Monday, January 21, 2008

Mitos Pasar Modal

Abraham Runga Mali

Tulisan ini dibuat pada pembukaan perdagangan di bursa pada awal tahun 2006.

Bursa Efek Jakarta memasuki tahun 2006 dengan perasaan suka cita. Gimana tidak? Pada pembukaan perdagangan hadirlah sejumlah pejabat negara. Tak kurang Wapres Jusuf Kalla hadir di sana. Tak ketinggalan tentu saja Menkeu dan Ketua Bapepam yang memang pekerjaannya terkait dengan kinerja pasar modal.
Kalau ditanya, untuk apa para pejabat itu mampir di lantai bursa? Tak lain adalah sebuah dukungan dan harapan agar indeks BEJ mendapatkan sentimen positif. Entah kebetulan atau tidak, indeks bursa pada hari itu dan hari-hari sesudahnya—bahkan hingga saat ini-- mencatat kinerja yang sangat meyakinkan.
Kalau pada hari pertama perdagangan naik, itu lumrah. Tanpa kehadiran para pejabat pun biasanya memang demikian. Di bursa ada istilah January Effect (pengaruh Januari), yaitu mementum positif bagi perdagangan di lantai bursa.
Tapi efek ini tak ada sangkut pautnya dengan kinerja fundamental saham-saham yang tercatat di sana. Dan biasanya, itu sudah dimulai pada hari-hari terkahir Desember hingga pada hari keempat perdagangan.
Ada banyak teori yang menjelaskan tentang January Effec ini. Tapi biasanya karena alasan berikut ini. Pada saat itu, banyak orang yang menjual saham dengan berbagai alasan seperti untuk mempercantik data portepel, perubahan kebijakan portofolio atau untuk penambahan dana tunai untuk liburan, yaitu liburan Natal dan Tahun Baru. Tentu saja para pemburu saham-saham murah benar-benar memafaatkan momentum ini. Banyaknya permintaan inilah yang kemudian mendongkrak harga saham.
Tapi, alasan Pengaruh Januari itu kemudian tidak bisa menjelaskan seluruh kenaikan indeks saham yang hingga pekan pertama bulan ini ternyata sudah menembus level 1.222,250. Konon, karena makin banyak aliran modal asing yang sudah mulai menaruh harapan pada prospek perkonomian negara ini.

Kelanjutan
Kinerja bursa yang positif ini seakan melanjutkan kinerja tahun sebelumnya. Pada tahun 2005 laju pertumbuhan kinerja BEJ dinilai paling bagus di antara bursa dunia. BEJ berada di peringkat pertama dengan pertumbuhan indeks selama setahun sebesar 16,39 persen, yaitu dari 1.000,23 menjadi 1.162,625.
Hanya sekedar mengingatkan, mestinya kita tidak perlu terlalu terpukau dengan puji-pujian yang didasarkan indikator-indikator keuangan. Masih ingatkah kita ketika menjelang krisis 1997, lembaga keuangan dan investasi dunia masih saja mengatakan bahwa perekomian negara ini masih sehat-sehat saja.
Tapi, kenyataan berbicara lain. Perkonomian Indonesia yang riil saat itu sebenarnya sudah sangat rentan. Sehingga ketika para spekulan memainkan pasar, bursa dan mata uangnya mudah terkena. Dan tentu saja kemudian berantakan. Itu pertanda bahwa indikator finansial tidak secara penuh menggambarkan kondisi perekonomian ang sebenarnya.
Tentu saja dengan indikator perdagangan BEJ yang terjadi sekarang juga tidak sepenuhnya mengindikasikan sebuah wajah perekomian sehari-hari. Apalagi tingginya indeks harus dilihat dalam konteks murahnya nilai rupiah dibandingkan dengan yang terjadi sebelum krisis.
Harga saham, volume perdagangan dan indeksnya kelihatan tinggi, tetapi sebenarnya nilai riil belum tentu lebih baik dari tahun-tahun sebelum krisis. Kalau dulu indeksnya masih di level 500, tetapi saat itu rupiah masih sekitar Rp 2000 untuk satu dolar AS. Sekarang indeks benar di atas seribu, tapi jangan lupa nilai rupiah terhadap dolar sudah melorot hingga Rp 9.000 sampai 10.000. Jadi apa yang mau dikatakan dengan indikator perdagangan di pasar modal?
Seperti tak peduli dengan substansi pasar modal, pada era reformasi kita memang cukup sering mengkaitkan kinerja BEJ dengan kinerja para presiden. Pada era Habibie dan Gus Dur, para lawan politiknya sering mengkait-kaitkan kinerja mereka dengan fluktuasi indeks di bursa.
Pada jaman pemerintahan Megawati dan juga pemerintahan sekarang ini bahkan lebih sensitif lagi dengan turun naiknya indeks. Saking sensitif, mereka perlu menyempatkan diri datang membesuk lantai bursa. Siapa tahu kehadiran mereka bisa menyeret suasana psikologis para pelakunya.
Kendati sering meraup keuntungan politis dari lantai bursa, pemerintah sebenarnya tidak memberi perhatian yang serius soal pasar modal. Buktinya dari satu dasa warsa yang lalu jumla pemoda lokal masih begitu-begitu saja. Konon tidak lebih dari 100.000. Sementara masih belum banyak pengusaha yang memanfaatkan penggalian dana dari pasar modal.
Itu artinya pemerintah tidak pernah serius mengajak masyarakat untuk terlibat dan memanfaatkan pasar modal. Pekerjaan mensosialisasi bursa hanya dibiarkan kepada para pelaku industri keuangan. Mestinya, kalau pemerintah serius berkampanye---seperti mereka melakukan kampanye Keluarga Berencana (KB)—akan semakin banyak masyarakat dan pengusaha yang terlibat di sana. Kalau itu terjadi bursa akan benar-benar makin berkembang.
Untuk soal ini, pemerintah RI tak perlu malu belajar dari kolonial Belanda. Waktu itu Oost indische Compagnie (VOC) sudah memanfaatkan kegiatan pasar modal. Menurut catatan sejarah, kendati institusi bursa baru didirikan 1912, tapi kegiatan jual beli saham sudah mulai dilangsung sejak 1880.
Pada jaman VOC, sejumlah perusahaan sudah dicatatkan di bursa luar negeri. Banyak apotik dan perkebunanan yang mencari pendanaan dengan menerbitkan surat utang (bond). Tak ketinggalan sebuah surat kabar dari Jogjakarta, Het Centrum, pada 1896 mengeluarkan prospektus penjualan saham senilai 105 ribu gulden dengan harga 100 gulden per saham.
Kendati terlambat mudah-mudahan keseriusan pemerintah untuk mengoptimalkan pasar finansial, termasuk bursa diharapkan kian membesar. Sehingga mereka tidak hanya sekadar berselancar di atas fluktuasi indeks, tetapi benar-benar membangun bursa untuk mendanai pembangunan negara ini.
Pemerintah harus berambisi agar bursa harus makin ramai. Dan bursa hanya bisa ramai kalau makin banyak perusahaan yang mencatatkan saham (listing) dan makin banyak pula pemodal—lokal maupun asing-- yang menikmati gain dari sana. Dengan demikian main banyak uang yang beredar yang kemudian pada gilirannya bisa mendanai pembangunan.
Melihat frekuensi kunjungan ke lantai bursa dan keseringan mengkait-kaitkan kinerja indeks dan kinerja pemerintah, mestinya mereka paham betul manfaat merangkul paham ekonomi neoliberal yang sangat memberi prioritas pada ekonomi finansial yang virtual itu daripada ekonomi riil.
Pada paham yang sangat memberi perhatian pada privatisasi, liberalissi perdagangan, dan reduksi manfaat kemakmuran negara, pengembangan ekonomi sejalan dengan mempertegas distingsi antara ekonomi sektor virtual dan ekonomi sektor riil dan memberi prioritas pada yang pertama. Tekanan pada proses ekonomi diberikan pada tranaksi uang ketimbang produksi barang dan jasa.
Ada pemikiran yang berkembang di kalangan neoliberal bahwa berkembangnya pasar finansial—yang didukung oleh revolusi teknologi informasi—pada gilirannya akan memberi manfaat langsung pada sektor riil. Perputaran uang pada transaksi-transaksi derivatif dipikirkan akan menopang kegiatan di sektor riil seperti membangun pabrik dan pendistribusian hasil-hasilnya.
Tapi ternyata hubungan tidak persis demikian. Hasil penelitian dua ekonom Perancis, Gerald Dumenil dan Dominique dalam Capital Resurgent,Roots of the Neoliberal Revelolution (2004) memperlihatkan hasil yang mencemaskan. Karena ternyata manfaat perputaran uang di tingkat virtual sangat mimim bagi perkembangan di sektor riil. Keuangan seakan mendanai diri sendiri, tapi tak pernah mendanai investasi.
Makanya tak perlu diherankan kalau kendati indeks di pasar modal kelihatan tumbuh gagah erkasa, tapi sektor riil tetap merayap penuh susah payah.
Manfaat pasar modal bagi kesejahteraan menjadi seperti mitos. Persoalan pengangguran tak bisa dipecahkan dengan kenaikan indeks dan membesarnya kapitalisasi bursa. Dan perlu dicurigai kalau para pejabat kita terlu berkoar-koar soal kenaikan indeks saham di terngah pengnguran dan kemiskinan.

No comments: