Tuesday, January 22, 2008

Saham

abraham Runga Mali

Seorang kawan jurnalis di bidang pasar modal pernah punya ide menarik. Pada saat melamar calon istrinya, dia memberikan sejumlah lembar saham sebagai mas kawin. Ini bukan hanya sekadar proklamasi kebanggaan pada keluarga sang istri atas bidang liputannya, pasar modal, tetapi juga sebagai salah satu cara ikut ambil bagian dalam mensosialisasikan industri tersebut.

Begitulah yang terjadi satu dekade yang lalu ketika kebutuhan untuk memasyarakatkan pasar modal sangat besar. Maklum, basis pemodal lokal saat itu ternyata masih sangat rendah. Dari dua ratusan juta penduduk Indonesia, baru sekitar seratus ribu yang ikut bermain dan mengambil untung dari perdagangan saham. Selebihnya, bursa kita tak lebih dari tempat bagi pemodal-pemodal asing menggandakan uangnya.

Rupanya, sampai saat inipun kondisi bursa kita tak banyak berubah. Hanya segelintir orang yang mendapat manfaat langsung dari pasar modal.

Sementara masyarakat pada umumnya hanya mendapat manfaat tidak langsung melalui perusahaan yang mencatatkan sahamnya. Dengan go public dan menjual sahamnya, perusahaan-perusahaan tersebut mendapatkan dana yang besar yang kemudian digunakan untuk operasional dan ekspansi perusahaan. Dengan demikian banyak dari mereka yang terserap sebagai tenaga kerja di sana.

Sebagai pekerja, saham itu tak banyak manfaatnya. Para buruh atau pekerja itu hanya peduli dengan kinerja perusahaan. Siapa pemiliknya, tak ada urusan, yang penting pemilik memiliki visi dan bisa memilih orang-orang yang bisa mengelola perusahaan dengan baik.

Biasanya perusahaan yang baik, demikian pemikiran kebanyakan pekerja, akan memberikan penghargaaan yang layak kepada karyawannya. Sebagai imbalan, para pekerja hanya mendapatkan gaji bulanan. Sementara dividen yang diambil dari sebagian besar laba perusahaan itu dibagikan kepada pemilik saham.

Mungkin boleh juga kalau sekali-sekali para pekerja itu dianjurkan untuk ikut bermain-main di bursa dengan membeli beberapa lembar saham. Tapi, asal tahu saja, para emiten besar-yang bukan hanya yang empunya saham, tetapi juga memiliki informasi dan biasanya punya perusahaan broker-tidak mau ketinggalan melahap keuntungan (capital gain) di lantai bursa.

Catatan sejarah

Tapi, apa itu saham? Dalam terminologi bisnis dan finansial, saham adalah unit kepemilikan ekuitas dalam suatu perusahaan. Kepemilikan ini diwakili oleh suatu sertifikat saham yang menyebutkan nama perusahaan dan nama pemilik saham. Banyaknya saham yang dikuasakan kepada perseroan untuk diterbit dirinci dalam Anggaran Dasar perseroan. Demikianlah yang terjadi sejak ratusan tahun yang silam.

Berdasarkan cacatan sejarah, surat berharga (efek) yang tertua adalah saham bertanggal 16 Juni 1288 atas nama perusahaan tembaga Swedia, Storakopparberg. Hanya saja tidak diketahui apa saham itu pernah diperdagangkan. Kemudian pada tahun 1400 beredar saham-saham Bank Venesia dan di Genoa beredar saham Bank St. George. Sekali lagi, tidak diketahui apakah pernah terjadi transaksi atas saham-saham tersebut.

Kemudian pada 1606-lima tahun sebelum bursa Amsterdam berdiri-Verenigde Oostindische Compagnie (VOC) juga menerbitkan saham. Efek tertua ini masih tersimpan di Bursa Amsterdam. Dari sejumlah catatan, sempat diketahui bahwa seorang investor bernama Dirk Petersz Straetmaker sempat mendapat keuntungan sebesar 100 persen selama 14 tahun (1606-1620), atau 7,14 persen per tahun dari partisipasinya dalam permainan di bursa Amsterdam.

Pada waktu itu, penerbitan saham oleh VOC dilakukan sebagai strategi untuk mengumpulkan dana dalam jumlah besar yang dipakai untuk membiayai pembuatan kapal dan operasi perdagangan di tanah jajahan, termasuk Indonesia.

Bahkan, lebih dari itu VOC tidak hanya pioner dalam urusan penerbitan saham, tapi juga dalam hal perdagangan saham dan surat-surat berharga lainnya. Tidak mengherankan, kalau menurut cacatan para ahli sejarah, bursa tertua di dunia adalah Amsterdamse Effektenbeurs (Bursa Amsterdam) yang didirikan di Dam Square tahun 1611.

Yang diperdagangkan adalah saham dan obligasi yang berkaitan dengan kolonialisme di Indonesia. Artinya dengan uang yang diperoleh dari Bursa Amsterdam itu, Belanda bisa membiayai okupasi dan perdagangan di Indonesia. Bursa itulah yang memungkinkan Belanda menjajah Indonesia selama beraba-abad.

Kendati belum memiliki bursa, perdagangan saham dan obligasi di Indonesia sudah berlangsung sejak 1880. Pada tahun 1892, Cultuurmaatschappij Goalpara, perusahaan perkebunan yang bermarkas di Batavia mengeluarkan prospektus penjualan 400 saham dengan harga 500 gulden. Empat tahun kemudian, harian Hat Centrum yang berkantor di Jogjakarta melakukan emisi senilai 105 ribu gulden dengan harga per saham 100 gulden.

Ketika makin banyak perusahaan VOC di Indonesia go public, maka diperlukan bursa cabang Amsterdam. Maka pada 14 Desember 1912 berdirilah bursa cabang Amsterdam di Batavia. Untuk tingkat Asia, Bursa Batavia merupakan yang tertua nomor empat setelah Bombay (1830), Hong Kong (1871) dan Tokyo (1878).

Selain memperdagangkan saham dan obligasi perusahaan Belanda yang beroperasi di Indonesia, ada juga surat-surat berharga dari perusahaan Belanda-pemerintah maupun swasta-yang bermarkas di negeri asalnya.

Yang juga menarik bahwa saham blue chips dari Amerika Serikat seperti Betlehem Steel, American Motors dan Anaconda juga diperdagangkan di Bursa Batavia.

Pertanyaannya siapakah yang mengambil untung dari transaksi di Bursa Batavia saat itu? Selain VOC yang empunya banyak perusahaan, tentu saja para pemodal seperti Tuan Dirk Pietersz. Masyarakat pribumi, termasuk orang Betawi yang punya kampung di Batavia, pasti tak pernah mendapatkan apa-apa.

Begitulah yang terjadi di Bursa Batavia seabad yang lalu. Bagaimana dengan Bursa Efek Jakarta (BEJ) yang sebentar lagi akan mencaplok Bursa Efek Surabaya (BES)? Siapakah yang mengambil untung dari melonjaknya harga saham yang luar biasa di pasar modal sekarang? Bisa ditebak bukan? Ah, andaikan saja orang-orang kampung di Simalungun atau Ende sudah mengenal pasar modal. Ceritanya bisa lain. Atau jangan-jangan saham dan bursa-sekurang-kurangnya di negeri tercinta ini-memang dihadirkan hanya untuk VOC, Tuan Pietersz dan orang-orang yang mengabdi mereka? Mudah-mudahan tidak!

No comments: