Thursday, January 31, 2008

BEJ di Tengah Pertarungan Dana Global

Abraham Runga Mali

Tulisan ini dibuat pada 13 Januari 2004, saat Bursa Efek Jakarta membukukan kinerja yang mantap.

Pada penutupan perdagangan akhir pekan lalu bursa mencatat kinerja yang menakjubkan. IHSG (Indeks harga saham gabungan) di Bursa Efek Jakarta bertengger di posisi tertinggi dalam sejarah pasar modal Indonesia, yaitu 753,69. Berbagai spekulasi merebak untuk mencari faktor pemicu paling signifikan yang mendongkrak bursa ke tingkat yang sangat meyakinkan.
Sejak perdagangan dibuka awal tahun, indeks sudah memperlihatkan kinerja yang bagus, sudah menyentuh posisi 725,47, yang merupakan angka tertinggi sejak 1999. Kebetulah saat itu perdagangan dibuka oleh Presiden Megawati Soekarnoputri. Seolah-olah faktor kunjungan politis juga turut meransang kinerja bursa.

Memang pada saat kunjungan itu, sejumlah petinggi perusahaan BUMN yang sudah go public yang menyertai kunjungan Presiden berkesempatan menyampaikan proyeksi kinerja perusahaan yang prospektif. Misalnya Telkom, Indosat dan sejumlah perusahaan blue chips lainnya. Serta-merta transaksi di sejumlah perusahaan itu memicu kenaikan indeks.

Sebenarnya sejak 2003 BEJ sudah memperlihatkan kinerja yang memuaskan, dengan meroketnya IHSG sebesar 62,82% dari posisi 424,94 pada penutupan perdagangan akhir 2002 menjadi 691,90 pada penutupan pasar akhir 2003. Itu berarti Presiden hanya memanfaatkan momentum untuk mendongkrak kinerja pribadinya yang sebenarnya belum memperlihatkan hasil yang optimal.

Karena kendati kondisi makro ekonomi Indonesia cukup memuaskan, hal itu tidak mencerminkan realitas perekonomian secara keseluruhan. Meskipun target pertumbuhan ekonomi mencapai 4,8% dan inflasi berhasil ditekan sebesar 6,5%, angka pengangguran dan target ekspor serta realisasi investasi belumlah memuaskan.

Faktor global

Untuk memahami kinerja BEJ, argumentasi lain yang harus dikemukakan adalah kinerja bursa global dan regional. Bursa Indonesia sebagai emerging market mendapat suntikan yang luar biasa dari situasi regional dan global. Dalam konteks ini, peran fund manager asing tak bisa diremehkan.

Kalau pelaku pasar Indonesia jeli, sebenarnya sejak 2003 aliran dana (capital flow) ke sejumlah bursa negara berkembang sudah dimulai. Tidak kurang Anne O. Krueger, direktur IMF, pada akhir November tahun lalu sudah memperkirakan hal tersebut. Hal itu terungkap dalam pidatonya pada 20 November dengan judul Maintaining the Miomementum: Emerging Market Policy Reform in 2004.

Menurut dia, tingkat pertumbuhan global yang dilansir pada September 2003 mengalami kenaikan 3,25%, kemungkinan akan naik menjadi 4% pada 2004. Seperti yang ditulis Financial Times, 5 Januari 2004, kawasan yang menjadi dinamo bagi pertumbuhan ekonomi tersebut tidak lain adalah Asia Timur, terutama Cina, Korea Selatan dan Taiwan.

Dua negara besar, yaitu Jepang dan Amerika Serikat (AS) yang berada dalam satu kawasan Asia Pasifik bersama Cina akan memberi dukungan yang sangat besar. Apalagi, pertumbuhan ekonomi dua negara itu membaik dibandingkan periode sebelumnya.

Asia Tenggara, tulis John Edward, tentu mendapat imbas positif. Karena kompetisi perekonomian Jepang dan Cina akan mencari mitra strategis di kawasan terdekat yang juga sangat potensial. Itulah sebabnya Jepang sangat bersemangat mengusahakan perjanjian perdagangan dengan Korea Selatan, Thailand, Malaysia dan Filipina setelah melakukan perjanjian Free Trade dengan Singapura. Sementara Cina yang telah melakukannya dengan Thailand akan melakukan hal serupa dengan sejumlah negara Asia Tenggara lainnya.

Perkembangan ekonomi di kawasan itu akan menarik aliran dana global ke sejumlah kawasan. Karen itu, tidaklah mengherankan jika harga saham di bursa Asia menguat sehingga menggangkat indeks MSCI Asia-Pasifik. Indeks Morgan Stanley Capital Internasional (MSCI) Asia Pasifik pada 2003 menguat 38% menjadi 89,01.

Realitas itulah yang meyakinkan Steven Koh, ahli strategi ekuitas Asia di Standard and Poor's, bahwa bursa di kawasan Asia akan bertumbuh 15% hingga 20% pada 2004. Hal itu, jelasnya, terutama dipacu oleh kinerja pasar Hong Kong, Indonesia, Korea Selatan dan Malaysia. Realitas perekonomian di kawasan tersebut seakan mengabaikan berbagai isu negatif seperti serangan teroris, SARS maupun persaingan dagang antara Cina dan AS.

Secara global, menurut perhitungan Institute International Finance, Inc, aliran dana (net private capital flows) ke emerging market telah meningkat dari US$121 miliar pada 2002 menjadi US$162 miliar pada 2003. Angka ini diperkirakan akan meningkat menjadi US$186 miliar pada tahun ini seiring membaiknya perekonomian sejumlah negara utama, termasuk AS.

Khusus untuk investasi portofolio (net portfolio equity) yang masuk ke pasar negara berkembang pada tahun lalu mencapai US$13 miliar. Sementara pada 2002 justru terjadi aliran dana ke luar sebesar US$1 miliar. Pada 2004 aliran dana portofolio yang masuk diperkirakan US$17 miliar.

Sedangkan untuk pasar Asia Pasifik, dana aliran portofolio ini mencapai US$11 miliar pada 2003, atau naik dibandingkan 2002 yang hanya US$2,6 miliar. Pada tahun ini jumlahnya diprediksi mencapai US$13,3 miliar, di mana Cina dan Korea akan menyerap sekitar US$10 miliar. Cina juga menyerap 85% dari total nilai investasi langsung sebesar US$60 miliar pada 2003.

Faktor pemilu

Melihat aliran dana global tersebut, amat disayangkan kalau kita tidak mengambil bagian untuk mendapat keuntungan yang optimal. Dana yang masuk tersebut tentu akan diperebutkan oleh sejumlah pasar modal di dunia. Karena itu perlu diwaspadai agar peristiwa pemilu nanti tidak menjadi faktor negatif yang akan merecoki para investor global.

Kunjungan Presiden Megawati Soekarnoputri pada awal tahun ini seharusnya menjadi ajakan yang bagus untuk semua politisi dan petinggi di negara ini agar bahu-membahu menjadikan Pemilu sebagai momentum yang tepat untuk meningkatkan citra bangsa ini sebagai negara yang benar-benar demokratis dan bebas dari KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme). Negara yang demokratis dengan tingkat kepastian hukum dan politik yang tinggi merupakan jaminan bagi sebuah investasi.

Bahkan lebih dari itu, untuk jangka panjang, para politisi dan pemimpin negara perlu segera menciptakan pasar modal agar lebih memberi manfaat kepada lebih banyak orang di Indonesia. Pasar modal tidak sekadar alat untuk mencari dana global dan kemudian memberi pendanaan pada sejumlah perusahaan dan mencetak gain kepada investor asing serta segelintir orang di Jakarta.

Karena itu, selain berkepentingan menciptakan pasar yang likuid dan transparan, pemerintahan hasil Pemilu 2004 harus ikut mempromosikan pasar modal. Dengan demikian, semakin banyak orang ikut menikmati keuntungan, termasuk investor lokal dan perusahaan kecil yang beroperasi di berbagai pelosok Nusantara.

Kalau tidak demikian, pasar modal Indonesia tidak jauh berbeda dari bursa yang dikembangkan pada era penjajahan Belanda dahulu. Pada masa VOC, Belanda pun sudah menjadikan bursa Jakarta sebagai sarana mencari dana global untuk mendanai kegiatan kolonialismenya. Inilah tantangan buat Megawati dan para capres yang bertarung pada Pemilu 2004. Jangan sampai indeks BEJ dan kenaikannya hanya jadi indikator bagi investor global dan segelintir orang di negara ini.

No comments: