Tuesday, January 22, 2008

Memahami Kepentingan Jerman dalam Konflik Irak(1)

Mulanya bertikai karena berebut 'konsesi' minyak
(Bag. 1 dari 2 tulisan)

Sejak awal diplomasi Amerika Serikat untuk menggolkan rencana serangan ke Irak, Jerman konsisten menentangnya.
Jerman bertahan dengan sikap tegas itu, kendati menteri pertahanan AS Donald Rumsfeld, yang masih berdarah Jerman, mencap negeri tanah leluhurnya itu seperti Kuba yang selalu menentang kepentingan AS.

Serangan Rumsfeld ditanggapi dengan sikap cemooh. Negara adikuasa itu dianggap sebagai negara yang masih 'belia' yang tidak memahami arti sebuah peperangan. AS dituding sebagai anak kecil yang tidak memiliki banyak pengalaman baik-buruknya peperangan.



Sikap cemooh itu dibarengi seruan agar Bush tidak meneteskan darah untuk mendapatkan minyak ("Kien Blut fue Ol"). "Tak ada darah untuk minyak" adalah salah satu ungkapan paling populer di Jerman, dalam seruan dan aksi menentang invasi AS ke Irak.

Tetapi terbetik pertanyaan, mengapa pemerintahan dan masyarakat Jerman bersikap sedemikian tegas menentang AS?

Bukankah sejak kekalahannya pada Perang Dunia II, Jerman sangat loyal dan bersekutu dengan negara adikuasa itu?

Benarkah moralitas pemerintah Gerhard Schroder dan bangsa Jerman sedemikian tinggi sehingga benar-benar tidak mau telibat dalam sebuah aksi yang tidak manusiawi?

Menentang perang, tentu mudah dipahami. Tetapi, menentang AS sebagai negara adikuasa, tidak cukup dengan menukik pada pendasaran moral. Sikap itu, tidak bisa tidak, mesti lahir dari kalkulasi politis dan ekonomis yang matang.

Perseteruan minyak

Sudah bukan menjadi rahasia bahwa urusan minyaklah yang menggerakkan AS, Inggris dan sekutu-sekutunya mendongkel pemimpin Irak, Saddam Husein.

Setali tiga uang, negara-negara lain seperti Rusia, Cina dan Prancis yang paling getol menolak perang di berbagai forum internasional juga memiliki kepentingan yang serupa.

Berbagai upaya diplomasi para pemimpin negara terkemuka untuk meredusir soal Irak hanya pada masalah politik, yaitu perang terhadap terorisme dan sanksi terhadap pengadaan persenjataan terlarang, agaknya sulit dipercaya.

Bukankah Irak menarik karena kandungan minyaknya yang sangat besar?

Konon, kepentingan minyak itu sebegitu besar sehingga muncul spekulasi bahwa peristiwa 11 September 2001 yang sangat dahsyat itu adalah juga rekayasa AS untuk membenarkan petualangan militernya ke Afghanistan dan saat ini ke Irak guna mewujudkan impian tersebut.

Wawancara Perdana Menteri Inggris Tony Blair dengan BBC saat mengunjungi Moskwa untuk membujuk Rusia supaya mendukung perang terhadap Irak awal Oktober tahun lalu, menarik untuk disimak.

Rusia, kata Blair, memiliki kepentingan sendiri dalam konflik minyak di Irak. Tapi, lanjutnya, belum pasti apakah kepentingan Rusia itu hanya semata soal harga minyak. Harian berbahasa Inggris Daily Telegraph memperjelas pernyataan diplomasi Blair soal posisi Rusia tersebut. Harian itu menegaskan bahwa Rusia sangat berkepentingan dengan harga minyak dunia.

Ketergantungan ekonomi Rusia di masa mendatang pada ekspor minyak yang mencapai 50% itu sangat besar. Karena itu, bekas negara komunis terbesar itu berkepentingan dengan minyak di Timur Tengah guna menjaga stabilitas harga.

Pada 9 Oktober 2002, harian tersebut lebih eksplisit menulis bahwa Rusia menyetujui perang Irak asalkan harga minyak tetap tinggi dan terkendali. Karena, penurunan harga minyak akan menghancurkan perekonomian di negara tersebut.

Kecemasan Rusia beralasan. Karena menurut sejumlah pengamat, setelah Irak berhasil ditaklukkan, AS akan mendorong negara warisan Babilonia itu keluar dari OPEC sehingga bisa memproduksi minyak tanpa terikat kuota. (Lihat tabel)

Dengan demikian, Irak bisa membangun kembali negara dari kehancurannya dengan biaya dari penjualan minyak tersebut. Tetapi sebaliknya, dengan produksi yang berlebihan, para pengamat memperkirakan, harga minyak akan merosot dari $30-an per barel saat ini menjadi sekitar $15-20 per barel.

Kalau hal itu benar-benar terjadi, maka akan menjadi pukulan yang sangat telak bagi perekonomin Rusia.

Menurut catatan James A. Paul dari Global Policy Forum, negara keturunan Nebukadnezar itu memiliki kandungan minyak yang menggiurkan.

Cadangannya mencapai sekitar 112,5 miliar barel atau sekitar 11% dari kandungan minyak dunia. Bahkan banyak ahli menduga kandungan minyak mereka jauh lebih besar, yaitu sekitar 250 miliar barel.

Kandungan minyak sebesar itu mengundang perhatian yang luar biasa dari perusahaan-perusahaan minyak raksasa seperti Exxon Mobil (AS), Chevron-Texaco (AS), Royal Dutch Shell atau disebut British-Dutch Company (Inggris), British Petrolium-Amoco (Inggris), dan Total Elffina atau French-Italian Company (Prancis).

Sejak lama, perusahaan-perusahaan minyak AS dan Inggris menguasai hampir seluruh dari produksi minyak Irak. Tapi pada 1972, perusahaan tersebut dinasionalisasi dan dikuasai oleh Iraq Petroleum Company.

Setelah nasionalisasi, Irak justru berpaling ke perusahaan Prancis dan Rusia untuk mengoptimalkan produksi minyak di kawasan tersebut. Langkah Irak tersebut tidak mengendurkan niat Inggris dan AS untuk kembali mengukuhkan posisinya di Irak.

Pertarungan Prancis dan Rusia di satu sisi dengan Inggris dan Amerika Serikat di pihak lain makin seru tatkala negara lain seperti Cina dan Jepang juga mengais rezeki dari ladang minyak di kawasan yang sama.

Selama tahun 1990-an perusahaan minyak Rusia (Lukoil), Cina (Cina National Petroleum), Prancis (Total FinaElf) melakukan negosiasi dengan pemerintahan Irak untuk menggarap sejumlah ladang minyak di negara tersebut.

Akhirnya Lukoil mendapat persetujuan untuk menggarap ladang Quma bagian barat pada tahun 1997, sementara Cina pada tahun yang sama menandatangani kontrak untuk menggarap ladang Rumailah di bagian utara.

Prancis melalui Total FinaElf mendapat kesempatan untuk menggarap ladang minyak di lokasi Majnum. Pilihan bisnis Irak yang lebih memihak Rusia, Prancis dan Cina tentu sangat memukul kepentingan AS dan Inggris.

No comments: