Thursday, January 31, 2008

WEF, Korporasi dan Evolusi Bisnis

Abraham Runga Mali

Tulisan ini didasarkan pada inspirasi pertemuan WEF ketiga


World Economic Forum (WEF) yang berlangsung di Davos, Swiss dari 16 Januari berakhir kemarin. Suara protes antikapitalis dan gerakan antiglobalisasi yang dimulai di Mumbai, India, pekan lalu masih menggema di sana.
Euforia kelompok akar rumput ini kian memojokkan peran korporasi besar yang menjunjung tinggi moral kapitalis. Benarkah perusahaan multinasional akan mati kutu karena tak ikut bermimpi menciptakan dunia yang lebih baik?

Tentu tidak. Adanya forum yang berbasis di Jenewa sebenarnya sebuah ekpresi kemauan dari perusahaan multinasional untuk selalu memperbaiki diri dalam menciptakan dunia yang lebih baik.

Dengan dukungan dari 1.000 perusahaan terkemuka di dunia, pemain ekonomi global memperlihatkan komitmen mereka dalam menyelesaikan berbagai agenda global melalui forum yang dimulai sejak 1971.

Dengan mengambil tema Partenering for Prosperity and Security di Davos, ketua WEF Klaus Schwab mengatakan dunia kini labil dan tidak pasti. Menurut dia, pertumbuhan ekonomi tak terjadi jika dunia tak aman. Sebaliknya, dunia tak bakal aman, kalau tak ada prospek kemakmuran. Maka Schwab tak ragu-ragu memperkenalkan formula WEF: security plus prosperity equals peace.

Moral kapitalis

Harus diakui semangat WEF dibangun di atas basis moral kaum kapitalis yang yakin kapitalisme adalah satu-satunya sistem moral sosial yang bisa bertahan.

Soal langgengnya sistem ini, Robert W. Tracinski dalam artikelnya The Moral Basis of Capitalism, mengatakan sistem ini adalah satu-satunya yang menaruh hormat pada kebebasan para produsen untuk berpikir dan sekaligus menghargai kebebasan individu untuk berkereasi demi mencapai kebahagiaan pribadi. Pada tataran korporasi, prinsip itulah yang memotori pencapaian tujuan maksimalisasi keuntungan.

Terhadap para lawan yang mengutuknya, insan kapitalis mengatakan sistem yang mengorbankan pribadi untuk kepentingan masyarakat adalah sistem perhambaan.

Lagi pula, karena cenderung memaksa orang lain untuk mengabdi pada kebersamaan, kaum kapitalis meyakini sistem yang diperjuangkan lawan-lawannya berujung pada brutalitas.

Yang menarik disimak adalah atas kritik terhadap realitas global yang tak adil, kelompok multinasional terus membuka diri.

Dengan menerapkan prinsip kapitalismus semper reformandus (kapitalisme senantiasa mengubah diri), mereka berupaya agar sistem dan moral yang diperjuangkan itu tetap bertahan.

Bahkan, untuk menampung aspirasi ketidakpuasan dari gerakan antikapitalis dan antimultinasional, mereka mengundang seterunya menghadiri WEF agar lebih intens berdiskusi guna mencari solusi.

Tak heran jika dalam WEF di Davos yang dihadiri sedikitnya 2.100 orang dari 94 negara, mereka menjelaskan agendanya dalam melakukan reformasi. Hadir dalam pertemuan itu sedikitnya 30 kepala negara, 75 menteri kabinet, 28 pemimpin agama, 18 ketua asoasiasi, dan lebih dari 50 ketua LSM terkenal di dunia.

Seperti pada pertemuan WEF sebelumnya mereka meyakinkan dunia bahwa perusahaan multinasional telah dan terus berupaya mengubah wajah kapitalis menjadi lebih manusiawi.

Hasil survai WEF melalui lembaga Global Corporate Citizenship Initiative (GCCI) dan bekerja sama dengan Internasional Business Leaders Forum (IBLF), menceritakan hal itu.

Berdasarakan survai, 70% CEO yakin dan memihak pada isu yang dikeluhkan investornya, terutama dari investor institusional seperti dana pensiun dan asuransi. Mereka juga menerima jika investor berharap pengawasan yang lebih intens terhadap masa depan perusahaan.

Tekanan investor

Selain tekanan dari akar rumput, aspirasi dari dana pensiun dan asuransi sebagai shareholders diakui paling bepengaruh pada perubahan sikap para pemain bisnis kelas dunia.

Itu bisa dimalumi karena dua investor itu adalah institusi yang langsung mewakili kepentingan individu, para pekerja serta masyarakat (stakeholders), yang kepentingannya dianggap paling sering dikangkangi perusahaan multinasional.

Seperti yang diakui Richard Samans, direktur WEF, aspek lingkungan hidup dan sosial merupakan kepentingan yang harus diperhatikan perusahaan. Menurut dia, analis investasi dan manajer portofolio makin memperhatikan persoalan itu.

Pernyataan itu membenarkan David Bushnell, direktur manajer dan kepala bagian risiko dari Citigroup Global Corporate and Investment Bank saat dia mengatakan isu sosial dan lingkungan jadi bagian integral dalam analisa risiko dalam transaksi saat ini.

Dari laporan survai setebal 32 halaman yang dilakukan terhadap pemimpin mutlinasional dengan judul Values and Value: Comminicating the Strategic Importance of Corporate Citizenship to Investor dan didiskusikan dalam WEF di Davos, terungkap betapa tema tanggung jawab sosial perusahaan merupakan tema penting yang harus diperhatikan.

Laporan itu mencontohkan bagaimana sejumlah pengusaha treasuri dan trustee yang bertanggung pada sejumlah dana pensiun besar dan berpengaruh di AS tak hanya mendesak perubahan governance di NewYork Stock Exchange, tapi juga bekerja sama dengan kelompok pejuang lingkungan hidup dan fund manager yang melakukan investasi dengan tanggung jawab sosial (sosially responsible investement/SRI) mendorong investor memperhatikan risiko dan peluang berdasarkan perubahan cuaca global.

Pada pertemuan puncak di New York, November 2003, perusahaan treasuri Phil Angelides berkomentar "Dalam iklim global yang kian panas, kita menghadapi risiko yang besar terhadap investasi di perekonomian AS dan dana-dana besar lainnya karena infomasi tentang itu diabaikan Wall Street Berdasarkan beberapa contoh skandal perusahaan AS pada beberapa tahun lalu makin jelas investor harus memberi perhatian pada praktik perusahaan yang memiliki pengaruh jangka panjang."

Dalam kaitan dengan risiko itu, dia mengingatkan agar investor harus bisa mengidentifikasi perubahan iklim global, meminta informasi, dan mendesak aksi menghadapi perubahan tersebut.

Pada Februari 2003 Asosiasi Perusahaan Asuransi di Inggris yang beranggotakan 400 institusi dengan transaksi 95% pada transaksi asuransi di negara tersebut dan memiliki investasi lebih dari 20% di London Stock Exchange menelurkan petunjuk mengenai ketebukaan berkaitan dengan SRI.

Sementara federasi pekerja di AS dan konggres organisasi industri di negara itu yang mewakili kepentingan 13 juta pekerja yang tergabung dalam asosiasi dan berurusan dengan investasi senilai US$6 triliun di bidang kesehatan dan dana pensiun mengkampanyekan capital stewardship dengan sasaran agar pemegang saham tak hanya memperhatikan keuntungan jangka pendek, tapi juga harus menciptakan nilai keberlangsungan jangka panjang pada perusahaan.

Gerakan SRI pada 2003 terus meningkat. Menurut Forum Investasi Sosial, antara 2001 dan 2003, dana untuk perlindungan sosial naik 6,5%. Begitu juga dana untuk advokasi pemegang saham pada periode yang sama naik 15%.

Hal yang sama dilakukan pada urusan transaksi pasar modal dan pasar uang. Indeks untuk menakar komitmen sosial perusahaan go public seperti Dow Jones Sustainability Index dan FTSE4Good-indeks yang dikerjakan Financial times dan London Stock Exchange-terus dikembangkan untuk menghadapi kritik bahwa perusahaan besar tak punya etika sosial.

Dorongan terhadap perubahan korporasi terus bergerak seiring lahirnya aneka gerakan investor seperti International Corporate Governance Network (ICGN), The Carbon Diclosure Project, Pharmaproject.org, Just Pensions dan Investor's Statement on Transparancy in the Extractives Sector. Sasarab mereka jelas, yaitu tanggung jawab sosial yang harus dikerjakan perusahaan.

Sebagai misal Just Pensions. Gerakan itu inisiatif investor yang memberi perhatian pada dampak sosial dan lingkugan hidup dari perdagangan dan investasi internasional di negara-negara berkembang.

Bekerja sama dengan dengan Forum Investasi Sosial di Inggris yang memiliki lebih dari 250 anggota, Just Pensions melakukan riset pada produk industri khusus untuk 12 FTSE di sektor itu. Lembaga ini mengerluarkan juga indikator untuk mengukur apakah keputusan investasi dari dana pensiun memenuhi syarat sosial, lingkungan hidup, dan etika.

Reformasi hukum

Reformasi juga berlangsung di bidang hukum dan persyaratan pencatatan emisi di sejumlah bursa internasional yang memperhatikan kinerja nonfinansial.

Begitu juga dengan Sarbanes-Osley Act dan SEC Mandate on Proxy Voting Guidelines di AS memberi perhatian besar pada kepentingan warga perusahaan dan corporate governance.

Perubahan yang terjadi juga berlangsung pada norma dan konvensi internasional, termasuk yang dikembang sendiri oleh PBB.

Sejumlah aksi pada tingkat internasional pada tahun lalu seperti pendatanganan United Nation Convention against Corruption dan Norms on the Responsiliblities of Transnational Corporation and Other Business Enteprises with Regard to Human Rights patut diacungi jempol.

Belum lagi sejumlah inisiatif suka rela yang berkaitan dengan sektor finansial. Misalnya yang baru diluncurkan tahun lalu adalah Equator Principles, yaitu perjanjian antara 14 bank ternama pemberi finansial yang bekerja sama dengan International Financial Corporation.

Prinsip yang diperjuangkan adalah persyaratan tanggung jawab sosial dan perhatian pada lingkungan hidup yang harus dipenuhi sebelum memberi proyek pada pekerjaan yang akan didanai bank-bank tersebut.

Begitu juga dengan London Principles of Sustainable Finance yang diluncurkan oleh Corporation of London pada 2002.

Sejumlah prinsip yang mengikat 50 institusi finansial yang memberi perhatian pada prinsip pembangunan yang berkelanjutan sehingga tak hanya memberi fokus pada keuntungan material, tapi juga memperhatikan tanggung jawab sosial seperti lingkungan hidup dan hak-hak asasi. Hal yang sama juga diperjuangkan oleh berbagai forum lain seperti Global Reporting Initiative (GRI), UN's Global Compact.

Komitmen berbagai multinasional terhadap lingkungan dan persoalan sosial memang kian menguat.

Ketika Russel Reynolds Associates mewancarai 400 investor institusi di AS, Inggris, Jerman, Prancis, Jepang, Cina, terpetik hasil cukup menggembirakan.

Investor di Prancis dan Jerman mengatakan seharusnya CEO memiliki tanggung jawab sosial (89% dan 79%). Di AS, investor yang mengharapkan hal itu 53%, sisanya 47% masih berharap keuntungan besar.

Survai Deloitte bersama CSREurope dan EuroNext tahun lalu mengatakan IRO (investment relation officers) perusahaan multinasional yakin bahwa kinerja sosial dan lingkungan yang baik akan mempengaruhi reputasi perusahaan (69%), kinerja ekonomi (46%), dan nilai pasar sebuah perusahaan (36%).

Hasil itu sesuai dengan survai lain yang dikerjakan SAM Sustainable Asset Management pada 2003 terhadap 1.000 perusahaan mengenai opsi yang dilakukan perusahaan untuk memantapkan strategi keberlangsungan perusahaan dan tingkat kompetisinya.

Upaya meningkatkan reputasi dan kemampuan untuk menjaga lingkungan merupakan pilihan tertinggi dibandingkan akses pada modal dan kemampuan melakukan inovasi.

Dari berbagai rekaman penelitian itu terungkap kebenaran bahwa berbagai ketidakadilan, pengabaian hak asasi manusia, dan perusakan lingkungan hidup harus jadi perhatian perusahaan multinasional jika mau bertahan.

Bahkan, nilai etis itu yang menjadi penggerak evolusi bisnis masa kini. Evolusi yang menjadi keharusan seperti diungkapkan Robert Dunn, ketua Business for Social Responbility.

Bayang-bayang evolusi bisnis seperti itulah yang terus ditiup dalam setiap WEF, terutama di Davos. Evolusi yang terus menggerakkan perusahaan multinasional untuk mengubah wajah kapitalisme agar lebih sosial dan humanis seperti diimpikan kaum sosialis yang giat menyuarakan aspirasinya dari baik jalanan.

Hanya saja, perlu terus diingatkan bahwa niat baik perusahaan multinasional itu tak mungkin terjadi kalau evolusi yang dimaksudkan digerakkan dengan prinsip membinasakan yang lemah ala Charles Darwin.

No comments: