Thursday, January 31, 2008

Jakarta Bukan Surga bagi Pensiunan

Abraham Runga Mali

Soal orang Indonesia yang mengadu nasib di negeri seberang, itu tentu bukan cerita baru. Kesuksesan dan tragedi yang mereka alami di Malaysia dan Timur Tengah misalnya sudah cukup menyita perhatian media massa tanah air. Tidak perlu lagi ada litani yang memperpanjang kisah mereka.
Yang justru tidak kalah menarik adalah bahwa negeri tetangga bukan saja menggiurka bagi pencari kerja, tetapi juga bagi mereka yang sudah tua dan memasuki usia pensiun dan ingin menikmati hidupnya secara lebih menyenangkan. Maka mulailah kisah tentang migrasi orang kaya Indonesia ke sejumlah negara tetangga.
Sebagai contoh, kita sebut saja namanya Pak Fredi. Di usianya yang ke 57, dia masih menjabat sebagai direktur di sebuah perusahaan besar di Jakarta. Setelah menyekolahkan dua anaknya di Canberra sejak 1995, tahun lalu dia memutuskan untuk membeli sebuah apartemen di sana. Sekarang, dia sering berhubungan dengan perusahaan penasihat keuangan untuk mempersiapkan perencanaan pensiun di negeri Kanguru.
Lain lagi cerita seorang pengusaha yang sejak krisis moneter 1997 membeli sebuah rumah di Singapura. Kendati masih menjalani bisnis di Indonesia, dia harus pulang pergi Singapura-Jakarta, karena semua keluarganya sudah berada di sana. “Mencari uang boleh di Jakarta, tetapi lebih enak hidup dan meyekolahkan anak di sana”, begitu kira-kira prinsip yang diyakininya
Ada cerita lain tentang pak Damanik yang bekerja di Frankfurt, Jerman. Sebenarnya saat pensiun tahun 1996 dari pekerjaannya di NATO untuk urusan Logistik dan Keuangan, dia bisa saja kembali ke Indonesia dan menikamati hari tuanya di sini. Tapi, hal itu tidak pernah dilakukan karena dia selalu kuatir pada ketidapkastian di bidang ekonomi dan hukum di Indonesia.

Firdaus bagi pemburu harta

Sejumlah kisah di atas membenarkan pendapat sementara orang bahwa Indonesia, khususnya Jakarta, adalah surga bagi orang kaya atau bagi mereka yang sedang memburu kekayaan. Tapi, saat mereka sudah mapan dan harus menikmati kekayaan yang dimilikinya, Indonesia yang sebelumnya bak kebun firdaus itu, berubah menjadi neraka.
Hal itu sekurang-kurangnya diakui oleh Tri Joko, Ketua Financial Planning Association Indonesia (FPAI). Mungkin menikmati kekayaan dalam arti menghambur-hamburkan uang untuk sebuah kenikmatan dan kegemerlapan duniawi seperti seks dan kekuasaan, demikian Tri Joko, bolehlah Anda masih berada di negeri ini.
“Tapi kalau orang sudah mulai tua dan masuk usia pensiun, pertimbangan sudah lain lagi. Mereka lebih mementingkan ketenangan dan lingkungan yang sehat,” ujar Dirut Panin Life itu.
Bagi mereka yang berduit, mengenal kenyamanan tinggal di luar negeri sudah dimulai sejak mereka masih aktif mengumpulkan uang alias masih bekerja. Biasanya bermula saat mereka mengirim anaknya di sekolah luar negeri. Atau perkenalan itu sudah dimulai ketika mereka melakukan investasi dengan membeli rumah atau apartemen di sana.
Apalagi kebetulan sekali agen-agen perguruan tinggi dan properti dari luar negeri sangat agresif mengincar orang kaya di negeri ini. Lihat saja apa yang dilakukan agen seperti Brady Property Consulatancy Indonesia.
Itulah sebabnya tidak mengherankan kalau dari tahun ke tahun jumlah anak orang kaya yang belajar ke luar makin bertambah banyak. Selain mutu yang lebih baik, tarif perguruan tinggi dalam negeri yang tidak lebih murah, mendorong mereka untuk hengkang ke sana. Belum lagi ada negara seperti Jerman yang membebaskan uang sekolah bagi para mahasiswanya.
Untuk investasi di properti pun, pasar di luar negeri juga menjanjikan kemudahan dan tarif kredit yang lebih murah. Di Singapura misalnya, bunga kredit yang hanya sekitar 4 persen per tahun jauh lebih murah daripada yang ditawarkan dalam negeri dengam tingkat 11 persen hingga 16 persen per tahun.
Di Australia misalnya, bank-bank menyediakan kredit dengan plafon antara 80 persen hingga 90 persen dengan jangka waktu kredit 25 hingga 30 tahun. Padahal di dalam negeri konsumen masih dibebani uang muka dan cicilan kredit yang berat.
Tidak berhenti si situ. Negara-negara tetangga seperti Singapura dan Australia tidak hanya menjejali orang kaya dalam negeri dengan urusan pendidikan dan properti. Soal kenyamanan hidup orang pensiunan akhir-akhir ini pun semakin gencar dipromosikan. Bahkan, langsung oleh instansi pemerintah negara yang bersangkutan.
Perhatikan saja tawaran isentif pajak yang diberikan pemerintahan Australia kepada warga Indonesia yang sudah sekian tahun bekerja di negara itu dan hendak menikmati pensiun di sana.
Atas nama Australian Taxation Office, Anda pasti dengan mudah menjumpai iklan di sejumlah harian berbahasa Inggris yang dirilis dalam bahasa Indonesia. Untuk melancarkan segara urusan administrasi, orang Indonesia yang tidak memahami bahasa Inggris, disediakan jasa penterjemah.
Di bawah judul Pemberitahauan Bagi Orang yang Berpenghasilan di bawah Aus$40.000, sebuah iklan pemerintah negara Kanguru itu berjanji mentransfer dana ke rekening pensiun seseroang apabila penghasilannya kurang dari Aus$40.000 setahun .
Dan apabila penghasilan Anda kurang dari Aus$27.500 setahun maka pemerintah akan menyamai kontribusi pensiun pribadi dengan perhitungan berdasarkan satu dolar berbanding satu dolar sampai Aus$1.000. Bantuan itu berlaku bagi mereka yang berusia di bawah 71 tahun dan telah menerima kontribusi pensiun dari perusahaan selama tahun tersebut.
Menurut Tri Joko soal bantuan itu merupakan salah satu contoh yang diperlihatkan betapa sejumlah negara yang sudah maju, termasuk Australia dan Singapura, memperlakukan para pensiun secara lebih terhormat. Belum lagi menyinggung soal fasilitas kesehatan bagi orang tua seperti rumah sakit, rumah jompo dan transportasi yang tentu tidak perlu diragukan lagi.
Menurut dia, perhatian kepada orang tua dari sejumlah negara maju, bisa dipahami karena dari sudut demografi, mayoritas penduduk di negara itu adalah orang tua.
Beda dengan penduduk Indonesia yang sebagian besar adalah anak-anak dan orang muda sehingga prioritas pemerintah masih pada urusan keluarga berencana, pendidikan dan penciptaan lapangan kerja.
Saking banyaknya jumlah, untuk urusan orang tua dan pensiun menyita perhatian yang luar biasa besar dari pemerintah negara maju. Masih ingat contoh pemerintah Jerman di bawah Gerhard Schroder yang belum lama ini mengalami kesulitan dalam melakukan reformasi sistem pensiun.
Tentu banyak orang tidak meragukan negara Jerman yang memang sangat terkenal dalam urusan jaminan sosial, termasuk untuk orang tua, karena memang sudah dirintis sejak pemerintahan Otto von Bismark tahun 1880.
Tapi sejak menjelang Natal tahun lalu, kanselir Jerman Gerhard Schroder harus mengambil langkah yang pahit dalam sejarah jaminan sosial Jerman. Dia harus melakukan penghematan dalam sistem pensiun.
Kalau sebelumnya 50 persen premi asuransi ditanggung negara, maka sekarang para pensiun harus membayar sendiri. Sementara umur pensiun hanya bisa dinaikkan dari 63 tahun menjadi 65 tahun.
Perubahan yang hampir sama juga dialami oleh sejumlah negara seperti Jepang, Belanda dan Italia dalam dua tahun terakhir. Sebuah reformasi yang menggambarkan bahwa di sejumlah negara maju--karena jumlah usia tua yang semakin banyak--membuat mereka sangat kesulitan dalam pemberian subsidi kepada para orang tua yang hendak menjalani usia pensiun.
Menurut Tri Joko beban yang harus ditanggung di negara maju itu mendorong mereka untuk menggaet orang-orang kaya dari negara lain untuk pindah ke negara mereka agar ikut meringankan beban tersebut. Walaupun sebenarnya, lanjut dia, faktor penolakan dalam negeri memberi kontribusi yang jauh lebih signifikan.
Dia mencontohkan makin banyak jumlah orang miskin di tanah air, yaitu 35,7 juta berdasarkan data Depsos 2002, dan rendahnya fasilitas publik—karena minimnya anggaran pemerintah yang disiapkan--mendorong orang kaya untuk lebih memilih meninggalkan Indonesia dan menikmati hari tua di negara lain.
Kemiskinan, kepadatan penduduk serta minimnya birokrasi pemerintah menjadikan Jakarta dan sejumlah kota-kota besar di Indonesia lahan subur bagi kriminalitas dan polusi. Jakarta dari hari ke hari semakin dibanjiri kaum urban yang tidak memberikan pengaruh prositif bagi tingkat kemakmuran. Maka terdesaklah orang beruang yang mendambakan kenikmatan hidup, terutama pada usia tuanya. Memang Jakarta bukan surga bagi orang pensiunan.

No comments: