Thursday, January 31, 2008

Bush 'Bonceng' Diplomasi Dolar di Forum G7

Abraham Runga Mali


Tulisan ini dimuat di Bisnis Indonesia edisi 6 Februari 2004



Adalah kebetulan pertemuan G7 hari ini digelar di Florida, kampung halaman Presiden AS George W. Bush. Tapi, adalah kepastian pertemuan di Boca Raton itu jadi ajang diplomasi mendukung Bush yang mengincar kursi presiden kedua kalinya dalam pemilu November.
Agenda negara industri maju anggota G7 (AS, Jerman, Jepang, Prancis, Kanada, Italia dan Inggris) dan interest Bush bersatu dalam urusan dolar yang nilainya terus melorot selama dua tahun terakhir.

Kemarin dolar diperdagangkan pada 1,2538 euro, sedikit melemah dari rekor tertinggi 12 Januari pada kisaran 1,2898. Yen yang mencapai titik terendah sejak September 2000 bertengger pada 105,52 per US$. Sementara yuan tetap aman melalui patokan 8,3 per US$.

Seperti diduga sebelumnya, para peserta G7 akan menekan Cina membuka patokan mata uangnya terhadap dolar. Pasalnya dengan posisi kini, terjadi ketimpangan transaksi perdagangan G-7 dengan Cina, lantaran ekspor mereka ke Cina menjadi tidak kompetitif. Defisit perdagangan AS terhadap Cina yang baru mencapai US$103 miliar pada September, menggelembung jadi US$120 miliar hingga posisi terakhir.

Kinerja dolar juga menohok kepentingan Jepang dan Eropa yang tergabung dalam zona mata uang euro.

Tahun lalu otoritas moneter Jepang diketahui melakukan intervensi ke pasar sekitar 20 triliun yen (US$187). Tahun ini, Tokyo mempersiapkan dana 21 triliun hingga 100 triliun yen untuk mengamankan pasarnya. Seakan belum yakin, Jepang juga akan memotong suku bunganya hingga 0% untuk menangkal serangan dolar.

Sementara para pejabat keuangan di Eropa masih hanya meratapi dan belum melakukan kebijakan konkrit. Bagi zona euro, posisi dolar yang sudah terjungkal sangat mendalam akan terus menekan tingkat kompetisi ekspor mereka kendati meraup currency's gain sekitar US$8 triliun.

Para eksportir Eropa beberapa pekan terakhir mengeluhkan sulitnya menembus pasar luar negeri. Di pihak lain, pasar Eropa dibanjiri barang-barang murah dari luar negeri.

Realitas tersebut bisa membahayakan perusahaan di sana yang pada gilirannya akan mendongkrak tingkat pengangguran hingga 8,8%. "Ketegangan antara kawasan antar-Atlantik itu demikian dramatis," ujar seorang pengusaha manufaktur yang dikutip Businessweek pekan lalu.

Yang untung & buntung

Kalau terus dirunut, dampak dolar juga merembes ke kawasan lainnya. Misalnya, Timur Tengah yang mengekspor minyak dan gas dalam dolar, tetapi mengimpor barang Eropa dalam euro. "Kami sudah menderita. Dan penderitaan ini akan semakin merana kalau kejatuhan dolar kian dalam," keluh Sultan Emirat Arab.

Yang paling banyak menangguk untung dari melemahnya dolar adalah Cina. Selain mengangkat daya saing ekspor, melemahnya dolar membuat Cina kebanjiran modal asing.

Victor L.L. Chu, Ketua dan CEO First Eastern Investment Group yang berbasis di Hong Kong, memperkirakan investasi langsung ke Cina akan meningkat dari US$52 miliar tahun lalu menjadi US$150 miliar pada 2004. Aliran dana itu, jelas Hu, akan tetap deras kalau Cina berhasil mempertahankan ikatan yuan dengan dolar.

Itulah sebabnya Beijing mulai cemas menghadapi tekanan G7 untuk membuka ikatan yuan dan mengaitkan mata uangnya dengan sejumlah mata uang asing, termasuk euro. Kalau itu yang terjadi, awalnya yuan mungkin akan menguat. Tapi pada akhirnya akan membuat euro menjadi satu-satunya mata uang yang terus menguat.

Padahal penguatan euro yang berlebihan juga bukan berita gembira bagi Eropa. Kinerja ekonomi Eropa yang kurang kuat akan memaksa otoritas keuangan dan moneter di Uni Eropa mencari solusi, agar depresiasi euro bisa segera terwujud. Pasalnya Bank Sentral Eropa (ECB) belum melakukan intervensi guna mengatur pasarnya seperti Jepang.

Memang sempat tersiar, berdasarkan usulan pejabat otoritas keuangan Italia, Gianluigi Magri, ECB berupaya mendepresiasi euro dengan memotong suku bunganya dari 2% menjadi 1,5%.

Namun hal itu tidak mudah dilakukan karena akan memacu inflasi. Karena itu Presiden ECB Jean-Claude Trichet dalam pertemuan World Economic Forum di Davos belum lama ini mengurungkan niatnya menerapkan kebijakan khusus menekan laju euro. Kalau begitu, delegasi Eropa di Boca Raton barangkali cuma bisa melobi AS untuk mengerem laju penurunan dolar.

Itu pun tidak mudah dilakukan karena Washington berkepentingan mempertahankan posisi dolar seperti sekarang guna mempertahankan kinerja ekspor AS. Karena itu banyak pengamat menduga pertemuan Florida akan menuai kegagalan.

Menghadapi tekanan Eropa, pejabat AS Bidang Perdagangan Grant Aldonas sebaliknya meminta Eropa memperbaiki fundamental ekonomi ketimbang mengurus dolar. Bagi AS melemahnya dolar lebih menguntungkan perekonomiannya.

Profesor ekonomi dari Princento University Alan S. Blinder bahkan menegaskan depresiasi dolar merupakan realitas yang tidak bisa dihindari lantaran defisit anggaran dan perdagangannya. Bukan tidak mungkin posisi dolar akan terus dibiarkan melemah dari posisi sekitar 1,27 hingga 1,28 Euro menjadi antara 1,40 hingga 1,50 euro pada awal 2005.

Karena itu, pertemuan Florida juga menjadi ajang bagi Bush untuk diplomasi ekonomi-politis. Targetnya jelas, mempertahankan kinerja ekonomi menjelang pemilu November.

Keberhasilan di Flrodia memungkinkan Bush menutup defisit, yang diproyeksikannya turun jadi US$264 miliar pada 2009, jauh di bawah tahun ini yang US$521 miliar.

Apalagi tim ekonomi Bush saat ini terus diserang lawan politiknya dari Kelompok Demokrat, untuk mengatasi persoalan pengangguran yang menjadi salah satu momok, yang bisa saja mematikan ambisinya menjadi presiden kedua kali.

Sinyal awal

Sebenarnya, tanda-tanda dolar akan dibiarkan melemah terlihat dari kebijakan Federal Reserve mempertahankan suku bunga bulan lalu pada tingkat 1%, level terendah sejak 45 tahun terakhir. Sebagian pengamat pasar uang memperkirakan bank sentral itu baru menaikkan suku bunganya Juni mendatang atau sekurang-kurangnya tahun ini.

Tapi sebagian lain memperkirakan Komite Pasar Terbuka Federal (Federal Open Market Committee) di bawah komando Alan Greenspan, yang berada di pihak Republik-partai pendukung Bush-tidak akan menaikkan suku bunga hingga 1,5% sampai dua tahun mendatang.

Tapi, juga bukan tidak mungkin, AS akan melakukan sebaliknya, yaitu menurunkan suku bunga dari 1% hingga 0,75% untuk menurunkan defisit perdagangan, selain defisit anggaran belanjanya.

Soal kebijakan The Fed ini sebaiknya kita belajar dari David Frost, salah satu staf bank sentral pada 1990, seperti dikutip Martin Meyer dalam bukunya The Fed: The Inside Story of How the World 's Most Powerful Financial Institution Drives the Markets. Frost mengatakan AS tetap merasa lebih nyaman dengan apa yang dianggap baik oleh Federal Reserve.

Apalagi seorang Greenspan tidak buta dengan perkembangan fundamental ekonomi AS yang kian membaik. Misalnya data manufaktur keluaran Institute of Supply Management yang memperlihatkan kenaikan indeks menjadi 64 dari 63,4 pada Desember tahun lalu.

Itu berarti kegiatan ekonomi riil mulai hidup dan bisa memberikan solusi bagi masalah pengangguran yang menjadi ancaman negara adikuasa tersebut.

Memang data tenaga kerja sampai Juli memperlihatkan hanya tersedia 278.000 lapangan kerja, dengan pertumbuhan lapangan kerja 150.000 sampai 200.000 per bulan.

Namun pertumbuhan ekonomi AS, yang digerakkan depresiasi dolar, meyakinkan sejumlah ekonom bahwa angka pengangguran akan menurun menjadi 5,5% hingga akhir 2004 dari 5,7% Desember lalu.

Perusahaan besar di Paman Sam yang mengeruk keuntungan dari penurunan dolar seakan memberi dukungan terhadap keyakinan tersebut. Misalnya Nike Inc., perusahaan sepatu terbesar, yang membukukan keuntungan 18% pada kuartal kedua. Untuk pasar Eropa, perusahaan itu hanya mencatat penjualan 9%.

Setali tiga uang, perusahaan raksasa General Motor merasa sangat nyaman dengan posisi dolar saat ini. Itulah sebabnya, bos General Motor Rick Wagoner terus mengulang keyakinan pendahulunya, Charles E. Wilson, yang pada 1953 membuat pernyataan: "Sekian lama saya yakin bahwa apa yang baik bagi negara kita juga baik bagi General Motors, dan sebaliknya."

Kalau demikian prinsip AS, maka Trichet dan kolega Eropa-nya bakal menemui kesulitan besar di Florida.

Andaikan diplomasi itu gagal, akankah mereka bergabung dengan George Soros dari Budapest yang berniat mematikan langkah Bush dan melakukan serangan terhadap pasar AS, Oktober mendatang?

Rencana yang tidak mudah, karena AS bukan Indonesia atau Thailand yang pernah diporak-porandakannya.

No comments: