Monday, January 21, 2008

Ekofeminisme

Abraham Runga Mali

John Gray boleh saja berbicara tentang makhluk bumi yang menjadi semakin emosional. Dalam bukunya Men are from Mars, Women are from Venus, dia menulis tentang karakter laki dan perempuan yang berbeda an bagaimana mereka mengelola perbedaan itu. Laki-laki adalah makhluk Mars yang rasional. Perempuan itu makhluk Venus yang emosional.
Dalam perkembangannya, terutama karena desakan teknologi, demikian Gray, bumi dikuasai oleh makhluk dari Venus. Bumi menjadi lebih emosional. Perempuan menguasai bumi. Tentu termasuk mereka mendominasi karakter dalam berbisnis. Bisnis sekarang ini harus menyertai dimensi keperempuanan. Tanpa itu, pebisnis akan mengalami kesulitan menembus pasar yang sebagaian besar akonsumennya adalah memang kaum perempuan.
Kalau boleh menghadapkan dengan pandangan yang lain, kenyataan perempuan dalam bisnis akan dilihat dengan perspektif yang sangat lain. Dalam pandangan ini, hiruk pikuk perempuan dalam bisnis lebih merupakan dampak dari perkembangan kemajuan manusia. Perempuan dipandang sebagai korban. Pandangan seperti ini berangkat dari sebuah dominasi logika dualistik yang sangat kental di masyarakat barat, tempat di mana modernisme disemaikan dan dibesarkan.
Logika ini mempertentangkan jiwa -badan, laki-laki-perempuan, penis-vagina, maskulinitas-feminitas, manusia-alam dan seterusnya. Ada yang menjelaskan bahwa logika ini anak kandungnya modernisme memalaui paradigma Cartesian-Newtonian.
Ada yang berpandangan lain bahwa logika ini sudah jauh lebih dulu ada dari modernisme. Dia adalah kakek moyangnya modernisme. Dia bisa ditemukan di jejak lorong sekolah Yunani, atau di serpihan ayat-ayat Taurat .
Bahkan, dalam cara manusia jaman itu mengerti tentang Tuhan yang eksistensinya digambarkan terlepas dari ciptaan—terutama dalam agama-agama monoteistik--sudah tersirat benih-benih dualistik itu. Tentu secara lebih gamblang lagi tertera dalam, agama monoteis yang terang-terangan mendeskripsikan Tuhan dengan sebutan Bapak yang mengacu pada jenis kelamin tertentu.
Urutan pemikirannya demikian. Kemampuan Tuhan yang menciptakan alam semesta itu termanifestasikan—tentu hanya sebagaian kecil saja--dalam diri manusia yang rasional yang tentu bisa menciptakan dan mengembangkan alat dan teknologi. Laki-lakilah adalah gambaran yang paling pas dari kemampuan manusia yang mengembangkan teknologi ini.
Salah satu bidang garapan paling tua adalah tanah. Perempuan adalah simbol tanah atau bumi yang digarap itu. Dia harus digarap habis agar bisa melahirkan kehidupan, kemajuan dan perabadan.
Modernitas adalah hasil dai cara berpikir seperti itu. Memang di balik kemajuan ini, selain pendewaan rasionalitas, nuansa paternalistik kekerasan , penaklukan dan diskriminasi adalah menopang kemajuan itu. Alam digarap habis. Tanah diekplorasi. Perempuan pun ditindas. Begitulah kira-kira dampak dari kemajuan kalau hendak direkontruksi dengan cara berpikir dualistik tadi.
Sekarang ini dampak tersebut kian nyata. Kerusakan alam semakin menjadi-jadi. Eksplorasi terhadap perempuan kian intens. Salah satu eksplorasi paling mutakhir adalah menyertakan perempuan dalam iklan dan menjadikan mereka obyek dari produk-produk teknologi. Harapannya, teknologi kian berkembang dan peradaban—tentu dari cara pemahaman dualistik—makin modern dan maju.
Agar tidak terlalu repot dan menjadi beban psikologis ketika melihat perempuan, bisa saja kita menyetir pendapat Gray yang lebih positif terhadap posisi perempuan dalam dunia bisnis. Tentu sah-sah sah saja kalau ada yang berpikir positif tentang makhluk dari Venus itu. Tapi, tidak demikian dengan kaum perempuan yang sadar bahwa kaumnya sering dijadikan korban untuk sebuah keuntungan dan kemajuan peradadan seperti yang didisain secara sadar atau tak sadar oleh kaum pria.
Salah satu pembrontak perempuan itu adalah Francoise d’Eaubonne yang pada tahun 1974 menulis buku Le Femenisnme ou La Mort. Tentu saja feminis Perancis ini berusaha untuk lepas dari kungkungan logika dualistic. Dia mengeritik modernisme. Sasaran utamanya adalah paradigma Cartesian-Newtonian yang menjadi pilar utama modernisme.
Dalam pandangannya, Francoise tidak hanya mempersoalakan subordinasi perempuan, tetapi juga subordinasi alam dan lingkunan (ekosistem). Ekofeminisme yang diperkenalkan itu secara frontal menyerang dua penyanggah utama modernisme. Pertama adalah antroposentrime , paham yang menempatkan manusia lebih tinggi dari makhluk dan ciptaan lain, dan kedua adalah androsentrisme, pandangan yang menempatkan posisi dan kepentingan laki-laki lebih tinggi dari perempuan.
Kemampuan ekofeminisme mengorek akar persoalan menjadikan dia sebagai salah satu pisau analisa yang cukup tajam untuk membedah berbagai persoalan sosial cultural seperti persoalan jender, masalah dominasi kelompok atau etnik, termasuk kerusakan lingkungan yang kian mencemaskan.
Tentu saja, menurut pandangan kaum feminis terutama yang mengusung ekofeminsime itu, hiruk pikuk kehadiran perempuan dalam dunia bisnis tentu saja sebagai bagian dari proses subordinasi terhadap perempuan. Kalau demikian, mana yang sebenarnya sedang memenangi pertarungan di bumi ini, mahluk dari Venus atau makhluk dari Mars? Atau jangan-jangan dua-duanya memang bakal kalah dan bumi pun benar-benar akan berantakan. U

No comments: