Thursday, January 31, 2008

In God We Trust

Abraham Runga Mali

Seorang pertapa Budha, Vidya, melintasi pinggir kota Bangkok. Dia harus menjalani askese dengan menjadi pengemis di penggiran kota itu. Mengemis supaya bisa makan dan minum secukupnya seturut aturan Vihara..
Latihan hidup seperti itu pada awalnya tidak mudah dihayati. Apalagi, Vidya sudah terbiasa memiliki cukup uang. Maklum, dia pernah menjadi direktur di sebuah bank swasta di kota tersebut.
Menjadi tidak punya uang dan menggelandang tentu tidak mudah bagi Vidya. Karena itu, kendati harus terus mengosongkan dirinya dari segala macam persoalan, pertanyaan soal uang terus menghantui dirinya. Suatu ketika dia menemui gurunya dan menanyakan makna latihan laku tapa itu.
“Uang bukan segalanya-segalanya dalam hidupmu. Tinggalkan itu dan kosongkanlah dirimu,” begitu gurunya berpesan.
Kita bukan pertapa seperti Vidya. Tetapi, kemampuan memperlakukan uang secara bijak tidak hanya milik Vidya. Kita juga. Dan pasti juga tidak mudah. Apalagi pada jaman yang kental dengan semangat kapitalis-materialis.
Karena kesibukan mencari uang, kita sering kehabisan tenaga dan waktu untuk mempersoalkan sikap kita terhadap uang. Padahal, yang terakhir ini bisa saja lebih menentukan kualitas hidup seseroang.
Dalam ilmu spiritualitas dikenal dengan disposisi bathin, kesiapan hati dalam menyikapi realitas, termasuk terhadap uang. Soal kecondongan bathin dan cara pandang kita tentang uang. Kalau terlalu terpaut, uang malah meracuni. Itulah sebabnya, banyaknya uang dan ketepatan dalam mengaturkan keuangan tidak bebanding lurus dengan kebahagiaan.
Apakah kita lalu harus memuja kemiskinan dan penderitaaan. Tentu tidak. Karena kemiskinan dan penderitaan pun sering kali menjadi alasan yang kuat bagi seorang untuk mengutuki Tuhan dan membenci sesamanya.
Tentu lain hasilnya, kalau penderitaan hidup dan kemiskinan mendorong Anda untuk berpasarah pada Tuhan, membuka diri dan menjalin kerja sama dengan sesamanya. Orang-orang beragama menganut pandangan ini.
Konon, menurut pengalaman dan ajaran guru-guru agama, di sinilah letak kebahagiaan. Manusia menjadi tahu diri, dari mana asalnya dan ke mana perginya. Dia lalu paham bahwa hidupnya adalah sebuah ziarah bersama dengan yang lain menuju Penciptanya.
Kendati demikian, pendapat kaum spiritualis dan agamawan ini tidak bebas dari oposisi. Banyak pemikir yang tidak sepaham dengan pendapat ini. Salah satunya adalah Frederick Nietsche.
Menurut dia, orang-orang yang sering terus berpasrah itu bermental budak. Mereka tidak memiliki vitalitas yang bisa menentukan hidupnya sendiri, tanpa campur tangan otoritas lain, termasuk Tuhan. Memang Tuhan itu sudah mati, kata dia. Kehendak, otonomi diri, itu paling penting. Jadi, berjuang dan atur dirimu baik-baik, demikian pesan sang filsuf. Tak perlu ada otoritas ilahi yang mengatur langkahmu.
Kita sering tidak sepakat dengan Nietsche. Tapi terkadang, watak kita lebih keras dari sang filsuf ini. Hanya saja mungkin kita malu-malu berteriak bahwa Tuhan sudah mati. Tapi, dalam kenyataan, kita meminggirkan peran Tuhan. Penggantinya adalah Uang. Uang menjadi ‘sebab’ dan ‘tujuan’ dari segala tingkah laku dan perbuatan kita. Uang berbicara, uang menyelenggarakan semuanya. Kita telah ‘menuhankan’ dia. Kita adalah pengabdinya yang setia.
Sebagai orang yang mengakui beriman, bathin pun bergulat. Maklum, kita tidak bisa mengabdi pada dua tuan. Harus memilih, Tuhan atau Uang. Pasti Tuhan, demikian pilihan orang beriman. Itu lihat cucu-cucunya Lincoln di Amerika Serikat. Sebagai bukti keyakinannya kepada Tuhan, mereka tulis “In God We Trust” dalam mata uangnya.
Asal saja tolong diingat kalau itu bukan solusi. Pegulatan bathin jalan terus. Setiap kali, setiap hari. Anda tetap masih harus memililih dan bersikap. Semoga Anda berada pada jalan yang benar!.

No comments: