Monday, January 21, 2008

Panlong, Tanah dan Pengetahuan

Abraham Runga Mali

Laporan utama Time bertajuk Chinas’s Rural Rage belum lama ini bercerita tentang protes para petani di negeri Cina. Pada salah satu bagian cerita, terpetik kisah seorang gadis, anak petani di Panlong, sebuah desa di Guandong yang meninggal dalam protes tersebut.
Saat itu, pertengahan Januari, orang-orang tua di kampungnya terlibat dalam keributan dengan para polisi. Ketika mendengar tembakan, gadis 13 tahun yang bersembunyi dibalik pohon itu mendadak meninggal. Kecemasan dan ketakutan yang berujung maut.
Kerusuhan Panlong bermula dari urusan tanah. Tiga tahun lalu, Panlong, desa pertanian itu belum ada. Saat itu, di sana, ada dua kampung yang masing-masing bernama Damai (Peace) dan Cinta Tanah Air (Patriotism). Dua nama untuk dua cita-cita yang sangat kental pada masyarakat sosialis di negeri itu.
Kemudian tanah mereka dijual kepada sebuah perusahaasan tekstil asing yang bermarkas di Hong Kong. Setelah dijual, dua desa itu dimerjer jadi satu dengan nama Panlong yang berarti Coiled Dragon. Nama yang cukup jelas mengungkap ambisi masyarakat kapitalis untuk menjadikan dirinya kaya dan sejahtera.
Tapi sial, ketika tanah dijual, uangnya dikorupsi pemerintahan lokal. Institusi Pengadilan—yang diisi orang-orang yang direkrut pemerintahan Panlong—jelas tidak di pihak petani. Begitu juga polisinya. Para petani itu lalu marah. Dengan sisa-sisa tenaga, mereka memulai protes dan demonstrasi. Karena tidak didengar, demonstrasi berubah jadi brutal. Dan jadilah kerusuhan.
Seketika Panlong menjadi berita buruk bagi pemerintahan Beijing. Apalagi, kerurusan petani ala Panlong sangat sering terjadi di negara dengan 900 juta petani itu. Kalau tahun 1994 jumlah keributan seperti itu hanya 10.000 kali, maka tahun 2005 meningkat menjadi 87.000 kali. Tak berlebihan kalau Christian Wong, pemerhati pemerintahan lokal dari Universitas Washington berujar: “The farmers are the most who are loosing out the most.”

Mimpi besar

Kisah tentang petani dan tanahnya sepertinya paradoks dengan mimpi besar bangsanya yang berniat menjadi negara dengan ekonomi terkuat di planet ini. Mereka terasing dari mimpi negerinya. Yang paham dan terlibat dengan ambisi ini kebanyakan masyarakat urban. Bahkan, tak hanya paham, mereka berusaha mengambil untung yang setinggi-tingginya dari ambisi sebesar ini.
Pada bagian masyarakat ini, modalnya bukan lagi tanah, tetapi pengetahuan. Dan begitulah optimalisasi ilmu pengetahuan menjadi kepentingan semua pihak yang bersatu untuk kemajuan perekonomian itu. Selain pemerintah, juga multinasional yang saat ini beroperasi di sana.
Makanya, tak usah diherani kalau pada saat yang sama, ketika para petani merintih kesakitan, sejumlah perusahaan besar, lokal maupun multinasional, terus mengucurkan dana untuk melakukan investasikan di bidang riset dan pengembangan.
Dan, alkisah berbagai pusat riset dan pengembangan ((reseacrh and development center) berdiri bagaikan jamur di negeri Tirai Bambu. Kalau empat tahun lalu, jumlah pusat riset dan pengembangan itu hanya tercatat 200 buah, maka saat ini jumlahnya berlipat menjadi 750.
Pertumbuhan itu seakan tak peduli dengan rendahnya perlindungan terhadap hak paten dan produk intelektual di sana. Cina tetap menjadi magnit ekspansi pusat riset dan pengembangan. Bahkan, menurut survei yang diluncurkan oleh United Nation Conference September tahun lalu, Cina berada di peringkat pertama sebagai negara tujuan ekspansi riset dan pengembangan. Baru setelah itu Amerika Serikat dan India.
Sebut saja berbagai multinasional seperti Procter & Gamble, Motorola, International Business Machies Corp, adalah beberapa contoh dari banyak perusahaan besar yang membiayai riset di Cina guna mengembangkan produk-produk yang akan dipasarkan secara global. “Kami mengembangkan kapabilitas di Cina yang dapat kami manfaatkan secara global,” begitu Dick Carpeneter, direktur P&G Technology (Beijing) Ltd.
Tak ketinggalan pemerintahan Cina sendiri. Dalam laporannya ke parlemen Cina pekan lalu, Perdana Menteri Wen Jiabao kembali mencuri perhatian berkaitan kebijakannya soal riset dan pengembangan. Pemerintah, demikian Jiabao akan terus mendorong kemajuan ilmu dan pengetahuan. Tahun lalu, total belanja riset dan pengembangan—tidak termasuk modal asing melalu multinasional—mencapai US$29,4 miliar.
Jumlah itu baru sebesar 1,3 persen dari total Produk Domestik Bruto (PDB) Cina. Bandingkan dengan Amerika Serikat yang sudah menyisikan 2,7 persen dari GDP. Sementara India baru 0,77 persen. Selanjutnya, pemerintan Cina memutuskan untuk meningkatkan menjadi 2 persen di tahun 2010 dan 2,5 persen di tahun 2020.
Begitulah cara Jiabao bergiat untuk menggapai ambisi besar bangsanya di bidang sosial dan ekonomi. “China has entered a stage in its history where it must increase its reliance on scientific and technological advances and innovation to drive social and economic development.”

Masyarakat berpengetahuan

Jiabao sepertinya sadar apa artinya dan seberapa besarnya peran knowledge society. Masyarakat yang oleh Daniel Bell maupun Peter Drucker sebagai pendukung utama keberhasilan modernisasi. Drucker dalam The Age of Discontinuity (1969) menempatkan pengetahuan pada posisi sentral dalam masyarakat. Pengetahuan, kata dia, adalah fondasi utama kegiatan ekonomi dan sosial masyarakat modern.
Sebelum Drucker, Robert E. Lane (1966) pernah memberikan pengertian yang komprehensif tentang masyarakat jenis ini. Mereka adalah orang-orang yang menukik pada pemahaman yang substansial tentang manusia, alam dan masyarakat melalui bimbingan standar-standar yang obyektif. Lalu, kebenaran-kebenaran itu diverifikasi melalui rumusan yang scientifik.
Masyarakat jenis ini—karena selalu terus mencari dan meneliti—memiliki cakupan pengetetahuan yang luas. Dan lebih dari itu, setelah mengumpulkan dan mengorganisasikan pengetahuannya, mereka selalu secara konstan menafsirkan dan mencari relevansinya bagi kemajuan di segala bidang.
Masyarakat jenis ini (knowledge society) tidak harus berbanding lurus dengan masyarakat industri. Untuk masyarakat yang tergesa-gesa mengambil dan menjiplak teknologi dari masayarakat lain—mungkin seperti Indonesia yang pernah giat mengembangkan industri pesawat—bisa saja termasuk dalam masyarakat industri. Tapi, bukan rahasia kalau bangsa ini bukanlah masayarakat yang berpengetahuan. Karena tahyul, mitos dan wangsit masih lebih kuat pengaruhnya dalam menggerakkan dinamika kehidupan.
Tentu saja di Cina pun ilmu pengetahuan belum optimal bekerja. Tapi, yang pasti mereka sedang mengejar impiannya dengan modal yang benar. Siapapun yang menyaksikan kemajuan di di negeri itu, tak bisa tidak menaruh sebuah harapan yang besar. Lee Kuan Yew, tokoh senior Singapura, adalah salah satunya.
Dalam pidatonya pada Global Forum Lunch (1999) dengan judul China - An Economic Giant dia berani meyakini bahwa pada 2050 Cina secara sempurna merampungkan tiga perubahan penting. Yaitu dari ekonomi terencana menjadi ekonomi pasar, dari ekonomi agraris menjadi ekonomi industri, dan dari ekonomi yang sentralistis menjadi perekonomian yang merangkum seluruh wilayah pinggiran.

No comments: