Sunday, January 20, 2008

Anjing dan Modal Yang Mati

Abraham Runga Mali

Dalam proses merampungkan bukunya The Mistery of Capital (2000), Hernando De Soto berada di Indonesia. Kunjungan itu merupakan bagian dari upaya untuk menjawab sebuah misteri besar mengapa modal mendapat atensi yang sangat besar di Barat, tetapi relatif kecil di negara-negara berkembang.
Pengalamannya dengan para petani Bali turut membantu De Soto menguak misteri besar itu. Saat berada 16 hari di Pulau Dewata, ekonom dari Peru itu bersama istrinya sempat berputar-putar di lahar pertanian di sana. Dia mencatat bahwa para petani di sana, tentu seperti para petani miskin di Dunia Ketiga, tidak memiliki informasi yang pasti soal batas tanahnya dan kepemilikannya secara jelas. Tapi, anjing-anjing mereka mengetahui hal itu.
Ketika berpindah dari lahan yang satu ke lahan yang lain, demikian De Soto, dia selalu disambut oleh gongongan anjing yang berbeda. Jadi, di Bali anjing lebih pintar dari manusia karena anjing-anjing itu lebih mampu membedakan kepemilikan tuannya masing-masing. Dengan agak sinis dia menulis, “Therefore, all the information you need is in the hands of Indonesian dogs. So, get the Indonesian dogs organinized. And everybody understood itu.”
Apa yang ditemukan De Soto di Bali memperkuat tesisnya bahwa penduduk miskin di Dunia Ketiga dan penduduk di negara-negara komunis yang miskin itu sebenarnya memiliki harta benda berlimpah. Tapi sayang harta benda itu tidak memiliki nilai ekonomis.
Orang-orang miskin ini mengalami kendala besar bagaimana menjadikan aset dan kekayaannya itu sebagai modal. Kalau pun itu disebut modal, maka tumpukan harta itu adalah ‘modal yang mati’. Modal mereka busuk, tak bisa dimanfaatkan untuk melipatgandakan lagi modal. Padahal, modal itu penggerak utama perekonomian dewasa ini.
Orang-orang miskin ini memiliki rumah, tapi mereka tentu tidak memiliki sertifikat yang kemudian bisa dijadikan agunan. Mereka memiliki ternak dan hasil kebun, tetapi mereka tidak memiliki akses ke pasar untuk ditukarkannya menjadi uang. Mereka berkeringat dan berusaha, tetapi tidak memiliki perusahaan.
Padahal, kalau dikalkulasikan harta orang-orang miskin ini bukan main banyaknya. Menurut riset De Soto dan rekan-rekannya, total nilai properti rumah-rumah petani dan pemukiman di Haiti bisa setara dengan US$5,2 miliar. Angka ini sama dengan empat kali semua aset perusahaan yang beroperasi secara legal di negara itu, sembilan kali nilai aset yang dimiliki negara, dan 158 kali total invetasi asing yang langsung masuk (foreign direct investment) ke kawasan itu.
Sama persis yang terjadi dengan ‘modal mati’ perumahan di Mesir yang mencapai US$240 miliar. Jumlah ini sama persis dengan 30 kali nilai saham yang tercatat di Cairo Stock Exchange, dan 55 kali nilai investasi yang dibawa langsung oleh investor-investor asing.
Bahkan kalu ditotal semua aset real estate yang merupakan ‘modal mati’ di semua negara Dunia Ketiga dan negara-negara bekas Sovyet mencapai US$9,3 triliun. Jumlah yang luar biasa. Konon, jumlah ini dua kali dari total sirkulasi uang di negara Paman Sam, atau setara dengan total nilai saham yang tercatat di 20 bursa negara maju seperti New York, Tokyo, Frankfurt, London, Toronto, Paris, Milan, Nasdaq dan sejumlah kota besar lainnya.

No comments: