Sunday, January 20, 2008

Bangkit

Abraham Runga Mali

Menjelang atau di tengah suasana peringatan kematian Yesus pada Paska tahun ini, suara penyair Kahlil Gibran agaknya layak didengar lagi. Penyair asal Libanon ini pernah merenungi penderitaan Yesus di salib seperti tertuang dalam kumpulan puisinya, Jesus, the Son of Man.
Dalam salah satu sajaknya dia menulis “Ketika Orang kesayangan itu mati, seluruh umat manusia pun mati, seluruh makhluk sejenak terdiam dan kelabu. Ufuk timur menggelap, badai terlepas dari sana menyapu daratan. Mata langit berkedipan, hujan tercurah dari saluran membasuh darah yang mengucur dari tangan dan kakiNya.”
Gibran tentu benar bahwa umat manusia pantas berkabung ketika seorang pewarta dan pejuang kemanusiaan itu mengakhiri hidupnya dengan cara mengenaskan. Dia mati di atas kayu salib. Kayu gantungan lambang penghinaan. Sebuah risiko yang harus ditanggung lantaran keberaniannya melawan perselingkuhan kekuasaan, antara pemimpin agama Yahudi dengan penguasa politik Roma.
Pada saat itu, sebagian besar anggota masyarakat di tanah Yudea dirampas haknya atas nama pelanggengan dominasi dogma agama dan stabilitas sebuah imperium besar yang bernama Pax Romana.
Pernah terjadi ketika seorang perempuan yang kedapatan berzinah dibawa sekelompok masyarakat Yahudi ke hadapan Yesus. Dengan batu di tangan, dan itu sesuai dengan perintah Taurat, mereka siap merajam perempuan itu. Tapi, dengan tegas Yesus mengatakan, “Siapa dari antara kalian yang merasa tidak berdosa hendaklah yang pertama melemparkan batu itu kepada perempuan ini.”
Memang akhirnya mereka bubar dan pulang satu demi satu. Mereka sadar kalau tak satu pun dari mereka yang tidak berdosa. Mereka berlaku tidak adil. Mereka --karena tuntutan tata aturan dan struktur sosial saat itu—berusaha merampas hak hidup yang menjadi milik wanita malang itu.
Yesus membela dan mengembalikan hak hidup perempuan pelacur tadi Tapi, tak dapat dihindari, dengan semangat pembaruan yang heroik seperti itu, Yesus akhirnya berkonfrontasi dengan pemimpin masyarakat Yahudi yang setia mewarisi ajaran Taurat yang dibuat sejak zaman Musa.
Dalam contoh di atas Yesus keluar sebagai pemenang. Mungkin juga pada banyak contoh yang lain. Tapi, nusuh-musuh Yesus tak tinggal diam. Tibalah saatnya yang tepat ketika Yesus terang-terangan menyebut dirinya ‘Tuhan’ dan ‘raja’ orang Yahudi. Kata-katanya itu dianggap mengganggu ketentraman religius dan politik.
Para imam Yahudi berkumpul dan sepakat mempersoalkan Yesus pada sebuah pengadilan agama. Maklum, di Israel saat itu, agama dan negara tak bersekat. Melalui proses yang melelahkan, pengadilan tidak menemukan kesalahan Yesus. Lalu dia dibawa ke pengadilan negara.
Untuk menjaga popularitasnya, Pilatus sebagai penguasa Roma di Yudea saat itu tak bisa berbuat lain. Menghukum Yesus atau kehilangan popularitas. Kendati dengan harus mencuci tangannya (Pilatus benar-benar mencuci tangan dalam arti yang sebenarnya) untuk menandai pelepasan tanggungjawabnya atas darah Yesus, dia merestui tuntutan para pemimpin Yahudi. Sebagai ganti, Pilatus membebaskan seorang penjahat yang bernama Barabas.
Kayu siksaan yang berat itu dipikul Yesus mulai dari kota Yerusalem menuju sebuah bukit di luar kota yang bernama Golgota. Disertai arak-arakan yang memperolok-olok penyiksaan itu. Di atas bukit itu, tangan dan kaki Yesus dipaku. Lengkap sudah jalan penderitaan (via dolorosa) itu.
Jalan salib itu belum berakhir. Dia masih bisa hadir di mana dan kapan saja. Selalu berulang dalam sejarah perabadan umat manusia. Bahkan, setiap hari ada penyaliban atas orang-orang kecil dan tertindas di sekitar kita. Atau mungkin kita sendiri adalah orang-orang tersalib itu.
Penyaliban itu tengah dialami orang-orang yang menderita akibat kenaikan harga minyak. Jalan penderitaan itu juga sedang ditapaki para pencari kerja di negara tetangga. Begitu juga penderita korban Tsunami di Aceh dan mereka yang kelaparan di Lembata sedang memanggul salib penderitaan itu.
Tapi, apakah cerita lalu berakhir? Tentu tidak. Sejarah justru mencatat sebaliknya. Para pengikut Yesus, yang sebagian besar adalah para nelayan itu, berhasil menembus jantung kekaisaran Roma. Dengan pengorbanan yang sangat besar, sebagian dengan darah dan nyawa, kota Roma yang kafir dengan pemimpinya yang bejat dan sewenang-wenang akhirnya berhasil ditaklukan.
Di Roma, Yesus yang sudah mati konyol itu seolah-olah tetap hidup dan menyemangati para pengikutinya. Kendati tidak hadir lagi secara fisik, semangat Yesus membakar mereka. Yesus sudah bangkit, demikian keyakinan mereka.
Dalam keyakinan serupa, Kahlil Gibran pun melanjutkan puisi politiknya, “dengan kematian, Yesus telah menaklukan kematian, dan mawar dari kuburan roh dan kekuatan…..Dia tidak terbaring di batu yang terbelah di antara batu-batu.”
Kebangkitan itu sudah terjadi dan akan terus terjadi. Mereka yang sedang mati semangatnya lantaran tekanan ekonomi yang kian berat, mereka yang diusir secara tidak hormat dari negara tetangga, mereka yang menderita akibat tsunami dan kelaparan mestinya sekarang bangkit. Merekamasih bisa membusungkan dada dan menatap masa depannya dengan asa yang terbakar.
Seorang pencetus teologi pembebasan dari Amerika Latin, Leonardo Boff dalam bukunya Way of the Cross Way of Justice, berujar: Dimana saja kehidupan manusia yang asali bertumbuh, di mana saja keadilan menang atas dorongan untuk berkuasa, di mana manusia mengupayaka perdamaian dan persaudaraan sejati, di mana saja cinta menang atas egoisme, dan di mana saja harapan mengalahkan rasa putus asa dan sinisme, di sana proses kebangkitan sedang terjadi dan akan menjadi kenyataan. Bangkit!

No comments: