Thursday, January 31, 2008

Dari Mumbai ke Davos, Menggugat Sepak Terjang MNC

Abraham Runga Mali

Untuk kesekian kalinya gaung protes terhadap tata ekonomi global mencuat ke permukaan. Yang paling mutakhir adalah dari Forum Sosial Dunia (World Social Forum) ke tiga (2004) yang berlangsung di Mumbai, India. Sedikitnya 2.400 aktivis anti-globalisasi yang didukung oleh 75.000 demonstran menyerukan perlawanan terhadap sepak terjang perusahaan multi nasional.
Tema yang diusung Another World is Possible dalam pertemuan tersebut seakan mengingatkan kita pada buku Alternatives to Economic Globalization: A Better World Is Possible dengan editor John Cavanagh dan Sarah Anderson yang terbit November 2002.

Kedua penulis dari lembaga Forum Internasional untuk Globalisasi di bawah payung Institute fo Policy Studies mengumpulkan tulisan dari 17 penulis yang berisikan kritikan pedas terhadap institusi ekonomi global seperti IMF, Bank Dunia dan WTO serta mengajukan usulan perombakan atas lembaga-lembaga tersebut.

Raksasa MNC

Cavanagh dan Anderson melalui Corporate Watch adalah orang yang paling getol mengamati perusahaan multinasional (MNC) yang menguasai dunia saat ini. Sejak 1996 keduanya secara periodik mengeluarkan sebuah komparasi antara penjualan perusahaan raksasa tersebut dengan GDP negara-negara di dunia. Hasilnya memang mencengangkan.

Sampai 2000, misalnya, hasil penjualan 200 MNC raksasa ternyata lebih besar dari gabungan perekonomian 182 negara, atau perekonomian seluruh dunia dikurangi 9 negara besar seperti AS, Jepang, Jerman, Prancis, Inggris, Italia, Cina, Brazil, dan Kanada. 200 MNC secara bersama-sama membukukan penjualan $US7,1 triliun, sementara gabungan 182 negara hanya memiliki GDP US$6,9 triliun.

Philip Morris yang pada 2000 mencatat penjualan US$61,751 miliar menjadi institusi yang lebih menguntungkan dibandingkan Selandia Baru. Pada tahun yang sama, penjualan Wal-Mart mengungguli penghasilan gabungan dari 161 negara, termasuk Israel, Polandia dan Yunani.

Lain lagi raksasa mobil Mitsubishi yang memiliki kekayaan yang lebih besar dari GDP Indonesia. Itochu lebih unggul dari Austria, dan penjualan Mitsui dan General Motor lebih besar dari GDP gabungan Denmark, Portugal dan Turki.

Padahal, 200 perusahaan raksasa yang sebagaian besar dikendalikan dari kantor pusatnya di Eropa Barat, AS, Kanada dan Jepang itu mempekerjakan hanya sekitar 18,8 juta orang dari sekitar 5,5 miliar penduduk.

Itu sebabnya, Forum Sosial Dunia menuduh mereka bertanggung jawab terhadap nasib para pekerja internasional karena sering dipekerjakan dengan upah sangat rendah. Bahkan, untuk menekan biaya, anak-anak dan kaum perempuan pun dipaksa untuk bekerja.

Padahal, demikian data Corprate Watch, di dunia saat ini beroperasi sedikitnya 400.000 perusahaan dengan sedikitnya 250.000 cabang di berbagai negara. Betapa mereka mengontrol dunia dengan prinsip maksimalisasi keuntungan sebesar-besarnya sebagaimana yang dikumandangkan oleh kelompok neo liberalis.

Perusahaan multi nasional itu bukan hanya dikecam karena memarjinalkan tenaga buruh dan merusak lingkungan, tetapi menjadi pengontrol paling dominan terhadap kebijakan ekonomi-politik internasional untuk melayani kepentingana mereka. Institusi-institusi seperti IMF, Bank Dunia dan WTO tidak lebih dari pelayan yang mengabdi kepentingan mereka.

Lobi liberalisasi

Untuk mengurangi hambatan dalam perdagangan dan arus modal, sejak lama MNC raksasa tersebut rajin melakukan lobi di berbagai fora internasional.

Lahirnya pasar tunggal Eropa, NAFTA (North American Free Trade Agreement), Putaran Uruguay (Uruguay Round) dan GATT (General Agreement in Tariffs and Trade) merupakan hasil lobi MNC tersebut.

Begitu pun dalam bidang politik. Aksi AS melakukan invasi ke Guatemala (1954) dan menggembos pemerintahan Salvador Allende tidak lepas dari kepentingan ekonomis perusahaan multi nasional.

Pada 1970, International Telephone and Telegraph (ITT) diketahui menawarkan sekitar US$1 juta untuk mengalahkah pencalonan Allende.

Belum lagi berita yang aktual soal lobi perusahaan minyak AS yang hingga saat ini membutakan mata para pemimpin politik negara tersebut untuk memporak porandakan stabilitas politik wilayah kaya minyak seperti Timur Tengah.

Hegemoni MNC yang menggandeng kepentingan Eropa dan AS serta Jepang itu seakan membangkitkan kesadaran historis para penentangnya hingga menelusuri jauh ke era imperialisme. Kalau dulu kolonialisme dilakukan oleh bangsa dengan kekuatan senjata, saat ini pelakunya adalah korporasi dengan kekuatan modal.

Pada saat era Perang Dunia II berakhir-menandai berakhirnya sebagian besar praktek kolonialisme bangsa terhadap bangsa-para penganut paham neo liberal meneruskan aksinya dengan imperialisme gaya baru dalam bentuk modal.

Lahirnya institusi IMF dan Bank Dunia di Bretton Wood pada 1944 dan dimulainya program Marshall Plan merupakan cikal bakal lahirnya sebuah era kemenangan kepentingan negara maju yang berlangsung hingga saat ini.

Itulah sebabnya bisa dipahami euforia para aktivis anti-globalisasi di Mumbai yang terus mengkampanyekan jurus anti WTO yang menuai kegagalan dalam pertemuan puncak di Cancun, Meksiko belum lama ini. Pekan lalu Robert Zoellick lagi-lagi tidak berhasil menyukseskan misi perdagangan bagi AS.

AS belum lama ini juga gagal memaksa Australia dan Maroko memandatangani perjanjian free trade zone (FTAA).

Kegagalan yang sama dialami ketika negara adikuasa itu dalam pertemuan di Monterrey juga tidak mampu menekan Brazil untuk meneken perjanjian yang sama yang direncanakan pemerintahan Bush mulai Januari 2005.

Suara akar rumput

Berbagai kenyataan tersebut memperlihatkan bahwa gerakan akar rumput untuk menekan negara-negara maju, termasuk AS tidaklah main-main. Bahkan, bukan hanya dari level akar rumput. Ekonom Joseph Stiglitz yang hadir dalam pertemuan WSF sudah berkali-kali mencerca negara-negara maju.

Peraih hadiah Nobel Ekonomi 2001 dari pengalamannya sebagai Kepala Ekonom Bank Dunia itu mengakui globalisasi yang dimotori berbagai institusi internasional gagal menciptakan wajah dunia yang lebih manusiawi.

Karena itu dalam sebuah wawancara saat dia meninggalkan Bank Dunia setelah berseteru dengan Menteri Keuangan AS Larry Summer, Stiglitz meminta agar sikap paternal negara-negara yang termasuk Kelompok Utara harus segera ditinggalkan.

Kali ini suara Stiglitz bersatu dengan suara para aktivis anti-globalisasi dalam Pertemuan Sosial Dunia di India dari 16 hingga 21 Januari.

Pertemuan yang sengaja di Mumbai-nama lain untuk kota perdagangan tradisional Bombay-seakan mengantisipasi sebuah pertemuan lain, yaitu the World Economic Forum di Davos, Swiss dari 21 hingga 25 Januari.

Hampir pasti teriakan protes ala Mumbai akan menginspirasi pertemuan di Davos. Lain dengan di Mumbai, pertemuan Open Forum Davos 2004, diselenggarakan oleh LSM dan organisasi nir laba, termasuk lembaga sosial yang dikoordinasikan oleh gereja di negara-negara maju, terutama lembaga Bread for All dan Federasi gereja Protestan Swiss. Di Davos, pertanyaan yang hendak dijawab tertera dalam tema pertemuannya, yaitu Globalisation or Deglobalisation for the Benefit of the Poorest?

Terbersit harapan agar kritikan terhadap institusi dan pemain global makin mengental dalam pertemuan yang menurut rencana juga dihadiri Joseph E. Stiglitz, Ketua ILO, Juan Somavia dan CEO sejumlah perusahaan raksasa. Sebuah antitesa terhadap realitas global yang kian carut marut saat ini.

Seperti biasa, negara maju dan MNC diserukan untuk lebih mengedepankan tanggung jawab terhadap hak-hak masyarakat dan demokrasi dari pada hanya mengeruk keuntungan.

Begitu pula, mereka harus memperhatikan pemeliharaan lingkungan hidup yang selama ini dikorbankan demi meraup keuntungan yang berlipat ganda. Sebuah seruan suci yang tidak mudah diikuti oleh raksana-raksasa ekonomi yang dalam benaknya sudah dirasuki dengan tujuan maksimalisasi keuntungan.

Supaya lebih akurat, pertemuan itu bahkan dilengkapi dengan survai tentang realitas dunia berikut prediksinya yang dilakukan oleh Gallup International. (Lihat ilustrasi)

Survai dengan judul Voice of the People yang disebar ke 43.000 orang dari 51 negara menghasilkan jawaban yang mengambang tentang masa depan dunia. Misalnya terungkap sebuah keraguan terhadap pertanyaan apakah dunia di masa mendatang semakin makmur atau tidak.

Sepertiga (34%) optimis bahwa dunia akan menjadi lebih baik. Sepertiga lainnya (35%) pesimis dan sisanya bungkam. Mungkin itu juga sebuah pertanda keraguan terhadap lahirnya sebuah sintesa menuju sebuah tata global yang lebih adil.

Dalam keadaan demikian, lebih baik kalau kita turut bergabung dengan pekikan harapan yang disoraki para aktivis di Mumbai dan Davos.

Tentu sembari mencari terobosan seperti diharapkan novelis India, Arundahti Roy, ketika dia berteriak di hadapan masa di Mumbai, "Tidak baik kalau kita hanya berteriak jeetenge, bhai jeetenge (kita menang, kita akan menang), tetapi saatnya kita harus berbuat sesuatu."

No comments: