Thursday, January 31, 2008

Sol Invictus

Abraham Runga Mali

Renungan meyambut Hari Natal dan Tahun Baru

Setiap hari raya Natal, 25 Desember, orang Kristen memperingati ‘dies natalis’ (hari kelahiran) Yesus. Setelah itu, delapan hari sesudahnya, 1 Januari, dirayakan hari baru pada awal tahun yang ditetapkan berdasarkan tampilnya Yesus dalam pentas sejarah umat manusia. Perhitungan waktu yang didasarkan pada kelahiran Yesus sebagai Mesias atau Masehi itu meruapakan alasan mengapa kalender yang dipakai hingga saat ini disebut kalender masehi.
Tapi, mengkaitkan perhitungan waktu ‘sejarah’ dengan peristiwa kelahiran Yesus itu justru mendatangkan pertanyaan yang sukar dijawab. Karena kemudian muncul pertanyaan, mengapa kedua hari itu tidak jatuh pada tanggal yang sama? Mengapa kelahiran Yesus tidak jatuh pada 1 Januari? Mengapa Natal yang pada 25 Desember tidak dijadikan awal perhitungan kalender?
Persoalannya, Alkitab yang menjadi sumber kesaksian utama kehidupan Yesus itu tidak banyak membantu untuk menguak fakta kelahiran Yesus. Maklum, Alkitab itu bukan buku sejarah. Dia adalah buku pengalaman iman. Dari awal, para murid Yesus tidak tertarik pada persoalan sejarah kehidupan Yesus. Termasuk murid-murid yang yang sempat menulis kesaksian itu.
Bagi mereka, kelahiran Yesus bukan titik tolak pengalaman. SebalikNya, kematian dan penderitaanNya. Itulah sebabnya kisah penderitan dan kematian Yesus merupakan bagian yang paling awal ditulis dari semua episode Perjanjian Baru. Bahkan, menurut sejumlah ahli kekristenan, bagian Alkitab inilah yang paling mendekati kebenaran sejarah. Yaitu peritiwa sekitar perjalanan Yesus menapaki ‘via dolorosa’ (jalan penderitaan) saat memanggul salib hingga kematianNya di bukit Golgota.
Pada bagian ini cerita tentang Yesus tampak sangat detil. Sedangkan tentang bagian kehidupan yang lain—termasuk kisah kelahiran dan maa kecilNya—hanyalah penguat penjelasan tentang makna penderitaan dan kematian Dia.
Memang dalam kekristenan bagian yang harus terus dikenang adalah ‘perjamuan terakhir’—menjelang kematianNya--saat Dia membagikan roti dan anggur kepada para muridNya.
Karena di sinilah secara simbolis Dia menjelaskan ‘makna paling dalam’ kehidupanNya. Dia hidup untuk membagikan diriNya kepada sesama. Roti adalah ‘tubuh” dan anggur adalah ‘darah’ yang harus siap dihidangkan kepada sesamja. Dia meminta para pengikutNya untuk meneladani Dia dengan menjadi ‘roti’ dan ‘anggur’ bagi orang yang membutuhkan.
Permintaan yang tidak mudah dijalankan. Karena itu pada peristiwa Natal orang Kristen diingatkan akan teladan utama ini. Dia datang dalam kesederhanaan. Sebuah cerita awal dari seluruh hidupNya yang datang untuk melayani, solider dengan sesama. Tidak lebih dari itu.
Terkadang pesan ini dikaburkan dengan perayaan Natal yang gemerlap. Sebuah suka cita akan kedatangan Mesias yang terkadang mendekati foya-foya. Natal, terutama kemeriahan perayaannya saat ini lebih merupakan sebuah kebudayaan yang ditambahkan kemudian.
Konon, hingga abad ke empat orang Kristen merayakan Natal pada 6 Januari yang hingga sekarang masih dipertahankan oleh kalangan Kristen Ortodoks. Pada 315 M, Constantinus mengeluarkan peraturan keagamaan yang mengadaposi tradisi agama asli orang-orang Roma yang menyembah Dewa Matahari. Tanggal 25 Desember yang merupakan hari peringatan Dewa Matahari yang dikenal sebagai Sol Invictus. Lalu hari Matahari (Sun-day) juga diusulkan menggantikan hari libur yang diberlakukan hingga sekarang ini.
Jadi bukan hanya penetapan tanggalnya saja, tetapi cara merayakan lebih merupakan urusan tradisi dan kebudayaan bangsa Eropa. Hampir tak terkait sama sekali dengan sosok historis Yesus berbangsa Semit dan merupakan pemilik pertama tradisi pengakuan monoteisme melalui Yahweh yang mereka sembah. Selanjutnya Natal menjadi sedemikian ceria karena embel-embel di sekitarnya seperti lagu Natal, pohon dan gua Natal, sandiwara, kartu, hadiah, pakaian dan Sinterklas.
Ujung-ujungnya, Natal bukan hanya urusal ritual keagaamaan dan kebudayaan, tapi juga urusan ekonomi keluarga Anda.

No comments: