawan-lawan yang berniat menghentikan langkahnya. Akankah Paman Sam berhasil melanggengkan hegemoninya pada tahap ini?

Yang pasti saat ini AS, yang mengemas hegemoninya dengan topangan petro-dolar, harus menghadapi penantangnya dari Eropa yang mulai memberlakukan euro sebagai mata uang tunggal.

Bertahannya hegemoni AS selanjutnya tergantung dalam keberhasilannya membendung euro yang mulai mem-perlihatkan geliatnya.

Pertarungan dolar dan euro secara terbuka tersingkap sejak Saddam Husein pada Oktober 2000 mulai menggantikan transaksi minyaknya de-ngan euro.

Dia juga mentransfer cadangannya senilai US$10 miliar dari dolar ke euro. Aksi pembangkangan terhadap dolar ini mengundang amarah AS dan menjatuhkan hukuman melalui aksi militer.

Agresi militer itu mendapatkan reaksi yang berbeda dari berbagai negara seturut kepentingannya masing-masing. Inggris, misalnya, sebagai negara penghasil minyak di kawasan Eropa Barat yang belum bersedia menerima euro secara emosional masih dekat dengan AS mendukung agresi itu.

Kedekatan primordial itu terbaca ketika dalam serangan Irak tahun 2001, negara yang dikomandoi Blair secara membabi buta mendukung AS kendati harus melakukan rekayasa informasi intelijen untuk meminta dukungan dari warganya.

No comments: