Friday, February 1, 2008

Keajabaian Nol

Empat ribu lima ratus. Angka 4.500 adalah harga premium terkini. Bagi bangsa ini, angka ini lebih dari sekadar gambaran harga bahan bakar. Dia menceritakan banyak hal. Soal ketakberdayaan pemerintah, tren harga minyak dunia, kesemrawutan manajemen Pertamina, atau kegelisahan masyarakat di negeri ini.

Beberapa hari atau pekan ini, angka-angka menjadi momok yang menakutkan. Apalagi kalau kita giat berkeliaran di pasar. Pematokan harga atas beras, minyak, ikan, ayam, ketela ataupun bayam dengan nominal yang kian membesar, benar-benar menegangkan syaraf kepala.

Untuk mengurangi ketegangan, untuk sementara mari kita lepaskan dulu angka-angka itu dari urusan minyak dan barang-barang kebutuhan pokok lainnya. Kita bercerita soal angka yang sudah digemari sejak zaman dahulu kala.

Bukan hanya orang Athena, bangsa-bangsa yang mendiami lembah Nil, Tigris, Yangstse, Gangga ataupun Amazon juga sudah terbiasa dengan angka-angka. Bahkan, mereka sudah secara detil menggunakannya untuk ukuran bangunan sekelas Sphinx di Mesir, atau untuk membuat tata kota seteratur Troya atau Roma.

Angka dan risiko

Tapi menurut ahli sejarah manajemen risiko Peter L. Berstein dalam bukunya Against The Gods, bangsa-bangsa tua itu belum pernah menggunakan angka-angka itu untuk menghitung risiko. Setiap kali ada persoalan hidup, mereka tidak pernah mengoptimalkan angka-angka. Mereka malah buru-buru ke orakel.

Di sana ada peramal yang menjelaskan hidupnya bukan atas dasar realitas, tapi menurut aturan para dewa.

Menurut keyakinan mereka, ada banyak sekali dewa yang ikut mengurus persoalan hidup manusia. Para dewa ikut memainkan dadu-dadu kehidupan, sehingga mereka tak pernah berpikir menggunakan hitungan peluang atau teori probabilitas. Disiplin itu baru tercipta ribuan tahun kemudian

Dalam sejarah peradaban Eropa, urusan angka-angka mulai tampil secara meyakinkan tahun 1202 seiring terbitnya buku Liber Abaci, atau Book of the Abacus. Buku ini pertama kali beredar di Italia melalui penulisnya Leonardo Pisano, atau lebih dikenal dengan nama samaran Fibonacci.

Dalam buku ini, dia memperkenalkan kepada masyarakat Eropa angka nol dan kelipatan sepuluh yang kemudian mempengaruhi imajinasi numeral bangsa itu. Keajaiban angka nol itu bukan temuan Fibonacci. Dia sendiri menyerapnya dari para sarjana Arab ketika dia mengunjungi Bugia, salah satu kota di Aljeria.

Di Arab, saat itu matematika sudah sangat maju. Mereka berhasil menterjemahkan buku-buku matematika Yunani dan mengembangkan ilmu aljabar. Tapi, angka nol itu sendiri tidak lahir di jazirah Arab. Nol diambil dari India ketika Islam melakukan ekspansi ke kawasan itu.

Di India, nol disebut sunya, lalu menjadi cifr dalam kosa kata Arab. Adalah al-Khowarizmi yang mengembangkan sistem angka dan matematika ini di dunia Arab. Konon kata logaritma berasal dari nama ahli ini. Ahli Arab yang hidup sekitar tahun 825-atau empat ratusan tahun sebelum Fibonacci-inilah yang pertama menciptakan rumusan pengurangan, penjumlahan atau pun perkalian.

Memang dalam sistem ini, nol tak bersentuhan dengan hidup sehari-hari. Filsuf Inggris Alfred North Whitehead memberi penjelasan berikut: Nol tak pernah kita gunakan dalam kehidupan sehari-hari. Tak pernah ada orang yang ke pasar untuk membeli 'nol ikan'. Nol hanya dipakai untuk melengkapi angka-angka kardinal dan memaksa kita untuk menyempurnakan model-model berpikir

Nol dan peradaban

Memang betapa terbatasnya pemikiran matematis tanpa nol. Ketiadaan nol terbukti menjadi hambatan luar biasa bagi peradaban Romawi maupun Yunani. Angka sembilan [9] yang sederhana itu harus ditulis dengan agak rumit oleh orang Romawi dengan IX. Mereka juga tak bisa menulis 32 dengan III II. Karena itu bisa ditafsirkan macam-macam, bisa 32, 302, 3020 atau kombinasi lain yang lebih besar dari 3 dan 2.

Sistem numerik seperti ini jelas sulit dikembangkan untuk sebuah kalkulasi yang rumit. Begitu juga sistem angka dalam peradaban Yunani. Setiap angka dari 1 sampai dengan 9 memiliki abjadnya masing-masing. Misalnya simbol 'pi' dari abjad penta untuk mewakili 5, 'delta' dari abjad 'deca' untuk 10 dan 'rho' untuk 100. Bisa dibayangkan 115 harus ditulis 'rho-deca-penta'.

Memang menyulitkan mengemas sistem angka-angka Yunani dan Romawi sebagai alat untuk menyelesaikan persoalan hidup. Terutama untuk menghitung risiko dengan mengembangkan teori peluang dan probalitas. Tapi, persoalan bukan saja pada kehadiran angka nol.

Menurut Bernstein keyakinan bahwa kejadian sehari-hari diatur oleh para dewa tidak menjadi lahan yang subur bagi angka-angka. Yang maju justru kegiatan peramalan di orakel untuk mengetahui nasib dan masa depan mereka.

Hal yang hampir mirip, menurut dia, terjadi pada masyarakat Arab. Kepercayaan yang luar biasa pada pada takdir Ilahi, membuat keajabaian nol tidak berkembang secara optimal.

Keajaiban itu justru terjadi ketika nol yang diambil dari dunia Arab oleh Fibonacci disemaikan dalam alam Renaissance. Dalam semangat Renaissance, masyarakat Eropa diberi kebebasan untuk berpikir dan melihat persoalan hidupnya lepas dari kungkungan Ilahi. Bagi mereka, hidup adalah rentetan hubungan sebab dan akibat.

Karena hubungan sebab akibat itu, maka manusa bisa meneliti sebab-sebab yang terus berulang. Penelitian atas sebab-sebab ini sangat penting untuk bisa memperkirakan apa yang terjadi di kemudian hari.

Untuk kepentingan itu, para ahli Barat berusaha menggunakan angka-angka itu untuk menghitung peluang dan kemungkinan. Konon, dengan sebuah kalkulasi dan rumusan yang tepat, manusia bisa menggunakan angka-angka itu meminimalkan risiko hidupnya.

Di kepala Pascal, Leibniz dan kemudian John Maynard Keynes, Harry Markowitz dan puluhan kepala lainnya, sistem hitungan dengan keajaiban nol itu berkembang dengan sangat pesat. Termasuk aplikasinya untuk menghitung risiko, termasuk risiko investasi.

Teori-teori investasi dan diversifikasi yang dikembangkan sarjana Barat tak mungkin terjadi tanpa sistem angka yang dipelajarinya dari dunia Hindu-Arab. Tapi, nol itu tak pernah menjadi benar-benar ajaib tanpa dibarengi sikap bebas, menghargai akal dan lepas dari pengaruhi mistik dan perdukunan.

Tentu saja Keynes dan kawan-kawan pun sadar kalau hidup tak pernah sepenuhnya dirumuskan dalam angka-angka. Ada misteri, ada keliaran yang tak pernah digenggam secara sempurna oleh otak manusia.

Karena itu, Keynes mengingatkan bahwa teori probabilitas hanya bisa menjadi pedoman dalam kehidupan kalau ada keyakinan bahwa tindakan yang didasarkan pada teori ini adalah hal yang rasional, dan ketergantungan padanya dapat memberi manfaat.

Memang keajaiban nol tak bisa menjawab semua persoalan. Apalagi kalau memang angka-angka itu tak pernah dihitung dan dikemas secara benar. Jangan-jangan 'nol' dalam angka 4.500 pun bukan sebuah keajaiban, tapi adalah aib bagi negeri ini.

No comments: