Monday, January 21, 2008

Pasar Modal, antara Demokrasi dan Watak Kolonial

Catatan pada HUT Pasar Modal ke-29


Abraham Runga Mali

JAKARTA: Pada saat merayakan ulang tahun, penelusuran jejak sejarah adalah sebuah kebajikan. Karena pada momentum seperti itu, seseorang harus mundur sejenak untuk refleksi dan introspeksi, sekaligus bisa mengatur langkah untuk menatap masa depan yang lebih cerah.
Begitu pula yang mesti terjadi saat kita merayakan HUT Pasar Modal yang ke-29 kali ini.
Usia 29 tahun pasar modal sebenarnya bukan usia kelahiran. Tapi, hari ketika pasar modal di negeri ini mulai diaktifkan kembali. Untuk itu kita pantas mengenang 29 tahun yang lalu ketika Presiden Soeharto yang pada 10 Agustus 1977 meresmikan pasar modal.
Mari kita camkan lagi peran utama pasar modal seperti yang diharapkan pemerintah saat peresmian itu. Pemimpin Orde Baru itu dengan tegas mengatakan pasar modal diminta untuk menjadi agen pemerataan ekonomi. “….perusahaan-perusahaan diberi kesempatan untuk menjual sahamnya kepada masyarakat, dan masyarakat diberi kesempatan untuk membeli saham-saham tersebut.” Pasar modal, bursa diharapkan menjadi salah satu alat pencapaian demokrasi ekonomi.
Setelah 29 tahun berjalan, layak kita mengajukan pertanyaan bagaimana realisasi peran pasar modal tersebut? Jawabannya adalah masih jauh panggang dari api. Bahkan, masih ada yang bertanya, masihkah peran itu relevan dibicarakan?
Bayangkan bahwa sejak 1977, pasar modal Indonesia berkembang sangat lamban, sekurang-kurangnya dibandingkan dengan bursa di negara tetangga. Hal itu bisa dilihat baik dari sisi supply maupun demand.
Menurut catatan otoritas pasar modal, hingga saat ini baru tercatat 438 emiten yang go public dan 350 di antaranya tercatat di BEJ maupun BES. Bandingkan di Bombay Stock Exchange terdapat 4.756 perusahaan, Tokyo 2.331, Malaysia 1.018 dan Singapura 682 perusahaan.

Tidak demokratis
Padahal potensinya sangat luar biasa. Mari kita lihat jumlah perusahaan di Indonesia saat ini. Berdasarkan data Departemen Perindustrian terdapat 150.000 perusahaan di mana 36.000 di antaranya masuk dalam ketegori industri besar. Itu berarti dari jumlah teesebut, jumlah yang sudah go public baru mencapai 1,2 persen.
Begitu juga dari yang sisi permintaan. Seperti diakui oleh Dirut BEJ Erry Firmansyah, jumlah pemodal lokal di tanah air berkisar antara 300.000 hingga 500. 000. Jumlah itu tentu sangat kecil dibandingkan total penduduk Indonesia yang mencapai 250 juta orang. Perhatikan Malaysia yang pemodalnya sudah mencapai 3 juta orang.
Dengan jumlah pemodal lokal seperti itu, maka tak mengherankan kalau wajah pasar modal kita masih elitis dan tidak menjangkau orang banyak. Pasar modal Indonesia masih teralu sentralistis dan tentu saja tidak demokratis.
Kalau hanya seperti-seperti ini saja, wajah pasar modal Indonesia sekarang tidak lebih baik dari pasar modal di zaman VOC. Memang bursa Batavaia resmi berdiri 14 Desember 1912. Tetapi, menurut catatan resmi, jual beli efek telah berlangsung di wilayah ini sejak 1880. Perusahaan perkebunan yang diketahui mengeluarkan prospektus pertama di Indonesia adalah Cultuurmaatschppij yangmenjual 400 saham dengan harga 500 gulden per saham. Demikian juga ada perusahaan surat kabar yang diterbitkan di Yogjakarta, Het Centrum juga melakukan emisi untuk mendapatkan modal sebesar 105 ribu gulden dengan harga 100 gulden per saham.
Bahkan, jauh lebih maju dari pasar modal sekarang karena ternyata bukan hanya perusahaan Belanda yang mencatatkan sahamnya di sini. Sejumlah multinasional dari AS seperti AFC Industry, American Motors, Anaconda Copper dan Betlehem Steel juga pernah tercatat di sini. Saham yangh disebut terakhir merupakan blue chip di bursa New York yang menjadi masuk dalam perhitungan rata-rata saham untuk indeks Dow Jones.
Jadi sebenarnya jejak pasar modal bisa ditelusuri jauh sebelum Soeharto meresmikan pembukaan kembali pasar modal 29 tahun lalu. Kalau dibanding-bandingkan dengan bursa tetangga, Bursa Batavia misalnya termasuk bursa tertua ketiga setelah Bombay (1930), Hong Kong (1871), dan Tokyo (1878).
Bahkan, jejak pasar modal di Indonesia bisa ditelusuri lebih ke belakang lagi. Bursa tertua di dunia, Amsterdam (Amsterdamse Effektenbeurs) yang berdiri di Dam Square tahun 1611 sudah bersentuhan dengan Indonesia karena wilayah ini merupakan target utamanya. Sebagian besar saham dan obligasi yang tercatat di situ terkait denganpengumpulan dana untuk ekspedisi dan kegiatan kolonialisme di Indonesia.
Kalau semua sudah pernah ada sebelumnya, apa yang masih dibanggakan dari pasar modal saat ini?
Yang paling sering dibangga-banggakan saat ini adalah soal indeks BEJ yang konon bertumbuh paling paling pesat di kawasan Asia Tenggara. Berdasarkan catatan, pada periode 2000 hingga Juli 2006 , indeks BEJ mengalami pertumbuhan 215 persen. Bandingkan pertumbuhan indeks di Thailand (155,7%), Malaysia (36%), Singapura (23%) dan Hong Kong (9%).
Walaupun dalam hal membaca indeks, kita mesti tetap waspada karena hanya sedikit keterkaitannya dengan fundamen perekonomian. Bandingkan kekeliruan Irving Fisher yang salah membaca indeks di Amerika Serikat. Pada 15 Oktober 1912 dia begitu terpukau oleh pertumbuhan indeks yang luar biasa hebat.
Tapi sayangnya, dua minggu kemudian terjadi peritiwa Black Monday (28 Oktober) yang sangat menggemparkan ketika Dow Jones mengalami terjun bebas. Bahkan, peristiwa itulah yang kemudian dikenal sebagai awal kejatuhan ekonomi internasional pada dasawarsa 1930-an.

Sering terpeleset
Para pemimpin dan ekonom di tanah air pun sering terpeleset ketika terlalu gampang mengkaitkan kinerja pembangunan dengan indeks BEJ. Karena kalau disimak, indikator perdagangan BEJ yang terjadi sekarang juga tidak sepenuhnya mengindikasikan sebuah wajah perekomian sehari-hari.
Harga saham, volume perdagangan dan indeksnya kelihatan tinggi, tetapi sebenarnya nilai riil belum tentu lebih baik dari tahun-tahun sebelum krisis. Kalau dulu indeksnya masih di level 500, tetapi saat itu rupiah masih sekitar Rp 2000 untuk satu dolar AS. Sekarang indeks benar di atas seribu, tapi jangan lupa nilai rupiah terhadap dolar sudah melorot hingga Rp 9.000 sampai 10.000. Jadi apa yang mau dikatakan dengan indikator perdagangan di pasar modal yang hingga kemarin mencapai posisi 1413, 10?
Seperti tak peduli dengan substansi pasar modal, kita memang cukup sering mengkaitkan kinerja BEJ dengan kinerja para presidennya. Pada era Habibie dan Gus Dur, para lawan politiknya sering mengkait-kaitkan kinerja mereka yang jelek dengan fluktuasi indeks di bursa.
Pada jaman pemerintahan Megawati dan juga pemerintahan sekarang ini bahkan lebih sensitif lagi dengan turun naiknya indeks. Saking sensitif, beberapa kali mereka perlu menyempatkan diri datang membesuk lantai bursa. Siapa tahu kehadiran mereka bisa menyeret suasana psikologis para pelakunya.
Kendati sering meraup keuntungan politis dari lantai bursa, pemerintah sebenarnya kurang memberi perhatian yang serius soal pasar modal. Pemerintah tidak pernah serius mengajak masyarakat untuk berpartisipasi dan memanfaatkan pasar modal. Padahal sebagian dari mereka adalah pengusung paham ekonomi neoliberal yang sangat memberi prioritas pada ekonomi finansial yang virtual itu daripada ekonomi riil.
Pada paham yang sangat memberi perhatian pada privatisasi, liberalisasi perdagangan, dan reduksi manfaat kemakmuran negara seperti itu, pengembangan ekonomi sejalan dengan mempertegas distingsi antara ekonomi sektor virtual dan ekonomi sektor riil dan memberi prioritas pada yang pertama. Tekanan pada proses ekonomi diberikan pada transaksi uang ketimbang produksi barang dan jasa.
Ada pemikiran yang berkembang di kalangan neoliberal bahwa berkembangnya pasar modal dan finansial—yang didukung oleh revolusi teknologi informasi—pada gilirannya akan memberi manfaat langsung pada sektor riil. Perputaran uang pada transaksi-transaksi derivatif dipikirkan akan menopang kegiatan di sektor riil seperti membangun pabrik dan pendistribusian hasil-hasilnya.
Mudah-mudahan saja demikian. Tapi, mari kita menunggu realisasinya dengan sebuah rasa curiga. Karena ternyata hubungannya tidak persis demikian. Hasil penelitian dua ekonom Perancis, Gerald Dumenil dan Dominique dalam Capital Resurgent,Roots of the Neoliberal Revelolution (2004) memperlihatkan hasil yang mencemaskan. Karena ternyata manfaat perputaran uang di tingkat virtual sangat mimim bagi perkembangan di sektor riil. Keuangan seakan mendanai diri sendiri, tapi tak pernah mendanai investasi.
Makanya tak perlu diherankan kalau kendati indeks di pasar modal kelihatan tumbuh gagah erkasa, tapi sektor riil tetap merayap penuh susah payah.

No comments: