Friday, February 1, 2008

Menyongsong Runtuhnya Hegemoni Petro-Dolar (2)

Abraham Runga Mali

Lain Inggris lain reaksi Rusia, yang dikenal sebagai pengekspor minyak nomor dua terbesar setelah OPEC yang menentang invasi AS ke Irak, dalam merespons euro.
Selain untuk menyelamatkan Lukoil, perusahaan minyaknya yang pada 1997 melakukan kontrak menggarap ladang minyak di Qurna Barat, Irak, kedekatan Rusia dengan negara-negara kawasan euro-zone bisa dipahami karena hubungan ekonomis yang kental dengan negara-negara di wilayah itu.

Prancis dan Jerman memiliki investasi yang cukup besar di Rusia, terutama dalam urusan produksi minyak. Maka terbentuklah poros Paris-Berlin-Moskow yang dikenal sebagai penentang utama dalam serangan ke Bagdad.

Tidak hanya berhenti di situ. Rusia dibawah Vladimir Putin bahkan terus berupaya menyatu dengan negara-negara Eropa dengan menjadi anggota komunitas negara pengguna euro, dengan langkah sejumlah negara bekas Uni Sovyet yang tidak lama lagi segera bergabung.

Bagi Rusia, kendati tidak mudah, menjatuhkan pilihan untuk memihak Eropa dan euro adalah pilihan rasional. Rusia seperti kata Youssef Ibrahim, Direktur Manajemen dari Strategic Energy Investment Group di Dubai, memainkan peran yang sangat besar. Putin, katanya, memiliki sebuah kartu yang menentukan dalam sebuah meja perjudian ekonomi dunia.

Pernyataan Youssef itu menanggapi Putin saat bersama kanselir Jerman mengunjungi Yekaterinburg, kota di pegununggan Ural, Rusia, Oktober 2003.

Saat itu, Putin mengatakan bahwa Rusia belum sampai pada keputusan menggunakan euro dalam transaksi minyaknya. Menurut dia, rencana itu adalah kepentingan negara-negara pengguna mata uang euro.

Padahal sebenarnya Rusia seperti ditulis Catherine Belton pada Moscow Times (Putin: Why not Prices Oil in Euros?), 10 Oktober 2003, melalui Putin sudah mengajukan proposal untuk menggunakan euro pada Oktober 1999 dalam pertemuan para pemimpin Uni Eropa di Helsinki.

Mengutip Alexander Rahr, ahli Rusia di Jerman, Belton mengatakan Rusia di bawah Putin, yang sangat bergantung pada ekspor minyak, memilih kepentingan yang besar untuk mengubah struktur OPEC.

Tetapi dia tidak bisa melakukan hal itu dengan mudah tanpa melibatkan AS. Sebuah tarik menarik kepentingan yang tidak memungkinkan Rusia memainkan kartu seenak perutnya.

Salah satu pendukung Putin adalah ekonom dan penasihat ekonominya, Yevgeny Gavrilenko. Menurut dia, keputusan itu sangat mungkin kendati lebih menguntungkan negara Eropa dari pada memberikan manfaat langsung bagi Rusia.

Bahkan Vice President Lukoil Leonid Fedun menyambut baik proposal Putin. "Kalau pemerintah melakukan hal itu, kami mendukungnya. Dari sudut ekonomi hal itu memang tidak masalah."

Yang bersuara lain dari Rusia dalam urusan minyak dan dolar itu adalah Valery Nestorov, analis investasi dari Troika Dialog.

Menurut dia, kalau pun peralihan transaksi minyak dari dolar ke euro akan terjadi, maka masih membutuhkan waktu yang lama. Pasalnya, kalau saja pasca pengalihan ke euro, perekonomian AS lebih baik dari Eropa, akan sangat berbahaya bagi Rusia.

Kecemasan itu wajar. Apalagi perekonomian negara adi kuasa itu akhir-akhir ini mulai memperlihatkan tanda-tanda perbaikan. Karena sebagai importir minyak dan barang serta jasa terbesar, AS masih bisa memainkan perannya di peta perekonomian dunia. Dengan memainkan langkah itu, hubungan dagang AS dan Rusia akan mengalami kegoncangan.

Menggantungkan harapan sepenuhnya pada Eropa, bukanlah pilihan yang terbaik bagi Rusia. Karena sampai saat ini pasar minyak Rusia ke negara-negara tersebut baru 16%. Rusia memang masih membutuhkan AS untuk memasarkan minyaknya. Dan memang dari hari ke hari angka ekspor minyak Rusia ke AS terus meningkat.

Keterpecahan OPEC

OPEC sendiri juga tidak seragam dalam upaya mengalihkan transaksi minyak dari dolar ke euro. Sampai saat ini, sedikitnya tiga negara anggota OPEC yang berterus-terang menyatakan ketidaksetiaannya pada dolar.

Yang pertama adalah Iran yang berniat meminang euro sejak 1999. Pada 2002, negara yang dicap "jangkar setan" oleh AS itu mengkonversikan sejumlah cadangan mata uangnya ke euro. Bahkan proposal untuk menjual minyaknya dalam euro sudah disetujui parlemen dan bank sentral sejak tahun tersebut.

Negara kedua adalah Venezuela di bawah komando Presiden Hugo Chavez, yang berideologi marxis. Chavez pada September 2000 pernah mengusulkan sebuah sistem komputerisasi antara negara-negara anggota OPEC yang memungkinkan barter langsung minyak dengan barang dan jasa.

Bahkan pada Maret 2001, seorang diplomat Venezuela yang bertugas di Rusia, Francisco Mieres-Lopez, secara terbuka mengusulkan transaksi minyak dalam euro.

Venezuela memang bersungguh-sungguh kendati belum mendapat restu dari bank sentralnya. Sejak 2002, negara itu sudah melakukan 13 kali barter minyak, termasuk dengan Kuba, salah satu musuh utama AS.

Venezuela membayar dalam bentuk minyak kepada Kuba yang membantu perbaikan sarana kesehatan di desa-desa Venezuela. Tidak mengherankan, saat terjadi kudeta militer pada pemilihan Chavez yang kedua pada April 2002, AS diketahui berada di belakang kaum oposan.

Yang ketiga dan yang terpenting adalah Irak. Pada Oktober 2000, Saddam Husein menjual minyaknya dalam euro saat mata uang bersama Eropa itu masih senilai 82 sen per US$.

Dia juga memindahkan cadangan senilai US$10 miliar dari dolar ke euro. Sebuah keputusan yang bisa jadi menjadi alasan terpenting serangan militer AS ke negara tersebut setelah soal weapons of mass desctruction (WMD) hingga saat ini menimbulkan perseteruan opini intelijen di Inggris dan AS.

Namun, sebagai institusi OPEC belum pernah mendiskusikan secara serius rencana para anggotanya tersebut. Pada pertemuan di Aljazair 11 Februari lalu juga tidak terjadi diskusi semacam itu, kendati aspirasi tersebut terus menguat.

Menteri Pertambangan RI yang juga Presiden OPEC, Poernomo, hanya mengakui bahwa diksusi soal itu masih terbatas pada sejumlah anggota.

Benar kalau pada April 2002 Javad Yarjani, kepala bagian analisa pasar OPEC di Spanyol pernah mengangkat persoalan tersebut secara terbuka. Dia mengatakan, rencana tersebut harus memperhitungkan kondisi riil saat ini, terutama menyangkut kekuatan ekonomi AS yang hingga beberapa waktu mendatang belum berubah.

Menurut dia, sampai dengan akhir 1990-an, 80% transaksi mata uang dunia masih dalam dolar. Begitu juga setengah dari ekspor dunia dilakukan dalam mata uang itu. Lebih lagi, lanjut Yarjani, cadangan mata uang dunia dalam dolar empat kali lebih besar dari nilai perdagangan global AS.

Singkatnya, kata Yarvani, haruslah diperhitungkan bahwa AS selain memproduksi sendiri minyaknya, juga pengimpor terbesar di dunia. Walaupun kalau dicermati, kata dia, kawasan negara euro-zone merupakan pegimpor minyak dan produk-produk berbasis minyak yang tidak kalah besar dibandingkan AS.

Apalagi, negara OPEC dengan cadangan minyak terbesar seperti AS di Timur Tengah seperti Arab Saudi, Kuwait, Emirat Arab dan Oman memiliki kertegantungan yang sangat besar pada AS.

Jadi, untuk sementara lupakan saja nasihat mantan PM Malaysia Mahathir Mohamad kepada raja Arab pada awal tahun lalu agar negara yang 75% pendapatan negaranya bergantung pada minyak menukar minyaknya langsung dengan emas.

Lihat saja rajutan kepentingan minyak antara AS dan Arab Saudi. Menurut catatan US-Arabian Business Council, selain sebagai pengimpor, negara Paman Sam menjadi pemasok barang dan jasa bagi industri minyak dan gas di Arab Saudi.

Kalau pasok untuk kebutuhan fasilitas teknologi mencapai sekitar 70%, AS juga menjadi pemasok sekitar 75% manajemen proyek dan disain pasar untuk produksi minyak dan gas bumi negara itu.

Sebagai contoh, sejak 2000 hingga 2007, perusahaan minyak terbesar dunia milik Arab Saudi, Aramco, akan mengucurkan dana US$10 miliar untuk proyek gas dan minyak.

Pada 2000 hingga 2002 setiap tahun perusahaan yang memiliki cadangan minyak 259,1 juta barel dan cadangan gas 204,4 triliun kubik (tcf) itu berencana mengucurkan dana US$2,56 miliar.

Proyek yang akan dikerjakannya antara lain Hawiyah Gas senilai US$2 miliar. Yang dipercayakan sebagai manajer proyek untuk industri di Hawiyah itu adalah Parson Corporation dari AS.

Begitu juga untuk proyek gas yang baru di Haradh. Dalam proyek senilai US$2,6 milar dengan kapasitas per hari 1400 juta kubik kaki tersebut akan dikontrakkan kepada Foster Wheeler dari AS sebagai manajernya.

Hanya dengan Aramco saja, kelihatan betapa jalinan kepentingan minyak antara Arab Saudi dan AS negara gurun itu. Selain itu masih ada Texaco, Exxon, Mobil, Chevron dan sejumlah perusahaan AS yang berkepentingan di negara tersebut seperti Kellogg Brown & Root, The Parsons Corp., Betchel, Stone & Webster Enginering, ABB Lumnus Global dan sejumlah perusahaan lainnya.

Kenyataan tersebut memperlihatkan bahwa OPEC tidak mudah distel dalam satu nada guna menyuarakan perubahan yang maha dahsyat itu.

No comments: