Sunday, January 20, 2008

Sesajen bagi Nusa Naga

Oleh: Abraham Runga Mali



“Ini medan paling berat di sini Eja (Bang atau Mas dalam bahasa Lio, Flores Tengah),” ujar Yance, sopir yang setia menemani saya saat melakukan safari Usaha Kecil Menengah BNI di wilayah Flores awal bulan ini. Ucapan pemuda Ende berusia 26 tahun itu tercetus saat kami melintasi kilometer 18 jurusan Maumere dari kota Ende.
Laju kendaraan Panther terpaksa diperlambat mengingat harus melewati jalan super sempit. Maklum ada tumpukan batu akibat tebing yang longsor di bahu kanan dan badan jalan yang terkikis ke arah jurang pada bagian bahu kiri. Hebatnya, jumlah longsoran yang tersebar di sepanjang 80 km bahu jalan yang melewati wilayah pegununungan Lio di kabupaten Ende itu bisa mencapai belasan. Beruntung saja masih kelihatan puluhan buruh bangunan jalan yang selalu tampak sibuk menyingkir pecahan-pecahan batu akibat runtuhan tebing itu sehingga lalu lintas kendaraan masih berjalan normal.
“Kalau hujan datang, pasti akan longsor lagi. Selalu begitu tiap tahun,” demikian Yance yang kelihatan sudah mengakrabi medan berat itu berkeluh. Pemandangan seperti itu tidak jauh berubah ketika 18 tahun yang lalu untuk pertama kali saya melewati jalan yang sama untuk menikmati keindahan puncak danau triwarna Kelimutu di Flores Tengah.
Bahkan, menurut cerita masyarakat setempat, kondisi jalan di wilayah itu tidak lebih baik dari keadaan 60 tahun lalu, saat negara Indonesia terbentuk, dan Flores dimasukkan dalam peta wilayah RI. Hanya tambal sulam aspal yang membuat wajah jalannya kelihatan sedikit lebih cantik dari jalan yang dibangun penjajah Belanda hampir seabad yang silam dengan mengggunakan tenaga rodi.
Padahal urusan jalan merupakan fasilitas publik pertama yang harus dibereskan sebelum membenahi sektor-sektor lain. Misalnya, kalau infrastrukturnya masih demikian buruk, agaknya susah dibayangkan masuknya teknologi yang bisa mengubah nasib para petani Lio yang dari dulu sampai sekarang masih merangkak di pundak-pundak gunung untuk sekedar menyiangi ladang padi, singkong maupun jagung.
Memang dari jauh kelihatan bunga-bunga kemiri yang tumbuh di lereng-lereng pegunungan. Tapi, harus dikatakan bahwa hutan pohon perdagangan itu masih tampak liar dan kurang terurus.
Dengan demikian, agaknya bisa dipahami kalau pejabat-pejabat bank berplat merah itu masih berkebaratan memberikan fasilitas kredit secara optimal kepada para petani di Flores. Seperti diakui I Putu Mudita, Pemimpin Bank BNI Cabang Ende, bahwa dari Rp 20 miliar kredit produktif UKM per Mei 2004, semuanya masih diperuntukkan bagi usaha perdagangan (98%) dan transportasi (2%). Hampir tak sepeser pun yang langsung dikucurkan kepada para petani.
“Tapi tolong diingat bahwa dengan kredit ke sektor perdagangan sebenarnya bisa memberi manfaat positif bagi para petani. Karena yang diperdagangkan adalah komoditas pertanian yang dihasilkan para petani kecil itu,” ujarnya sedikit membela diri.
Kalau demikian realitasnya, masayarakat Flores yang sebagian besarnya adalah para petani tradisonal masih susah diajak untuk bergerak cepat mengikuti arus pembangunan nasional secara keseluruhan.
Menyinggung pembangunan pertanian di Flores, Johanes Schwegler yang menjadi Penasihat Lembaga Promosi UKM dari SwissContact mengakui bahwa kendati dalam skala yang kecil, pertanian di Flores memiliki potensi yang cukup prospektif.
Misalnya saja, lanjut Schwegler, SwissContact belum lama ini membuka kantor cabang di Ende untuk membantu UKM di Flores. “Proyek pertama yang dilakukan adalah pengembangan kacang mede. Kacang mede dari Flores memiliki kualitas lebih tinggi dibandingkan dengan kacang mede dari daerah lain,” jelasnya.
Bahkan, menurut Schwegler, lembaganya itu tidak hanya memberi bantuan teknologi, tetapi juga mencari investor yang bisa menyalurkan dana dan mendorong Pemda untuk membuat regulasi yang lebih efisien. “Susah kalau hanya mengandalkan UKM tanpa melibatkan pihak lain.”

Pembangunan Flores

Menggali cerita tentang pembangunan di Flores, termasuk urusan UKM, seperti mengorek luka lama. Ini tentu bukan saja menyakitkan dan menimbulkan aroma tak sedap, tetapi juga tidak mudah menyembuhkanya. Apalagi, masalahnya bukan hanya urusan ekonomi dan potensi alam semata, tetapi juga menyangkut kemauan politik penguasa, struktur sosial dan kultur masyarakat setempat. Kompleksitas persoalan yang terkadang menjadikan pulau bunga itu seperti kuntum yang layu sebelum berkembang. Dan tentu saja tak pernah beraroma.
Kenyataan ini menimbulkan sebuah paradoks. Sebab ketika para pedagang dan misionaris dari Eropa Selatan membuang sauh di ujung pulau itu, tepatnya di tanjung di ujung paling timur pulau itu tahun 1521, mereka kagum akan keindahan alamnya. Ekspresi kekaguman itu digoreskan dalam nama “cabo da Flores.” Tanjung bunga.
Sebelum Portugis meninggalkan jejaknya di pulau ini, masyarakat setempat, khususnya dari komunitas Lio (Flores Tengah) menyebut pulau itu dengan nama Nusa Nipa, Pulau Ular. Dengan arti yang hampir sama, sebagian masyarakat dari komunitas Riung dan Manggarai (Flores Barat) mengenalnya dengan nama Cinde, Sinde, Endeh—asal muasal nama Ende—yang bersinonim dengan Cindai yang berarti berarti ular sawah (piton) yang sakti.
Inspirasi pemberian nama itu adalah bentuk pulau yang memang mirip seekor ular raksasa yang terbentang timur ke barat. Kepalanya ada di daerah Flores Timur yang diapiti kepulauan Solor-Lembata. Sementara ekornya ada di bagian barat pulau, yaitu Labuan Bajo yang dikelilingi kepulauan Komodo-Rinca.
Masyarakat Lio tidak hanya memberi nama, tetapi juga memuja pulau itu. Dalam ritualnya yang memuja Ular Raksasa (baca: Naga) dengan sesajen mereka selalu mengulangi kata-kata berikut: Ulu gheta Kowe Jawa, kami paa kau ka. Eko ghale Bajo Bima, kami rewu kau rue (Kepalanya di Kowe Jawa , yaitu tempat berlabuhnya perahu-perahu Jawa di perairan Solor-Adonara, kawasan di bagian timur pulau dan kepulauan sekitarnya yang dihuni etnis Lamaholot, kami beri kau makan. Ekornya di Bajo Bima, kami serahkan sesajen).
Syair ritual itu masih berlanjut dalam satu kesatuan dengan seruan berikut: Ata eo kolu mbou ulu; Geto lima kai; Pusu kai tuu leka puu tubu; Lema kai tuu leka fii kanga (Mereka yang merusak bagian kepala; Pancungkan lehernya; Mereka yang mengonarkan bagian ekor; Potonglah tangannya; Jantungnya letakkan di tugu sesajen; Lidahnya letakkan di tiang kurban).
Seruan itu sekaligus menggambarkan ketegasan ketujuh komunitas etnis di pulau itu (Manggarai-Riung, Ngada, Nagekeo, Ende, Lio, Sika, Lamaholot) untuk mengurung diri selama berpuluh-puluh tahun dan membentengi diri dari ancaman kekuatan sejumlah kerajaan dan kesultanan besar seperti Goa, Bugis, Bima dan Jawa.
Tak mengeherankan kalau kampung-kampung pusaka di wilayah itu berlokasi di pundak-pundak bukit dan pegungungan yang sekaligus dirancang sebagai benteng pertahanan. Hingga kedatangan misi katolik, tidak pernah ada satu institusi asing pun yang secara total berhasil menguasai dan mempengaruhi peradaban masyarakat di wilayah tersebut.
Bahkan, lebih dari itu, sikap saling segan dan topografi Flores yang bergunung-gunung menyekat hubungan antar etnis dan perkampungan di pulau itu dan membuat mereka masing-masing otonom dan tidak saling mengganggu.
Pengaruh asing hanya menyentuh sebagian bibir pantai Flores yang memang bukan wilayah pemukiman penduduk.. Karena itu, kecuali sebagian kecil warga Lamaholot yang mendiami pulau-pulau kecil di ujung bagian timur Flores dan masyarakat Ende yang mendiami pulau kecil di sebelah selatan pulau itu, mayoritas masayarakat Flores secara tegas menghindari aktivitas yang berhubungan dengan laut. Sejarah dan kultur tidak mendidik mereka menjadi pelaut handal dan nelayan seperti etnis tetangganya, Bugis, Makasar ataupun Bima.
Jadilah mereka petani tulen yang bertuhankan Bapak Langit dan Ibu Bumi (Dua Lulu Wula, Nggae Wena Tana—nama Tuhan dalam kepercayaan tradisional Lio) serta harus menggarap lahan-lahan di daerah pegunungan dengan rata-rata curah hujan yang sangat tipis. Kendati ada daerah-daerah yang subur di wilayah barat seperti Manggarai dan Ngada, karena topografinya yang berbukit dan bergunung-gunung, sebagian besar wilayah pulau itu tidak pernah layak dikembangkan sebagai lahan pertanian yang luas.
Beberapa abad yang silam pernah ada Kayu Putih dan Cendana di pulau Solor dan bagian timur pulau itu. Tapi sejak kedatangan Portugis tahun 1512, pohon itu dibabat Portugis sampai tuntas dan Flores seperti pulau tetangganya Timor ditinggalkan sebagai wilayah miskin hasil hutan. Yang tertinggal hanya kegiatan para misonaris yang masih berkepentingan mengembangkan agama katolik di wilayah tersebut.
Portugis terdesak oleh kehadiran VOC pada abad 16 dan 17 setelah menduduki Flores Timur dan pulau Solor sejak pembangunan benteng Solor (1566) dan benteng di pulau Ende (1596). Pada saat terdesak, dia lebih memilih Timor Timur dan menjual Flores (Larantuka, Solor dan Adonara) ke Belanda dengan harga 200.000 gulden (1859).
Dalam bukunya Flores in the 19th Century: Aspects of Dutch colonialsim on an non-profitable Island (1983), Dietrich Stefan menulis bahwa sebenarnya penguasa Belanda melalui VOC pun tidak terlalu berminat menguasai pulau itu. Pulau yang miskin dan tidak menghasilkan apa-apa, demikian jalan pikiran VOC.
Hanya saja Belanda tetap saja pernah terpancing untuk menyerang Flores berdasarkan laporan Freijs yangmenyesatkan (1854-1855) bahwa kawasan itu miliki kandungan logam (timah, emas dan intan) yang besar. Maka melalui sebuah operasi militer dilancarkanlah sebuah “tin-expeditie” (ekspedisi timah) untuk membuktikan kebenaran laporan tersebut (1887-1891).
Ternyata sensasi timah itu tidak terbukti karena para penulis Belanda salah menginterpretasikan keberadaan sebuah sungai. Nama“Wae Pesi” diterjemahkan dengan “Sungai Besi” oleh para pesuruh kesultanan Bima, sekutu Belanda saat itu. Ekspedisi timah pun gagal.
Karena alasan ketertiban hukum dan administrasi, kegagalan operasi militer dalam ekpedisi timah itu tidak memadamkan niat Belanda untuk menguasai daerah pedalaman Flores yang masih liar. Maka pada tahun 1905 atas instruksi Gubernur Jenderal Van Heutsz dilancarkan sebuah Operasi Flores Pedalaman atau yang disebut juga Operasi Pasifikasi.
Melalui sebuah perjuangan yang berat, akhirnya baru tahun 1909 Belanda secara de facto berhasil menetapkan sebuah organisasi fisik secara lengkap di wilayah itu. Tentang medan alam Flores selatan yang serba terjal yang dihadapi pasukan Belanda saat itu sempat direkam M.H du Cruo sebagai het zwaarste en ongenaakbaarste patrouillegebied van heel Indie (wilayah patroli paling suram dan liat dari seluruh Hindia).
Sampai detik ini, alam Flores memang masih suram dan liat. Bukan saja untuk sebuah operasi militer, tetapi juga untuk sebuah proyek pembangunan.Benar bahwa hanya dalam tempo 4 tahun operasi penaklukan Flores Pedalaman berhasil dilakukan Van Heutzt. Tentu lebih mudah untuk urusan penghancuran ala operasi militer ketimbang mensukseskan sebuah pembangunan.
Hanya sayang, setelah lima Gubernur Jenderal (baca: Presiden) yang berkantor pusat di Jakarta itu, Operasi Pembangunan Flores Pedalaman belum kunjung berhasil. Mungkin ada yang berkomentar beruntung masih ada kredit UKM gaya BNI yang bisa menjadi sesajen bagi Pulau Naga itu. Biar ular berbisa itu tidak menggeliat dan memagut. Biar juga para pemujanya tidak kalap dan menganggap diskriminasi pembangunan itu identik dengan ketidakadilan yang bukan saja hanya membuat onar bagian ‘kepala’ dan ‘ekor’ pulau, tetapi juga mengganggu stabilitas seluruh ‘badan’pulau itu . Karena soal mengganggu Nusa Nipa, urusannya adalah jantung dan lidah yang harus dipotong dan diletakkan di atas tugu sesajen. (Dimuat di Harian Bisnis Indonesia)

No comments: