Tuesday, January 22, 2008

Menengok Singapura dan Malaysia

Abraham Runga Mali

Mungkin karena letaknya yang terlalu dekat membuat kita lupa menengok atau belajar dari Singapura dan Malaysia, dua negara tetangga terdekat Indonesia. Baragnkali karena begitu sibuknya berkutat dengan persoalan dalam negeri, sampai kita lupa mengangkat muka dan menatap derap langkah yang mereka lalui.
Atau bisa juga karena catatan historis bahwa yang meletakkan dasar kesultanan Malaka dan kota Tumasik (kemudian menjadi Singapura) adalah seorang pelarian politik dari Palembang (Paramesvara, kemudian menjadi Iskandar Shah) membuat kita tetap terlena pada kejayaan masa lalu. Padahal kedua negara itu memang sudah berlangkah jauh di depan Indonesia.

Kedua negera tersebut ternyata meletakan dasar pembangunannya pada apa yang disebut "masyarakat ilmu pengetahuan". Sekurang-kurangnya itulah pesan yang bisa ditangkap dalam diskusi "Asia Forum" oleh Center for Development Research Universitas Bonn bertema "Knowledge Society in Singapore and Malaysia" akhir pekan lalu.

Diskusi dengan pembicara tunggal Profesor Hans-Dieter Evers, seorang ahli yang kompeten pada masalah-masalah Asia Tenggara, dan memaparkan hasil penelitiannya di sejumlah negara di kawasan ini.

Evers adalah mantan profesor sosiologi Universitas Bielefeld dan University of Singapore yang saat ini mengajar di Universitas Bonn serta bekerja sebagai konsultan menteri Kerja Sama dan Ekonomi dan Pembangunan Jerman, UNESCO dan Bank Dunia.

Dia juga pernah menulis sejumlah buku, dua diantaranya terkenal, yaitu The Moral Economy of Trade: Ethnicity and Development Markets dan Southeast Asian Urbanism.

Pendidikan

Merujuk Peter Ferdinand Druckers dalam bukunya The Age of Discontinuity (1969) atau Daniel Bell (The Coming of Post-industrial Society, 1973) atau Niklas Luhmann (Die Wirtschaft der Gesellschaft, 1988) atau sejumlah teorisi lain seperti Polany atau George Simmel, pengertian "knowledge society" bisa diringkas sebagai masyarakat yang telah menjadikan ilmu pengetahuan sebagai faktor produksi utama menggantikan tenaga kerja dan modal dalam perekonomia.

Ciri khasnya, sebagian masyarakatnya memiliki pendidikan dengan standar yang baik, banyak memiliki pekerja berpengetahuan, menggunakan teknologi informasi dan komunikasi serta memiliki akses pada sumber pengetahuan.

Selain itu berkembang banyak organisasi dan insitusi intelijen yang memiliki informasi dan solusi persoalan dalam bentuk dijital, para ahli dan konsultan menjadi kelompok strategis yang dibutuhkan dalam masyarakat. Ciri khas masyarakat jenis ini dijumpai pada masyarakat yang memiliki industri dan teknologi maju seperti Jepang, negara-negara Eropa dan Amerika Serikat.

Evers mencatat, sejak 1991 PM Malaysia Mahathir Mohammad sudah mencetuskan pentingnya ilmu pengetahuan dalam mendorong pembangunan di negara tersebut. Menurut Mahathir, pengetahuan adalah kunci kesejahteraan.

Itulah sebabnya tidak mengherankan kalau dalam Wawasan Malaysia 2020, Mahatir memberi penekanan pada kemajuan teknologi dan informasi. Itu juga alasan mengapa Malaysia berani menginvestasikan dana yang begitu besar untuk membangun "Super Multi Media Corridor". Kendati belum semaju Singapura, Malaysia sudah mengarahkan diri pada jalan yang benar.

Tentang Singapura, sebagai sayap pasar ekonomi AS di Asia Tenggara, negara tersebut sudah selangkah lebih jauh. Pengembangan teknologi dan informasi menjadikan negara itu sangat efisien dalam mengelola dirinya sebagai pemain utama di bidang ekonomi jasa.

Soal arah yang ditempuh Malaysia, sejumlah data berikut bisa memberikan bukti. Sampai dengan 2000, jumlah rata-rata pengguna PC (personal computer) di antara 1000 orang di Malaysia mencapai angka 100. Sementara rata-rata negara lain di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, masih berada di bawah angka 20.

Memang dibandingkan dengan negara Eropa, Jepang atau Korea Selatan, apa yang dicapai Malaysia belumlah signifikan. Misalnya saja dalam soal jumlah peneliti. Pada 1995 dan 1996 misalnya, jumlah rata-rata peneliti di Malaysia masih berada di bawah 500 orang per satu juta penduduk.

Korea Selatan mencatat angka sekitar 2500 per satu juta penduduk, Belanda juga sekitar 2.500 dan Jerman mencapai angka tertinggi, yaitu sekitar 3.000.

Menarik apa yang dicatat profesor Evers tentang Indonesia. Negara ini, kata dia, masih sibuk dengan penyelesaian konflik dan separatisme. Investasinya untuk mempertahankan negara kesatuan cukup besar sehingga sebagian dana dan perhatian diarahkan untuk menata urusan politik.

Dia mengakui Indonesia seperti Vietnam berusaha untuk meningkatkan teknologi. Dia memberikan contoh proyek pembuatan pesawat yang dimotori mantan presiden Habibie. Tapi sayangnya, lanjut Evers, pengembangan teknologi kedirgantaraan itu tidak memiliki basis pada kemampuan teknologi sendiri. Artinya sebagian besar komponennya merupakan bahan impor karena tidak pertama-tama mengembangkan landasan pada teknologi yang kuat.

Jelasnya, Indonesia belum meletakan dasar pembangunannya pada apa yang dinamakan "knowledge society." Indonesia juga sudah membangun banyak sekolah dan universitas. Tapi sayangnya juga, institusi-institusi ini tidak memberikan perhatian yang cukup besar pada riset.

Terkait demokrasi

Malaysia dan Singapura tidak hanya berbenti pada visi. Pemerintahan kedua negara ini juga serius membenahi sistem politik yang demokratis, karena demokrasi menjadi syarat untuk mengembangkan ",masyarakat ilmu pengetahuan". Informasi yang transparan pada sebuah masyarakat yang terbuka dan demokratis merupakan basis untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Dalam soal inipun Indonesia masih perlu membenahi diri. Kebebasan pers, keterbukaan untuk menyatakan pendapat dan keleluasaan menerbitkan buku di negara ini masih menemukan tantangan yang cukup besar.

Fatwa hukuman mati untuk orang menyatakan pendapat secara liberal dan kreatif serta seruan untuk memberangus sejumlah buku di Indonesia merupakan pertanda bahwa negeri ini belum melihat pentingnya pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Kita perlu belajar lagi pada filsuf politik seperti John Stuart Mill dari Inggris. Menurut dia, kebebasan mengeluarkan pendapat sangat signifikan dalam upaya mencari kebenaran yang merupakan faktor penting untuk pengembangan ilmu pengetahuan. Sebab kalau tidak ada perbedaan pendapat, banyak pendapat sulit diukur salah atau benar.

Bahkan, sebuah pendapat yang terus diulang, terutama oleh penguasa akan dianggap benar karena tidak pernah difalsifikasi atau diverifikasikan oleh pendapat lain dalam sebuah perdebatan. Dan perdebatan yang efektif banya mungkin dalam sebuah masyarakat di mana orang bebas menyatakan pendapat.

Indonesia memang masih jauh dari "knowledge society." Padahal kata Evers, peluang memulai hal ini sangat besar di Asia Tenggara. Dia mengatakan perkembangan Cina yang sangat pesat dalam bidang ekonomi mestinya mendorong negara-negara tetangganya, termasuk negara-negara Asia Tenggara untuk mengembangkan "knowledge society. "

Tenaga ahli

Tidak lama lagi Cina akan membutuhkan banyak tenaga ahli dan peneliti. Singapura dan Malaysia berpeluang untuk mengekspor tenaga ahlinya ke Cina. Sayang kalau Indonesia hanya puas menjadi pengekspor TKW ke ncgara-negara Timur Tengah dan TKI ke Malaysia.

Agaknya Indonesia tidak perlu malu belajar dari negara tetangga. Jerman pada abad 19 belajar dari Inggris untuk bersaing dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi karena tetangganya lebih dulu meletakkan dasar melalui revolusi industri.

Kemudian Jepang belajar dari Jerman dan Korea Selatan belajar dari Jepang. Mudah-mudahan kesibukan mengurusi masalah Aceh dan diskusi soal exit strategy dari IMF tidak membuat bangsa ini enggan belajar dari negara tetangga.

Sebab ilmu pengetahuan adalah faktor produksi yang penting untuk sebuah negara maju dan modern, bukan "modal" yang sekarang kita perdebatkan, apalagi "tanah" yang subur dan kekayaan alam yang hanya pantas dibanggakan oleh masyarakat feodal dan tradisional.

Atau jangan-jangan, bangsa ini sedang merintis sebuah pembangunan tanpa visi.

No comments: