Friday, February 1, 2008

Menyongsong Runtuhnya Hegemoni Petro-Dolar (3)

Abraham Runga Mali

Benar pengakuan menteri energi Qatar, Abdullah bin Hamad al-Attiya, bahwa negara-negara produsen minyak sangat mencemaskan melemahnya dolar yang turun hampir menyentuh level 1,3 (tepatnya 1,2898 ) terhadap euro pada pertengahan Januari.
Namun demikian, menurut dia, melakukan perubahan dari dolar ke euro bukanlah sebuah keputusan yang mudah.

Kerumitan itu juga diakui Ramzi Salman, Penasihat Menteri Pertambangan dan Energi Qatar yang juga mantan sekjen OPEC.

Menurut dia, persoalan minyak dan devaluasi dolar adalah tema yang terus dibahas dan dicarikan solusinya di OPEC sejak awal berdirinya lembaga itu. Bahkan persoalan minyak dan devaluasi mata uang jauh lebih tua lagi.

Dia memberikan contoh pada 1930, Menkeu Irak Sassoon Kheduri pernah meminta Inggris mengaitkan pound sebagai mata uang resmi dalam transaksi minyak dengan emas. Hasilnya, beberapa tahun kemudian, ketika mata uang Inggris merosot, para produsen minyak di Timur Tengah tidak harus mengalami kerugian.
Harga basket OPEC

Stabilisasi harga minyak dalam kaitannya dengan mata uang dan inflasi juga sudah dibahas dalam berbagai pertemuan mulai dari Caracas, Beirut, sampai Genewa sejak periode 70-an hingga 90-an.

Salah satu keputusan cukup penting terjadi pada 28 Juni 1979 di Genewa ketika OPEC untuk pertama kali menetapkan sebuah kisaran harga. Saat itu, harga ditetapkan US$18 per barel dengan premium US$2 per barel dan harga maksimal US$23,5.

Ikuti dolar

Menurut Salman, fluktuasi harga minyak seperti komoditas barang dan jasa lainnya memang harus mengikuti dolar. Menurut dia, justru tidak masuk akal kalau orang mempersoalkan dolar dan menginginkan euro sebagai gantinya. "Bukankah AS adalah importir terbesar minyak. Lalu siapa yang untung kalau minyak dihargakan dalam euro."

Sejak akhir 1986, OPEC menetapkan harga rujukan US$18 per barel. Harga rujukan itu diperbesar menjadi US$21 per barel pada 27 Juli 1990 dan akhirnya ditetapkan dalam kisaran US$22-US$28 per barel pada Maret 2000. Bahkan, pada saat itu juga sudah ditetapkan kisaran harga dalam euro.

Kalkulasi politis

Salman malah berpendapat menggantikan dolar ke euro-mengubah petro-dolar ke petro-euro-sebagai mata uang resmi seperti dipelopori Saddam Husein semata-mata merupakan kalkulasi politik.

Salman bisa saja benar. Tetapi harap diingat bahwa tekanan untuk menggeser hegemoni petro-dolar bukan hanya kalkulasi bisnis semata.

Banyak negara sudah muak dengan keangkuhan AS yang sering kali mempraktikkan imperalisme dengan bungkusan demokrasi. Tetapi perlu dicatat, menggeser hegemoni petro-dolar akan melibatkan kepentingan banyak negara.

Simak saja pengakuan Javad Yarjanis terhadap faktor Inggris dan Norwegia. Andaikan saja dua negara pengekspor minyak Eropa itu juga memilih euro, akan sangat mendukung pergeseran tersebut.

Atau faktor Cina dan Jepang. Ekonomi Cina, misalnya, yang menurut prediksi Lehman Brothers tumbuh 8% tahun ini, tentu butuh energi sangat besar. Menurut laporan International Energy Agency, Cina kini mengkonsumsi minyak 5,8 juta barel per hari, menggeser posisi Jepang sebagai konsumen minyak nomor dua terbesar di dunia setelah AS.

Tentu banyak spekulasi yang mengaitkan kedekatan ideologis Cina dengan Rusia dan Venezuela, sehingga negara itu lebih cenderung mendukung upaya menggantikan dolar dengan euro sebagai alat dalam transaksi minyak.

Tetapi, hubungan dagang AS dan Cina juga tidak kalah hebatnya. Apalagi, AS masih memiliki kartu cukup penting setelah mencaplok Irak, yang memiliki cadangan minyak terbesar kedua di dunia.

Aksi militer AS itu, sedikitnya memberikan tekanan psikologis kepada pemimpin negara lain yang mengikuti aksi Saddam memilih euro.

Selain itu, dengan melepaskan Irak yang bisa mengekspor minyak 2 juta barel perhari dari kungkungan OPEC, AS memiliki posisi tawar dalam memainkan harga minyak dunia.

Dalam kompleksitas tarik menarik kepentingan demikian, mudah-mudahan saja terjadi sebuah solusi yang menguntungkan semua pihak.

Mungkin benar bahwa perubahan dari petro-dolar ke petro-euro akan mengubah tata dunia seperti ditulis Bernd Kling dalam artikelnya Der Euro als Wunderwaffe.

Tetapi akan lebih baik lagi, kalau transaksi minyak diperdagangkan dalam sejumlah mata uang kuat seperti euro, dolar, yen dan yuan. Itu akan menjadi sebuah solusi yang diharapkan bisa mereduksi hegemoni AS dengan petro-dolarnya, sekaligus mencegah hegemoni baru kalau hanya sekadar menggantikan dolar dengan euro.

Hanya dengan demikian, perubahan menuju dunia yang lebih adil lebih dimungkinkan.

No comments: