Sunday, January 20, 2008

Berawal dari O’Hare Inn

Abraham Runga Mali

Menjelang Natal 1969 di O’Hare Inn, Chicago. Di hotel dekat bandara kota itu berkumpul 13 praktisi finansial di bawah pimpinan Loren Dunan yang kemudian dikenal sebagai pendiri Financial Planning.
Di tengah kondisi perekonomian Amerika Serikat yang tengah mengalami resesi, mereka berpikir bagaimana menjual produk keuangan tanpa harus menyerahkan nasib mereka pada situasi yang dihadapi.
Mereka mulai memikirkan lebih serius bagaimana mendekati diri secara lebih profesional kepada nasabah. Sesuatu yang hanya mungkin dicapai kalau mereka dilengkapi dengan standard etika dan pengetahuan yang lebih komprehensif mengenai kebutuhan para nasabah.
Dari hasi pertemuan sejumlah broker asuransi, pedagang saham dan penjual produk perbankan itu lahirlah sebuah kelompok baru. Pada 1970 terbentuklah sebuah asosiasi yang dinamakan Association of Financial Planners yang kemudian diubah menjadi International Association of Financial Planning (IAFP).
Misi asosiasi ini adalah meningkatkan pelayanan jasa keuangan yang lebih berkualitas. Untuk mewujudkan misi tersebut pada tahun berikutnya berdirilah sebuah pendidikan khsusus untuk perencanaan keuangan (College for Financial Planning) yang sekaligus mengeluarkan serfikat bagi mereka yang menyelesaikan pendidikan dari tempat itu.
Pada tahun 1973 terdapat 42 murid pertama yang menerima sertifikat perencana keuangan (Cerficated Financial Planner). Dua belas tahun kemudian sekolah perencanaan keuangan itu berubah menjadi satu institusi dengan nama Certified Financial Planner Board of Standards.
Dalam perjalanan waktu yang cukup singkat bertumbuhlah sebuah industri dan profesi baru. Perencana Keuangan. Perkembangan yang sangat pesat sampai-sampai di negara asalnya saaat ini, profesi itu setara ketenarannya dengan lawyer ataupun dokter.
Kalau pada 1973 baru 43 orang yang memiliki sertifikat, maka pada tahun 2000 jumlahnya menjadi 34.655. Lagi pula, menurut Survey of Trends in Financial Planning yang dikeluarkan Pusat Pendidikan Perencanaan Keuangan yang berkedudukan di Denver, rata-rata penghasilan profesi ini pada tahun 1997 sebesar US$111.000. Itu berarti banyak perencana keuangana yang memiliki penghasilan yang lebih besar dari jumlah tersebut.
Tentu ini luar biasa. Mengapa banyak orang tertarik terjun di profesi ini? Berdasarkan survei dari lembaga yang sama setahun kemudian, alasan pertama adalah mereka tertarik untuk meningkatkan kualitas hidup nasabah. Sebuah kualitas hidup yang mungkin dicapai kalau mereka mendapatkan informasi dan persiapan secara finansial untuk menata masa depan mereka.
Sedangkan alasan bahwa profesi ini memiliki risiko bisnis yang paling kecil justru berada pada tempat terakhir.
Menurut penulis buku Getting Started As Financial Planning, Feffrey H. Rattiner (2003), motivasi perencana keuangan itu seakan menjawab kebutuhan yang terjadi di tengah masyarakat yang benar-benar mendambakan kehidupan yang lebih baik.
Selain itu, kebutuhan masyarakat yang dihadapkan dengan berbagai pilihan produk finansial yang semakin bereneka ragam itu harus dilihat secara lebih lengkap dan menyeluruh. Mulai dari kebutuhan untuk menabung dan investasi hingga perencaaan pensiun mereka.
Pekerjaan itu yang tidak bisa dilakukan oleh para perofesional perbankan, agen asuransi, broker dan manajer investasi. Karena mereka melakukan pekerjaan tanpa melihat kondisi dan kebutuhan nasabah secara komprensif.
Di Indonesia orang sering mencampuradukkan peran perencanaan keuangan dengan seorang manajer investasi. Seorang perencana keuangan hanya merencanakan dan mengarahkan nasabahnya untuk menggaturkan keuangan secara benar. Seorang perencana keuangan tidak mengelola keuangan nasabah secara langsung seperti yang dilakukan seroang manajer investasi.
Maka jangan kaget kalau sering terjadi konflik kepentingan apabila seorang manajer investasi sekaligus bekerja sebagai perencana keuangan. Karena bukan tidak mungkin dalam merencanakan keuangan nasabah, mereka akan mengarahkan nasabahnya untuk memilih produk investasi reksa dana yang mereka kelola sendiri.
Seperti di Amerika Serikat, lanjutnya, bukan hanya manajer investasi dan pialang saham yang saat ini banyak terjun ke industri perencanaan keuangan, tetapi juga dari agen asuransi. Mereka juga berpotensi melakukan kesalahan yang sama karena benturan kepentingan.
Untuk itu perlu diperhatikan integritas para perencana keuangan. Integritas yang mau tidak mau harus ditempa melalui pendidikan yang bekelanjutan dan diformalkan melalui sertifikasi bagi para perencana keuangan. Di negara tetangga, Malaysia, sejak 5 Januari 2004, semua perencana keuangan diharuskan untuk mendapat linsensi dari pengawas pasar modal. Kapan di Indonesia?

No comments: