Monday, January 21, 2008

Reksa Dana, antara Kearifan Lokal dan Pengalaman Global

Oleh: Abraham Runga Mali

Loka Kita bukan nama sebuah reksa dana. Nama yang kurang lebih bermakna ‘Kampung Kita’ adalah sebuah kelompok arisan. Anggota-anggotanya masih terpaut keluarga. Mereka berasal dari sebuah ikatan klan dari wilayah Flores Tengah.
Alasan utama pertemuan bulanan ini adalah pertalian silaturahmi. Ada sharing pengalaman dan saling memberi peneguhan. Biar anggotanya tidak ditelan oleh keseharian dan kelelahan Ibu Kota, begitu mereka bersepakat.
Usianya Loka Kita masih belia. Menurut Ketua Loka Kita Fredirikus Jago, para anggotanya tidak hanya sekadar berkumpul. “Setiap kali berkumpul anggota diwajibkan menyetor seratus ribu rupiah,” demikian Fredy. Dana ini dimaksudkan sebagai ‘dana darurat’ yang bisa dipinjamkan kepada keluarga itu sedari awal ditempatkan di instrumen reksa dana.
Dengan anggotanya yang masih berjumlah dua belas keluarga, dalam waktu setahun lebih, sejak berdiri Juni 2004, dana yang terkumpul mencapai sekitar dua puluh juta rupiah. Hadir atau tidak dalam pertemuan, jelas Fredy, transfer uang harus tetap berjalan.
Sebenarnya, arisan seperti ini merupakan kebiasaan dari kampung yang terus di bawah ke perantuan. Konon, di kampungnya, kegiatan mengumpulkan dana dikenal dengan nama ‘arisan sekolah’ atau ‘pesta olah’. Sebelum seseorang berangkat kuliah, keluarganya bisa mengadakah pesta dengan menyebarkan undangan. Maka datanglah para undangan itu dengan membawa sejumlah uang sebagai ampau dalam ‘pesta sekolah’ itu.
Hasil uang yang dikumpulkan itu merupakan uang yang akan dibawah calon mahasiswa yang akan menuntut ilmu ke negeri seberang. Tanpa uang yang dikumpulkan melalui arisan atau pesta, hampir tak bisa dibayangkan petani miskin dari sebuah kampung Flores yang gersang bisa menyekolahkan anaknya ke Sulawesi atau Jawa.
Tapi, tuan pesta harus mencatat nama berikut jumlah uang dibawa dalam pesta tersebut. Begitupun tiba saatnya ketika keluarga yang lain bersangkutan membuat pesta serupa, yang bersangkutan harus datang dengan menyetor jumlah dana yang sama. Begitulah arisan itu sudah bertahun-tahun berlangsung.
Begitulah Loka Kita kembali menghadirkan kearifan lokal. Tujuan arisan Loka Kita adalah membiayai anak-anak berbakat dari Keluarga Besar yang mengalami kesulitan finansial. Tapi kearifan lokal itu sekarang mendapat kekuatan baru melalui instumen finansial mutakhir yang bernama reksa dana (mutual fund).
Begitulah dana hasil dalam arisan tidak diserahkan kepada anggota tetapi dikumpulkan dalam satu rekening bersama (pooling) lalu kemudian ditempatkan di sebuah reksa dana. Sekarang ini, sepulang arisan para anggotanya membawa monthly report yang dikirim oleh manajer investasi sebuah perusahaan sekuritas.
Kendati belum lama ini industri reksa dana mengalami badai besar, para anggota Loka Kita tak bergeming dan tetap sangat yakin dengan visi bersama dalam keluarga besar itu. Karena itu, belum lama ini disepakati agar anggota arisan itu diperbanyak dengan melibatkan anggota keluarga di kampung asal.
Lumayan, selain dana yang terkumpulkan semakin besar, tapi sekalian ikut mendidik ‘orang-orang kampung’ untuk mengakrabi tata cara keuangan dunia. Sekurang-kurangnya mereka sudah terbiasa mendengarkan kata reksa dana dan semakin sering mengunjungi counter bank untuk mentransfer uangnya ke rekening Loka Kita.
Untuk mencapai target 100 keluarga, maka salah satu anggota Loka Kita dari Jakarta akan berangkat ke kampung untuk menjelaskan dan mensosialisasi cara kerja dan tata cara arisan yang lebih layak disebut sebagai Klub Investasi. Karena itu namanya akan diubah menjadi Klub Investasi Loka Kita.
Menurut program Loka Kita, awal Januari jumlah arisan itu akan berlipat ganda. Dengan jumlah seratus keluarga, maka setiap bulan akan terkumpul minimal sepuluh juta rupiah. Dengan demikian, pada akhir tahun depan minimal sudah terkumpul sekitar seratus empat puluh juta.
Dengan jumlah seperti itu sekurang-kurangnya dalam setahun sudah cukup untuk menyekolah seorang anak berbakat dari Keluarga Besar ke sejumlah universitas terkenal seperti Universitas Indonesia (UI), Institut Teknologi Bandung (ITB), Univesitas Gajah Mada ataupun Insitut Pertanian Bogor (IPB). Syukur-syukur ada yang bisa masuk ke univestas negara tetangga seperti Malaysia atau Australia.
Pengalaman Loka Kita mengumpulkan dana sekilas mengingatkan pada sejarah pembentukan awal reksa dana. Reksa dana itu bermula dari arisan (pooling fund). Ide untuk membentuk pooling fund untuk tujuan investasi lahir di Eropa pada pertengahan 1800. Mula-mula dikenal di Belgia (1822) dan kemudian menyebar ke wilayah Inggris dan Skotlandia pada sekiutar 1860-an.
Di negara Paman Sam pengalaman mengumpulkan dana (pooling fund) muncul pertama tahun 1893. Dana yang dikumpulkan para pemodal itu kemudian dimanfaatkan untuk membiayao aktivitas fakultas dan staf pengajar di Universitas Havard.
Baru pada 21 Maret 1924 terbentuk sebuah reksa dana pertama dengan nama Massachussets Investor Trust.
Pada saat pertama berdiri, waralaba pertama itu berhasil mengoleksi dana US$50.000. Setahun kemudian jumlah dana bertambah menjadi US$392.000 dengan jumlah pemegang saham sebanyak 200 orang.
Reksa dana di negara tersebut pun tidak serta merta berkembang pesat. Bahkan, peristiwa crash tahun 1929 meredam pertumbuhan reksa dana di negera tersebut. Tapi, justru pengalaman jatuhnya pasar modal saat itu mendorong Kongres AS untuk menghasilkan Securities Act 1933 dan Securities Exchange Act 1934.
Perturan itu justru menjadi landasan hukum yang kuat bagi pertumbuhan relksa dana. Karena undang-udang itu mewajibkan agar sebuah reksa dana harus dicatatakan di otoritas pasar modal negara tersebut (Securities and Exchange Commission) dan melansir prospektus kepada para investor.
Selanjutnya orotitas pasar modal makin melengkapi perangkat peraturan untuk memagari perkembaangan reksa dana. Pada tahun 1940 SEC mengeluarkan Investement Company Act yang mengatur jalannya pengumpulan dana yang ditujukan untuk kepentingan investasi, terutama investasi di pasar modal.
Sejalan dengan perkembangan pasar modal, reksa dana bertumbuh dengan sangat pesat. Pada akhir 1960 di Amerika Serikat sudah berdiri 270 reksa dana dengan total aset mencapai US$48 miliar.
Perkembangan reksa dana di negara itu seakan mendapat momentum ketika negara tersebut memberlakukan ketentuan plafon bunga deposito (1972) dan pembebasan pajak reksa dana (1979). Dalam suasana yang kondusif seperti itu, Joh C. Bogle melakukan gebrakan di industri reksa dana negara tersebut (1976).
Pada saat itu Bogle melansir indeks reksa dana ritel pertama yang disebut First Index Investement Trust. Sekarang ini indeks tersebut berganti nama menjadi Vanguard 500 Index Fund. Hingga November 2000 Vanguard menjadi reksa dana terbesar dengan total aset sebesar US$100 miliar.
Perkembangan reksa dana mendapat dorongan yang sangat kuat dengan adanya peraturan baru yang mengatur dana pensiun. Peraturan yang dikeluarkan 1981 dengana nama Individual Retirement Account (IRA) itu memacu upaya pengumpulan dana orang per otang yang pada gilirannya ikut mendorong kemajuan reksa dana.
Dengan peraturan baru tersebut pada tahun 1981 memperbolehkan individu termasuk mereka yang sudah melakaukan investasi di perusahaan dana pensiun untuk menabung dana sebesar US$2.000 per tahun.
Itulah sebabnya reksa dana semakin populer di kalangan pekerja yanbg semakin gemar menabung. Maka jangan heran kalau Investement Company Institue mencatat bahwa hingga saat ini terdapat lebih dari 10.000 reksa dengan aset sebesar US47 triliun dan melibatkan sedikitnya 83 juta investor individual.
Di Indonesia, reksa dana yang ikut dimanfaatkan oleh masyarakat, termasuk Loka Kita, baru muncul satu dekade yang lalu. Dikeluarkannya UU No.8 1995 tentang Pasar Modal sekaligus menandai mulainya reksa dana di negara ini. Dalam dua tahun, yaitu tahun 1997, aset reksa dana mencapai Rp4,97 triliun.
Krisis finansial tahun 1997 ikut menghancurkan industri tersebut. Pada tahun 1998 asetnya merosot hingga mencapai Rp2,99 triliun. Selanjutnya reksa dana berkembang sangat lamban. Baru tahun 2002 industri tersebut seakan terjadi mukjisat di industri tersebut.
Para pemodal seakan terbius dengan keuntungan yang bisa diperoleh di reksa dana. Asetnya menggelembung dari Rp8 triliun (2001) menjadi Rp46,61 triliun. Tapi, apa sebenarnya yang terjadi? Kalau diamati perkembangan ini tidak lebih didorong oleh faktor ekstenal, yaitu dari sektor perbankan.
Saat itu sejumlah bank rekap berusaha memperbaiki kinerjanya dengan meningkatkan loan to deposit ratio. Salah satu yang dilakukan oleh bank-bank ini adalah menggaet manajer investasi untuk menawarkan reksa dana dengan underlying aset adalah obligasi rekap atau surat utang negara yang dimiliki bank-bank tersebut. Apalagi, sejumlah bank-bank besar itu juga memiliki perusahaan manajemen investasi yang mengelola reksa dana.
Bagaikan gayung bersambut. Pemasaran yang gencar disertai kecenderungan penurunan suku bunga karena BI memangkas SBI dari 17% (2001) menjadi sekitar 6% (2004) saat itu membuat reksa dana menjadi incaran para pemodal. Apalagi reksa dana mendapat keuntungan berupa penangguhan pajak. Tidak mengherankan kalau pada awal 2005 aset reksa dana tercatat sebesar Rp100 triliun.
Tapi perkembangan yang pesat itu tidak berlangsung lama. Untuk menahan melorotnya rupiah, BI harus kembali menaikkan SBI hingga 12 persen. Meningkatnya suku bunga seakan memaksa pemodal untuk menarik kembali dananya secara besar-besaran (redemption) tak terbendungkan. Kalau pada akhir Februari total dana kelolaan reksa dana sempat mencapai Rp110, 78 triliun maka hingga 12 September jumlah itu terkuras hinga tersisa hanya Rp38,53 triliun.
Agaknya ke depan dengan angka inflasi yang bisa mencapai 18 persen per tahun, hamnpir bisa dipastikan kalau suku bunga akan terus mengalami trend yang meninggi. Dalam keadaan seperti ini dalam waktu dekat susah diharapkan kalau reksa dana akan mendapat perhatian pemodal.
Setelah penarikan aset reksa dana dan kondisi suku bunga yang tidak kondusif, maka mungkin saja benar kalau sementara pelaku dan pengamat meyakini kalau dalam dua hingga tiga tahun ke depan hingga saat suku bunga belum benar. Lalu, apa yang bisa dikerjakan pada tahun-tahun ini?
Selain membenahi kelengkapan regulasi, hal yang paling penting adalah membentuk sebuah komunitas pemodal reksa dana baru. Karena sebagaian pemodal reksa dana yang selama ini menimati keuntungan adalah para deposan yang pada 2002 terbuai oleh iming-iming keuntungana yang tinggi.
Itulah sebabnya tidak mengherankan kalau ketika mendapat sentakan suku bunga tinggi mereka lalu panik dan angkat kaki. Mereka itu deposan, bukan investor jangka panjang. Mereka adalah penumpang gelap di ‘kapal reksa dana’ yang tak berani bertarung ketika bajak laut datang menyerang.
Mungkinkah dengan merilis reksa dana terproteksi akan menjadi solusi bagi industri reksa dana saat ini? Mungkin saja. Tapi, ini sebuah solusi jangka pendek. Yang terpenting adalah membentuk sebuah komunitas yang loyal atas industri reksa dana. Bagaimana caranya?
Untuk itu, kearifan Loka Kita perlu mendapat perhatian. Banyak sekali kelompok arisan di tanah air yang bisa dididik menjadi klub investasi yang pada gilirannya bisa digiring ke reksa dana. Mereka dididik bukan sekadar sebagai komunits menabung (saving society), tapi sekaligus sebagai komunitas investasi (investing society).
Dan potensi yang bisa digali dari kelompok arisan ini sangat besar. Bayangkan di Indonesia berdasarkan data 2004 terdapat sekitar 53,2 juta keluarga. Setelah dikurangi keluarga miskin sekitar 18 juta keluarga, maka masih tersisa sekitar 34,2 juta keluarga.
Dan kebanyakan mereka setiap bulan terlibat dalam berbagai arisan, entah arisan keluarga, arisan Rukun Tetangga (RT), arisan di lingkungan masjid, gereja, perkantoran dan kelompok-kelompok hobi lainnya.
Daripada berbagai dana hasil arisan dihabiskan untuk kebutuhan konsumtif, pemerintah dan para pelaku pasar modal serta reksa dana perlu mengkampanyekan agar dana hasil arisan itu digiring untuk diinvestasikan ke instrumen reksa dana.
Anggap saja dari jumlah keluarga mampu itu hanya berhasil digiring sekitar 30 persen, maka sedikitnya setiap bulan terdapat sedikitnya terdapat sepuluh juta keluarga yang terlibat dalam pooling fund.
Dengan rata-rata penyertaan sebanyak seratus ribu rupiah, maka dalam setahun terkumpul dana sebesar satu riliun. Dalam lima tahun ke depan, penyertaan reksa dana dari rumah tangga mencapai enam puluh triliun.
Strategi menarik dana keluarga untuk reksa dana bukanlah sebuah khayalan. Sekurang-kurangnya reksa dana di Amerika Serikat membuktikan dukungan yang sangat signifikan dari pooling fund yang berasal dari keluarga. Data yang dikeluarkan oleh Investement Company Institute memperlihatkan bahwa 54 juta keluarga di AS atau sekitar 91 juta penduduk di negara tersebut terlibat dalam investasi di reksa dana.
Akankah mendorong berbagai kelompok arisan di Indonesia efektif menarik semangat masyarakat dan keluarga di Indonesia untuk memiliki portofolio di reksa dana? Sebuah jalan panjang yang sangat tergantung dari intensifitas pemerintah dan pelaku industri keuangan untuk melakukan sebuah sosialisasi dan kampanye besar-besaran.
Pemerintah bisa secara eksplisit mengatakan kepada masyarakat bahwa reksa dana adalah sebuah ‘sekolah’ untuk mengubah mentalitas konsumtif menjadi komunitas yang bukan saja menggemari kegiatan menabung, tetapi melakukan investasi.
Masyarakat Indonesia harus diyakinkah bahwa partisipasi mereka dalam keuangan global dan modern hanya bisa dilakukan melalui reksa dana. Melalui instrumen ini, masyakat dengan dana yang secukupnya bisa meikmati keuntungan dari transaksi saham dan obligasi.
Selain karena ‘gotong royong’ finansial yang memungkinkan sebuah pengumpulan dana yang agak besar (pooling fund), investasi melalui reksa dana bisa meminimalkan risiko. Melalui para manajer investasi ang ahli, dana yang terkumpul melalui berbagai kegiatan arisan itu bisa disebar dalam berbagai pilihan investasi (diversifikasi).
Jalan ini mungkin tidak secepat ketika para pelaku keuangan dengan mudah menggiring para deposan untuk memindahkan uangnya dari deposito ke reksa dana. Karena selain tidak mencapai proses edukasi pemodal yang tidak optimal, cara seperti itu merupakan bentuk kanibalisme terhadap institusi perbankan.
Sampai saat ini sebagian besar dana masyarakat di simpan di deposito. Jumlah dana pihak ketiga per Mei 2004 mencapai 897,815 triliun. Itupun termasuk giro, tabungan dan deposito berjangka.yang dikelola bank komersial per Desember 2003 itu mencapai US$138,60 miliar atau sebesar 56% dari GDP Indonesia. Hampir 90% dari jumlah ini tentu ditaruh di deposito dengan ‘maturity periode’ yang sangat pendek, yaitu sastu bulan. Tentu saja ini bukan untuk investasi, tetapi hanya sekadar mengamankan uangnya.
Bukan hanya individu, tetapi dana dari perusahaan dana pensiun dan perusahaan asuransi sebagian besar dsimpan di deposito. Berdasarkan survei Litban ADPI 2003, dana yang dana pensiun yang ditaruh di deposito mencapai 68,37 persen. Sisanya sebesar 7,84 persen ditempatkan di properti dan sisanya sebesar 1,42 persen ditempatkan di reksa dana.
Jelas-jelas hasilnya sangat tidak memuaskan. Bayangkan rata-rata investasi pada 2002 yang ditempatkan di deposito hanya sebesar 14,35 persen. Dengan mengurangi angka inflasi dan pajak, maka hasil yang demikian sangat tidak opitmal bagi jaminan sosial bagi masyarakat di hari tuanya.
Memang investasi asuransi memperlihatkan perkembangan yang membaik. Pada tahun 2002 penempatan dana asuransi di deposito masih di atas 50 persen. Namun pada hingga pertengahan 2003 jumlah penempatan dana di depositio menurun hingga 40 persen. Bahkan hingga akhir 2003, dana asuransi yang ditempatkan di asuransi hanya Rp4,53 triliun, sementara di obligasi korporasi Rp6,26 triliun dan obligasi negara Rp5,73 triliun.
Kita bisa melirik pola investasi yang dilakukan asuransi jiwa di tahun 2004. Data AAJI memperlihatkan bvahwa tahun lalu sekitar Rp23,5 triliun (57,3%) ditempatkan di efek atau sekuritas, deposito berjangka dan sertifikat deposito Rp6,7 triliun ((16,3%) dan di reksa dana Rp5,5 triliun (13,4%).
Peta industri finansial seperti ini tentu sangat tidak sehat. Lagi pula minimnya dana jangka panjang sangat sulit digunakan untuk membiayai pembangunan seperti infrastruktur yang bersifat jangka panjang. Maka tidak ada cara lain kecuali memperbesar porsi pendanaan yang bersifat jangka panjang. Itu berarti, investasi melalui reksa dana merupakan salah satu solusi.
Karena itu potensi yang masih perlu dikelola dengan saksama adalah dari sektor dana pensiun. Pemerintah perlu mendorong pengelolaan dana pensiun yang sekaligus bisa mendongkrak kinerja reksa dana. Apalagi, kalau cara pengelolaan dana pensisun yang sangat konservatif, yang hanya manruh dana di deposito seperti sekarang ini tidak memberikan hasil yang optimal.
Karena pemerintah perlu menemukan cara yang tepat pengelolaan dana pensiun para pekerja yang lebih optimal. Di Amerika Serikat, ada program pensiun yang disebut dengan 401K Plan. Perusahaan memberikan jaminan untuk masa pensiun kepada karyawan dengan menginvestasikan di sejumlah saham dan obligasi.
Berdasarkan penelitian, peningkatan total aset yang disumbangkan berdasarakan program ini sngat besar.
Kalau tahun 1990 asetnya masih US$358miliar , maka tahun 1997 berkembang menjadi US$1.068 triliun. Dan asal tahu saja porsi aset dari program ini di reksa dana mencapai 40 persen. Dana yang mengalir dari program ini ke reksa dana mencapai US$45 miliar di tahun 1997.
Maka tidak mengeharankan sesuai dengan karakter investasi yang jangka panjang di reksa dana menjadikan istrumen menjadi pilihan yang paling ideal bagi program pensiun di AS. Itulah sebabnya kontribusi yang terbesar bagi perkembangan reksa dana di negara itu berasal dari Individual Retirement Account (IRA).
Makanya jumlah keluarga yang memiliki reksa dana di negara itu menjadi 37 persen di tahun dari tahun 1980 yang masih 5,7 persen. Pada akhir 1997, jumlah keluarga yang memiliki reksa dana sebesar US$3,52 triliun atau sebesar 78 persen dari total aset yang dimiliki reksa dana di negara tersebut.
Bahkan, berdasarkan data Investemen Company Institute (ICI), hingga Juni 2005, terdapat 53, 7 juta juta rumah tangga atau 47,5 persen dari seluruh keluarga memiliki reksa dana., atau sekitar 91 juta pemodal individual. Tentu saja ada juga keterlibatan peduduk AS di reksa dana tidak melalui program pensiun. Kalau dalam menata dana pensiun melalui reksa dana tidak semua diatur melalui perusahaan pemberi kerja.
Lembaga riset yang sama memperlihatkan kalau hingga Juni 2005 jumlah keluarga yang memiliki reksa dana melalui program pensiun mencapai 35,6 juta, sementara sebaliknya yang membeli reksa dana tanpa melalui program tersebut sebanyak 38,9 juta keluarga.
Mengapa, banyak orang yang tertarik dalam kepemilikan reksa dana? Alasannya adalah karena pasar modal di negara itu sudah sangat tertata dan mendapat kepercayaan di mata pemodalnya. Itulah sebabnya, menarik masayarakat untuk memiliki reksa dana harus dibarengi dengan upaya menata pasar modal yang transparan dan efisien.
Begitulah di AS sebagian dari aset reksa dana itu merupakan reksa dana saham. Dari aset reksa dana sebesar US$3,5 triliun, sekitar US$1,7 triliun ditempatkan di saham, sisanya US$886 miliar di obligasi dan US$901 miliar di pasar uang.
Reksa dana di Indonesia masih sangat berpotensi untuk dikembangkan. Jalannya bisa dengan menggiring berbagai kelompoik arisan arisan ke reksa dana, dan tentu saja melalui pengembangan program pensiun. Pengalaman Loka Kita dan realitas 401K Plan bisa menjadi inspirasi.

No comments: