Tuesday, January 15, 2008

Selamat Jalan Mgr Darius Nggawa

Abraham Runga Mali

Hari Rabu siang, 9 Januari, berita itu datang. Mgr Darius Nggawa meningal dunia. Ada sejumlah pesan singkat dan telpon yang masuk dari Flores dan Jakarta yang bercerita tentang kepergian Mgr Darius untuk selamanya.

Tentu saja berita itu sedikit menghentak. Karena, tepat menjelang akhir tahun lalu, ketika kumpul-kumpul keluarga, saudaraku Maxi Ali bercerita bahwa monsinyiur sudah meninggal pada Juli yang lalu, tepatnya pada 3 Juli di Rumah Sakit Elisabth, Lela.

Dia membaca berita itu dalam sebuah petikan di internet. Seketika saya coba berselancar ke dunia maya dan memang menemukan ada berita itu di sana.

Karena merasa sudah sangat ketinggalan, saya pun enggan mencari kepastian dari kampung halaman. Sudah basi. Apalagi, saya pikir, tak mungkin ada orang iseng dengan kematian seseorang. Apalagi kematian seorang uskup.

Tapi, sudahlah kekeliruan itu sangat biasa. Bukankah berita yang berseliweran di dunia maya memang banyak informasi sampah yang susah diklarifikasi dari mana sumbernya dan bagaimana validitas atau kebenarannya. Dengan cara berpikir positif, saya berandai-andai: boleh jadi si pembuat berita tertukar dengan informasi kematian seorang pastor, keponakan Mgr Darius, yang juga bernama Nggawa.

Sekadar untuk memastikan berita Rabu lalu, saya coba coba cek E Mirifica News. Pengumuman oleh Pater Amatus Woi SVD yang diposting pada jam 12:33 dari Ende tenyata sudah memberitakan kepergian Mgr Darius.Lengkap dengan jadwal Misa Requiem di Seminari Tinggi Ledalero, pemberangkatan jenasah dan pemakaman di Larantuka, Minggu 13 Januari 2008.

Terakhir bertemu Mgr Darius sekitar lima tahun lalu di Biara SVD Sankt Agustin, Jerman. Seperti biasa, banyak uskup SVD dari Flores yang sedang berpergian ke Roma atau Eropa, mampir di biara ini. Maklum, biara ini adalah salah satu dari biara induk mereka.

Selain bercerita banyak tentang keadaan gereja lokal di Flores, beliau sempat bercerita tentang keluarganya, orang-orang Pora-Nelu, atau turunan Pora yang ada di Ende dan Maumere. Sebagian dari mereka saya kenal, sebagian yang lain tidak.

Kepada saya, selain bertanya tentang kondisi keluarga, pekerjaan dan sekolah, ada dua pesan yang masih saya ingat hingga saat ini. Pertama, dia berpesan, agar seorang saudara yang mantan pastor untuk segera mengurus proses laitisasi, izin untuk dibebaskan dari tugas imamat dari Paus di Vatikan. Tak ada nada marah atau emosi penyesalan ketika dia berbicara soal itu. “Itu harus diurus, biar dia tidak terlalu lama tinggal dalam dosa,” kata monsinyiur.

Yang lebih mengejutkan adalah pesan kedua. “Kamu harus lebih banyak berdoa untuk kakek moyang kalian. Dia itu suanggi besar.” Sebelum dia melanjutkan pembicaraan, datang tamu-tamu lain sehingga tema pembicaraan segera beralih.

Kendati agak terkejut dengan sebutan suanggi besar, saya langgung paham tokoh yang dimaksudkan monsinyiur adalah Sela Wolo, salah satu tua adat di kampung Pora yang hidup pada dekade awal tahun 900-an. Pemangku rumah adat Seda Mosa di kampung Pora itu adalah paman Monsinyiur Darius.

Dari ‘suanggi besar’ inilah lahir nenek Sofia Sea. Dialah puteri tunggal Sela Wolo yang kemudian dinikahi pemuda Keo, dari kawasan Riti Tonggo. Konon, pernikahan kurang direstui karena sang puteri tunggal itu harus meninggalkan kampung Pora dan rumah Seda Mosa.

Bagi Nenek Sea, yang tidak punyak saudara sekandung, Mgr Darius adalah saudaranya. Maka ketika kami cucu-cucunya bercita-cita menjadi imam dan masuk seminari menengah di Mataloko, dia selalu mendesak agar tak alpa menulis surat kepada monsinyiur untuk meminta doa dan berkat. Di tengah kesibukan menggembalakan umatnya di Flores Timur, monsinyiur selalu bersedia membalas surat-surat kami.

Tentang ayahnya, kakek moyang Sela Wolo, nenek Sea selalu menggambarkan sebagai seorang mosalaki yang sakti dan pemberani. Konon, Sela Wolo leluasa melepaskan busurnya ke piaraan tetanganya kalau naluri memakan dagingnya kambuh.

Menjadi pemberani di Flores pada jaman itu, selain punya status adat tertentu, tapi juga memiliki ‘energi’ ekstra yang membuat dia ditakuti, disegani dan seterusnya sehingga terkadang memang menjadi feodal dan sewenang-wenang.

Energi yang berdampak negatif itu memang merugikan banyak orang. Barangkali dalam konteks itulah Mgr Darius memberikan julukan ‘suanggi besar’ untuk pamannya sendiri. Sebagai sejarawan dan teolog, Mgr Darius tentu paham bahwa menyebut orang lain dengan julukan ‘suanggi besar’ tentu tidak sesuai dengan semangat Injil.

Tapi, rupanya Mgr Darius yakin bahwa julukan tersebut punya latar belakang sosio-historis yang kuat. Sebagaimana diketahui, masyarakat adat Flores secara turun-temurun biasa mengambinghitamkan seseorang dan mempersonifikasi energi negatif atau daya desktruktif yang diperankannya dengan istilah ‘suanggi’. RenĂ© Girard: Violence and the Sacred (1977).

Lagi pula dalam Kitab Suci tak jarang disebutkan bahwa manusia yang hidup dalam pengaruh roh kegelapan, kekuatan yang merusak, disebut sebagai ‘anak setan’. (Bdk.1 John 3:12, 8; Mat. 3:7; 23:33). Jadi ‘suanggi’ cukup tepat untuk menggambarkan energi dan perilaku yang bertentangan dengan energi kasih Ilahi yang konstruktif, daya pembaharu dari Allah, yaitu Roh Kudus.)

Berbeda dengan pamannya Sela Wolo, Mgr Darius justru memiliki energi kasih yang besar. Ia teguh, tekun dan setia dalam menjalankan tugasnya sebagai uskup, gembala umat Larantuka hingga akhir hidupnya.

Saya yakin atas nama kasih itu pula, Mgr Darius pasti berdoa lebih banyak dari saya dan mungkin cucu-cucu yang lain bagi keselamatan kakek Sela Wolo. Mgr Darius, selamat jalan ke Rumah Bapak di Surga. Doa kami, kiranya karena cinta dan kerahiman Tuhan, ‘Suanggi Besar’ itu, juga ‘suanggi-suanggi kecil’ lainnya, telah berkumpul dan mendahului monsinyiur di sana. ***

No comments: