Monday, January 21, 2008

Salib

Abraham Runga Mali

Ketika Anda mengenang kematian Yesus pada Paska tahun ini, suara penyair Kahlil Gibran, penyair asal Libanon, layak di simak. Dia pernah merenungi penderitaan Yesus di salib. Dalam kumpulan tulisannya, Jesus the Son of Man, dia menulis syair berikut,
“Ketika Orang kesayangan itu mati, seluruh umat manusia pun mati, seluruh makhluk sejenak terdiam dan kelabu. Ufuk timur menggelap, badai terlepas dari sana menyapu daratan. Mata langit berkedipan, hujan tercurah dari saluran membasuh darah yang mengucur dari tangan dan kakiNya.”
Gibran tentu benar kalau umat manusia memang pantas berkabung ketika seorang pewarta dan pejuang kemanusiaan itu menghembuskan napas terakhirnya di atas tiang gantungan. Umat manusia memang pantas bersedih atas peristiwa kematian seorang aktivis keadilan yang berani melawan kezaliman agama Yahudi yang saat itu bersekutu dengan penguasa politik Roma saat itu.
Itulah pengalaman Yesus pada zaman itu. Penindasan dan ketidakadilan oleh sebuah rezim selalu terjadi dalam sejarah perabadan umat manusia. Bahkan, kalau kita mau jujur, setiap hari ada penyaliban atas orang-orang kecil dan tertindas di sekitar kita.
Mungkin juga termasuk dalam urusan Bahan Bakar Minyak (BBM) yang lagi marak dipersoalkan di negeri ini. Entah dihapus subsidinya atau tidak, harga BBM di Indonesia dan di dunia saat ini merupakan akibat dari sebuah ketidakadilan stuktural. Ada tangan-tangan kuat para pelaku ekonomi yang mengatur naik turunnya harga minyak dunia. Ada negara-negara besar yang atas nama kemajuan negerinya tidak pernah mau menderita atas nama ketertinggalan di belahan dunia yang lain.
Orang per orangan--terutama yang terkena dampak ketidakadilan ini--tidak bisa tidak, terlindas oleh ketidakadilan itu. Begitu juga kesengsaran jutaan orang, baik karena subsudi itu dihapus atau tetap dipertahankan, sering kali di luar kemampuan mereka untuk menerima atau menolak. Dampak itu datang begitu saja, tentu karena keputusan para penguasa, dan mengenai isi kantong dan periuk nasi mereka. Ini adalah ketidakadilan struktural.
Kezaliman pada zaman Yesus pun adalah juga ketidakadilan struktural. Banyak masyarakat yang dirampas hak-haknya hanya untuk melanggengkan dominasi sebuah dogma agama dan kewenangan sebuah imperium besar saat itu yang bernama Pax Romana.
Sebagai contoh pernah terjadi, serorang perempuan yang kedapatan berzinah di bawah oleh sekelompok masyarakat Yahudi ke hadapan Yesus. Dengan batu di tangan, dan itu sesuai dengan perintah Taurat, mereka siap merajam perempuan itu. Tapi, dengan tegas Yesus mengatakan, “Siapa dari antara kalian yang merasa tidak berdosa hendaklah yang pertama melempakan batu itu kepada perempuan ini.” Tentu akhirnya mereka semua pulang karena tak satu pun dari mereka yang tidak berdosa.
Itu salah satu contoh pertarungan Yesus dengan pemimpin masyarakat Yahudi yang setia mewarisi ajaran Taurat yag dibuat sejak zama nabi Moses. Dalam contoh di atas Yesus keluar sebagai pemenang. Dan tentu masih banyak contoh yang lain. Tapi, mereka menunggu saat yang tepat untuk melampiaskan dendam. Tibalah saatnya ketika pertarungan itu berhasil membawa Yesus pada penderitaan di ujung cemeti dan kematian di atas kayu salib.
Awalnya para imam Yahudi di bawah pimpinan Kayifas membawa Yesus pada sebuah pengadilan. Melalui proses yang melelahkan pengadilan tidak menemukan kesalahan atas Yesus. Pilatus sebagai penguasa Roma di Yudea saat itu harus mencuci tangannya untuk melepaskan tanggungjawabnya atas darah Yesus. Sebagai ganti, Pilatus membebaskan seorang penjahat yang bernama Barabas.
Tapi, apakah cerita lalu berakhir? Tentu tidak. Yang kita saksikan justru sebaliknya. Para pengikut Yesus, yang sebagian besara adalah para nelayan itu, berhasil menembus ibu kota kekaisaran Roma. Dengan semangat yang luar biasa kora Roma yang kafir dengan pemimpinya yang bejat dan sewenang-wenang berhasil ditobatkan.
Yesus yang sudah mati konyol itu seolah-olah tetap hidup dan menyemangati para pengikutiNya. Kendati tidak hadir lagi secara fisik, semangat Yesus membakar orang-orangNya. Dalam arti itu, kata ‘kebangkitan’ Yesus bisa dimaknai. Itulah sebabnya Kahlil Gibran melanjutkan puisi politiknya seperti berikut, “dengan kematian, Yesus telah menaklukan kematian, dan mawar dari kuburan roh dan kekuatan…..Dia tidak terbaring di batu yang terbelah di antara batu-batu.”

No comments: