Tuesday, January 22, 2008

Bermain, antara Bugar dan Uang

Abraham Runga Mali

Ketika permainan bola kaki menjadi industri, maka seorang pesepak bola bukan lagi pemain, tetapi pekerja. Mereka dibayar untuk bermain-main dengan si kulit bundar. Begitulah yang terjadi dalam dunia olahraga pada umumnya. Olahraga tak bisa tidak harus dihubungkan dengan uang.

Johan Huizinga, profesor sejarah kebudayaan dari Leiden, bisa jadi benar ketika mengatakan bahwa kebudayaan manusia berakar pada permainan. Dalam bukunya Homo Ludens (1938), dia menduga bahwa permainan adalah elemen sentral dari semua aktivitas manusia.

Buku monumentalnya itu merupakan hasil penelitiannya tentang manusia sebagai makhluk yang bermain (homo ludens). Hasilnya menakjubkan. Dalam semua kegiatan manusia berperan naluri manusia sebagai homo ludens itu, demikian Huizinga.

Sebagai misal, perhatikan hal-hal yang ada dalam permainan bola. Ada kerja sama, ada persaingan, ada peraturan, ada wasit, ada sanksi, ada tujuan (goal), ada pemimpin, ada pelatih dan penasihat dan seterusnya. Begitupun suasana yang terjadi di sana. Ada kememangan, kekalahan, ada keberuntungan dan nasib sial. Apa yang ada dalam dunia sepak bola itu dijumpai dalam bentuk kehidupan manusia yang lain.

Lalu, bagaimana hubungan permainan dengan olahraga? Batasnya sangat tipis dan terkadang susah dibedakan. Di satu sisi, dalam semua permainan ada unsur olahraganya.

Tapi, di pihak lain, hampir semua cabang olahraga berasal dari permainan. Hanya saja dalam olahraga, kegiatan fisik menjadi unsur yang dominan. Walaupun pada olahraga seperti kartu dan catur, misalnya, unsur gerakan fisiknya sangat minim.

Apapun penjelasan, pada dasarnya olahraga itu sangat dekat hubungannya dengan permainan. Tapi, itu kalau olahraga mau dilihat hanya sebagai peristiwa kebudayaan.

Padahal, olahraga, tidak sekadar itu. Ketika olahraga menjadi sebuah industri, misalnya, hubungan menjadi lebih kompleks. Olahraga bisa lebih dari sekadar permainan lagi. Orang bekerja dan meniti karier di sana.

Usia emas

Makanya, bukan hal yang aneh lagi kalau saat ini banyak orang mendulang uang melalui olahraga. Para pemain bola tingkat dunia seperti Ronaldinho, Ronaldo, David Beckham atau para petenis lapangan seperti Boris Becker menjadi milioner melalui profesinya sebagai olahragawan.

Hanya saja bagi Anda yang saat ini meniti karir di bidang olahraga atau mempersiapkan putra atau petrinya menjadi olahragawan profesional, harap mengingat ciri utama profesi ini. Para perencana keuangan selalu menandai profesi ini dengan apa yang disebut sebagai 'usia emas' (golden age).

Artinya karena olahragawan sangat bergantung pada kekuatan fisik, maka profesi ini sangat bergantung pada usia. Seorang pemain bola bisa mengahasilkan uang ketika dia berada pada usia 20 hingga 30 tahun. Jarang yang bisa melewati usia ini seperti Cafu atau Maldini. Dalam atletik, tinju atau olahraga yang lain, usia emasnya bisa jadi lebih pendek lagi.

Menurut perencana keuangan Mike Rini, usia emas ini menjadi faktor yang harus diperhitungkan dalam financial planning seorang olahrgawan. Artinya, dalam waktu yang sangat singkat, seorang olahragawan harus mendapatkan uang untuk bisa membiayai hidupnya yang masih panjang. Kalau tidak, dia harus memikirkan penghasilan alternatif setelah dia berhenti dari karirnya sebagai olahragawan.

Uang dan kesehatan

Bagaimana dengan Anda yang bukan olahragawan? Menurut Mike Rini, olahraga tetap bisa dilihat sebagai investasi. Hanya kalau pada mereka yang berkarier di olahraga returnnya adalah uang, tetapi pada yang lain, return dari investasinya adalah kesehatan dan kebugaran.

"Tapi ujung dari kesehatan dan kebugaran itu adalah persoalan uang juga. Karena dengan sehat orang bisa bekerja dengan baik dan bisa mendapatkan uang lebih banyak. Dalam konteks yang lebih luas, olahraga itu tetap sebuah investasi."

Kalau investasi, pertanyaannya adalah berapa dana yang dikeluarkan sebagai modal? Dengan lain pertanyaan, berapa pengeluaran yang diperlukan oleh seseorang atau sebuah keluarga untuk kebutuhan olahraga?

Karena olahraga bukan kebutuhan utama, maka diusahakan agar biayanya ditekan seminimal mungkin. Menurut Mike Rini, pengeluaran yang ideal untuk olahraga berkisar antara 10 % hingga 30 %. Besarnya pengeluaran bervariasi tergantung pada tujuan dari olahraga. "Kalau seroang atlet tentu saja pengeluaran untuk olahraga lebih besar dari yang lain."

Selain untuk mendatangkan uang dan kesehatan, saat ini olahraga sudah berkembang untuk hal-hal yang lain seperti sosialisasi dan gaya hidup. Seseorang yang mendaftarkan diri menjadi anggota di sebuah fitness centre, misalnya, tidak hanya untuk mencari kebugaran, tetapi juga untuk mengisi pergaulan dengan rekan-rekan kerja atau bisnisnya.

Misalnya Anda menjadi anggota Celebrity Fitness yang dalam sebulan dikenai bayaran Rp490.000. Untuk sampai ke tempat ini Anda mengeluarkan biaya yang lain seperti biaya transportasi. Kalau mau makan di tempat itu, Anda harus menyiapkan dana yang lebih besar. Menjadi anggota Celebrity Fitness yang saat ini sudah mencapai ribuan orang tidak hanya sekadar mencari kebugaran. Itu lebih pada gaya hidup.
"Ada juga orang yang berolahraga untuk sekadar gaya hidup. Karena menjadi anggota klub olahraga atau pusat kebugaran adalah prestise, maka seseorang berkeinginan untuk masuk dalam kelompok tersebut. Asal punya uang tentu tak masalah. Tapi jangan dipaksakan agar tidak diperbudak oleh gaya hidup," demikian nasihat Mike Rini.

No comments: