Tuesday, January 22, 2008

Kaya dengan Modal Spiritual

Abraham Runga Mali

Menjadi kaya, hidup makmur dan sejahtera adalah idaman hampir semua orang. Untuk mencapainya perlu dikerahkan segala daya upaya dan kekuatan. Uang, sumber daya alam, bakat dan pengetahuan serta jaringan bahkan pertemanan bisa dijadikan modal dalam usaha mengejar kekayaan. Tapi, jangan lupa Anda perlu menyertakan satu modal lagi yaitu modal spiritual.

Mungkin Max Weber adalah salah satu yang paling serius menjelaskan bagaimana motivasi moral-keagamaan mempengaruhi orang untuk bekerja keras dan menghasilkan uang.

Dalam bukunya The Protestant Ethic, dia mengambil contoh nasihat Benyamin Franklin, seorang Bapak Amerika yang menjadi landasan keagamaan bagi perilaku ekonomi yang rasional. Nasihatnya begini. "Ingat, waktu adalah uang, kredit adalah uang, dan kejujuran bermanfaat dalam bisnis."

Nasihat Franklin itu tidak hanya menjadi inspirasi, tetapi sekaligus menjadi pegangan bahwa etos kerja keras mencari uang, semangat menabung dan investasi untuk mencari keuntungan yang lebih besar adalah sebuah panggilan hidup. Konon, etika kaum Calvinis ini diyakin sebagai cikal bakal semangat kapitalisme.

Dalam semangat inilah kebanyakan bisnis dijalankan hingga sekarang. Tapi, perhatian yang berlebihan pada kerja keras dan mencari untung yang besar menimbulkan sebuah efek baru. Pelaku bisnis terjebak pada semangat bertarung yang saling menghancurkan. Ujung-ujungnya justru bisa mencelakakan kelangsungan bisnis.

Bisnis dan spiritualitas

Dalam semangat ini, bisnis dan spiritualitas seringkali dipertentangkan. Bisnis-kegiatan untuk mencapai kemakmuran-diidentikan dengan keuntungan. Bila perlu keuntungan itu diraih secepat-cepatnya dan dikumpulkan sebesar-besarnya.

Lalu, para pebisnis digambarkan sebagai orang yang memperhatikan kepentingan diri sendiri, egoistis, serakah, oportunistik, berpikir hanya sebatas kepentingan dunia, dan seterusnya.

Sebaliknya, spiritualitas biasanya identik dengan sikap-sikap altruistik [mengutama kepentingan orang lain], rela berkorban demi orang lain, dan semacamnya. Pokoknya yang baik-baiklah.

Akhir-akhir ini muncul kesadaran baru untuk mendamaikan keduanya. Maka muncul semacam semangat untuk lebih menggali nilai-nilai spiritual secara lebih komprehensif yang kemudian bisa dijadikan pedoman dalam berbisnis.

Pertanyaannya justru begini, mungkinkah bisnis dijalankan dengan perlengkapan nilai-nilai spiritual? Atau pertanyaannya bisa dibalik, mungkinkah seorang yang bervisi spiritual bisa menjalankan bisnis dengan tetap menghasilkan keuntungan?

Tentu saja bisa. Begitulah sekurang-kurangya yang juga diyakini Safir Senduk, salah seorang perencana keuangan ternama. "Saya kira itu tak masalah kalau nilai-nilai religius diterapkan dalam kegiatan bisnis. Saya kira apa yang dilakukan oleh Aa Gym [KH. Abdullah Gymnastiar] adalah sebuah contoh yang bagus."

Memang kyai kondang yang satu ini merupakan contoh yang sangat inspiratif bahwa dalam dirinya mistik dan bisnis bisa menyatu. Dia tidak hanya sekadar mengajarkan nilai-nilai spiritual, tetapi berusaha menghayatinya ketika menekuni berbagai kegiatan usaha.

Melalui Manajemen Qolbu-nya, Aa Gym menggerakkan berbagai unit usahanya seperti mini market, lembaga keuangan mikro, sanggar busana muslim, production house dan televisi dan berbagai kegiatan bisnis lainnya.

Intinya bisnis yang dia jalankan tidak sekadar untuk mencari keuntungan, tetapi juga membantu orang lain mencapai kesejahteraan. Dan lebih dari itu sebagai pelaku bisnis, Aa Gym melengkapi dirinya dengan keutamaan-keutamaan spiritual seperti yang diajarkan Al Quran.

Kecerdasan spiritual

Tentang modal spiritual kita pun bisa belajar dari Danah Zohar dan Ian Marshall. Dalam buku mereka Spiritual Capital: Wealth We Can Live by, keduanya sangat menekankan pentingnya kecerdasan spiritual dalam dunia bisnis. Agar bisnis yang dijalankan tetap berkelanjutan, demikian Zohar dan Marshall, kecerdasan spiritual harus bisa bersinergi dengan modal material dan modal sosial.

Apa itu kecerdasan sosial? Untuk menjelaskan spiritual quotation (SQ), keduanya meminjam tingkatan motivasi yang disusun psikolog Abraham Maslow. Dalam diri manusia, demikian papar ahli psikologi humanis itu, ada tingkatan motivasi, mulai dari tingkat yang rendah seperti motivasi memenuhi rasa lapar, menghindarkan diri dari rasa takut sampai motivasi yang lebih tinggi seperti bereksplorasi, bekerja sama dan melayani orang lain dengan lebih baik.

Kecerdasan spiritual berkaitan dengan kemampuan seseorang mengelola motivasi ketika melakukan suatu kegiatan. Jadi ketika seseorang mampu mendasarkan kegiatan bisnisnya dengan motivasi yang semakin luhur, maka orang itu memiliki SQ yang tinggi.

Dari berbagai penjelasan, kedua penulis tersebut berusaha menawarkan sebuah visi dan kultur baru, yaitu visi spiritual.

Dalam visi ini, orientasi bisnis tetap pada profit, tapi bukan lagi bagi diri sendiri, melainkan bagi orang lain [seluruh stakeholder] yaitu karyawan, pemilik, mitra kerja, keluarga, masyarakat, bahkan lingkungan alam dan seluruh kehidupan manusia.

Dan tentu saja nilai-nilai spiritual yang bisa dipakai sebagai kultur dalam berbisnis bisa dijumpai dan diambil dalam berbagai sumber, entah itu agama, kebudayaan dan tradisi-tradisi tertentu.

Dari nilai-nilai itu, Peter Senge, pendiri Society for Organisational Learning dan profesor di Massachusetts Institute of Technology, dalam artikel Spirituality in Business and Life: Asking the Right Questions, mengharapkan agar nilai-nilai spiritual itu bisa menjawab persoalan kunci, bagaimana seseorang bisa hidup berdampingan satu dengan yang lain, bagaimana dia bisa hidup selaras dengan dunia di sekitarnya.
Jadi, singkat kata, Anda boleh saja mencari keuntungan. Tapi jangan sampai kegiatan ekonomi Anda merusak hubungan dengan sesama dan alam sekitarnya. Uang dan kekayaan itu penting, tapi bukan segala-galanya. Masih ada keselarasan hidup dengan sesama dan alam, dan bahkan masih ada surga yang tentu saja bagi sebagian orang jauh lebih berharga dari segala jenis harta apapun

No comments: