Tuesday, January 22, 2008

Solon telah Tiada

Solon telah tiada

Kalau rajin membuka-buka lembaran sejarah, kebiasaan berutang itu sudah lama dikenal manusia. Pada saat itu yang dipinjam adalah barang bukan uang. Kalau seseorang tak bisa mengembalikan barang pinjaman, masyarakat membenarkan kalau mereka ditangkap dan dijadikan budak belian oleh pemberi utang.

Itulah sebabnya pada jaman lampau orang sangat takut berutang. Karena kalau sudah menjadi hamba sahaya lantaran utang, tak mudah mereka dibebaskan. Maka berbahagialah warga Athena 594 tahun sebelum Masehi. Saat itu ada seorang pemimpin kota yang bernama Solon. Dialah yang menurut catatan sejarah sebagai pemimpin bijak dan baik budi pertama yang pernah membebaskan semua utang warganya.

Lebih kompleks

Tapi, Solon tak setiap saat datang. Karena itu daripada mendambakan pembebasan, lebih bijak kalau Anda mempersenjatai diri dengan ketrampilan mengelola uang. Dan tuntutan untuk mengelola keuangan kian mendesak mengingat 'meminjam uang' di jaman ini jauh lebih kompleks persoalannya.

Karena uang adalah komoditas yang diperjualbelikan, maka biasanya pemilik uang mengharapkan keuntungan dari kegiatan pinjam meminjam tersebut. Makanya faktor tinggi rendahnya bunga dan inflasi menjadi sangat penting. Minimal 'future value of money' (nilai uang nanti, di saat pembayaran) sama dengan 'present value of money' (nilai uang saat berutang). Dengan demikian baik peminjam maupun pengutang sama-sama tidak dirugikan.

Tapi, sampai di sini saja persoalan belum terlalu berbahaya. Karena Anda masih bisa membuat kalkulasi yang matang. Artinya kalau mau berutang, Anda harus berhitung apakah Anda bisa membayar saat jatuh tempo atau tidak.

Dan supaya berutang itu tidak mencelakakan, tinggal dihitung apakah sebagai orang yang berutang Anda bisa membayar utang tersebut. Tentu saja sekalian dengan bunganya. Bahkan, bukan sekadar bisa mengembalikan utang dan cicilan bunga, tetapi juga bisa mendapatkan keuntungan setelah uang yang berasal dari utang tersebut bisa dikembangbiakkan melalui aktivitas bisnis sehingga mendapatkan marjin. Para penasihat keuangan menyebutnya sebagai utang produktif.

Tapi, persoalan utama bukan di situ. Karena kalau hanya urusan berutang secara produktif, Anda dengan mudah meminta bantuan penasihat investasi atau perencana keuangan. Sekali mereka memberi nasihat dan nasihat itu diikuti, selesailah persoalannya.

Lain lagi urusan kalau Anda terjebak pada apa yang disebut 'budaya utang'. Disebut budaya karena untuk sebagian masyarakat utang sudah menjadi sebuah kebiasaan sosial yang mendarah daging yang bisa dijadikan pola hidup yang ajeg.

Kultur utang ini tidak lagi hanya menyerang perencanaan keuangan Anda, tetapi juga [ini yang lebih membahayakan] melumpuhkan rasionalitas Anda.

Bahaya kultur utang

Dan asal tahu saja ancaman bahaya kultur utang bukan lagi hanya sekadar wacana. Dia terbukti sudah mulai menggerogoti masyarakat di negara maju. Mari kita ikuti laporan Julian Knight, reporter perencanaan keuangan di BBC News Online. Dalam tulisannya How Debt Culture Took Root pertengahan Juli 2004, dia mengatakan saat ini masyarakat Inggris sangat mengandalkan utang untuk mencapai kemakmuran.

Beda, kata dia, dengan satu generasi yang lalu. Pada saat itu, jelas Julian, ketika meminjam, seseorang mendapatkan stigma sosial yang berat. Karena dengan berutang orang tersebut memproklamirkan kepada publik bahwa dia hidup dengan sesuatu yang tidak dimilikinya. Pada masyarakat yang sangat menghargai etos kerja, kejujuran dan harga diri, hidup dengan berutang seperti itu memang sangat memalukan.

Tapi itu dulu dan tentu saja berbeda dengan yang terjadi saat ini. Julian mencatat bahwa total utang pribadi orang Inggris saat ini mencapai satu triliun poundsterling. Jumlah yang sangat besar. Konon jumlah ini hampir sebanding dengan total produk nasional bruto dari 155 negara miskin dunia. Dan utang terbesar adalah untuk urusan rumah dan kartu kredit. Berdasarkan catatan Julian, utang untuk rumah mencapai 80 persen dari jumlah satu triliun tersebut.

Mengundang kritik

Tak kurang keluhan serupa juga datang dari Amerika Serikat. Kerisauaan terhadap meningkatnya utang di sana mengundang kritik yang tajam dari seorang profesor ekonomi Rick Woff. Dalam artikelnya Personal Debt and US Capitalism, dia mengatakan kemampuan dan peluang berutang masyarakat AS harus segera dihentikan.

Kritik itu tentu tidak mengada-ada. Karena jumlah utang di sana meningkat sangat tajam. Kalau tahun 1974 Federal Reserve mencatat utang untuk properti melalui mortgage (hipotek) dan konsumsi hanya US$627 miliar, maka tahun 2004 jumlahnya sudah menumpuk menjadi US$9,709 triliun.

Dia mengatakan ketika suku bunga sangat rendah dan institusi keuangan berkompetisi memberikan kredit, banyak orang berlomba-lomba ingin mewujudkan impian untuk memiliki rumah dan apartemen.

Mungkin karena posisinya sebagai seorang yang anti kapitalisme, Woff yang pernah menulis buku Class Theory and History: Capitalism and Communism in the U.S.S.R itu menuduh sistem kapitalisme berada di balik kebiasaan buruk itu. Karena itu dia mengatakan sistem kapitalisme telah membawa bangsa AS ke tepi jurang yang dalam. Makanya, lanjut dia, tak ada cara lain selain harus segera ditemukan sistem yang lebih baik.

Mungkin peringatan akan bahaya utang itu kelihatan berlebihan. Tapi begitulah kenyataannya. Sistem perekonomian telah mengubah mentalitas manusia. Masyarakat menjadi tidak rasional dalam berbelanja.

Dalam bahasa kritikus sosial seperti Hebert Marcuse, masyarakat yang kehilangan daya nalar dalam belanja dan berutang seperti itu adalah 'manusia dengan dimensi' (one dimensional man). Alam bawah sadar mereka direcoki industri untuk terus berkonsumsi melalui rayuan iklan yang datang bertubi-tubi.

Pada masayarakat yang sudah mengenakan kacamata kuda dalam berbelanja dan berkonsumsi seperti itu, anjuran perencana keuangan agar seseorang bisa membedakan mana kebutuhan dan mana keinginan menjadi tak bertuah. Soalnya batas antara keinginan dan kebutuhan menjadi tak jelas.

Kebutuhan seringkali bukan lagi pengalaman pribadi, tapi lebih merupakan hasil ciptaan produsen dan industri. Belum lagi ditopang institusi keuangan yang memudahkah konsumen dalam memuaskan keinginan dan pemenuhan semua kebutuhan.

Lalu, bagaimana Anda harus bersikap? Anda sekarang yang harus menentukan, mana yang benar-benar Anda butuhkan, dan atas cara bagaimana pola konsumsi dan kebiasaaan hidup Anda dijalankan. 'Utang' selalu menggoda Anda, tetapi ingat Solon telah tiada.

No comments: