Friday, February 1, 2008

Membaca Tren Harga Minyak Dunia (3)

Abraham Runga Mali

(Dimuat di Bisnis Indonesia edisi 19 Mei 2005)

Pada tulisan sebelumnya diceritakan tentang sikap OPEC yang sulit mengambil keputusan penambahan kapasitas produksi hingga 500.000 barel per hari. Sikap OPEC bahkan berubah-ubah. Perubahan itu terutama setelah 17 Maret 2005 ketika harga minyak menembus posisi US$57 per barel.

Di antara negara-negara anggota OPEC memang tidak sepakat mengenai hal itu dan menundanya hingga Mei. Tetapi sampai saat ini terlihat tanda-tanda bahwa negara-negara itu akan mencapai kebulatan pendapat soal tersebut.

Bahkan Menteri Perminyakan Aljazair Chakib Khelil, misalnya, pada akhir Maret menegaskan OPEC tidak perlu menaikkan produksi sebanyak 500.000 barel menjadi 27,5 juta barel per hari. Alasannya, pasokminyak dunia diniliai sudah mencukupi. Padahal, dua minggu sebelumnya, dalam pertemuannya yang ke-135 di Isfahan, Iran, organisasi itu sudah sepakat meningkatkan kuota guna mengerem kenaikan harga minyak.

Sebagai ganti membuat aksi yang jelas dan tegas, OPEC malah lebih sibuk melempar kesalahan itu pada masalah geolopolitik dan spekulasi yang menyebabkan lonjakan dan fluktuasi harga minyak. Padahal, banyak pihak sudah sampai pada konklusi bahwa pasok minyak menjadi sebab utama dan terutama karena tidak mampu melayani permintaan negara-negara konsumen.

Secara pribadi Menteri Perminyakan Arab sebenarnya pernah melontarkan niat untuk mendongkrak produksi minyak pada semester kedua 2005 guna mengantisipasi lonjakan permintaan tersebut. Tetapi itu bukan kebijakan institusional OPEC.

Menyaksikan keragaman sikap OPEC, banyak pihak malah balik menuduh bahwa organisasi itu memang tidak transparan dengan kondisi yang sebenarnya terjadi. Ketidaktransparan itu seakan melengkapi kenyataan bahwa data-data mengenai persediaan, suplai, dan permintaan minyak dunia memang serba tidak pasti. Jadi, tak usah mengherankan bila antara prediksi yang satu bisa bertolak belakang dengan prediksi yang lain.

Walaupun, pendapat negara-nega-ra OPEC soal faktor di luar suplai tidak sepenuhnya salah. Faktor politik yang terkait dengan negara-negara penghasil minyak itu merupakan salah satu faktor yang menyebabkan fluktuasi minyak dunia. Ini terutama situasi politik yang menimpa dua negara anggota OPEC, yaitu Irak dan Venezuela.

Invasi AS ke Irak diikuti dengan penghancuran sejumlah ladang minyak di wilayah selatan Irak menyebabkan produksi minyak di negara itu menjadi tidak pasti. Bahkan upaya memproduksi minyak dengan jumlah yang sama seperti sebelum Perang merupakan hal yang sangat sulit dicapai.

Begitu juga yang terjadi dengan Venezuela. Carut-marut politik berupa aksi demontrasi dan mogok di negera itu sejak Desember 2002 turut mempengaruhi kemampuan Venezuela mensuplai minyak dunia. Peristiwa tersebut tidak hanya menyusutkan pendapat bruto negera itu tetapi juga produksi minyak nasionalnya.

Menurut EIA, pada 2003 produksi nasional mencapai 2,6 juta barel per hari, atau turun 10% dari total produksi sebelum krisis politik.

Begitu juga dengan situasi yang menimpa Nigeria yang sampai sekarang masih terlibat konflik antarsuku dan kelompok. Ketidakstabilan politik di negara itu tentu turut mempengaruhi persediaan suplai minyaknya.

Soal spekulasi

Persoalan suplai, dinamika politik, dan ketidaktransparanan OPEC dan negara-negara produsen minyak lainnya merupakan ladang yang subur bagi para spekulan dalam mempermainkan harga minyak dunia.

Pada pertengahan tahun lalu, Sekjen OPEC Maizar Rahman memperkirakan spekulasi harga minyak turut menaikkan harga sekitar US$10-US$15 per barel. Perkiraan yang hampir serupa juga pernah dilansir oleh Financial Times edisi 21 Agustus 2004.

Salah seorang yang sangat mencemaskan soal spekulasi harga minyak adalah Presiden The Fed, Alan Greenspan. Dalam kesaksiannya di depan Komite Bujet di Kongres AS, dia menyebutkan secara terang-terangan bahwa spekulasi merupakan salah satu sebab yang mendongkrak harga minyak dunia.

Pertama, jelas Greenspan, spekulasi yang berkaitan dengan penambahan permintaan minyak yang langsung berurusan dengan potensi penemuan ladang-ladang baru. Kedua adalah investor dan spekulan yang mengambil untung dari posisi harga futures minyak mentah.

Untuk spekulasi yang pertama pernah dibantah oleh EIA. Perhatikan laporan EIA September 2004 bertajuk Short-Term Energy Outlook. Laporan itu memperlihatkan perkembangan harga saham di AS dan negara-negara OECD (Organization for Economic Cooperation and Development).

Karena, kendati diumumkan bahwa penemuan dan proyek-proyek baru di negara-negara maju mengalami penurunan sehingga tidak bisa mengimbangi kenaikan permintaan, ternyata harga saham justru menurun dari September 2004 hingga Maret 2005.

Padahal, menurut lembaga itu, yang terjadi mestinya sebaliknya. Kalau saja pernyataan Greenspan soal spekulasi jenis pertama benar, maka mestinya tidak demikian yang terjadi.

Karena itu, EIA tetap berkeyakinan bahwa spekulasi tidak terjadi pada tataran yang pertama ini. Artinya, demikian lembaga penelitian itu, spekulasi lebih terjadi pada transaksi derivatif yang bernama futures harga minyak mintah itu.

Wall Street Journal memperlihatkan terjadi kenaikan volume perdagangan yang cukup signifikan di pasar futures dalam periode terakhir ini. Sebuah indikasi bahwa spekulasi di harga minyak itu benar-benar memberi kontribusi pada lonjakan harga komoditas tersebut.

Spekulasi pada transaksi derivatif ini turut diperparah oleh fluktuasi mata uang global, terutama yang berkaitan dengan tiga mata uang kuat dunia, yaitu dolar AS, euro, dan yuan.

Keinginan dari sejumlah negara agar transaksi minyak juga di-transaksikan dalam euro dan yuan, selain dolar AS, seakan menjadi spekulasi jenis lain yang turut menamaikan permainan harga minyak di bursa minyak internasional.

Kalau demikian yang terjadi, har-ga minyak dunia di masa depan semakin sukar dikendalikan dan diprediksikan, termasuk oleh produsen yang sudah kesulitan meningkatkan kapasitas produksinya. Karena itu, mulailah membiasakan diri dengan harga minyak yang cenderung berfluktuasi ke tingkat yang lebih tinggi. Kalau itu adalah hal yang luar biasa, maka sekurang-kurangnya membiasakan diri untuk berhemat energi dan mencari solusi dengan energi alternatif.

No comments: