Tuesday, January 29, 2008

Jejak Soeharto di lantai bursa

Tulisan ini dibuat dalam rangka mengenang mantan presiden RI Haji M. Soeharto yang meninggal pada 27 Februari 2007.


Oleh Abraham Runga Mali

JAKARTA: Menghubungkan mendiang mantan Presiden Soeharto dengan pasar modal mengingatkan saya pada tahun 1995, menjelang go public PT Bimantara Citra. Karena perusahaan itu bagian dari Grup Bimantara—milik Bambang Trihatmodjo, putera Pak Harto—nuansa politisnya mencuat sangat kuat.
Sebagai jurnalis yang meliput bidang pasar modal saat itu, kami disodorkan kuisioner dari sebuah perusahaan public relations yang ikut terlibat dalam proses go public tersebut. Salah satu pertanyaan yang masih melekat dalam ingatan saya adalah dengan menjadi perusahaan publik, akankah hilang pula aroma ‘cendana’ dari Bimantara?
Jawabannya, aroma ‘cendana’ itu tidak serta-merta menguap. Bukan apa-apa, jumlah saham yang dilepas ke publik cuma segelintir. Lagi pula terendus sangat kuat saat itu bahwa perusahaan berbau ‘cendana’ tersebut pergi ke lantai bursa hanya untuk merias citra menjadi perusahaan yang lebih transparan.
Saat melaksanakan initial public offering, Bimantara Citra menjual 200 juta lembar saham baru dengan denominasi Rp500 per saham. Jumlah saham yang dijual itu ekuivalen dengan 20% dari modal disetor.
Dengan mengambil momentum 50 tahun Indonesia merdeka, manajemen perseroan—dengan duet Bambang-Rosano Barack—meyakinkan masyakat bahwa tujuan utama Bimantara ke bursa bukan untuk mencari dana, tetapi ingin mengubah citranya sebagai perusahaan tertutup.
Sebelum PT Bimantara Citra dicatatkan di bursa pada Juli 1995, perusahaan keluarga Cendana lain yang dilepas melalui pasar modal adalah PT Citra Marga Nusaphala Persada (CMNP).
Perusahaan milik Siti Hardiyanti Hastuti (Tutut) yang bergerak di bidang infrastruktur jalan tol itu go public pada awal 1995 lewat pelepasan 122 juta saham dengan nilai nominal Rp500. Jumlah ini setara dengan 24,4% dari seluruh saham yang diterbitkan.
Baru dua tahun kemudian, Desember 1997, PT Humpuss Intermoda Transportasi—milik Hutomo (Tommy) Mandala Putera—mendapat giliran go public. Anak perusahaan Grup Humpuss yang mengoperasikan pengapalan bahan bakar minyak dan gas tersebut hanya segelintir dari bisnis yang dikelola salah seorang putera mantan penguasa Orde Baru itu.
Humpus Intermoda bahkan satu-satu perusahaan keluarga inti Cendana yang masih eksis di pasar modal hingga saat ini. Dua perusahaan yang lebih dulu listing di bursa, CMNP dan Bimantara, saat ini sudah berpindah tangan.
Sejak Soeharto lengser dari kursi kepresidenan pada 21 Mei 1998, kepemilikan saham keluarga Cendana di CMNP terus menyusut. Tutut melepas seluruh kepemilikannya di perusahaan pengelola tol itu. Kepemilikan perusahaan ini kemudian jatuh ke tangan pengusaha Harry Tanoesudibyo.
Harry juga membeli saham Bambang di Bimantara lalu mengubah namanya menjadi PT Global Mediacom. Bila sebelum go public Bambang menguasai 50%, berdasarkan komposisi kepemilikan saham terakhir di lantai bursa, kini putera Soeharto itu tinggal memegang 12% lewat anak perusahaan di bawah kendalinya, yaitu PT Asriland.
Peralihan kepemilikan itu mengundang banyak selentingan di pasar. Banyak spekulasi mengatakan kepemilikan Harry di dua perusahaan itu, CMNP dan Bimantara, hanya proxi yang mengelola dana keluarga Cendana—sebuah tuduhan yang tidak mudah dibuktikan.
Tuduhan yang sangat simplistis seolah-olah orang dengan enteng mengatakan peralihan kepemilikan saham Bambang di PT Chandra Asri dan PT Try Polyta ke pengusaha Prajogo Pangestu dilakukan dengan tujuan ‘persembunyian’ itu.
Spekulasi seperti ini tentu menarik bagi para penggiat pencari harta kekayaan mantan Presiden Soeharto. Banyak data yang disodorkan oleh para penggiat tentang keberadaan harta keluarga Cendana.

Mereka bahkan dengan fasih menyebut properti yang dimiliki keluarga Soeharto dari Boston, Los angeles, London, Australia hingga sejumlah gedung dan perhotelan mewah di dalam negeri. Ada pula yang meyodorkan data bahwa banyak bank investasi, seperti Credit Suisse dan UBS, dipercayakan mengelola harta keluarga Cendana.
Dana-dana itu disimpan di Swiss, New York, dan entah di kota mana lagi. Sekali lagi itu semua masih spekulasi yang tidak mudah dibuktikan. Dengan mengganti pemilik saham dengan nama perusahaan dari British Virgin Island saja, misalnya, orang akan susah melacaknya.
Di tengah pencarian kekayaaan keluarga Cendana, kepada kita Grup Humpuss—yang dikomandoi Tommy Soeharto—paling transparan [melalui websitenya: www.Humpuss.com) mengungkapkan bisnisnya.
Melalui induk usaha itu, selain memiliki perusahaan publik Humpuss Intermedia, mereka masih mengelola sejumlah bisnis lain. Di sana ada PT Gatari Air Services yang menangani bisnis penerbangan dengan jalur khusus.
Kemudian ada PT Humpuss Pengelolaan Minyak yang mengelola migas dan petrokimia. Lalu ada PT Rante Mario yang mengelola hutan HPH seluas 114.000 di Mamuju, Sulawesi. Setiap tahun Rante Mario memprofuksi sedikitnya 28.000 m3 kayu.
Selain itu, ada PT Humpuss Aromatik yang mengelola, memproduksi, dan mendistribusikan migas. Terakhir adalah PT Humpuss Trading yang menjual hasil pengelolaan komoditas utama seperti migas dan kayu.
Kecuali lewat sejumlah perusahaan itu, keluarga Cendana sebenarnya pernah terlibat di pasar modal melalui perusahaan sekuritas, yaitu PT Pentasena Arthatama. Meski kecil, pada tahun 1990-an perusahaan sekuritas yang dimiliki Siti Hediyati Haryadi (Titiek) itu pernah memainkan peran cukup besar di pasar modal.
Perusahaan sekuritas inilah yang menjadi underwriter PT Tambang Timah—bersama Niaga Securities dan BZW Ltd—ketika go public pada Oktober 1995. Itulah sebabnya pada 1994-1995, sekuritas ini menjadi salah satu perusahaan lokal swasta papan atas bersama Makindo, Bhakti Investama, Trimegah Securities, Lippo Securities, Niaga Securities, BT Prima Securuties, Danamon Securities, dan Bumi Daya Securuties.
Keterlibatan Titiek di pasar modal bukan hanya dalam urusan bisnis di PT Pentasena. Dia pernah menjabat sebagai komisaris PT Bursa Efek Jakarta bersama Fuad Bawazir saat I Putu Gde Ary Suta menduduki posisi Ketua Bapepam.
Lebih dari itu bahkan. Pada masa inilah Titiek menjabat sebagai Ketua Masyarakat Pasar Modal (Capital Market Society/CMS) Indonesia. Lembaga nirlaba ini sempat membuat visi pasar modal dan mensosialisasikannya.
Dalam rangka memperingati 20 tahun pasar modal pada 1997, CMS di bawah komandan Titiek dengan gairah sangat besar mengadakan pameran bursa saham. Soeharto yang berada di ujung kekuasaan pun di undang ke sana.
Titiek melalui lembaga itu berkali-kali mengutarakan visinya tentang pasar modal Indonesia yang akan jadi terbesar di Asia Tenggara pada 2020. Besar karena banyak pemodal lokal yang terlibat, besar karena banyak perusahaan yang memanfaatkan pencarian dana lewat pasar modal.
Sebuah visi yang hingga satu dekade kemudian ternyata tidak berhasil dielaborasi secara serius oleh Bapepam, otoritas bursa, dan pelaku bursa saat ini. Mereka hanya lebih suka asyik-masyuk memperhatikan turun-naiknya indeks dan mereguk keuntungan.
Sangat terlambat
Keterlibatan dan perhatian anak-anak Pak Harto di pasar modal memang sangat terlambat. Mereka aktif di bursa saham—bukan tempatnya di sini untuk mempersoalkan apa motivasi dan siapa yang mengajak mereka—baru 20 tahun setelah Soeharto memaparkan visi besar tentang pasar modal, yaitu pada 1977 saat mengaktifkan kembali kegiatan bursa saham.
Kalau disimak, bukan hanya anak-anaknya, Soeharto sendiri bahkan terlambat. Kendati berkuasa sejak 1968, Pak Harto yang membangun bangsa ini dengan ideolologi kapitalis-liberal, baru pada 10 Agustus 1977 meresmikan perdagangan di Bursa Efek Jakarta.
Pada saat itu, mantan penguasa Orde Baru tersebut dengan tegas mengatakan pasar modal diminta menjadi agen pemerataan ekonomi. “….perusahaan-perusahaan diberi kesempatan untuk menjual sahamnya kepada masyarakat, dan masyarakat diberi kesempatan untuk membeli saham-saham tersebut.”
Pasar modal diharapkan menjadi salah satu alat pencapaian demokrasi ekonomi. Sayangnya, visi dan kesadaran terhadap pentingnya bursa saham itu tidak segera direalisasikan oleh Sang Jenderal Besar TNI.
Selama periode pertama, 1977-1987, pasar modal mengalami kelesuan, meskipun pemerintah telah memberikan fasilitas kepada dunia usaha yang memanfaatkan dana dari bursa efek. Berbagai fasilitas itu di antaranya perpajakan untuk merangsang masyarakat agar mau terjun dan aktif di bursa.
Soeharto, melalui tim ekonominya saat itu, belum mampu mengatasi tersendatnya perkembangan pasar modal selama periode tersebut. Hal ini disebabkan oleh beberapa masalah di antaranya mengenai prosedur emisi saham dan obligasi yang terlalu ketat, adanya batasan fluktuasi harga saham, dan sebagainya.
Baru satu dekade kemudian, pemerintah mengeluarkan deregulasi yang berkaitan dengan perkembangan pasar modal, yaitu Paket Kebijakan Desember 1987, Paket Kebijakan Oktober 1988, dan Paket Kebijakan Desember 1988.
Pakdes 1987 merupakan penyederhanaan persyaratan proses emisi saham dan obligasi dengan menghapuskan biaya yang sebelumnya dipungut Bapepam, seperti biaya pendaftaran emisi efek. Selain itu, dibuka kesempatan bagi pemodal asing untuk membeli efek maksimal 49% dari total emisi.
Paket ini juga menghapus batasan fluktuasi harga saham di bursa efek dan memperkenalkan bursa paralel. Ini merupakan pilihan bagi emiten yang belum memenuhi syarat untuk memasuki bursa efek.
Pakto 88 ditujukan bagi sektor perbankan, tetapi berdampak terhadap perkembangan pasar modal. Paket kebijakan ini berisikan tentang ketentuan 3 L (legal, lending, limit) dan pengenaan pajak atas bunga deposito.
Pengenaan pajak itu berdampak positif terhadap perkembangan pasar modal. Hal ini karena dengan keluarnya kebijakan itu berarti pemerintah memberi perlakuan yang sama kepada sektor perbankan dan pasar modal.Sementara itu, Pakdes 88 pada dasarnya memberikan dorongan yang lebih jauh kepada pasar modal dengan membuka peluang bagi swasta untuk menyelenggarakan bursa. Karena tiga regulasi itu, pasar modal menjadi aktif pada periode 1988 hingga sekarang.
Itulah jejak mantan Presiden Soeharto dan anak-anaknya di pasar modal. Jejak itu mungkin saja kurang nyata, mungkin pula terlambat. Namun, lebih baik kabur dan terlambat daripada tidak sama sekali.
Soal keterlambatan Pak Harto memang bisa dipahami. Di bawah pengaruh tim ekonominya saat itu, Soeharto yang sangat dekat dengan AS, lebih senang memanfaatkan aliran modal langsung, baik melalui utang maupun investasi langsung perusahaan raksasa sekelas Freeport atau ExxonMobil.
Membangun Indonesia dengan mengandalkan utang dan investasi langsung (direct investment), tanpa pengendalian diri dan sistem yang kuat, bakal menimbulkan kebocoran di sini sana. Dan Soeharto akhirnya jatuh juga pada kegiatan pembangunan yang kental dengan jalinan korupsi, kolusi dan nepotime (KKN). Maka tidak heran ketika lengser, baik dari panggung politik maupun panggung kehidupan, Pak Harto meninggalkan utang yang menggunung.
Kita tentu masih ingat menjelang lengser, Presiden Soeharto mengutus Menkeu Mar’ie Muhammad dan Ketua Umum Kadin Indonesia Aburizal Bakrie ke AS untuk memohon keringanan pembayaran utang. Bayangkan saat itu bangsa ini terlilit utang dalam jumlah besar, terdiri atas US$80 miliar utang negara dan US$75 miliar utang swasta.
Bapak Pembangunan juga meninggalkan sistem dan kultur bisnis dan perusahaan yang amburadul. Tak perlu malu mengakui bahwa kesalahan utama Pak Harto dalam meletakkan kapitalisme di negeri ini adalah menghidupkan crony capitalism dengan tabiat dasar KKN.
Pasar modal yang mengedepankan transparansi semestinya bisa menjauhkan Soeharto dan Orde Baru dari kesalahan fatal ini. Sayangnya, hal itu tidak sampai terjadi.
Sekarang, setelah Soeharto wafat, kita cuma bisa mengatakan andaikan mantan presiden itu lebih awal dan lebih kuat meninggalkan jejaknya di pasar modal.

No comments: