Thursday, January 31, 2008

Kontroversi Batam & Konsistensi Rezin Investasi

Abraham Runga Mali

Hari-hari di penghujung 2003 dilewati pelaku ekonomi Batam dengan kegembiraan yang tak terkira. Mengapa tidak? Kendati baru sebatas isu, berita akan disahkannya RUU Kawasan dan Pelabuhan Bebas Batam (Free Trade Zone) menjadi UU oleh Komisi V DPR pada awal tahun ini seakan membangunkan kembali harapan bahwa upaya Batam mengikuti jejak Shenzen, Cina, dan kawasan-kawasan bisnis yang menarik lainnya semakin mendekati kenyataan.
Tapi, mimpi itu harus dikuburkan dalam-dalam. Bahkan, untuk sekadar menjadikan Batam semenarik Labuan (Malaysia Timur), Subic (Filipina) atau Jebel Ali (Dubai) makin tak ter-bayangkan. Apalagi berangan-angan menjadi seperti Cayman Island, Karibia dan Singapura agaknya masih jauh panggang dari api.

Saat itu, terbersit harapan agar pengesahan UU tersebut menjadi gong yang mengakhiri pencanangan 2003 sebagai Tahun Investasi. Tapi, justru sebaliknya, Otorita Batam dan pelaku bisnis di kawasan tersebut harus menghadapi kenyataan lain.

Pemicunya adalah Peraturan Pemerintah No. 63 Tahun 2003, tentang pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) di Batam, yang sudah sejak beberapa tahun lalu ditunda, sehubungan dengan status hukum daerah itu.

Melalui PP itu, terhitung sejak 1 Januari 2004 pemerintah mengenakan PPN dan PPn-BM atas kendaraan bermotor beroda dua atau lebih, rokok dan hasil tembakau lain dan minuman beralkohol (Pasal 4 ayat 1).

Untuk tahap kedua, mulai 1 Maret 2004, dikenakan pajak atas barang-barang elektronik yang menggunakan baterai dan listrik (Pasal 4 ayat 2). Selain itu, komoditas lainnya bisa saja dikenakan PPN dan PPn-BM berdasarkan keputusan Menkeu paling lama setiap enam bulan (Pasal 4 ayat 3). Begitu juga, menyangkut pengenaan PPN berkaitan dengan pemasukan barang dari daerah lain di luar Batam (Pasal 5).

Kecemasan baru

Tak pelak, keluarnya PP 63/2003 itu menandai sebuah kecemasan baru yang kian mendalam. Persoalannya bukan sekadar pengenaan pajak dalam PP tersebut, tetapi lebih kepada visi dan konsistensi pemerintah dalam mengatur Batam.

Tidak terlalu mengherankan jika sejumlah asosiasi pengusaha sepakat membentuk tim khusus yang akan memperjuangkan pembatalan PP itu. Kendati, harus diakui, PP tersebut keluar bukan tanpa alasan, karena diharapkan dapat menggenjot penerimaan negara dan mendongkrak ekspor.

Menurut Abdul Karim Lesar, konsultan bisnis internasional dari Abda Capital Investco, maraknya berita tentang penyelundupan kendaraan bermotor di sekitar Batam serta tidak satunya visi dan misi para pengusaha serta pengelola kawasan itu mengenai FTZ, dimanfaatkan pemerintah untuk menunda pembahasan RUU-nya dengan DPR, walau ada rencana pada 16 Januari 2004 mulai dibahas di DPR.

Memang, pemerintah telah lima kali menunda penerapan PPN dan PPnBM agar tidak ada kesenjangan waktu menjelag berlakunya Undang-Undang FTZ.

Dalam kevakuman tersebut, munculah PP yang menimbulkan reaksi kontroversial. Itulah sebabnya, sejumlah kalangan me-nilai terbitnya PP tertanggal 31 Desember 2003 itu sebagai bom waktu yang bisa me-mukul para pengusaha di Batam.

Mayoritas pengusaha memang secara langsung tidak terkena peraturan tersebut. Tapi, hubungannya yang luas dengan berbagai pengusaha di luar kawasan industri dikhawatirkan akan meningkatkan biaya, terutama dari bidang jasa di luar industri yang dikerjakan oleh para UKM yang saat ini mencapai 10.000.

Misalnya, mereka yang banyak menggunakan spareparts dari barang impor akan menaikkan biaya karena menggunakan komponen eks luar negeri yang akan terkena pajak.

Kelompok penentang PP ini berargumen kalau hanya untuk menunjang ekspor, bukan hanya soal pajak yang berpotensi menambah Rp500 miliar ke kocek pemerintah.

Yang lebih mendesak adalah pembenahan pelabuhan sebagai sarana penunjang yang saat ini belum memadai, sehinga ekspor barang Indonesia masih banyak bergantung pada Singapura. Pengangkutan barang oleh Daily Express dari Batam melalui Singa-pura merupakan kenyataan yang susah disangkal.

Sementara soal kecemburuan daerah lain mengenai pembayaran pajak bisa ditepis dengan kenyataan lain bahwa pada 2002, Batam mampu menghasilkan pajak penghasilan Rp907 miliar.

Bahkan, pada 2003 penerimaan pajak dari kawasan itu menembus Rp1 triliun. Artinya, walaupun Batam selama ini dibebaskan dari PPN dan PPnBM, kawasan itu tetap mencatat tax ratio tertinggi, yaitu 20%.

Tak hengkang

Meski begitu, pemerintah tampaknya yakin penerapan PP itu tidak akan mempengaruhi keputusan investor asing untuk hengkang dari Batam. Pasalnya, menurut Adjat Djatmika, kepala Kantor Pelayanan Pajak Batam, industri yang berorientasi ekspor akan tetap mendapatkan fasilitas bebas pajak.

Bahkan, pengusaha yang selama ini mengandalkan produk impor diperkirakan akan melakukan substitusi dengan barang lokal. Pemerintah juga berjanji akan memberikan insentif, antara lain kemudahan mengurus izin kepada menkeu sebagai kawasan berikat bagi pengelola kawasan industri paling lambat 90 hari sejak penerapan PP itu.

Bahkan, menurut Agussahiman, kepala Dinas Pendapatan Daerah Batam, jika PP berhasil diterapkan, Batam akan mendapat kompensasi Dana Alokasi Umum (DAU) Rp450 miliar.

Di sisi lain, Menko Perekonomian Dorojatun Kuntjoro-Jakti berjanji bahwa pemerintah akan menyelesaikan RUU FTZ Barelang (Batam-Rempang-Galang) pada masa sidang terakhir DPR. Itu berarti pemerintah dan DPR memberi sebuah harapan bahwa RUU itu akan selesai sebelum Pemilu.

Di sinilah letak persoalannya. Janji ini, serta keluarnya PP 63/2003 tersebut, justru mencuatkan pertanyaan atas keseriusan dan kecerdasan pemerintah pusat dalam memformulasikan visi Batam di tengah arus persaingan ekonomi global dan tuntutan otonomi daerah yang kian tinggi.

Padahal keseriusan ini mempengaruhi tingkat kepastian hukum dan konsistensi kebijakan yang merupakan syarat fundamental bagi sebuah keputusan investasi.

Jika ditelusuri, sejak 1992 keluar Kepress mengenai kawasan Bon-ded Zone yang mencakup wilayah Batam, Rempang, Galang dan Galang Baru serta 39 pulau kecil di sekitarnya, di bawah suatu Badan yang disebut Otorita Pengembangan Industri Pulau Batam (Otorita Batam). Sejak saat itu, kawasan tersebut mendapat insentif pembebasan PPN, PPn BM dan BM untuk menunjang aktivitas bisnis dan mendorong ekspor.

Namun, ketidakpastian status Batam mencuat ke permukaan sejak April 2000 karena pemerintah akan memberlakukan PP-39/1998 yang menghapus semua pengecualian perlakuan pajak setelah mantan Presiden Soeharto menandatangani Letter of Intent yang disodorkan IMF.

Tentu saja hal ini memancing resistensi dari komunitas Batam sehingga berkali-kali ditunda hingga Desember 2003.

Ketidakpastian kian menguat ketika pada 1999 diberlakukan UU No. 22 tentang otonomi daerah yang mendorong terbentuknya pemerintahan kota (Pemkot) Batam yang selanjutnya membawa kawasan tersebut pada perseteruan konsep yang berkepanjangan lantaran sering berbeda pendapat dengan Otorita Batam.

Kontroversi kian memuncak saat pemerintah pada pertengahan tahun lalu merekomendasikan FTZ hanya secara enclave atau hanya pada kawasan industri saja.

Masih wacana

Semua pihak boleh mengklaim telah berjuang untuk membangun Batam. Yang pasti investasi sekitar Rp12 triliun untuk membangun kawasan tersebut melalui Otorita Batam, hasilnya saat ini belum optimal. FTZ, apapun bentuknya, masih sekadar janji dan wacana.

Memang terbetik harapan, agar anggota DPR dan pemerintah yang tenggelam dalam hiruk pikuk Pemilu masih menyisakan ruang dan waktu untuk merampungkan RUU FTZ.

Sebab, Singapura, negara tetangga yang juga berkepentingan dengan geostrategis selat Malaka, sudah beraksi jauh meninggalkan Batam yang masih berkutat soal visi.

Masih segar dalam ingatan ketika pada 6 Mei 2003 di ruang timur Gedung Putih, Washington DC, George Bush dan Goh Cok Tong menandatangani Perjanjian Perdagangan Be-bas antara kedua negara (USS-Free Trade Agreement), yang menghapus beban tarif pabean kedua negara US$33 miliar.

AS juga akan memberikan fasilitas istimewa berupa pembebasan bea masuk terhadap 92% impor dari Singapura dan sisanya akan dihapus dalam waktu delapan bulan.

Di satu pihak, Batam, Bintan dan kawasan sekitarnya akan mendapatkan manfaat positif dari perjanjian tersebut.

Tetapi, di pihak lain Batam dan Kepulauan Riau akan semakin tergantung pada Singapura sebagai pusat distribusi perdagangan dan perniagaan. Ini merupakan pukulan telak bagi negara besar dan potensial seperti Indonesia.

Tentu ini mirip kekalahan Majapahit tempo dulu dalam merebut persaingan di wilayah itu dari kesultanan Malaka yang baru menerima agama Islam tetapi bersedia me-minta perlindungan dari penguasa Cina untuk mengamankan kawasan tersebut.

Dari sinilah awal keruntuhan Majapahit karena pedagang pesisir Utara Jawa dan dari wilayah lain Nusantara lebih berorientasi ke Malaka dari pada harus membawa upeti ke pusat kerajaan yang berada di pedalaman dengan birokrasi yang lamban, feodal dan sentralistis.

No comments: