Wednesday, January 23, 2008

Dilema Papalele

Abraham Runga Mali

Papalele adalah sebutan khas orang Flores atau orang Indonesia Timur pada umumnya untuk para pedagang kecil.

Ungkapan itu sinonim dengan kosa kata Jawa untuk menyebutkan para pedagang klontong yang menjunjung dagangannya dari satu tempat ke tempat yang lain.

Mereka adalah pedagang lokal yang menjual sembako atau hasil bumi lainnya setelah membeli dari para petani di sekitarnya. Dalam bahasa sosiolog Tilman Schield, papalele itu adalah pedlar.

Ketika belum ada kendaraan roda dua atau empat, pelaku pasar tingkat akar rumput ini berjalan kaki dari satu kampung ke kampung yang lain untuk menjajakan barang dagangannya yang sebagian besar adalah hasil bumi.

Setingkat di atas pedlar adalah trader, yaitu pedagang untuk tingkat regional.

Lebih tinggi lagi adalah merchant, yaitu label yang diberikan untuk pelaku perdagangan antar kawasan atau daerah. Dan level paling puncak adalah pelaku perdagangan tingkat nasional (national economy).

Mungkin, orang lain bisa membuat pembagian dan labelisasi yang lain lagi tentang aktivitas dan pelaku perdagangan. Tak jadi soal. Yang mau disoroti sekarang adalah kehidupan papalele sebagai fenomena sosial yang memang layak disimak. Terutama karena hidup mereka mereka yang statis dan nasib mereka yang tidak lebih baik dari para petani sekitarnya.

Asal tahu, hidup mereka ditopang dari keuntungan selisih harga hasil bumi yang diambil dari para petani dengan harga yang dijual ke tangan konsumen. Sebuah marjin yang biasanya sangat tipis.

Itulah sebabnya tidak banyak dari mereka yang berkembang menjadi pedagang besar. Nasib mereka tidak banyak berubah. Sudah puluhan tahun mereka masih saja menempati pojok-pojok pasar tradisional.

Selain menjual ke pasar, ada juga yang langsung menjual hasil bumi itu ke gudang-gudang yang dikelola para Baba (sebutan untuk para pedagang China). Baba-Baba inilah yan kemudian mengumpulkan komoditi dalam jumlah besar lalu dijual lagi di Surabaya, Makassar atau Denpasar.

Karena jumlahnya banyak dan marjinnya besar, tak usah heran kalau kelompok inilah yang meraup banyak keuntungan. Nasib para Baba ini tentu jauh lebih beruntung dari papalele.

Mengenai kehidupan papalele yang prihatin seperti ini, para sosiolog lalu menjelaskan bahwa mereka terjerat dalam sebuah dilema.

Pertama-tama harus ditelusuri bahwa kendati sebagai pedagang, mereka adalah produk dari komunitas petani di sekitarnya. Cara berpikir dan gaya hidup mereka tak jauh-jauh beranjak dari moral petani tersebut.

Mereka hidup hanya untuk bertahan supaya tidak mati. Tak ada perencanaan masa depan. Apalagi financial planning yang detil seperti dipraktekan orang berduit di ibu kota.

Para papalele itu mengambil bagian dalam penghayatan etika subsisten para petani. Etika yang oleh Clifford Geertz menjadi alasan terjadinya involusi bidang pertanian. Nilai yang memicu ekploitasi diri sendiri yang berkelanjutan seperti kata Chayanov dalam The Theory of Peasant Economy.

Karena berada di komunitasnya, mereka juga harus tetap mengikat tali solidaritas dengan komunitas asalnya. Mereka harus mengikut semua urusan adat istiadat dan ritus sosial yang ada di sana.

Terang saja, mereka harus membayarnya dengan tenaga dan uang yang tidak murah. Sebuah biaya sosial. Keuntungan dari hasil jual beli yang sudah sangat sedikit itu harus dibagi-bagikan lagi kepada keluarga dan kaum kerabat.

Bayangkan saat mereka membeli hasil bumi dari para petani di desanya. Harganya adalah harga perdamaian dan hasil kalkulasi tenggang rasa dengan orang-orang sekampungnya.

Kalau tidak, mereka akan dicap serakah dan tukang catut yang tidak solider dengan kaum kerabat dan tetangganya. Gempuran yang bertubi-tubi dari dalam kampungnya.

Seakan belum cukup, di luar kampungnya pun, mereka harus menerima tantangan. Saat harus menjual harga barang-barangnya, mereka berhadapan dengan masyarakat anonim yang menawarkan harga seenaknya dan cenderung tidak bersahabat.

Inilah dilema papalele, yaitu solidaritas dengan orang sekampung dan anarkisme orang-orang di luar komunitasnya.

Mereka yang mampu keluar dari dilema ini, akan menjadi pedagang yang berhasil. Itulah cerita dari sebagian besar para Baba, pedagang Arab, Minang atau Bugis di Flores selama ini.

Dan seperti ditulis Hans Dieter Evers dalam The Traders" Dilemma, keluar dari kampung dan menjadi diaspora adalah salah satu solusi dari cengkraman dilema ini.

Jauh dari kampung halamannya mengikis ikatan emosional dan kultural. Beradaptasi dengan masyarakat setempat tidak harus membuat mereka secara detil mengikuti setiap urusan adat dan tetek bengek kebiasaan di sana.

Untuk menghadapi anonimitas dan anarkisme di perantauan, sebagai diaspora, mereka membentuk ikatan atau jaringan internal di antara mereka. Mereka bukan saja hanya saling membantu dalam berdagang tapi juga saling meneguhkan apabila terjadi pengucilan dari masyarakat setempat.

Begitu juga pendekatan 'modal kultural' yang dilakukan para pedagang Arab yang sekaligus berfungsi sebagai 'guru agama'. Lebih dari sekadar menghormati mereka, orang-orang juga percaya pada apa yang dijualnya.

Semuanya itu merupakan penjelasan keberhasilan para pedagang diaspora. Jadi tak usah heran kalau di mana-mana sangat banyak para pedagang China, Arab, India atau Yahudi berhasil di perantauan.

Jangan kaget pula kalau papalele di Flores yang belum berhasil keluar dari dilema ini tetap saja keluar masuk kampung dan berkeringat di pasar-pasar tradisional. Entah sampai kapan.

No comments: