Monday, January 21, 2008

Paus, Konglomerasi Vatikan dan Kapitalisme

Oleh Abraham Runga Mali

Tulisan ini (terbagi dalam tiga bagian) dibuat pada saat dunia berkabung atas meninggalnya Paus Yohanes Paulus II.


(Bagian Pertama dari tiga tulisan)

Paus Yohanes Paulus II telah pergi. Jumat, akhir pekan lalu dia dimakamkan. Seperti layaknya seorang pahlawan, dia diantar ke pemakaman dengan keharuan dan kekaguman yang luar biasa. Kehadiran ratusan pemimpinan negara merupakan bukti bahwa dunia kehilangan seroang pemimpinnya yang terbaik.
Pantas saja puluhan gelar diberikan kepadanya.Paus peziarah, pahlawan kemanusiaan, pejuang keadilan, pelopor dialog antar umat beragama dan seterusnya. Bahkan, ada yang menyebutnya sebagai salah satu pemimpin agama paling termuka di abad 20 ini. Puji-pujian yang bisa saja layak, tetapi bisa juga berlebihan.
Ketika Karol Wojtyla—nama asli paus--merayakan ulang tahun penobatannya sebagai paus dua tahun yang silam,, sejumlah TV di Jerman mendiskusikan perannya yang sangat besar dalam mengubah peta politik dunia. Yang menjadi sorotan utama adalah kontribusinya dalam membangkrutkan komunisme dunia.
Tentang keberhasilannya pada bidang yang lain seperti merintis dialog antar agama, pemimpin gereja itu hanya meneruskan dan mengejawanatakan semangat yang sudah tertuang dalam Konsili Vatikan II tahun 1962. Memang sebagai kardinal dia terlibat aktif dalam konsili itu, tetapi menyepelekan peran Paus Yohanes XXIII sebagai pembuka dan Paus Paulus VI sebagai penutup perhelatan akbar yang berlangsung dua tahun itu agaknya kurang adil..
Dalam forum –forum diskusi televis Jerman tahun 2003 itu, Paus disebut sebagai inspirator utama—tentu bersama Presiden AS saat itu, Ronald Reagan—dalam menghancurkan komunisme sebagai musuh utama dunia saat itu. Musuh agama, tetapi juga musuh ideologi kapitalisme. Maklum komunisme adalah ideologi yang meletakan dasarnya pada materialisme historis Karl Marx dan Lenin. Dia tidak hanya menafikkan eksistensi Tuhan, tetapi juga mempersetankan ekonomi pasar bebas yang diusung penganut kapitalisme.
Makanya tidak terlalu mengejutkan kalau Yohanes Paulus II sebagai Pemimpin Gereja—yang mewakili golongan agama—dan Ronald Reagan sebagai Presiden AS—yang mewakili negara kapitalis paling berpengaruh itu bisa berkonspirasi dan menyatukan kepentingan dan energi mereka dalam menyerang paham komunisme.
Dan memang demikian. Tahun 1979, setahun setelah dinobatkan menjadi paus ,dia kembali ke tanah leluhurnya Polandia yang saat itu terkoyak oleh ekspansi hegemoni Uni Sovyet, negara komunis paling utama dan berpengaruh saat itu. Di sana dia disambut jutaan orang yang sebagian besar berasal dari barisan pejuang kelompok Solidaritas pimpinan Lench Walesa.
Pertemuan dengan Paus menyulut semangat kaum buruh itu untuk terus berjuang. Gerakan Solidaritas itu kian mengeras. Perjuangan ‘solider’ ala kaum buruh itu—dengan senjata utamanya mogok--akhrinya membuka mata Gorbachov yang kemudian meniupkan semangat keterbukaan. Di ujung cerita, negara Uni sovyet berantakan dan hancurlah pula komunisme yang pada saat itu sudah dianuti sepertiga warga dunia.
Kehancuran komunisme tidak serta merta mengubah dunia. Kapitalisme yang hadir tanpa tanpa kontrol ternyata mendatangkan kecemasan baru. Amerika Serikat kemudian menjadi liar dalam mengelola ‘pasar bebas’. Dunia baru, tananan ekonomi dan peradaban baru yang dijanjikan Amerika Serikat tak kunjung datang jua. Malah sebaliknya dia menjadi imperialis baru yang terkadang tak sungkan-sungkan menggunakan senjata menghancurkan musuh-musuhnya. Lalu, apa bedanya dengan Sovyet dan komunismenya.
Kalau demikian, bagaimana Paus Yohanes Paulus II harus bersikap? Pertanyaan menjadi relevan, karena di satu sisi paus sebelumnya getol menentang komunisme dan sosialisme, tapi di pihak lain sekarang ini di negara-negara kristen, terutama di Amerika Serikat, kekeristenan berjalan bergandengan tangan dengan kapitalisme.
Pada pokok persoalan ini, agaknya Paus mau tidak mau harus berhadapan langsung dengan kepentingan AS. Sampai saat terakhir hidupnya, paus memang bersuara keras menentang sepak terjang Geroge Bush. Terutama saat Bush menyerang Irak. Mengapa Paus Yohanes Paulus II tidak mampu mengambil tindakan lebih jauh daripada hanya sekedar ‘bersuara’.
Mengapa Paus tidak menggagaskan sebuah solidaritas lain yang bisa menyulut sekurang-kurangnya ratusan juta pengikutnya di dunia untuk ‘mogok’ terhadap kepentingan AS? Mengapa Bapa Suci tidak segera memberi pendasaran teologis yang terus memberi inspirasi terhadap perjuangan itu?
Sebelum mencoba berspekulasi atas pertanyaan di atas mari kita lebih dulu memeriksa pandangan Paus tentang kapitalisme melalui dokumen yang dikeluarkannya pada tahun 1989, yaitu ensiklik Centesimus Annus (Tahun Keseratus).
Pandangan resmi Vatikan dalam dukmen resmi ini dikeluarkan dalam rangka memperingati ulang tahun seabad dokumen Rerum Novarum (Hal-Hal Baru) yang dikelurkan Paus Leo XIII tahun 1889 guna menanggapi persoalan-persoalan sosial baru yang muncul akibat industrialisasi dan persoalan kaum buruh di Eropa saat itu.
Baik dalam dokumen Rerum Novarum, maupun dalam dokumen gereja sesudahnya seperti ensilik Quadragesimo Anno (1931) oleh Pius XI, Mater et Magistra (1961), dan Populorum Progressio (1967) oleh Paulus VI persoalan seperti sosialisme, kapitalisme, pembangunan, perburuhan, sekularisme, hubungan modal dan pekerja, pandangan tentang kerja, birokrasi, keadilan, perhatian kepada orang miskin menjadi tema-tema yang diperbincang para pemimpin gereja.
Kajian-kajian terhadap persoalan sosial itu kemudian dipertegas lagi oleh Paus Yohanes Paulus II dalam tiga ensiliknya, yaitu Laborem Exercens (1981), Sollicitudo Rei Socialis (1987) dan terakhir adalah Centessimus Annus.
Terang-terangan para pemimpin gereja itu, sejak Leo XIII menentang sosialisme. Alasan mereka, paham itu tidak memberikan tempat yang layak pada pribadi manusia, pada kepentingan dan kebebasan pribadinya dalam mengambil keputusan dan bekerja.
Paham ini juga, demikian Yohanes Paulus II, akan menggantikan prioritas pribadi dengan mesin birokratisasi yang pada gilirannya akan menekan inovasi dan kreativitas manusia. Jelas, paham seperti ini akan mengganggu optimalisasi pembangunan dan pengembangan peradaban dunia.

(Bagian kedua dari tiga tulisan)

Karena itu, Paus dalam Centesimus Annus, beralih kepada paham ekonomi pasar yang dianjurkan oleh kapitalisme. Efisiensi menjadi pertimbangan utama. Dalam relasi antar pribadi, antar kelompok dan antar negara, pasar bebas merupakan instrumen yang paling efisien dalam menggerakkan semua sumber daya guna menjawab kebutuhan secara efektif. Begitu kira-kira keyakinan Puas Yohanes Paulus II.
Dalam rangka mendukung pasar ini, paus dalam ensilkliknya itu menekankan pentingnya keuntungan (profit), kepentingan pribadi seseorang dan kemampuan wirausaha (entreprenurship) dalam rangka menciptakan dan meningkatkan kemakmuran.
Kendati meyetujui ekonomi pasar, tentu saja, paus masih memberi ruang untuk menyoal kapitalisme. Karena paham itu, menurut dia, memberi peluang pada penyalahgunaan karena mengekploitasi kebebasan dan kepentingan pribadi secara berlebihan. Maka ketika disodorkan dengan kenyataan bahwa kapitalisme sekarang ini tidak membawa perubahan kepada negara dunia ketiga (Less Develped Contries), Paus Yohanes Paulus II seakan-akan kembali mengambil jarak dengan kapitalisme.
Menurut dia, kapitalisme global hanya akan berfungsi, terutama bagi negara dunia ketiga, apabila sistem itu menempatkan peran bisnis secara possitif dan fundamental, menghormati pasar, mengakui hak pribadi dan menciptakan rasa tanggung jawab terhadap penggunakan semua alat produksi dan kebebasan manusia dalam sektor ekonomi.
Atas kemandekan di negara dunia ketiga, Paus lalu menuduh perusahaan multinasional, mempersalahkan kontrol kekuatan asing terhadap politik domestik di negara-negara dunia ketiga, menyoal manajemen birokrasi di wilatah tersebut yang korup, serta menyodorkan fakta konflik yang berkepanjangan di negara-negara itu sebagai penyebab. Semuanya itu dikenali Paus sebagai faktor penghalang terhadap kemajuan negara-negara dunia ketiga.
Dengan sikap seperti itu Joseph M. Phillips, professor ekonomi dari Universitas Creighton dalam Centesimus Annus: “New Things,” Not New Principles”, menegaskan bahwa pendapat paus itu tidak memberi dukungan pada salah satu sistem ekonomi tertentu, atau membangun prinsip baru dalam mengevalusasi kenyataan ekonomi global.
Memang benar Ajaran Sosial Gereja bukan sebuah ideologi alternatif yang memberikan jalan tengah terhadap sosialisme maupun kapitalsime. Ajaran itu hanya memberi isnpirasi kepada orang yang mau menerimanya untuk berkiprah di tengah dunia. Pada akhirnya, Paus pun hanya mengobarkan seruan tanggungjawab bersama untuk memperbaiki dunia.
Seorang kritikus Gereja Katolik, Michael Greaney, menilai Vatikan terlalu bersikap lunak terhadap kapitalisme. Dia mencontohkan soal spekulasi yang oleh seroang teolog kawakan seperti Thomas Aquinas dalam bukunya Summa Theologica tidak dibenarkan secara moral, tapi dibiarkan begitu saja oleh para pemimpin gereja, tentu saja termasuk Paus Yohanes Paulus II.
Di sinilah letak persoalannya. Paus yang di satu pihak selalu mengobarkan keprihatinan terhadap orang miskin, di pihak lain telah memilih untuk mengabdi ‘pasar bebas’ yang hingga kini belum terbukti bisa memperbaiki dunia. Bahkan, kemiskinan sebagai realitas di dunia ketiga saat ini, diakui atau tidak, kian dipertegas oleh kapitalisme global.
Mestinya, seperti keterlibatan Paus dalam membangkurtkan komunisme—mungkin karena pengalaman pribadinya--paus secara pribadi diharapkan lebih tegas terhadap penyalahgunaan pasar bebas oleh negera-negara industri maju. Paus Yohanes Paulus II belum melakukannya.
Boleh-boleh saja dunia mengharapkan Paus yang akan terpilih dalam satu dua pekan ini akan lebih hebat membela keterpurukan negara dunia ketiga. Mungkin saja kalau Paus yang baru nanti berasal dari Amerika Latin atau negara dunia ketiga lainnya—karena pengalaman pribadinya—akan lebih tegas terlibat dalam menciptakan keseimbangan antata negara industri maju dan dan negara dunia ketiga.
Walaupun haruslah diakui bahwa pengharapan seperti itu akan tidak mudah menjadi kenyataan. Pasalnya, Vatikan memiliki kepentingan yang luar biasa besar dengan sistem kapitalis dan pasar bebas seperti yang berjalan saat ini. Kepentingan yang berawal pada kenyataan ini, yaitu Vatikan yang memiliki kekayaan yang luar biasa itu akan ‘lebih nyaman’ kalau selalu bergandengan tangan dengan para pendukung pasar bebas itu.
Dalam bukunya The Vatican Billions (1983), Avro Manhattan, memperlihatkan betapa Vatikan yang menjadi pusat dan pengendali sebuah institusi yang sudah berlangsung 20 abad itu menjadi sebuah perusahaan multinasional raksasa. Menurut taksiran, kekayaan Vatikan dan organisasi Gereja Katolik ini hampir dua pertiga dari kekayaan seluruh Uni Eropa.
Manhattan memperkirakan bahwa kekayaan Vatikan itu tak bisa dibandingkan dengan kekayaan dari perusahaan dan negara manapun di dunia ini. Tentu saja mestinya tak masalah kalau institusi ini memang memiliki kekayaan. Bahkan, seharusnya memang demikian agar adiministrasi dan misi organisasi yang sangat besar ini bisa dibiayai.
Sebagai organisator sebuah institusi yang sudah berlangsung dua ribu tahun, akumulasi modal seperti itu sepertinya tak terhindarkan.
Pada awalnya Vatikan menerima warisan pada tahun 321 dari kaisar Konstantinus. Warisan itu menjadikan pemimpin gereja itu berkuasa atas semua bekas daerah kekuasaan kekaisaran Roma. Hingga tahun 1170, Vatikan memiliki 61 raja yang setia pada kekuasaan Paus.
Perhatikan misalnya saat raja Henry dari Inggris berniat menaklukan Irlandia, Paus Hadrian IV menulis surat berikut: like all Chistian islands, undoubtedly belonged of right to St. Peter and Roman Church.”
Memang sejak-sejak abad pertama,, Paus yang juga menjadi pempimpin politik itu selalu menerima hadiah dan upeti dari raja-raja Eropa yang beragama katolik itu. Termasuk ketika Spanyol dan Protugis menguasai berbagai wilayah di dunia, terutama Amerika Latin.
Menurut penelitian Manhattan, hingga akhir era kolonialisasi, gereja menguasai hampir setengah dari total kekayaan Meksiko, Peru, Kolombia, Paraguai, Ekuador, dan hampir semua negara di Amerika Latin. Kekayaan itu sebagaian besar dikontrol oleh pejabat gereja melalui surat-surat berharga.


(Bagian terakhir dari tiga tulisan)
Memang dalam perjalanan sejarahnya, banyak sekali kekayaan itu diperoleh dengan memperjual belikan kegiatan rohani seperti membayar auang kepada pejabat gereja untuk memperoleh penghapusan dosa. Tindakan-tindakan terjadi begitu lama hingga diprotes oleh Marthin Luther melalui gerakan reformasi yang kemudian melahirkan Protestantisme. Termasuk Vatikan pernah mengeluarkan aturan tentang ziarah suci ke Kota Roma untuk mendapat pengampunan dosa.
Untuk menjaga dan mengembangkan kekayaan itu,tidak heran kalau Paus pada saat itu terlibat sangat jauh pada urusan-urusan politik. Konon, tandatangan antara Gereja Katolik dengan Nazi tahun 1933 merupakan sebuah perjanjian kerja sama agar Hitler menjaga Vatikan dan melindungi segala harta kekayaannya.
Begitu juga soal pajak gereja yang dikenakan terhadap masyarakat Jerman dan pemebasan pajak terhadap unit-unit usaha religius di Amerika Serikat merupakan warisan kompromi politik yang tetap dinikmati oleh gereja katolik sampai sekarang.
Sampai saat ini pun melalui derma mingguan (kolekte) yang dikumpulkan setiap minggu dan donasi dari berbagai orang katolik yang kaya di dunia terus mengalir ke Vatikan. Menurut perhitungan tahun 1980-an, uang yang dikumpulkan dari berbagai paroki di dunia ke Vatikan bisa mencapai US$2 miliar setahun.
Ini tentu belum terhitung lagi kekayaan dari ratusan serikat dan ordo dalam gereja katolik yang sangat setia pada Vatikan. Kelompok-kelompok biarawan dan biarawati ini melakukan tugasnya dengan prinsip otonom secara finansial. Paus tidak akan pernah mengakui eksistensi serikat atau ordo sebelum anggota-anggotanya bisa membiayai dan mengurusi keuangannya sendiri.
Uang yang banyak itu selalu menggoda pejabat Gereja di Vatikan itu untuk terus menggandakannya. Mereka lalu mulai memilikirkan berbagai peluang investasi dan mengikuti perkembangan instrumen-instrumen finansial mutahkhir. Bank of Holy Spirit (1608) dan Bank of Rome yang didirikan di Roma (1808) hadir untuk menjawab kebutuhan itu.
Pasar modal dimanfaatkan Vatikan. Diperkirakan 15% dari semua saham dan surat berharga yang tercatat di Italia Stock Exchange adalah milik Vatikan. Pada Februari 1968, Menkeu Italia mengumumkan bahwa Vatikan memilik saham senilai 100 miliar Lire.
Kekayaaan Vatikan itu belum termasuk deposito bank, obligasi pemerintah, emas dan aset-aset lain yang di investasikan di luar negeri. Bahkan, kalau semua dihitung semuanya bisa mencapai angka 7.000 hingga 8.000 miliar Lira Angka yang sangat fantastis.
Bukan hanya di Roma atau di Italia. Di setiap negara dan kota, masing-masing paroki dan keuskupan mengembangkan asetnya sendiri guna menopang institusi itu secara universal melalui peran Vatikan. Apa yang terjadi pada Gereja Katolik AS memberikan gambaran bahwa di negara yang mayoritas protestan itu pun Gereja Katolik melalui kegiatan paroki, keuskupan serta serikat dan ordo berhasil mengembangkan dana secara optimal.
Menurut catatan Manahattan, pada tahun 1980-an dari 414 ordo dan serikat para suster katolik melalui kegiatan sekolah, rumah sakit dan sebagainya itu berhasil mengembangkan aset hingga US$12,7 miliar. Sementara 125 serikat dan ordo pria di negara tersebut memiliki aset sekitar US$11 miliar. Selain sekolah, rumah sakit, mereka juga memiliki tanah perkebunan, pembuatan bir. Bahkan mereka juga melakukan investasi di sektor riil seperti minyak, baja hingga memberi saham dan obligasi di Wall Street dan berbagai bursa di kluar negeri.
Khusus untuk Serikat Yesuit misalnya, serikat biarawan terkaya di AS, yang memilliki pendapatan antara US$250 juta hingga US$ 280 juta per tahun. Serikat itu ikut memiliki sekiitar 28 universitas terkenal di AS. Mereka juga menamkan sahamnya di sejumlah industri, termasuk di empat industri penerbangan seperti Boeing, Lockheed, Douglas, dan Curtis-Wright.
Tak ketinggalan Serikat Yesuit ikut mengontrol saham di perusahaan minyak seperti Philips Oil Company, Creole Petrolium Co. yang memiliki banyak konsensi di Venezuela. Bahkan pada saat itu serikat yang didirikan oleh Ignasius Loyola memiliki 51 persen di Bank of America.
Memang cara mengembangkan kekayaan gereja di AS menjadi inspirasi bagi Vatikan dalam mengembangkan kekayaannya. Memang hasilnya luar biasa. Pada periode 1980-an gereka katolik di AS dan Kanada memiliki aset lebih dari US$120 miliar dengan pendapatan per tahun mencapai US$14 miliar hingga US$15 miliar.
Menyaksikan kekayaan Gereja Katolik yang begitu besar, Manhattan dengan sinis mengatakan bahwa gereja menjalankan tugas kerasulan bukan dengan kekuatan-kekuatan ilahi, tetapi dengan uang. Manhattan mungkin saja benar.
Tetapi yang lebih patut dicurgai adalah kemampuan Paus setelah Paus Yohanes Paulus II untuk bisa bersikap lebih kritis terhadap kapitalisme global pada saat Vatikan dan Gereja Katolik di dunia sedang mengambil manfaat dari ‘ekonomi pasar’ dan sistem kapitalisme yang menopanginya itu.
Andaikan Paus baru nanti bisa melakukannya, bukan tidak mungkin dia juga bisa menjadi besar, atau bahkan lebih besar dari Yohanes Paulus II. Selamat jalan Karol, selamat datang Paus yang baru!

No comments: