Tuesday, January 22, 2008

Soeharto dan Gempa

Tulisan ini dibuat pada awal Juni 2006 terkait dengan bencana gempa di Jawa Tengah.

Merapi, mbah Maridjan, dan Soeharto hingga pekan lalu masih menjadi tema yang hangat. Ketika tema itu belum beranjak pergi, akhir pekan lalu datang peristiwa lain yang tidak kalah dahsyatnya. Prahara dari pantai selatan. Gempa bumi dengan kekuatan 5,9 skala Richter itu datang dan menghancurkan Jogyakarta dan sekitarnya. Ribuan orang meningal, serta tak terhitung kehancuran harta benda.

Menariknya, tema-tema besar itu bersatu dalam satu titik yang sama. Bukan hanya dalam satu titik waktu, tetapi juga dalam satu pemahaman yang bisa menguak sebuah mitos tentang kekuasaan. Sebuah inspirasi dari kosmologi Jawa yang bisa menjelaskan pemahaman politik Indonesia.

Ketika aktivitas Merapi terus meningkat, perhatian orang diarahkan kepada mbah Maridjan. Sebagai 'juru kunci' Merapi, penjelasan Maridjan berkompetisi dengan penjelasan resmi dari lembaga pengetahuan dan pemerintahan yang bersumberkan dari perpespektif vulkanologi dengan sejumlah instrumen ilmiah seperti seismograf dan sejenisnya.

Sebagian berpaling pada penjelasan ilmiah, tapi tidak sedikit yang tetap bertahan pada mitos-mitos tradisional. Merapi dipercayai sebagai penunggu yang bernyawa sehingga harus ada orang-orang khusus seperti mbah Maridjan yang bertugas untuk memberi makanan secara ritual sehingga Merapi tidak melampiaskan kemarahannya dengan memuntahkan lava.

Ketika lava api dari perut Merapi itu dimuntahkan, banyak pihak-tentu yang percaya pada mitos-mitos itu-mengkaitkan dengan kondisi fisik Soeharto yang saat itu terus melemah. Konon Merapi yang menjadi pengayom spiritual Soeharto mulai berpaling diri. Merapi marah.

Kemarahan Merapi seakan belum sempurna. Maka datang lagi gempa. Kali ini dari wilayah pantai selatan yang dijaga oleh Nyai Roro Kidul. Tentang Merapi dan Nyai Roro Kidul sudah lama berkepentingan dengan Keraton Mataram. Atau lebih tepat sebaliknya, Keraton Mataram yang justru berkepentingan dengan Merapi dan Roro Kidul.

Konsep mandala

Sebenarnya, soal Merapi dan Laut Selatan bisa dirujuk jauh ke belakang sejak kerajaan Hindu dan Budha di wilayah Jawa Tengah. Itu berkaitan dengan konsep kosmologis yang disebut dengan 'mandala'. Kata mandala itu diambil dari bahasa Sanskrit yang berarti lingkaran (circle).

Dalam pandangan ini, jagad besar (makrokosmos) itu harus berhubungan dengan mikrokosmos yang bertemu dalam dalam satu titik di lingkaran kosmis itu. Dalam perpsektif ini, sebuah mandala, pusat (center, centrum) itu menjadi sangat penting. Keharmonisan makrokosmos dan mikrokosmos sangat bergantung pada apa yang terjadi di titik pusat ini.

Dalam pemahaman politik dengan perpektif mandala ini, sentralisme adalah jawabannya. Pusat harus kuat.

Maka terjadilah konstruksi berikut. Merapi dan Pantai Selatan harus memperkuat kedudukan kekuasaan kerajaan dan keraton Mataram. Di Merapi ada seorang Eyang, simbol 'penguasa jagad atas' yang berbentuk seorang pria. Pada masa Islam penguasa jagad atas ini dikenal sebagai Kyai Sapu Jagad.

Di selatan ada Penguasa Laut Selatan dalam wujud seorang wanita. Keduanya menjaga wilayah yang terbentang dari puncak Merapi hingga ke pantai selatan Jawa Tengah yang terangkum dalam wilayah politis Mataram. Nama wanita itu Nyai Roro Kidul.

Sebenarnya dalam konteks keharmonisan dengan alam pemahaman ini memberikan landasan filosofis untuk menjaga kelestarian lingkungan. Karena kesuburan sebagai hasil perkawinan Eyang Merapi dan Roro Kidul adalah 'kehidupan' yang harus dihormati. Sebuah karifan lokal yang mestinya terus ditumbuhkembangkan.

Mari kita kembali pada konsep kekuasaan. Sosiolog Jerman, Solvay Gerke, yang memberi perhatian besar pada kultur politik Indonesia memberi cacatan menarik tentang penghayatan politik dengan latar belakang politik Jawa.

Menurut dia, para pemimpin bangsa Indonesia yang berasal dari Jawa itu membawa pengaruh ini dengan sangat kuat. Mulai dari Soekarno, tetapi yang paling kental adalah Soeharto. Soeharto benar-benar menjadikan Mataram model bagi Indonesia. Maka karakter kepemimpinannya sangat sentralistis.

Dalam konteks ini, pusatnya bukan hanya Jakarta atau Jawa, tetapi Soeharto sendiri. Maka tak perlu diherani kalau fungsi-fungsi politik dalam pengertian modern untuk mendukung sebuah nation diabaikan. Soeharto harus tampil kuat. Semua harus mendukung dia. Tak boleh ada huru-hara di daerah periferi. Dia harus dalam relasi yang harmonis dengan alam (jagad gede). Bencana alam berarti sebuah pertanda bahwa 'kekuatan' pusat mulai memudar.

Kalau mau jujur sebenarnya hingga saat ini Soeharto melalui kaki-tangannya masih berkuasa. Kekuatan uang dan jabatan kroni-kroninya masih mencengkeram arah politik nasional. Lalu, apakah marahnya Eyang Merapi dan Nyai Kidul sebuah pertanda bahwa kekuatan dan pengaruh Soeharto segera berakhir?

Harus rasional

Tak ada yang memastikan jawaban atas pertanyaan itu. Bahkan, mengkait-kaitkannya saja sepertinya sebuah pemaksaan yang terlalu dibuat-buat. Tetapi begitulah mitos. Dia menyimpan misteri yang terbuka pada aneka penafsiran. Apapun penafsirannya, banyak pihak mestinya sepakat bahwa untuk kepentingan sebuah negara-institusi yang dibangun secara rasional-mitos-mitos seperti itu harus diminimalkan.

Benar di sisi lain kalau kearifan lokal harus dipelihara. Tetapi mitos-mitos yang terus direproduksi untuk melanggeng kekuasaan juga tidak boleh dibiarkan. Agen-agen mitos seperti mbah Maridjan dan Soeharto harus terus digugat. Sentralisme harus dibongkar. Pengelolaan bangsa dengan pemikiran magis-mitis harus dikikis.

Negara ini harus dikelola secara rasional. Termasuk ketika kasus Soeharto dipertanyakan lagi. Rasionalitas moral dan politik harus ditegakkan. Atas nama bernegara secara rasional itu, pengadilan untuk mengetahui apa kesalahannya adalah sebuah keharusan. Bahwa setelah mengetahui kesalahan baru dimaafkan, itu urusan lain. Tapi, bukan pemaafan sebagai produksi belas-kasihan.

Begitu juga ketika soal gempa diangkat sebagai sebuah tema pembahasan yang terpisah. Sedapat mungkin kita jangan sampai lagi terjebak pada kerangka magis-mitis Nyai Roro Kidul dan Eyang Merapi.

Tak ada kata lain di sini, selain meningkatkan teknologi untuk mengawasi pergeseran kerak bumi dan membangun rumah-rumah yang tahan goncangan gempa. Benar, manusia tak bisa mengatasi sepenuhnya kekuatan alam. Tapi justru di situlah tantangannya bahwa manusia harus belajar bagaimana menghadapi alam (nature). Karena di sanalah tingkat peradabannya (culture) ditakar.

No comments: