Friday, February 1, 2008

Menguak Prioritas Kebutuhan Masyarakat Ibu Kota

Abraham Runga Mali

(Mobil Dulu yang lain Belakangan)

Inilah kenyataannya. Kelas menengah atas di Jakarta ternyata punya kebutuhan favorit, serupa yaitu membeli mobil. Buktinya, biarpun mereka sudah punya penghasilan rata-rata Rp17,9 juta per bulan-artinya sudah terlalu mudah urusan beli-membeli mobil-namun kalau ditanya "Apa kebutuhan Anda yang paling favorit?" Ternyata jawabnya: membeli mobil! Bukan membeli rumah atau membuka usaha baru. Salahkah keputusan mereka?
Simak saja hasil survai Citibank dan AC Nielsen tentang perilaku perbankan di kalangan kelas menengah atas di Ibukota baru-baru ini. Mereka yang disurvai bukanlah kelompok masyarakat sembarangan karena terdiri dari kalangan profesional, manager, eksekutif dan businessman (PMEB).

Usia mereka masih muda-muda yaitu berkisar 30-45 tahun tetapi mereka telah berpenghasilan rata-rata Rp17,9 juta. Bahkan responden yang dari kalangan businessman, ada yang punya penghasilan sampai Rp20,7 juta per bulan.

Lalu apa yang menarik dari hasil survai yang dirancang untuk mengetahui pola pengelolaan keuangan (keluarga) dan penggunaan sarana perbankan tersebut?

Menurut Karmelita Nurdjalim, Direktur Customized ACNielsen yang menjadi penanggung jawab survei tersebut, banyak hal menarik yang bisa diperoleh. Dari 150 orang dari kalangan PMEB yang terjaring dalam survai, ternyata mereka telah menyisihkan hampir sepertiga dari pendapatan bulanannya (tepatnya 26%) untuk ditabung.

Sisanya 18% untuk keperluan anak, 8% untuk keperluan investasi, 6% untuk keperluan orang tua, 4% untuk membayar kredit properti/rumah dan 40% untuk menutup ongkos kebutuhan sehari-hari.

Dari angka-angka di atas, jika dicermati lebih lanjut, tampak bahwa lebih dari setengah (52%) dari pendapatan bulanan mereka telah disisihkan untuk keperluan masa depan seperti ditabung (26%), keperluan anak (18%) dan investasi (8%).

Kalau para PMEB telah mengalokasikan lebih dari setengah untuk keperluan masa depan, tentu mereka punya rencana jangka panjang atau paling tidak rencana jangka menengah yang ingin dicapai. Apa gerangan rencana jangka menengah tersebut? Nah ini yang menarik.

Dari hasil survai yang melibatkan 150 responden dengan pendapatan bulanan terkecil Rp15,2 juta dan terbesar Rp20,7 juta tersebut, lanjut Karmelita, ternyata mereka masing-masing telah memiliki program jangka lima tahunan yang sudah jelas. Dan untuk merealisasikan program 'Repelita' itu, mereka mengaku harus mengumpulkan dana minimal Rp20 juta.

Lalu program 'Repelita' apa yang paling favorit bagi mereka? Ternyata 64% dari 150 responden menjawab: program membeli mobil! Ya membeli mobil, tidak terlalu jelas, membeli mobil baru apa bekas. Pokoknya mobil.

Lalu bagaimana dengan program membeli rumah, buka bisnis kecil-kecilan atau program menyekolahkan anak? Oh itu belakangan. Program menyekolahkan anak memang termasuk favorit, namun masih kalah favorit dibandingkan program membeli mobil. Begitu juga program memulai bisnis baru atau membeli rumah. [Lihat tabel]

Jika boleh disederhanakan, tampaknya para PMEB yang bergaji rata-rata Rp17,9 juta per bulan itu tampaknya punya pikiran yang sama, "Yang penting mobil dulu, yang lain belakangan!" Belum jelas benar faktor apa yang mendasari mereka menyusun skala priroritas kebutuhan seperti itu.

Untuk merealisasikan kebutuhan favorit tersebut, menurut Karmelita, para PMEB tampaknya tidak main-main. Sebanyak 83% responden menyatakan telah menyusun rencana yang lengkap dan terjadual, walaupun sekitar 22% responden mengaku mereka tidak akan punya dana cukup untuk mengejar target secara tepat waktu.

Untuk mengejar target itu, mereka umumnya mengandalkan tabungan. Karena itu sebagian dari kelompok PMEB itu mengaku telah melakukan kegiatan menabung secara teratur dan terencana. Tetapi ada pula dari mereka yang mengejar target dengan cara mencari pinjaman.

Wajar-wajar saja

Dari sisi perencanaan keuangan keluarga, apakah penyusunan skala prioritas kebutuhan semacam itu bisa diterima? Bagaimana pandangan dari pakar perencana keuangan.

"Saya kira itu hal yang wajar-wajar saja. Apalagi jika survai itu dilakukan di Jakarta," kata pakar perencana keuangan Safir Senduk mengomentari hasil riset yang dilakukan pada 1-12 April 2004 dengan metode wawancara tatap muka tersebut.

Bagi siapapun yang lahir, tumbuh dan besar di Jakarta, jelasnya, masalah transportasi memang bukan masalah mudah, kalau tidak boleh dibilang masalah ruwet. Sistem transportasi di Jakarta sangatlah tidak nyaman. Maka wajar-wajar saja jika kelompok masyarakat kelas menengah atas Ibukota punya skala prioritas kebutuhan seperti itu.

"Bagi orang yang lahir, tumbuh dan besar di Jakarta, maka mobil memang nomor satu. Mobil adalah kebutuhan yang sangat mendasar, bahkan mungkin lebih penting dari pendidikan anak," katanya.

Akan lain hasilnya jika survai ini dilakukan di kota-kota yang memiliki sistem transportasi lebih baik dari Jakarta misalnya di Yogyakarta, Semarang atau Surabaya.

Perlu diketahui juga siapa yang menjadi respondennya. Jika respondennya sebagian besar adalah bapak-bapak, ya jelas, jawabannya pasti begitu.

Berbeda dengan ibu-ibu yang banyak mencurahkan pikiran pada masalah rumah dan pendidikan anak, pikiran bapak-bapak di Jakarta lebih didominasi bagaimana bisa menjalankan tugas dan pekerjaannya dengan nyaman. Maklum hidup di Jakarta banyak faktor yang bisa menjadi stressor.

Menurut Senduk, mereka sangat membutuhkan sarana transportasi yang nyaman. Maka bisa dimengerti, biarpun si bapak sudah punya kendaraan sedan Toyota Soluna, tetapi bisa saja si Bapak segera menganti dengan BMW agar lebih nyaman. Mereka memang membutuhkan kenyamanan di jalan, selain juga perlu gengsi dan reputasi.

Jika dilihat dari sudut perencanaan keuangan (financial planning), apakah penyusunan skala prioritas kebutuhan yang seperti ini tidak salah karena terlihat terlalu konsumeristik? Menurut Senduk, tidak juga.

Di bidang perencanaan keuangan, tidak ada skala prioritas kebutuhan yang paling benar. Bapak X mungkin memiliki prioritas kebutuhan membeli rumah.

Tetapi Bapak Y, membeli mobil, sedangkan Bapak Z menyekolahkan anak. Ketiganya tidak ada yang salah, tetapi juga benar, karena masing-masing tergantung kepada situasi dan kondisi yang sedang dihadapi.

"Faktor demografis seperti usia, jenis kelamin, dan lain-lain tampaknya ikut berpengaruh di sini. Makanya jangan heran jika survai terhadap kalangan PMEB di Jakarta itu menghasilkan gambaran yang demikian. Itu wajar-wajar saja. Beda jika survai ini dilakukan di Semarang atau Surabaya," katanya.

Masyarakat Jakarta memiliki karakteristik yang agak berbeda dengan masyarakat di daerah. Mereka sangat memperhatikan masalah kenyamanan sarana transportasi karena buruknya sistem transportasi di Jakarta. Sayangnya, kadang-kadang sebagian dari mereka hanya membeli mobil karena urusan prestise semata-mata.

"Nah ini memang sudah menjadi kelemahan orang-orang di Jakarta," katanya.

Bagaimanapun hasil survai itu masih wajar. Inilah kenyataannya. Kelas menengah atas di Jakarta tetap getol membeli mobil. Mobil adalah kebutuhan favoritnya, paling tidak untuk lima tahun ke depan. Soal rumah, membuka usaha atau pendidikan anak, itu belakangan. Yang penting mobil dulu, baru yang lain. Gitu!

No comments: