Tuesday, January 22, 2008

Ada Belcher di Balik Freehold

Abraham Runga Mali

Tulisan berikut terkait rencana keluarga Bakrie melepas kepemilikannya di Lapindo Brantas, perusahaan yang terlibat dalam pengelolaan sumber alam yang kemudian berubah menjadi sumbur lumpur panas.

Pekan lalu, PT Energi Mega Persada Tbk, perusahaan milik Grup Bakrie, untuk kedua kalinya meneken divestasi kepemilikannya di Lapindo Brantas Inc. Pembelinya adalah Freehold Limited.

Membaca nama ini, serta merta timbul pertanyaan, siapa pemilik perusahaan yang berlokasi di British Virginia Island itu?

Bagi publik, mengetahui pemilik baru itu sangat penting untuk memastikan apakah dia bisa menjadi 'dewa penyelamat' yang dapat menyelesaikan insiden lumpur panas Lapindo. Sedangkan bagi otoritas pasar modal, mengetahui identitas pemilik Freehold penting untuk menentukan jenis transaksi jual-beli tersebut. Apakah divestasi itu merupakan transaksi berbentur kepentingan atau tidak?

Manajemen Energi Mega begitu yakin Freehold adalah pihak ketiga yang tidak terafiliasi Grup Bakrie. Tetapi tidak demikian dengan Bapepam dan Bursa Efek Jakarta. Hingga kemarin, kedua institusi itu masih menanti klarifikasi, benarkah Freehold tidak terkait dengan Bakrie?

Sebelum berurusan dengan Freehold, Bapepam-LK sebenarnya pernah membatalkan divestasi Lapindo kepada Lyte Ltd. Berbeda dengan Freehold, Lyte memang terkait dengan keluarga Bakrie. Karena terafiliasi, sebelum menjual Energi Mega harus menggelar rapat umum pemegang saham luar biasa (RUPSLB).

Sial bagi Energi Mega saat itu, ritual perseroan tersebut harus mendapat persetujuan Bapepam-LK. Karena Energi Mega tidak bisa menjawab pertanyaan siapa yang harus bertanggung jawab atas dampak semburan lumpur panas Lapindo Brantas, Ketua Bapepam-LK Fuad Rahmany dengan tegas menolak permohonan perusahaan itu menggelar RUPSLB. Divestasi pun batal.

Tetapi Energi Mega tidak tinggal diam. Manajemen perseroan berpegang pada keyakinan bahwa pemegang saham minoritas Energi Mega harus diselamatkan. Karena kalau valuasinya terendam lumpur panas, pemegang saham minoritas akan menanggung kerugian.

Apalagi, bagi Energi Mega membela kepentingan pemegang saham minoritas tidak serta-merta berarti membebaskan Grup Bakrie dari tanggung jawabnya atas kasus Lapindo Brantas.

Energi Mega mendasarkan keyakinannya itu pada Kepres No. 13/2006 yang mengatur dukungan Minarak Labuan Co. Ltd, anak perusahaan kelompok usaha Bakrie, dalam menyelesaikan insiden lumpur panas.

Dengan alasan itu, Energi Mega bersikeras menjual Lapindo Brantas. Kali ini kepada pihak ketiga yang tidak terkait dengan Grup Bakrie.

Pilihan memang jatuh pada Freehold. Karena dijual kepada pihak ketiga-yang berarti tidak terjadi benturan kepentingan-Energi Persada yakin kalau aksi korporasi itu tidak perlu mendapat izin Bapepam.

Pemilik Freehold

Tetapi lain Energi Mega, lain pula Bapepam-LK. Kemarin Fuad menegaskan lagi sikapnya untuk tidak mengizinkan penjualan Lapindo kepada Freehold. Persoalannya itu tadi, pemilik Freehold masih menjadi sebuah misteri.

Sejak pekan lalu, Bisnis sebenarnya sudah mendengar nama James Belcher yang kini disebut-sebut sebagai pemilik Freehold. Dia berdomisili di Amerika Serikat. Tetapi usaha Bisnis untuk menghubunginya via telepon selalu gagal.

Dalam laporan manajemen Energi Mega kepada BEJ awal pekan ini pun, nama Belcher belum juga terungkap. Yang ada pada laporan itu justru Alsace Pte Ltd, pemegang saham Freehold Group Limited. Alsace merupakan perusahaan yang didirikan dan tunduk pada hukum Singapura.

Nama Belcher secara ekplisit baru terungkap kemarin ketika Financial Times memuat hasil wawancaranya. Dalam wawancara yang dikutip Detik, Belcher mengakui kalau dia dan delapan rekannyalah yang mendirikan Freehold, special purpose vehicle di British Virgin Island itu.

Kendati dibantah Aburizal Bakrie, Belcher mengakui kalau dia dan pemilik Grup Bakrie itu sudah berteman selama 25 tahun.

Tentang transaksi tersebut, Belcher hanya mengatakan, "Sampai sekarang belum jelas siapa yang akan membayar. Saya mengenal keluarga Bakrie hampir 25 tahun dan melakukan kerja sama dalam beberapa tahun. Saya pikir akan sulit untuk mendapatkan jaminan yang lebih dari apa yang telah kami peroleh."

Kecuali pengakuan Belcher akan pertemanannya dengan Ical-panggilan Aburizal Bakrie-tidak mudah mendapatkan informasi tentang siapakah orang ini. Hanya dari perburuan dunia maya terungkap bahwa nama yang sama juga disebut dalam skandal Clinton-Riyadi (James Riyadi, pemilik Grup Lipo, dalam skandal politik uang sebagai bentuk dukungan kepada Presiden Bill Clinton saat itu).

Dalam skandal itu, Belcher dikaitkan dengan nama John Huang yang berkontribusi senilai US$50.000. Nama Chris Dodd juga disebut-sebut dalam jaringan tersebut. "The Connecticut businessman, James Belcher, has told two separate sources that Dodd brought him together with Huang," tulis ROLL's Ed Henry.

Muncul bersama

Selain itu, nama yang sama tertulis bersama nama Bakrie dalam sebuah dokumen merger tertanggal 31 Oktober 1997 antara InCon Technologies Inc, perusahaan dari Delaware, InConHoldings, LLC, dan Bionutrics Inc dan BNRX Inc.

Nama Bakrie dan Belcher juga muncul bersama dalam Lewis & Peat Rubber L.P, perusahaan yang dituntut bangkrut pada 2000. Lewis & Peat adalah sebuah perusahaan trading yang melakuka aktivitas di Singapura, London, dan Conneticut. Dan yang terpenting Belcher juga pernah tercatat sebagai pimpinan anak perusahaan PT Bakrie Sumatra Plantion Tbk.

Begitulah sekilas tentang James Belcher. Apakah dengan rekam jejak seperti di atas sudah cukup bagi Bapepam-LK untuk memastikan Freehold sebagai perusahaan terafiliasi Bakrie? Sebuah pertanyaan yang tidak mudah dijawab. Sesulit menjawab pertanyaan apakah transaksi itu material atau tidak.

Karena, menurut peraturan pasar modal No. IX.E.2, transaksi pembelian, penjualan atau penyertaan saham itu material kalau nilainya sama atau lebih besar dari 10% pendapatan perusahaan atau 20% dari ekuitas.

Benar, fakta insiden lumpur panas Lapindo sangat material. Tetapi transaksi senilai US$1 juta tidak material dibandingkan dengan pendapatan Energi Mega yang per April 2005 mencapai Rp1,055 triliun.

Bapepam tetap bertekad melarang transaksi tersebut. Tetapi bukan tidak mungkin Energi Mega tetap teguh pada keyakinannya. Bagaimana solusinya, silakan Fuad Rahmany menguji kelihaian dengan Mr. Belcher.

No comments: